02/09/18

Cerita kampung


Cerita dari kampung 

Di pedalaman Sulawesi Selatan, ada satu kampung yang sangat luas, subur, indah dan sejuk. Kampung ini dikelilingi hutan-hutan lebat yang dipenuhi Pohon Damar, Kayu hitam, rotan terbaik di Indonesia dan jenis pohon lain termasuk aneka Angrek langkah, khas Hutan Sulawesi. Kampung ini terdiri dari beberapa desa dengan keunikan tradisi bahkan bahasa. 
Konon, kopi hasil kebun-kebun dari kampung ini jauh lebih gurih dan nikmat dari kopi Toraja yang sudah terkenal itu. 
Demikian juga, menurut sahibulhikayat, kerbau-kerbau terbaik dan termahal datangnya dari kampung ini. 
Masih menurut kisah, beberapa sungai besar yang mengalir ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat bahkan kesulawesi tengah dan tenggara hulunya ada di kampung ini.
Menilik kontur tanah, maka kampung ini sangat lengkap, ada perbukitan, pegunungan lembah yang luas bahkan Padang Savana berumput alang-alang dan ilalang. Di dalamnya ada Anoa, Rusa bertanduk cabang enam dan babi rusa. Belum lagi aneka burung dan ayam hutan yang bersahutan menjelang subuh. 
Kampung yang berada diketinggian 1200 - 2050 DPL ini penghasil beras lokal yang enak, harum dan seputih gading. Jenis padi ini oleh masyarakat lokal di sebut Padi Tarone.
Kampung yang sejuk, indah dan nyaman ini seperti seorang Perawan Cantik yang sedang diperebutkan banyak orang. 
Hutannya, lembahnya, sungainya, hasil kebunnya jadi sengketa banyak pihak, mulai dari pemerintah daerah sampai pusat, para pemalak hutan hingga pemalak isi buminya. Mereka yang ingin menguasai aliran sungai yang ada hingga sawah dan kebun penghuninya. 
Kampung ini bergejolak bukan karena penduduknya miskin atau pemalas, tetapi karena para Sengkuni yang mulai kasak kusuk memecah belah dan mengadu domba anak-anak negeri. 

Maka mulailah curiga mencurigai, intip mengintip, hadang menghadang. Semua terpusat kesana, sawah-sawah, kebun-kebun, ladang-ladang, Huma dan tegalan, terabaikan, teupakan, tak memberi hasil.

Maka ternak-ternak, kolam-kolam, tak terurus.
Banyak kebutuhan hidup hilang dari peredaran, beras, lombok, gula, ikan asin, garam, bawang, kopi, minyak dan sayur mayur, lenyap entah kemana.
Maka timbullah pencurian dimana-mana, copet dan rampok melanda kampung besar itu.
Banyak yang tak puas dengan keadaan ini, lalu membentuk kelompok-kelompok yang berfikir kritis pada pemerintah di kampung.
Terpcahlah orang-orang dikampung, mereka yang pro dan kontra pemerintah. Akibatnya, makin rame kampung itu. kelompok yang ada saling mengolok, membully sampai pada perkelahian dan tawuran disudut-sudut kampung.
Kampung tak aman lagi, penduduk yang tak memihak mengungsi keluar kampung.

"Ganti pemimpin kampung yang tak becus itu" teriak ketua yang anti.
"Langkahi dulu mayat kami!" sahut pemihak pemimpin kampung.

Maka perkelahian, tawuran, bakar-bakaran, hantaman-hantaman terjadi di mana-mana tempat
Rumah-rumah di Kampung yang damai, asri dan nyaman itu, berubah jadi puing-puing, sekolah jadi abu, rumah ibadah jadi arang.
Tak ada yang tersisa.
Kebun, sawah dan huma, juga ladang-ladang musnah dimakan api.
Gudang beras, lumbung-lumbung padi rata, bangkai ternak di mana-mana.
Bahkan mayat-mayat bergelimpang, di lapangan, di gang kampung, di jalan umum, di pasar-pasar.
Kampung jadi sarang hantu, berbau busuk, anyir menusuk hidung.
Tak ada lagi kedamian, tak ada lagi hijau royo-royo, tak ada lagi sungai jernih, lembah dan padang savana jadi kubangan maut.

sejak saat itu mayat-mayat hidup berjalan kekampung-kampung lain, merampok, mencopet, merampas, membunuh, memperkosa, hingga tak ada lagi kampung di negeri pardikan.

(
Jakarta, akhir agustur 2018)


RWM.BOONG BETHONY

Tidak ada komentar: