22/09/16

Kristiani dan Budaya



Christianity amongst the bustle of Culture Indonesia, an introductory note.
Romo Wl Ro Ma.

Go, make all people my disciples, baptizing them in the name of the Father, the Son and the Holy Spirit. This sentence fragment, contained in Matthew chapter 28 verse 19. Before that there are principles that led to the sentence of this command. Namely, the revelation of Christ on His power over Heaven and Earth, paragraph 18.
Based on this spirit, there was the movement's message of the gospel out of Israel.
Theologians formulate this movement with kongklusif: From Jerusalem to Europe (Rome) then anywhere.
Europe entered the archipelago of merchant ships along the imperealis to the archipelago. There are Christians in the archipelago or Indonesia today. Remember, Christians in Indonesia and Indonesia are not Christians.
Both revelation last, about to criticize the growth of Christianity in Indonesia are 'unfamiliar' with local traditions and cultural traditions of Indonesia as the Indonesian people.
Read this revelation, many Christians in Indonesia will frowning eyebrows then objected then to counter with arguments.
But in reality, the building - the church building, church ritual, liturgical style clothing, tools - tools of ritual worship, to the liturgy - the ecclesiastical liturgy, is a relic of the calculations to think very highly influenced traditions (culture), Israel and Europe. All were deliberately adopted even in consecrated as' something as if a 'great sin' if left behind or forgotten. How to think so, at that very moment, deliberately going to deny 'around the world'. Where churches live, grow, develop and serve.
Perhaps, because it (too busy digging the traditions of the past) so that the church in its development in Indonesia, linear affairs and cool into there, and occasionally look left or right. As though God only knows the tradition of Israel and the European tradition.
Though the Church in Indonesia, are Indonesian Christians. Present and living in the archipelago, eat there, die there, buried there even remembered there.
Is not this archipelago is a paradise earth culture very interesting, exotic, with a unique tradition etniksitas by region, language and islands. A stretch of territory and time with pearl ornaments verb is deliberately created by the Lord of Life, Lord Jesus, God the Creator of Heaven and Earth.
So what is wrong with the local tradition which is a process - a process of life and human development? What was wrong from the point of view of the church to the world of Indonesian culture? So that the difficulties or is reluctant to dissolve in the local culture by some church leaders sometimes forbidden or considered wicked?
Discipleship, as the quote at the beginning of this paragraph is certainly not intended to deprive the prospective students out of their culture or leave ecohabitas that has been growing and shaping it as human beings. Certainly not the intention of the Master, but on what is referred to as enlightenment habitus, mental enlightenment, spiritual enlightenment. Because habitat can be changed at any time - but habitus is the basis of the behavior of a person's humanity.
That happened in the development of Evangelism in Indonesia, was the removal of the disciples (Christians) of habitat, of environment, of traditions, of culture and form a new student was in the box with the traditions and cultures of Israel and Europe. So, do not be surprised if from the 18th century until now people -the Christians in Indonesia are often nicknamed 'kebelanda - belandaan or too westernized - westernized' cause foreign style and way of life of its own culture. Some even feel that Indonesian culture is not culture, though the skin, hair and ancestors native to Indonesia.
Not just a matter of 'repeal it' but the ornaments - ornaments locally as a result of thinking, initiative, creativity and sense, human Indonesia in lebeli as objects - objects Wicked. Then there was the destruction, suppression of the mass of the particular cultural wealth in Indonesia. Which until now how to think like that 'still' haunting perspective of the Christian tradition as a form of culture.
Therefore do not ask, if the church buildings still will be built in the style of western sitektur, Rituals - the ecclesiastical ritual smelling Europe or Israel, instruments (objects) ritual of the church still must be imported either from the outside. Clothing lirturgis still would like robes winter europe, music - musical accompaniment and singing - singing still thick Etniksitas import. Etc.
If the understanding of the church is still as it was in the Indonesian culture, until whenever Christianity in Indonesia will still be a Christian, Christians in Indonesia not Indonesia.
But hopefully not so.

Greetings and prayer rahayu.
Observer culture and Protestant clergy
Staying in Samarinda
Indonesian Verzion

Kekristenan di antara hiruk pikuk Budaya Indonesia, sebuah catatan pengantar.
Romo Ro Wl Ma.

Pergilah, jadikan semua orang muridku, baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak dan Rohkudus. Penggalan kalimat ini, termaktub dalam Injil Matius pasal 28 ayat 19. Sebelum itu ada dasar yang memunculkan kalimat perintah ini. Yaitu, penyataan Kristus tentang kuasaNya atas Sorga dan Bumi, ayat 18.
Berdasar spirit ini, terjadilah gerakan Pekabaran injil keluar Israel.
Para teolog merumuskan gerakan ini dengan kongklusif : Dari Yerusalem ke Eropa (Roma) kemudian kemana saja. 
Dari Eropa masuk nusantara seiring kapal-kapal dagang kaum imperealis ke bumi Nusantara. Ada orang kristen di Nusantara atau Indonesia sekarang ini. Ingat orang Kristen di Indonesia dan bukan orang kristen Indonesia.
Kedua penyataan terakhir itu, hendak mengkritisi perkembangan Kekristenan di indonesia yang 'masih asing' dengan tradisi lokal maupun tradisi indonesia sebagai kebudayaan manusia Indonesia.
Membaca penyataan ini, banyak orang kristen di Indonesia akan mengernyit alis kemudian keberatan lalu meng-Counter dengan argumennya.
Tetapi dalam kenyataannya, gedung - gedung gereja, ritual gereja, corak pakaian liturgis, alat - alat ritual ibadah, sampai pada liturgi - liturgi gerejawi, merupakan peninggalan dari kalkulasi-kalkulasi berfikir yang amat sangat di pengaruhi tradisi (kebudayaan) Israel dan Eropa. Semua itu secara sengaja di adopsi bahkan di kultuskan sebagai 'sesuatu' yang seolah-olah sebuah 'dosa besar' jika di ltinggalkan atau di lupakan. Cara berfikir demikian, seketika itu, dengan sengaja hendak mengingkari 'dunia sekitar'. Di mana gereja hidup, tumbuh, berkembang dan melayani.
Mungkin, karena itu (terlalu sibuk menggali tradisi masa lampau) sehingga gereja dalam perkembangannya di Indonesia, linier pada diri sendiri dan asik di sana, dan sesekali menengok ke kiri atau kanan. Seolah-olah Tuhan hanya mengenal tradisi israel dan tradisi Eropa.

Padahal Gereja di Indonesia, adalah orang Kristen Indonesia. Hadir dan hidup di bumi nusantara, makan disitu, mati disitu, di kubur disitu bahkan di kenang disitu. 
Bukankah bumi Nusantara ini adalah sorga kebudayaan yang sangat menarik, eksotik, dengan tradisi unik sesuai wilayah etniksitas, bahasa serta pulau-pulau. Sebuah bentangan wilayah dan waktu dengan hiasan mutiara manikam yang dengan sengaja di ciptakan oleh Sang Empunya Hidup, Tuhan Yesus, Tuhan Pencipta Langit dan Bumi.
Lalu apa yang salah dengan tradisi lokal yang merupakan proses - proses kehidupan dan perkembangan manusia? Apa yang keliru dari cara pandang gereja terhadap dunia budaya Indonesia? Sehingga kesulitan atau memang enggan melarut dalam budaya lokal yang oleh sebagian tokoh-tokoh gereja terkadang di haramkan atau di anggap fasik?

Pemuridan, seperti kutipan di awal paragraf ini pastilah bukan bermaksud untuk mencabut calon murid keluar dari kebudayaannya atau meninggalkan ecohabitas yang selama ini menumbuhkan dan membentuknya sebagai manusia seutuhnya. Pasti bukan itu maksud Sang Guru, melainkan pada apa yang di sebut sebagai pencerahan Habitus, pencerahan jiwa, pencerahan bathin. Sebab habitat dapat saja berubah sewaktu - waktu, tetapi Habitus adalah dasar perilaku kemanusian seseorang.
Yang terjadi dalam perkembangan Pekabaran Injil di Indonesia, adalah pencabutan para murid (kristiani) dari habitatnya, dari lingkungannya, dari tradisinya, dari budayanya dan membentuk murid baru itu dalam kemasan tradisi dan budaya Israel dan Eropa. Jadi, jangan heran bila dari abad 18 sampai sekarang orang -orang Kristen di Indonesia sering kali di juluki 'kebelanda - belandaan atau juga kebarat - baratan' sebab corak dan cara hidupnya asing dari kebudayaannya sendiri. Bahkan ada yang merasa bahwa budaya Indonesia bukan kebudayaannya, meskipun kulit, rambut dan nenek moyangnya asli Indonesia.
Bukan hanya soal 'pencabutan itu' tetapi ornamen - ornamen lokal sebagai hasil dari berfikir, karsa, cipta dan rasa, manusia Indonesia di lebeli sebagai benda - benda Fasik. Maka terjadilah pemusnahan, pemberangusan massal terhadap kekayaan budaya tertentu di Indonesia. Yang sampai sekarang cara berfikir seperti itu 'masih' menghantui cara pandang kristiani terhadap tradisi sebagai bentuk kebudayaan.
Karena itu jangan bertanya, jika gedung-gedung gereja masih akan di bangun ala sitekrut barat, Ritual - ritual gerejawi berbau Eropa atau Israel, instrumen (benda) ritual gereja masih harus di import entah dari luar. Busana lirturgis masih akan seperti jubah musim salju eropa, musik - musik pengiring dan nyanyian - nyanyian masih kental Etniksitas import. Dst.

Jika pemahaman gereja masih seperti itu tentang kebudayaan Indonesia, sampai kapan pun kekristenan di Indonesia masih akan menjadi Kristen di Indonesia bukan Kristen Indonesia.
Tapi semoga tidak begitu.


Salam dan doa rahayu.
Pemerhati kebudayaan dan rohaniawan protestan
Tinggal di Samarinda

Rob Colection





RWM.BOONG BETHONY

Culture, As Reflection Humanity

Talk A bout Culture  in two languages

CULTURE, AS REFLECTION humanity
 By : Father  Ro Ma Wl

WHAT IS CULTURE? Why talk about it?

Tempus mutantur, et nos mutantur in illid. Times change, and we change too in it. A Latin proverb that its actuality until now, later and later. Changes that occur in the course of that time, expressing Human explore the search for meaning in a question Who? What and How, Man as it changes. Similarly, culture or cultured (culture) change according to the context of the times. Culture or cultured then follow the changes in thinking, feeling, intention and human creativity. Nothing lasts forever, except change itself.
Because it is steeped in a matter of culture invites us to reflect on: the development of thinking, feeling, intention and human creativity. He (read: culture and cultured) was never out of narrative expression and humanitarian Hermeneutik 1).
This simple paper, prepared as half the paperwork, meaning not a purely scientific work, but rather an accentuation on Culture, As a reflection of Humanity. Namely, accentuate cultural events or culture and so the community or individual expression both in thought and behavior in the study was a growing culture around us the last two or three decades; in the text and the context of Indonesia's progress and intensity will happen after 1990-han 2) until now. In the main this simple article I limited the growth of the Cultural Events in Social Media as part of the discourse of Mass Culture and Mass Media. Namely, Community Group HAIKUKU Indonesia.
Viewing events - Cultural events in the studies (study) teaches us; at least for me! That none of concepts (the theory or proposition) of the Culture in the 'cult' right or 'passes' as depictions valid and accepted by activists, thinkers and humanists or cultured. Thus pertaanyaan about What is Culture or Culture, will never be finished. It will give birth to a theory or a concept or a new proposition as grandchildren or great-grandchildren on the previous questions. So what is Culture or Culture? My answer will always be: It is a reflection or expression of Humanity as thinking, feeling, intention and copyright 3).
Then how to demonstrate Culture? This question abstractive which in my mind is always wild and naughty 'but can account for that culture or culture is footage of Signs (sign) or Symbolisasi (symbol) or symptoms (being) or value (value) is always evolving and being around or at least encircle a community or an individual in a variety (diversity) aspects (read Holistic) Human life. Such as: relationships cosmic, literature, entertainment, theater, film, sports, education, politics, science - technology and philosophy, system of government and power, economy, welfare, defense and security, mating rituals, aesthetics, morality, social life , belief and religion, and so on. This coverage also depends on the development and the development perspectives of Science - Science with a concentration of each study.
To be sure, that culture or cultured is a sign or a symbol or a symptom or human values ​​historically continues, who knows how long.

HAIKU AS CULTURAL EVENTS.

Globalization is an expression of humanity that is born of the pace of development and the development of science in accompanied invention to answer any technology in human anxiety, and very shocking of all findings - findings it is Technology Media Communications and Mass Media Technology. As a result of the development of Technology Communication and the Mass Media. World 'feel' cramped, crowded, even as if - if there is no longer the time span also limits the area that a few decades ago seemed distant, airy and feels isolated. Within seconds of an event happening anywhere in the world as soon as possible from spreading through the mass media, communication media, and even premises their Smartphone coupled wit storing various audio and visual data, all users at any time can become a 'journalist' on any event and proclaim to anyone via internet services. A situation in which all people simultaneously felt something together 4). A state in which every human being and are forced to accept this fact. A tide of change uncompromising grind, roll, sets in all directions with no one force dispel. Therefore do not be surprised if there or here there stuttering and nervousness.
Stuttering because do not understand is happening, nervous because not understand how to behave. So, from the nervous and stuttering, let's roll - boisterous welcome, entering the era to look up, be yourself. Is not the development and the development of science and technology 'just' a means to address anxiety - anxiety over the human imperfections. So stay Dashing Mighty in their own culture or your culture.
I borrowed the joke of the late Gus Dur impersonate popular in Indonesian society: Gitu aja kok bother! So I interpret this joke in narrative text and context that globalization is an expression of humanity now, at this time, and that continues. That anyone even any country in this world has no power to prevent or reject Globalaisasi. Therefore, there is no choice, but to accept the rest of the world together. Tempus mutantur, et nos mutantur in illid.

In unflagging expression that I found Haiku as a part of the culture of the past five), enliven the development of the literary universe the world, including in Indonesia. Tracing the history of Indonesian literature contiguity with Haiku, then some Legend of Indonesian Literature, like Amir Hamzah, Rendra and Gunawan Muhamad, a few times and try to write Haiku To publish the work - their work. But the campaign of celebrities have been unable to Indonesian literary universe turned towards it.
Therefore, let's thank the Social Media Facebook (of course without forgetting the names of the writers above) which already provides a variety of spaces 'app' for anyone. From Social Media Facebook is, at the end of 2014, began to bloom in Haiku widely known in Indonesia 6). By the presence of observers and activists groups Haiku, with the name of Group Haikuku Indonesia. Group Haiku Indonesia is a pioneer in social media because of my knowledge, before that, there is no other group of Indonesia as serious as these groups to: explore, examine and learn at the same time an inventory of what is called Kigo INDONESIA 7). Presence Group Haikuku Indonesia broad impact on the action and reaction to the world of praxis. The group is fronted writers Diro Arita and Comrades 8). Until now, this simple article I type, member of Group Haikuku statistically Indonesia amounted to 11 837 people. A fantastic number considering the new age of 2 (two) years of road. I am more and more amazed when compared with group Haiku abroad. For example, Group Haiku Canada of 2007. To penetrate 10,000 members, this group had to wait seven years.

CONVERGENCE

Let me shift the context of this discussion of trends over to the context of the narrative in expressive Group Haikuku Indonesia is today undergoing its own historical. Positioning the Group Haikuku Indonesia into the behavior of Culture or culturally meaningful browse for thinking, feeling, initiative and creativity of the entire community Haikuku dynamics. As a community Culture or Culture, the newly formed and learn a short poem Japanese or HAIKU who also recently even strangers at all, it is natural in the range of 2 (two) years, the dynamics are quite 'exciting' that resulted THIGH (read: Members dismissal Haiku by Admin) including friends - friends Diro Arita as the Founder Group, and or they are silent - silent out avoiding 'rigors' dynamic discussions that sometimes 'massive' gathering in the form of the establishment - phrases barb others. But this does not reduce the interest ripple curiosity of many people, which is why members instead increasingly receding but increasing in quantity. What is interesting from Group Haikuku? And what makes the discourse Haikuku? The answer to that question is that Group Haikuku Indonesia, choose the path of Haiku Classic or CONSERVATIVE. This is what distinguishes the other group that stands for exodus or ex Haikuku.

Find dynamics like that, my mind wandering through time into the barracks silent, simple recluse Buddhist Zen around the country of Japan at that time, where the hermitage of silent birth poetry short poems understated as a result of reflection on all natural events, where the the hermit inner hone, sharpen the sensitivity of the soul in the presence of Almighty God from every natural event 9) that occurred around Man. From the Hermitage silent and simple it is created h Haiku - spiritual haiku who put respect for the presence of Almighty God Mahas. God is understood by hermit - as a hermit, gentle, compassionate, peaceful and loving life. From the Hermitage silent and simple, I then jump across the span of centuries and perch in Group Haikuku Indonesia carrying sweet memories of gentleness, compassion, peace and love of life of the inventor and creator of Haiku. By then I imagine the memories and realize the fact, that the Group Haikuku Indonesia is a modern community with the bustle of modernity, where Pluralism 10) and Globalization so dialeg and hopefully towards Harmony gentleness, compassion, peace and love of life.
Why Pluralism? Because in my mind is the fact pluralism of Indonesian society that has existed since centuries ago and will continue as such. Pluralism is not a form of likening diversity but the reception and put appreciation (respect) for difference or plurality itself. As globalization is pervasive everywhere, it is the acceptance of pluralism and respect for the reality of pluralism. Similarly, Globalization and Pluralism is a fact of Indonesian society (and the world) in a necessity so-called 'New Era' or new age world community.
I saw Group Haikuku Indonesia, were there. Namely, a global village in which pluralism, knowing it or not, came to light on the diversity of its inhabitants. Either by reason backgrounds: social status, expertise, work, language, ethnic, religious (beliefs), economic, scientific, citizenship, even habitable area distribution Haikuku members. All it showed that the Group Haikuku Indonesia very attractive as 'a study group'. Communities that make 'core business' even 'core values' learning and development into Haiku Haiku Indonesia. With such a concentration that then I would like to invite all present on this occasion to see some basic thoughts on Presence Group Haikuku Indonesia.

1. Education Culture and Contextualization
As a result of foreign culture and are not the cultural heritage of the past Indonesian Man, contextualization Haiku becomes important. Contextualization I mean is make or create the appropriate background Haiku Society Indonesia very Plural. So instead of moving the flower pot and its contents then put the flower pot on the front porch and then adding knickknacks around the flower pot. If this happens, then it will never create a true sense of Haiku Indonesia, Indonesia typical haiku, Haiku tastes Indonesia. Instead what happens is creating Haiku in Indonesia and not create or write Haiku typical Indonesia.
As the world's largest archipelagic country, Indonesia also has a variety of traditions, both in the form of religious ritual with a variety of languages, dance, martial arts, the art of waking up, sounds and drumming; appropriate local knowledge, and so on.
Contextualization often interpreted wrongly by many people, including those who are often referred to as Cultural even though academics. In fact, contextualization, talk about absorption or capture power or finesse power to local people against something that comes from outside and synergize into something that absorbs local wisdom as the peculiarities of a particular community. There is a blending of forms, blending value - the value of either sitektur buildings, agricultural systems, farming system, family system, to the system of collective life. So not adopt or emulate later claimed as property of the tradition believed to be the first in their own culture. One of the failures of teaching culture in the world of national education is as always adopt something that seems to be good, nice, and then implemented in the national education world without any absorption, catches on local knowledge or local charges as a teaching culture of the nation. Do not be surprised, if the Indonesian human measure and the measure of a piece of paper called diploma S1 to S3, which I know the brain learners in the content just mere knowledge without cultural spirit.

How Group Haikuku?
As the new community and learn new things, I have to take my hat off to the courage Group Haikuku Indonesia entered the hallway contextualization Haiku. Particularly noticeable in the efforts to dig Spells - spells Archipelago and turn it into a haiku. By retaining the language of the spell, so it can still be enjoyed as a mantra, do not lose the spirit of trust contained therein. And this step forward and very Indonesian. In this way the group Haikuku indirectly preserve the tradition - the tradition of spells, but also mendokomentasikan various cultural traditions are almost extinct. This is one of contextualisation of Haiku.

2. Events Civilization
Group Haikuku not just expressive culture lovers, practitioners and activists Haiku but a moment of civilizations between the two countries. Civilization that brought lattice and space. Namely, lattice tradition, spans time and space, but also coordinate concept - the concept of spiritual past and present through the Haiku, including our meeting this evening. Therefore, fidelity in Pakem and Patron Haiku makes us civilized people.
Hopefully this short and simple capable of disturbing anyone, as an afterthought.

This is the night
This is the marriage
seekers
--------------------------------------------
Notes:

1). Abstracted and loosely translated from Philip Smith, Culutures Theory: An Indtoduction, Oxford & Massachusetts: Blackwell Publishers, Chapter 10-12, "Culture and Text: Narrative and Hermeneutics", 183-201

2). It is characterized by a growing number of built cultural study center or calling themselves the Culture Cultural studies. Study centers that analyze individual thinking in understanding the culture or the culture in the environment of the individual concerned. The characters were popular, a.l: Ernest Hemmingway, Jacques Derrida, Emile Durkheim, Marx Carel, Jalaluddin Rumi, Gibran Kahlil until Pramoedya Ananta Toer. These studies in general, want to understand the dynamics and turbulence Culture or Culture in the environment such figures. Before 1990 - late in polititis studies or studies as it was in forbidden by NEW ORDER.

3). Culture or Culture is an afterthought humanity historically holistic is the expression of thought, expression of taste, expression intention, expression of creativity, which gave birth to many diverse science and technology, art, sports, religious rites accompanied the paradigm even dogmatic to the fatwas of the religious.

4). Globalization, not only globalize a local event but also to globalize solidarity among fellow in the form of concern and support, including in the form of a curse and a reproach.

5). Haiku is a form of short poetry developed in Japan and pioneered Matsuo Basho (1641-1694) followed by Yosa Buson (1716-1784) and Kobayashi Issa (1763-1828) appears Kawahigashi Heigorō lala (1873-1937), which is called -sebut as the pioneer of modern haiku. HAIKU is a short poem with no title belt strict rules "Shichi-Go-Go" 575. That is the literary structure consisting of five syllables initial line, seven syllables in the middle and 5 syllables at the end of the line. Besides rules "Shichi-Go-G0" / 575, HAIKU also contains elements that foreshadow events in the expanse of time or season (Kigo). As a short poem that consists of only three lines and 17 syllables, Haiku has the intelligence to accommodate all the story of what happened in the span of time and season. Kigo is a season and time is included in it are signs that can be seen, be felt as symptoms or changes in certain seasons or at specific times. While KIREJI are cutting sentences or leap meanings of the words are deliberately cut to enter the next line.

6). Group Haikuku Indonesia, the Group Haiku which first appeared in Social Media Facebook and continuously carry out education in the form of online discussion by discussing the works of members in rotation. Group is very RIGID and sustain PATTERN WRITING HAIKU EXTREME CLASSIC, 575, BERKIGO AND and BERKIREJI.

7). In the course of the new Group Haikuku Indonesia two years, have ups and downs, some pioneer members then left and set up a Group Group Haikuku is similar but not fully binding on members follow Pakem and Patron Haiku patterned ber'KIGO 575 'and Ber-KIREJI.

8). Haiku born of simple barracks hermitage of Reverend Zen Buddhist wing in Japan in centuries 16-19 believe that all of nature around man, always had a spiritual message. Therefore, Haiku born in centuries 16-19 always makes Nature as the object and spirit. And when Haiku began to spread throughout the world in the late 18th century until today, the spirit of Zen as spiritual start in left towards contextualization Haiku according to the group - groups / group Haiku with Religion or religious background to researchers and activists Haiku.

9). Pluralism of the root word meaning Plural Plural or manifold. Pluralism is a state of good pluralistic society concerned with the social and political systems, religion, education, social status, including the tradition as the background is different. Another term that is similar to the Unity in Diversity that polities Nation and State became a symbol of the Unitary State of Indonesia which means Repoblik different but still one, Homeland. While Pluralism describes the state and the whole society as it is.

10). Kigo is a season and time is included in it are signs that can be seen, be felt as symptoms or changes in certain seasons or at specific times. As a sign of the season, Kigo be important in writing Haiku. Compare with writing short poems counter which is not bound by the season or time as Kigo. Note the sign of the season, much discussed on Group Haikuku. But as an introduction to this simple article, I include some examples of Kigo as a harbinger of Spring. Eg Winter: Snow, freezing water, cold air, people turned on the heater in the house. Sign Fall: Leaves fall, blunting clay animals food for the winter, the leaves change color, and so on. Summer: hot air, hot, and so on. As for Indonesia, the Rainy Season: flooding everywhere, mildew or fungus growth, leaf green, and so on. To Drought: fallen leaves, small rivers drying, hot air, and so on. Differences season in Japan and Indonesia, was very influential in the writing Haiku.
-------------------------------------------------- ------------------------------------
Share at the book launch event of The Sound Of Silence.
The author is the observer of Culture and The priest Protestant, lived in Samarinda.


KEBUDAYAAN, SEBAGAI RENUNGAN KEMANUSIAN
Oleh : Romo Ro Wl Ma

APA ITU KEBUDAYAAN? MENGAPA MEMBAHASNYA?

Tempus mutantur, et nos mutantur in illid. Waktu berubah, dan kita berubah juga di dalamnya. Sebuah pepatah Latin yang aktualitasnya hingga sekarang, nanti dan kemudian. Perubahan yang terjadi dalam perjalanan waktu itu, mengekspresikan Manusia menelusuri pencarian makna pada tanya Siapa? Apa dan Bagaimana, Manusia seiring perubahan itu. Demikian pula Budaya atau berkebudayaan (culture) berubah seturut konteks zaman. Budaya atau berkebudayaan kemudian mengikuti perubahan itu dalam pikiran, rasa, karsa dan cipta manusia. Tak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri. 
Karena itu mendalami soal Kebudayaan mengajak kita untuk merenungkan mengenai : perkembangan pikiran, rasa, karsa dan cipta manusia. Ia (baca : budaya dan berkebudayaan) tak pernah lepas dari ekspresi Narasi dan Hermeneutik kemanusiaan 1). 
Tulisan sederhana ini, di persiapkan sebagai setengah kertas kerja, dalam arti bukan karya ilmiah murni, melainkan sebuah aksentuasi pada Kebudayaan, Sebagai Renungan Kemanusiaan. Yaitu, aksentuasi pada peristiwa Budaya atau Kebudayaan dan jadi ekspresi komunitas atau individual baik dalam pikiran dan laku pun dalam kajian Kebudayaan yang berkembang disekitar kita dua atau tiga decade terakhir; dalam teks dan konteks Indonesia progress dan intensitas akan itu terjadi setelah tahun 1990-han 2) sampai sekarang. Dalam pokok tulisan sederhana ini saya batasi pada tumbuh kembangnya Peristiwa Kebudayaan di Media Sosial sebagai bagian dari diskursus Budaya Massa dan Media Massa. Yaitu, Komunitas Group HAIKUKU Indonesia.
Mengamati peristiwa – peristiwa Kebudayaan dalam kajian-kajian (studi) mengajarkan pada kita; setidak-tidaknya untuk saya! Bahwa tak satupun konsep (teory atau dalil) mengenai Kebudayaan yang di ‘kultus’ kan atau di ‘sahkan’ sebagai Penggambaran sahih dan dapat diterima secara umum oleh pegiat, pemikir dan budayawan atau berkebudayaan. Dengan demikian pertaanyaan tentang Apa itu Budaya atau Kebudayaan, tidak akan pernah selesai. Justru akan melahirkan teori atau konsep atau dalil baru sebagai cucu atau cicit atas pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Lalu apa itu Budaya atau Kebudayaan? Jawaban saya akan selalu berbunyi: Ia adalah Renungan Kemanusian sebagai atau ekspresi pikiran, rasa, karsa dan cipta 3).
Kemudian bagaimana mempertontonkan Kebudayaan? Ini pertanyaan Abstraktif yang dalam benak saya selalu ‘liar dan nakal’ namun dapat di pertanggungjawabkan bahwa Budaya atau Kebudayaan merupakan liputan atas Tanda(sign) atau Symbolisasi(symbol) atau Gejala (being) atau Nilai (value) yang selalu berkembang dan berada di seputar atau setidak-tidaknya melingkari sebuah komunitas atau individu dalam aneka (keragaman) aspek (baca Holistik) hidup Manusia. Seperti : relasi kosmis, sastra, hiburan, teater, filem, olah raga, pendidikan, politik, Ilmu pengetahuan – tehnologi dan Filsafat, system pemerintahan dan kekuasaan, ekonomi, kesejahteraan, pertahanan dan keamanan, ritual perkawinan, Estetika, budi pekerti, kehidupan social, kepercayaan dan agama, dst. Liputan ini pun tergantung pada pengembangan dan perkembangan perspektif Ilmu - ilmu dengan konsentrasi studi masing-masing. 
Yang pasti, bahwa Budaya atau berkebudayaan merupakan tanda atau symbol atau gejala atau nilai kemanusiaan yang secara historis terus berlangsung, entah sampai kapan.

HAIKU SEBAGAI PERISTIWA KEBUDAYAAN.

Globalisasi merupakan ekspresi kemanusian yang lahir dari laju pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan di sertai penemuan tehnologi di untuk menjawab segala kegelisahan Manusia, dan yang amat menggemparkan dari semua temuan – temuan itu adalah Tehnologi Media Komunikasi dan Tehnologi Media Massa. Akibat dari perkembangan Tehnologi Komunikasi dan Media Massa itu. Dunia ‘terasa’ sempit, sesak, bahkan seolah – olah tidak ada lagi rentang waktu juga batasan wilayah yang beberapa decade lalu terasa jauh, lapang dan merasa terisolir. Dalam hitungan detik suatu peristiwa yang terjadi di belahan dunia manapun sesegera mungkin tersiar lewat media massa, media komunikasi bahkan denga adanya Smartphone dibarengi kecerdasan menyimpan berbagai data audio dan visual, semua penggunanya setiap saat dapat menjadi ‘jurnalis’ atas peristiwa apapun dan mewartakannya kepada siapa saja lewat jasa internet. Suatu keadaan di mana semua manusia secara serentak merasakan sesuatu secara bersama 4). Suatu keadaan di mana setiap insan terpaksa dan harus menerima kenyataan ini. Sebuah arus perubahan yang tanpa kompromi menggilas, menggulung, merasuk kesegala arah tanpa ada satu kekuatan yang sanggup menghalau. Karena itu jangan heran jika disana atau disini terjadi kegagapan dan kegugupan. 
Gagap karena tak paham yang sedang terjadi, gugup sebab tak mengerti harus bersikap bagaimana. Jadi dari pada gugup dan gagap, mari beramai -  ramai menyongsong, memasuki era itu dengan mendongak, jadi diri sendiri. Bukankah pengembangan dan perkembangan Ilmu dan tehnologi ‘hanyalah’ sarana untuk menjawab kegelisahan – kegelisahan manusia atas berbagai kekurangannya. Jadi tetaplah Gagah Perkasa dalam Budaya atau Kebudayaanmu sendiri. 
Saya meminjam guyonan almarhum Gus Dur yang popular di tirukan oleh masyarakat Indonesia : Gitu aja kok repot! Maka saya memaknai guyonan ini dalam narasi teks dan konteks bahwa Globalisasi adalah ekspresi kemanusian kini, saat ini dan yang terus berlanjut. Bahwa siapapun bahkan Negara manapun di Dunia ini tidak memiliki daya untuk mencegah atau menolak Globalaisasi. Sebab itu tak ada pilihan, selain menerima bersama penghuni dunia lainnya. Tempus mutantur, et nos mutantur in illid.

Pada ekspresi yang tak kunjung padam itu saya mendapati Haiku sebagai bagian dari Kebudayaan masa lampau 5), ikut meramaikan perkembangan jagad kesusastraan dunia, termasuk di Indonesia. Menilik sejarah persentuhan sastra Indonesia dengan Haiku, maka beberapa Legenda Sastra Indonesia, Seperti Amir Hamzah, WS Rendra dan Gunawan Muhamad, beberapa kali menulis Haiku dan mencoba mempublis karya – karya mereka. Tetapi Kampanye para pesohor ini belum sanggup membuat jagad sastra Indonesia menoleh kearahnya. 
Karena itu, mari berterima kasih kepada Media Sosial Facebook (tentu tanpa melupakan nama-nama Sastrawan di atas) yang sudah menyediakan berbagai ruang ‘aplikasi’ untuk siapa saja. Dari Media Sosial Facebook ini, di penghujung tahun 2014, Haiku mulai marak di kenal secara luas di Indonesia 6). Oleh kehadiran kelompok pemerhati dan pegiat Haiku, dengan nama Group Haikuku Indonesia. Group ini adalah pelopor Haiku Indonesia di media social sebab sepengetahuan saya, sebelum itu, tidak ada group lain dari Indonesia yang seserius kelompok ini untuk : mendalami, mempelajari sekaligus meneliti serta  menginventarisasi apa yang disebut KIGO INDONESIA 7). Kehadiran Group Haikuku Indonesia berdampak luas pada aksi dan reaksi ke dalam dunia praksis. Group ini digawangi sastrawan Diro Aritonang dan Kawan-kawan 8). Sampai saat tulisan sederhana ini saya ketik, anggota Group Haikuku Indonesia secara statistic berjumlah 11.837 orang. Jumlah yang fantastis mengingat usia baru 2 (dua) tahun jalan. Saya makin kagum saat membandingkan dengan group Haiku di luar negeri. Sebagai contoh, Group Haiku Canada dari tahun 2007. Untuk menembus 10.000 anggota, Group ini harus menunggu 7 tahun.

KONVERGENSI

Baiklah saya menggeser konteks pembicaraan ini dari tren naratif di atas ke konteks ekspresif Group Haikuku Indonesia yang hari ini menjalani historisnya sendiri. Memosisikan Group Haikuku Indonesia kedalam laku Budaya atau berkebudayaan berarti menelisik pikiran, rasa, karsa dan cipta komunitas Haikuku atas seluruh dinamika yang terjadi. Sebagai suatu komunitas Budaya atau Kebudayaan, yang baru terbentuk dan mempelajari puisi pendek Jepang atau HAIKU yang juga baru bahkan asing sama sekali, maka wajar jika dalam rentang 2 (dua) tahun itu, terjadi dinamika yang cukup ‘seru’ yang berakibat PAHA (baca : Pemecatan Anggota Haiku oleh Admin) termasuk kawan – kawan Diro Aritonang sebagai Pendiri Group, dan atau mereka yang secara diam - diam keluar menghindari ‘kerasnya’ dinamika diskusi yang terkadang ‘masif’ dalam bentuk kemapanan meramu kalimat – kalimat menusuk hati yang lain. Tetapi riak ini tidak mengurangi animo keingintahuan banyak orang, itulah sebabnya anggota bukannya makin surut melainkan bertambah secara kwantitas. Apa yang menarik dari Group Haikuku? Dan apa yang membuat diskursus Haikuku? Jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa Group Haikuku Indonesia, memilih jalan Haiku Klasik atau  KONSERVATIF. Ini yang membedakan dengan group lain yang berdiri karena exodus atau eks Haikuku. 

Mendapati dinamika seperti itu, pikiran saya berkelana menembus waktu memasuki barak-barak sunyi, sederhana para pertapa Budha aliran Zen di pelosok negeri Jepang di masa itu, dimana dari pertapaan sunyi itu lahir puisi puisi pendek bersahaja sebagai hasil perenungan atas segala peristiwa alam, dimana para pertapa itu mengasah batin, menajamkan kepekaan jiwa pada Kehadiran Tuhan Yang Maha Esa dari setiap peristiwa alam 9) yang terjadi di sekitar Manusia. Dari pertapaan sunyi dan sederhana itu tercipta h Haiku - haiku spiritual yang menaruh penghormatan pada Kehadiran Tuhan Yang Mahas Esa. Tuhan yang di pahami oleh pertapa – pertapa itu sebagai, yang lembut, welas asih, penuh damai dan mencintai hidup. Dari pertapaan sunyi dan sederhana itu, saya kemudian lompat menyeberangi rentang waktu berabad-abad dan hinggap di Group Haikuku Indonesia sambil membawa kenangan manis tentang kelemah lembutan, welas asih, damai dan kecintaan pada hidup dari para penemu dan pencipta Haiku. Berdasar kenangan itu kemudian saya berhayal dan menyadari kenyataan, bahwa Group Haikuku Indonesia adalah sebuah Komunitas modern disertai hiruk pikuk modernitas, di mana Pluralisme 10) dan Globalisasi jadi dialeg dan semoga menuju Harmoni kelemah lembutan,  welas asih, damai dan kecintaan pada kehidupan.
Mengapa Pluralisme? Sebab dalam benak saya Pluralisme adalah kenyataan masyarakat Indonesia yang sudah ada sejak beberapa abad lalu dan akan terus seperti itu. Pluralisme bukan suatu bentuk mempersamakan keaneka ragaman melainkan penerimaan dan menaruh penghargaan (penghormatan) terhadap perbedaan atau kemajemukan itu sendiri. Seperti Globalisasi yang merasuk kemana saja, maka Pluralisme adalah penerimaan dan penghormatan pada realitas kemajemukan. Demikian Globalisasi dan Pluralisme merupakan kenyataan Masyarakat Indonesia (dan Dunia) dalam sebuah keniscayaan yang disebut sebagai ‘New Era’ atau zaman baru masyarakat dunia. 
Saya melihat Group Haikuku Indonesia, berada di sana. Yaitu, sebuah kampung Global dimana Pluralisme, di sadari atau tidak, mengemuka atas kepelbagaian penghuninya. Baik oleh sebab latar belakang : status social, keahlian, pekerjaan, bahasa, Etnis, Agama (kepercayaan), Ekonomi, keIlmuan, kewarganegaraan, bahkan sebaran wilayah huni anggota Haikuku. Semua itu mempertontonkan bahwa Group Haikuku Indonesia teramat atraktif sebagai ‘sebuah kelompok studi’. Komunitas yang menjadikan ‘core business’ bahkan ‘core values’ pada pembelajaran Haiku dan pengembangannya menjadi Haiku Indonesia. Dengan konsentrasi seperti itu maka saya ingin mengajak semua hadirin pada kesempatan ini untuk melihat beberapa pokok pikiran atas Kehadiran Group Haikuku Indonesia.

1. Edukasi Kebudayaan dan Kontekstualisasi
Sebagai hasil kebudayaan asing dan yang bukan peninggalan kebudayaan Manusia Indonesia dari masa lampau, kontekstualisasi Haiku menjadi penting. Kontekstualisasi yang saya maksudkan adalah membuat atau menciptakan Haiku sesuai latar belakang Masyarakat Indonesia yang amat Plural. Jadi bukan memindahkan Pot bunga dan isinya lalu menaruh pot bunga itu di teras rumah kemudian menambahkan pernak pernik di sekitar Pot bunga itu. Jika ini yang terjadi, maka tidak akan pernah tercipta sebuah Haiku yang benar rasa Indonesia, haiku khas Indonesia, Haiku selera Indonesia. Sebaliknya yang terjadi adalah mencipta Haiku di Indonesia dan bukan menciptakan atau menulis Haiku khas Indonesia. 
Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia juga memiliki ragam tradisi, baik dalam bentuk ritual keagamaan dengan ragam bahasa, seni tari, seni perang, seni bangun, bunyi-bunyian dan tetabuhan; sesuai kearifan local, dst. 
Kontekstualisasi sering kali di artikan keliru oleh banyak orang, termasuk oleh mereka yang sering di sebut sebagai Budayawan bahkan kaum akademisi sekalipun. Padahal, kontekstualisasi, berbicara mengenai daya serap atau daya tangkap atau daya siasat masyarakat local terhadap sesuatu yang datang dari luar lalu mensinergikan menjadi sesuatu yang menyerap kearifan local sebagai kekhasan masyarakat tertentu. Ada pembauran bentuk-bentuk, pembauran nilai – nilai baik berupa sitektur bangunan, sistem pertanian, sistem beternak, sistem kekeluargaan, sampai pada sistem kehidupan bersama. Jadi bukan mengadopsi atau meniru kemudian mengaku sebagai milik tradisi terlebih di yakini sebagai budaya sendiri. Salah satu kegagalan pengajaran kebudayaan dalam dunia pendidikan Nasional adalah karena selalu mengadopsi sesuatu yang tampaknya baik, bagus, lalu di terapkan pada dunia pendidikan Nasional tanpa ada serapan, tangkapan pada kearifan local atau muatan local sebagai sebuah pengajaran kebudayaan bangsa. Jangan heran, bila manusia Indonesia mengukur dan di ukur dari selembar kertas yang di sebut ijasah S1 sampai S3, yang saya tahu otak peserta didik di isi hanya ilmu pengetahuan belaka tanpa roh kebudayaan. 

Bagaimana dengan Group Haikuku? 
Sebagai komunitas yang baru dan mempelajari hal baru, saya harus angkat topi untuk keberanian Group Haikuku Indonesia memasuki lorong kontekstualisasi Haiku. Terutama terlihat pada upaya-upaya untuk menggali Mantra – mantra Nusantara dan mengubahnya menjadi sebuah haiku. Dengan tetap mempertahankan bahasa mantra, sehingga tetap dapat di nikmati sebagai mantra, tidak kehilangan spirit kepercayaan yang terkandung di dalamnya. Dan Ini langkah maju dan sangat Indonesia. Dengan cara demikian group Haikuku secara tidak langsung melestarikan tradisi – tradisi mantra, tetapi juga mendokomentasikan berbagai tradisi budaya yang hampir punah itu. Ini salah satu bentuk Kontekstualisasi Haiku.

2. Peristiwa Peradaban
Group Haikuku bukan sekedar ekspresif kebudayaan para pecinta, praktisi dan pegiat Haiku tetapi sebuah moment Peradaban antar dua Negara. Peradapan yang mempertemukan kisi dan ruang. Yaitu, kisi tradisi, bentang waktu serta ruang, tetapi juga memperjumpakan konsep – konsep spiritual masa lalu dan masa kini melalui Haiku, termasuk pertemuan kita malam ini. Oleh karena itu, kesetian pada Pakem dan Patron Haiku menjadikan kita sebagai orang beradap.
Semoga tulisan pendek dan sederhana ini mampu menggelisahkan siapa saja, sebagai sebuah renungan.

Inilah malam
Inilah perkawinan
Para pencari
--------------------------------------------
Notes : 

1). Disarikan dan diterjemahkan bebas dari Philip Smith, Culutures Theory : An Indtoduction, Oxford & Massachusetts : Blackwell Publishers, Chapter 10 – 12, “Culture and Text : Narative and Hermeneutics”, 183 – 201

2). Hal ini ditandai dengan semakin banyak dibangun pusat kajian Budaya atau Kebudayaan yang menamakan diri Cultural studies. Pusat-pusat kajian itu menganalisis pemikiran individual dalam memahami Budaya atau Kebudayaan di lingkungan individu yang bersangkutan. Tokoh-tokoh popular itu, a.l : Ernest Hemmingway, Jacques Derrida, Emile Durkheim, Carel Marx, Jalaludin Rumi, Kahlil Gibran sampai pada Pramoedya Ananta Toer. Kajian-kajian itu pada umumnya, ingin memahami dinamika dan gejolak Budaya atau Kebudayaan yang ada di lingkungan tokoh-tokoh tersebut. Sebelum tahun 1990 – an secara polititis kajian-kajian atau studies seperti itu di haramkan oleh ORDE BARU.

3). Budaya atau Kebudayaan adalah renungan kemanusian yang secara historis holistic merupakan ekspresi pikiran, ekspresi rasa, ekspresi karsa, ekspresi cipta, yang banyak melahirkan ragam Ilmu pengetahuan dan tehnologi, Seni, olah raga, ritual keagamaan di sertai paradigma bahkan dogmatis hingga fatwa-fatwa keagamaan.

4). Globalisasi, tidak hanya mengglobalkan sebuah peristiwa local tetapi juga menduniakan solidaritas antar sesame baik dalam bentuk keprihatinan maupun dukungan termasuk dalam bentuk kutuk dan celaan. 

5). Haiku adalah salah satu bentuk Puisi Pendek yang berkembang di Jepang dan di pelopori Matsuo Basho (1641-1694) kemudian diikuti Yosa Buson (1716-1784) dan Kobayashi Issa (1763-1828) lala muncul Kawahigashi Heigorō (1873-1937) yang di sebut-sebut sebagai pelopor Haiku modern. HAIKU adalah Puisi pendek tanpa judul yang di ikat aturan ketat “Go-Shichi-Go” 575. Yaitu struktur penulisan yang terdiri dari 5 suku kata baris awal, 7 suku kata di tengah dan 5 suku kata di baris akhir. Disamping aturan “Go-Shichi-G0”/575, HAIKU juga mengandung unsur-unsur pertanda kejadian dalam bentangan waktu atau Musim (KIGO). Sebagai Puisi pendek yang hanya terdiri dari tigas baris dan 17 suku kata, Haiku memiliki kecerdasan menampung semua kisah yang terjadi dalam bentang waktu dan musim. KIGO adalah Musim dan Waktu termasuk di dalamnya adalah tanda-tanda yang dapat di lihat, di rasakan sebagai gejala atau perubahan pada musim tertentu atau pada waktu tertentu. Sementara KIREJI adalah Pemotongan Kalimat atau lompatan makna dari kalimat yang dengan sengaja di potong untuk memasuki baris berikutnya.

6). Group Haikuku Indonesia, merupakan Group Haiku yang pertama muncul di Media Sosial Facebook dan secara kontinyu melakukan edukasi dalam bentuk diskusi online dengan membahas karya-karya anggota secara bergilir. Group ini sangat KUKUH dan EKSTRIM mempertahankan POLA PENULISAN HAIKU KLASIK, 575, BERKIGO DAN dan BERKIREJI.

7). Dalam perjalanan Group Haikuku Indonesia yang baru 2 tahun itu, mengalami pasang surut, beberapa anggota pelopor kemudian meninggalkan Group Haikuku dan mendirikan Group serupa namun tidak sepenuh mengikat anggotanya mengikuti Pakem dan Patron Haiku yang berpola 575 ber’KIGO’ dan Ber-KIREJI. 

8). Haiku yang lahir dari barak-barak sederhana pertapaan para Pendeta Budha beraliran Zen di Jepang pada abad 16 – 19 mempercayai bahwa semua kejadian alam di sekitar Manusia, selalu memiliki pesan spiritual. Karena itu, Haiku yang lahir di abad 16 – 19 selalu menjadikan Alam sebagai Objek dan spiritnya. Dan ketika Haiku mulai menyebar keseluruh dunia pada akhir abad 18 sampai sekarang ini, spirit Zen sebagai spiritualitas mulai di tinggalkan menuju kontekstualisasi Haiku menurut kelompok – kelompok/group Haiku dengan latar belakang Religi atau Agama para pemerhati dan pegiat Haiku.

9). Pluralisme dari akar kata Plural yang berarti Jamak atau bermacam-macam. Pluralisme adalah keadaan masyarakat majemuk baik yang bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya, Agama, Pendidikan, status social, termasuk tradisi sebagai latar belakang yang berbeda-beda. Istilah lain yang senada dengan itu adalah Bhineka Tunggal Ika yang secara Polities Kebangsaan dan Kenegaraan menjadi symbol Negara Kesatuan Repoblik Indonesia yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu, NKRI. Sementara Pluralisme menggambarkan keadaan masyarakat seutuhnya dan sebagaimana adanya.

10). KIGO adalah Musim dan Waktu termasuk di dalamnya adalah tanda-tanda yang dapat di lihat, di rasakan sebagai gejala atau perubahan pada musim tertentu atau pada waktu tertentu. Sebagai pertanda musim, Kigo menjadi penting dalam penulisan Haiku. Bandingkan dengan penulisan puisi pendek bebas yang tidak terikat dengan Musim atau Waktu sebagai KIGO. Catatan mengenai pertanda musim, banyak di bahas di Group Haikuku. Tetapi sebagai pengantar dalam tulisan sederhana ini, saya muat beberapa contoh Kigo sebagai pertanda Musim. Misal Musim Dingin : Salju, air membeku, udara dingin, orang menyalakan pemanas di rumah. Pertanda Musim Gugur : Daun rontok, binatang-binatang liat menumpulkan makanan untuk musim dingin, daun berubah warna, dst. Musim Panas : udara panas, gerah, dst. Sementara untuk Indonesia, Musim Hujan : banjir dimana-mana, jamur atau cendawan tumbuh, daun menghijau, dst. Untuk Musim Kemarau : daun rontok, sungai sungai kecil mongering, udara panas, dst. Perbedaan Musim di Jepang dan Indonesia, sangat berpengaruh pada penulisan Haiku.
--------------------------------------------------------------------------------------
Di sampaikan pada Acara Launching Buku The Sound Of Silence.
Penulis adalah Pemerhati Kebudayaan dan Rohaniawan Protestan, tinggal di Samarinda.




RWM.BOONG BETHONY

Culture, As Reflection Humanity

Talk A bout Culture  in two languages

CULTURE, AS REFLECTION humanity
 By : Father  Ro Ma Wl

WHAT IS CULTURE? Why talk about it?

Tempus mutantur, et nos mutantur in illid. Times change, and we change too in it. A Latin proverb that its actuality until now, later and later. Changes that occur in the course of that time, expressing Human explore the search for meaning in a question Who? What and How, Man as it changes. Similarly, culture or cultured (culture) change according to the context of the times. Culture or cultured then follow the changes in thinking, feeling, intention and human creativity. Nothing lasts forever, except change itself.
Because it is steeped in a matter of culture invites us to reflect on: the development of thinking, feeling, intention and human creativity. He (read: culture and cultured) was never out of narrative expression and humanitarian Hermeneutik 1).
This simple paper, prepared as half the paperwork, meaning not a purely scientific work, but rather an accentuation on Culture, As a reflection of Humanity. Namely, accentuate cultural events or culture and so the community or individual expression both in thought and behavior in the study was a growing culture around us the last two or three decades; in the text and the context of Indonesia's progress and intensity will happen after 1990-han 2) until now. In the main this simple article I limited the growth of the Cultural Events in Social Media as part of the discourse of Mass Culture and Mass Media. Namely, Community Group HAIKUKU Indonesia.
Viewing events - Cultural events in the studies (study) teaches us; at least for me! That none of concepts (the theory or proposition) of the Culture in the 'cult' right or 'passes' as depictions valid and accepted by activists, thinkers and humanists or cultured. Thus pertaanyaan about What is Culture or Culture, will never be finished. It will give birth to a theory or a concept or a new proposition as grandchildren or great-grandchildren on the previous questions. So what is Culture or Culture? My answer will always be: It is a reflection or expression of Humanity as thinking, feeling, intention and copyright 3).
Then how to demonstrate Culture? This question abstractive which in my mind is always wild and naughty 'but can account for that culture or culture is footage of Signs (sign) or Symbolisasi (symbol) or symptoms (being) or value (value) is always evolving and being around or at least encircle a community or an individual in a variety (diversity) aspects (read Holistic) Human life. Such as: relationships cosmic, literature, entertainment, theater, film, sports, education, politics, science - technology and philosophy, system of government and power, economy, welfare, defense and security, mating rituals, aesthetics, morality, social life , belief and religion, and so on. This coverage also depends on the development and the development perspectives of Science - Science with a concentration of each study.
To be sure, that culture or cultured is a sign or a symbol or a symptom or human values ​​historically continues, who knows how long.

HAIKU AS CULTURAL EVENTS.

Globalization is an expression of humanity that is born of the pace of development and the development of science in accompanied invention to answer any technology in human anxiety, and very shocking of all findings - findings it is Technology Media Communications and Mass Media Technology. As a result of the development of Technology Communication and the Mass Media. World 'feel' cramped, crowded, even as if - if there is no longer the time span also limits the area that a few decades ago seemed distant, airy and feels isolated. Within seconds of an event happening anywhere in the world as soon as possible from spreading through the mass media, communication media, and even premises their Smartphone coupled wit storing various audio and visual data, all users at any time can become a 'journalist' on any event and proclaim to anyone via internet services. A situation in which all people simultaneously felt something together 4). A state in which every human being and are forced to accept this fact. A tide of change uncompromising grind, roll, sets in all directions with no one force dispel. Therefore do not be surprised if there or here there stuttering and nervousness.
Stuttering because do not understand is happening, nervous because not understand how to behave. So, from the nervous and stuttering, let's roll - boisterous welcome, entering the era to look up, be yourself. Is not the development and the development of science and technology 'just' a means to address anxiety - anxiety over the human imperfections. So stay Dashing Mighty in their own culture or your culture.
I borrowed the joke of the late Gus Dur impersonate popular in Indonesian society: Gitu aja kok bother! So I interpret this joke in narrative text and context that globalization is an expression of humanity now, at this time, and that continues. That anyone even any country in this world has no power to prevent or reject Globalaisasi. Therefore, there is no choice, but to accept the rest of the world together. Tempus mutantur, et nos mutantur in illid.

In unflagging expression that I found Haiku as a part of the culture of the past five), enliven the development of the literary universe the world, including in Indonesia. Tracing the history of Indonesian literature contiguity with Haiku, then some Legend of Indonesian Literature, like Amir Hamzah, Rendra and Gunawan Muhamad, a few times and try to write Haiku To publish the work - their work. But the campaign of celebrities have been unable to Indonesian literary universe turned towards it.
Therefore, let's thank the Social Media Facebook (of course without forgetting the names of the writers above) which already provides a variety of spaces 'app' for anyone. From Social Media Facebook is, at the end of 2014, began to bloom in Haiku widely known in Indonesia 6). By the presence of observers and activists groups Haiku, with the name of Group Haikuku Indonesia. Group Haiku Indonesia is a pioneer in social media because of my knowledge, before that, there is no other group of Indonesia as serious as these groups to: explore, examine and learn at the same time an inventory of what is called Kigo INDONESIA 7). Presence Group Haikuku Indonesia broad impact on the action and reaction to the world of praxis. The group is fronted writers Diro Arita and Comrades 8). Until now, this simple article I type, member of Group Haikuku statistically Indonesia amounted to 11 837 people. A fantastic number considering the new age of 2 (two) years of road. I am more and more amazed when compared with group Haiku abroad. For example, Group Haiku Canada of 2007. To penetrate 10,000 members, this group had to wait seven years.

CONVERGENCE

Let me shift the context of this discussion of trends over to the context of the narrative in expressive Group Haikuku Indonesia is today undergoing its own historical. Positioning the Group Haikuku Indonesia into the behavior of Culture or culturally meaningful browse for thinking, feeling, initiative and creativity of the entire community Haikuku dynamics. As a community Culture or Culture, the newly formed and learn a short poem Japanese or HAIKU who also recently even strangers at all, it is natural in the range of 2 (two) years, the dynamics are quite 'exciting' that resulted THIGH (read: Members dismissal Haiku by Admin) including friends - friends Diro Arita as the Founder Group, and or they are silent - silent out avoiding 'rigors' dynamic discussions that sometimes 'massive' gathering in the form of the establishment - phrases barb others. But this does not reduce the interest ripple curiosity of many people, which is why members instead increasingly receding but increasing in quantity. What is interesting from Group Haikuku? And what makes the discourse Haikuku? The answer to that question is that Group Haikuku Indonesia, choose the path of Haiku Classic or CONSERVATIVE. This is what distinguishes the other group that stands for exodus or ex Haikuku.

Find dynamics like that, my mind wandering through time into the barracks silent, simple recluse Buddhist Zen around the country of Japan at that time, where the hermitage of silent birth poetry short poems understated as a result of reflection on all natural events, where the the hermit inner hone, sharpen the sensitivity of the soul in the presence of Almighty God from every natural event 9) that occurred around Man. From the Hermitage silent and simple it is created h Haiku - spiritual haiku who put respect for the presence of Almighty God Mahas. God is understood by hermit - as a hermit, gentle, compassionate, peaceful and loving life. From the Hermitage silent and simple, I then jump across the span of centuries and perch in Group Haikuku Indonesia carrying sweet memories of gentleness, compassion, peace and love of life of the inventor and creator of Haiku. By then I imagine the memories and realize the fact, that the Group Haikuku Indonesia is a modern community with the bustle of modernity, where Pluralism 10) and Globalization so dialeg and hopefully towards Harmony gentleness, compassion, peace and love of life.
Why Pluralism? Because in my mind is the fact pluralism of Indonesian society that has existed since centuries ago and will continue as such. Pluralism is not a form of likening diversity but the reception and put appreciation (respect) for difference or plurality itself. As globalization is pervasive everywhere, it is the acceptance of pluralism and respect for the reality of pluralism. Similarly, Globalization and Pluralism is a fact of Indonesian society (and the world) in a necessity so-called 'New Era' or new age world community.
I saw Group Haikuku Indonesia, were there. Namely, a global village in which pluralism, knowing it or not, came to light on the diversity of its inhabitants. Either by reason backgrounds: social status, expertise, work, language, ethnic, religious (beliefs), economic, scientific, citizenship, even habitable area distribution Haikuku members. All it showed that the Group Haikuku Indonesia very attractive as 'a study group'. Communities that make 'core business' even 'core values' learning and development into Haiku Haiku Indonesia. With such a concentration that then I would like to invite all present on this occasion to see some basic thoughts on Presence Group Haikuku Indonesia.

1. Education Culture and Contextualization
As a result of foreign culture and are not the cultural heritage of the past Indonesian Man, contextualization Haiku becomes important. Contextualization I mean is make or create the appropriate background Haiku Society Indonesia very Plural. So instead of moving the flower pot and its contents then put the flower pot on the front porch and then adding knickknacks around the flower pot. If this happens, then it will never create a true sense of Haiku Indonesia, Indonesia typical haiku, Haiku tastes Indonesia. Instead what happens is creating Haiku in Indonesia and not create or write Haiku typical Indonesia.
As the world's largest archipelagic country, Indonesia also has a variety of traditions, both in the form of religious ritual with a variety of languages, dance, martial arts, the art of waking up, sounds and drumming; appropriate local knowledge, and so on.
Contextualization often interpreted wrongly by many people, including those who are often referred to as Cultural even though academics. In fact, contextualization, talk about absorption or capture power or finesse power to local people against something that comes from outside and synergize into something that absorbs local wisdom as the peculiarities of a particular community. There is a blending of forms, blending value - the value of either sitektur buildings, agricultural systems, farming system, family system, to the system of collective life. So not adopt or emulate later claimed as property of the tradition believed to be the first in their own culture. One of the failures of teaching culture in the world of national education is as always adopt something that seems to be good, nice, and then implemented in the national education world without any absorption, catches on local knowledge or local charges as a teaching culture of the nation. Do not be surprised, if the Indonesian human measure and the measure of a piece of paper called diploma S1 to S3, which I know the brain learners in the content just mere knowledge without cultural spirit.

How Group Haikuku?
As the new community and learn new things, I have to take my hat off to the courage Group Haikuku Indonesia entered the hallway contextualization Haiku. Particularly noticeable in the efforts to dig Spells - spells Archipelago and turn it into a haiku. By retaining the language of the spell, so it can still be enjoyed as a mantra, do not lose the spirit of trust contained therein. And this step forward and very Indonesian. In this way the group Haikuku indirectly preserve the tradition - the tradition of spells, but also mendokomentasikan various cultural traditions are almost extinct. This is one of contextualisation of Haiku.

2. Events Civilization
Group Haikuku not just expressive culture lovers, practitioners and activists Haiku but a moment of civilizations between the two countries. Civilization that brought lattice and space. Namely, lattice tradition, spans time and space, but also coordinate concept - the concept of spiritual past and present through the Haiku, including our meeting this evening. Therefore, fidelity in Pakem and Patron Haiku makes us civilized people.
Hopefully this short and simple capable of disturbing anyone, as an afterthought.

This is the night
This is the marriage
seekers
--------------------------------------------
Notes:

1). Abstracted and loosely translated from Philip Smith, Culutures Theory: An Indtoduction, Oxford & Massachusetts: Blackwell Publishers, Chapter 10-12, "Culture and Text: Narrative and Hermeneutics", 183-201

2). It is characterized by a growing number of built cultural study center or calling themselves the Culture Cultural studies. Study centers that analyze individual thinking in understanding the culture or the culture in the environment of the individual concerned. The characters were popular, a.l: Ernest Hemmingway, Jacques Derrida, Emile Durkheim, Marx Carel, Jalaluddin Rumi, Gibran Kahlil until Pramoedya Ananta Toer. These studies in general, want to understand the dynamics and turbulence Culture or Culture in the environment such figures. Before 1990 - late in polititis studies or studies as it was in forbidden by NEW ORDER.

3). Culture or Culture is an afterthought humanity historically holistic is the expression of thought, expression of taste, expression intention, expression of creativity, which gave birth to many diverse science and technology, art, sports, religious rites accompanied the paradigm even dogmatic to the fatwas of the religious.

4). Globalization, not only globalize a local event but also to globalize solidarity among fellow in the form of concern and support, including in the form of a curse and a reproach.

5). Haiku is a form of short poetry developed in Japan and pioneered Matsuo Basho (1641-1694) followed by Yosa Buson (1716-1784) and Kobayashi Issa (1763-1828) appears Kawahigashi Heigorō lala (1873-1937), which is called -sebut as the pioneer of modern haiku. HAIKU is a short poem with no title belt strict rules "Shichi-Go-Go" 575. That is the literary structure consisting of five syllables initial line, seven syllables in the middle and 5 syllables at the end of the line. Besides rules "Shichi-Go-G0" / 575, HAIKU also contains elements that foreshadow events in the expanse of time or season (Kigo). As a short poem that consists of only three lines and 17 syllables, Haiku has the intelligence to accommodate all the story of what happened in the span of time and season. Kigo is a season and time is included in it are signs that can be seen, be felt as symptoms or changes in certain seasons or at specific times. While KIREJI are cutting sentences or leap meanings of the words are deliberately cut to enter the next line.

6). Group Haikuku Indonesia, the Group Haiku which first appeared in Social Media Facebook and continuously carry out education in the form of online discussion by discussing the works of members in rotation. Group is very RIGID and sustain PATTERN WRITING HAIKU EXTREME CLASSIC, 575, BERKIGO AND and BERKIREJI.

7). In the course of the new Group Haikuku Indonesia two years, have ups and downs, some pioneer members then left and set up a Group Group Haikuku is similar but not fully binding on members follow Pakem and Patron Haiku patterned ber'KIGO 575 'and Ber-KIREJI.

8). Haiku born of simple barracks hermitage of Reverend Zen Buddhist wing in Japan in centuries 16-19 believe that all of nature around man, always had a spiritual message. Therefore, Haiku born in centuries 16-19 always makes Nature as the object and spirit. And when Haiku began to spread throughout the world in the late 18th century until today, the spirit of Zen as spiritual start in left towards contextualization Haiku according to the group - groups / group Haiku with Religion or religious background to researchers and activists Haiku.

9). Pluralism of the root word meaning Plural Plural or manifold. Pluralism is a state of good pluralistic society concerned with the social and political systems, religion, education, social status, including the tradition as the background is different. Another term that is similar to the Unity in Diversity that polities Nation and State became a symbol of the Unitary State of Indonesia which means Repoblik different but still one, Homeland. While Pluralism describes the state and the whole society as it is.

10). Kigo is a season and time is included in it are signs that can be seen, be felt as symptoms or changes in certain seasons or at specific times. As a sign of the season, Kigo be important in writing Haiku. Compare with writing short poems counter which is not bound by the season or time as Kigo. Note the sign of the season, much discussed on Group Haikuku. But as an introduction to this simple article, I include some examples of Kigo as a harbinger of Spring. Eg Winter: Snow, freezing water, cold air, people turned on the heater in the house. Sign Fall: Leaves fall, blunting clay animals food for the winter, the leaves change color, and so on. Summer: hot air, hot, and so on. As for Indonesia, the Rainy Season: flooding everywhere, mildew or fungus growth, leaf green, and so on. To Drought: fallen leaves, small rivers drying, hot air, and so on. Differences season in Japan and Indonesia, was very influential in the writing Haiku.
-------------------------------------------------- ------------------------------------
Share at the book launch event of The Sound Of Silence.
The author is the observer of Culture and The priest Protestant, lived in Samarinda.


KEBUDAYAAN, SEBAGAI RENUNGAN KEMANUSIAN
Oleh : Romo Ro Wl Ma

APA ITU KEBUDAYAAN? MENGAPA MEMBAHASNYA?

Tempus mutantur, et nos mutantur in illid. Waktu berubah, dan kita berubah juga di dalamnya. Sebuah pepatah Latin yang aktualitasnya hingga sekarang, nanti dan kemudian. Perubahan yang terjadi dalam perjalanan waktu itu, mengekspresikan Manusia menelusuri pencarian makna pada tanya Siapa? Apa dan Bagaimana, Manusia seiring perubahan itu. Demikian pula Budaya atau berkebudayaan (culture) berubah seturut konteks zaman. Budaya atau berkebudayaan kemudian mengikuti perubahan itu dalam pikiran, rasa, karsa dan cipta manusia. Tak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri. 
Karena itu mendalami soal Kebudayaan mengajak kita untuk merenungkan mengenai : perkembangan pikiran, rasa, karsa dan cipta manusia. Ia (baca : budaya dan berkebudayaan) tak pernah lepas dari ekspresi Narasi dan Hermeneutik kemanusiaan 1). 
Tulisan sederhana ini, di persiapkan sebagai setengah kertas kerja, dalam arti bukan karya ilmiah murni, melainkan sebuah aksentuasi pada Kebudayaan, Sebagai Renungan Kemanusiaan. Yaitu, aksentuasi pada peristiwa Budaya atau Kebudayaan dan jadi ekspresi komunitas atau individual baik dalam pikiran dan laku pun dalam kajian Kebudayaan yang berkembang disekitar kita dua atau tiga decade terakhir; dalam teks dan konteks Indonesia progress dan intensitas akan itu terjadi setelah tahun 1990-han 2) sampai sekarang. Dalam pokok tulisan sederhana ini saya batasi pada tumbuh kembangnya Peristiwa Kebudayaan di Media Sosial sebagai bagian dari diskursus Budaya Massa dan Media Massa. Yaitu, Komunitas Group HAIKUKU Indonesia.
Mengamati peristiwa – peristiwa Kebudayaan dalam kajian-kajian (studi) mengajarkan pada kita; setidak-tidaknya untuk saya! Bahwa tak satupun konsep (teory atau dalil) mengenai Kebudayaan yang di ‘kultus’ kan atau di ‘sahkan’ sebagai Penggambaran sahih dan dapat diterima secara umum oleh pegiat, pemikir dan budayawan atau berkebudayaan. Dengan demikian pertaanyaan tentang Apa itu Budaya atau Kebudayaan, tidak akan pernah selesai. Justru akan melahirkan teori atau konsep atau dalil baru sebagai cucu atau cicit atas pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Lalu apa itu Budaya atau Kebudayaan? Jawaban saya akan selalu berbunyi: Ia adalah Renungan Kemanusian sebagai atau ekspresi pikiran, rasa, karsa dan cipta 3).
Kemudian bagaimana mempertontonkan Kebudayaan? Ini pertanyaan Abstraktif yang dalam benak saya selalu ‘liar dan nakal’ namun dapat di pertanggungjawabkan bahwa Budaya atau Kebudayaan merupakan liputan atas Tanda(sign) atau Symbolisasi(symbol) atau Gejala (being) atau Nilai (value) yang selalu berkembang dan berada di seputar atau setidak-tidaknya melingkari sebuah komunitas atau individu dalam aneka (keragaman) aspek (baca Holistik) hidup Manusia. Seperti : relasi kosmis, sastra, hiburan, teater, filem, olah raga, pendidikan, politik, Ilmu pengetahuan – tehnologi dan Filsafat, system pemerintahan dan kekuasaan, ekonomi, kesejahteraan, pertahanan dan keamanan, ritual perkawinan, Estetika, budi pekerti, kehidupan social, kepercayaan dan agama, dst. Liputan ini pun tergantung pada pengembangan dan perkembangan perspektif Ilmu - ilmu dengan konsentrasi studi masing-masing. 
Yang pasti, bahwa Budaya atau berkebudayaan merupakan tanda atau symbol atau gejala atau nilai kemanusiaan yang secara historis terus berlangsung, entah sampai kapan.

HAIKU SEBAGAI PERISTIWA KEBUDAYAAN.

Globalisasi merupakan ekspresi kemanusian yang lahir dari laju pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan di sertai penemuan tehnologi di untuk menjawab segala kegelisahan Manusia, dan yang amat menggemparkan dari semua temuan – temuan itu adalah Tehnologi Media Komunikasi dan Tehnologi Media Massa. Akibat dari perkembangan Tehnologi Komunikasi dan Media Massa itu. Dunia ‘terasa’ sempit, sesak, bahkan seolah – olah tidak ada lagi rentang waktu juga batasan wilayah yang beberapa decade lalu terasa jauh, lapang dan merasa terisolir. Dalam hitungan detik suatu peristiwa yang terjadi di belahan dunia manapun sesegera mungkin tersiar lewat media massa, media komunikasi bahkan denga adanya Smartphone dibarengi kecerdasan menyimpan berbagai data audio dan visual, semua penggunanya setiap saat dapat menjadi ‘jurnalis’ atas peristiwa apapun dan mewartakannya kepada siapa saja lewat jasa internet. Suatu keadaan di mana semua manusia secara serentak merasakan sesuatu secara bersama 4). Suatu keadaan di mana setiap insan terpaksa dan harus menerima kenyataan ini. Sebuah arus perubahan yang tanpa kompromi menggilas, menggulung, merasuk kesegala arah tanpa ada satu kekuatan yang sanggup menghalau. Karena itu jangan heran jika disana atau disini terjadi kegagapan dan kegugupan. 
Gagap karena tak paham yang sedang terjadi, gugup sebab tak mengerti harus bersikap bagaimana. Jadi dari pada gugup dan gagap, mari beramai -  ramai menyongsong, memasuki era itu dengan mendongak, jadi diri sendiri. Bukankah pengembangan dan perkembangan Ilmu dan tehnologi ‘hanyalah’ sarana untuk menjawab kegelisahan – kegelisahan manusia atas berbagai kekurangannya. Jadi tetaplah Gagah Perkasa dalam Budaya atau Kebudayaanmu sendiri. 
Saya meminjam guyonan almarhum Gus Dur yang popular di tirukan oleh masyarakat Indonesia : Gitu aja kok repot! Maka saya memaknai guyonan ini dalam narasi teks dan konteks bahwa Globalisasi adalah ekspresi kemanusian kini, saat ini dan yang terus berlanjut. Bahwa siapapun bahkan Negara manapun di Dunia ini tidak memiliki daya untuk mencegah atau menolak Globalaisasi. Sebab itu tak ada pilihan, selain menerima bersama penghuni dunia lainnya. Tempus mutantur, et nos mutantur in illid.

Pada ekspresi yang tak kunjung padam itu saya mendapati Haiku sebagai bagian dari Kebudayaan masa lampau 5), ikut meramaikan perkembangan jagad kesusastraan dunia, termasuk di Indonesia. Menilik sejarah persentuhan sastra Indonesia dengan Haiku, maka beberapa Legenda Sastra Indonesia, Seperti Amir Hamzah, WS Rendra dan Gunawan Muhamad, beberapa kali menulis Haiku dan mencoba mempublis karya – karya mereka. Tetapi Kampanye para pesohor ini belum sanggup membuat jagad sastra Indonesia menoleh kearahnya. 
Karena itu, mari berterima kasih kepada Media Sosial Facebook (tentu tanpa melupakan nama-nama Sastrawan di atas) yang sudah menyediakan berbagai ruang ‘aplikasi’ untuk siapa saja. Dari Media Sosial Facebook ini, di penghujung tahun 2014, Haiku mulai marak di kenal secara luas di Indonesia 6). Oleh kehadiran kelompok pemerhati dan pegiat Haiku, dengan nama Group Haikuku Indonesia. Group ini adalah pelopor Haiku Indonesia di media social sebab sepengetahuan saya, sebelum itu, tidak ada group lain dari Indonesia yang seserius kelompok ini untuk : mendalami, mempelajari sekaligus meneliti serta  menginventarisasi apa yang disebut KIGO INDONESIA 7). Kehadiran Group Haikuku Indonesia berdampak luas pada aksi dan reaksi ke dalam dunia praksis. Group ini digawangi sastrawan Diro Aritonang dan Kawan-kawan 8). Sampai saat tulisan sederhana ini saya ketik, anggota Group Haikuku Indonesia secara statistic berjumlah 11.837 orang. Jumlah yang fantastis mengingat usia baru 2 (dua) tahun jalan. Saya makin kagum saat membandingkan dengan group Haiku di luar negeri. Sebagai contoh, Group Haiku Canada dari tahun 2007. Untuk menembus 10.000 anggota, Group ini harus menunggu 7 tahun.

KONVERGENSI

Baiklah saya menggeser konteks pembicaraan ini dari tren naratif di atas ke konteks ekspresif Group Haikuku Indonesia yang hari ini menjalani historisnya sendiri. Memosisikan Group Haikuku Indonesia kedalam laku Budaya atau berkebudayaan berarti menelisik pikiran, rasa, karsa dan cipta komunitas Haikuku atas seluruh dinamika yang terjadi. Sebagai suatu komunitas Budaya atau Kebudayaan, yang baru terbentuk dan mempelajari puisi pendek Jepang atau HAIKU yang juga baru bahkan asing sama sekali, maka wajar jika dalam rentang 2 (dua) tahun itu, terjadi dinamika yang cukup ‘seru’ yang berakibat PAHA (baca : Pemecatan Anggota Haiku oleh Admin) termasuk kawan – kawan Diro Aritonang sebagai Pendiri Group, dan atau mereka yang secara diam - diam keluar menghindari ‘kerasnya’ dinamika diskusi yang terkadang ‘masif’ dalam bentuk kemapanan meramu kalimat – kalimat menusuk hati yang lain. Tetapi riak ini tidak mengurangi animo keingintahuan banyak orang, itulah sebabnya anggota bukannya makin surut melainkan bertambah secara kwantitas. Apa yang menarik dari Group Haikuku? Dan apa yang membuat diskursus Haikuku? Jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa Group Haikuku Indonesia, memilih jalan Haiku Klasik atau  KONSERVATIF. Ini yang membedakan dengan group lain yang berdiri karena exodus atau eks Haikuku. 

Mendapati dinamika seperti itu, pikiran saya berkelana menembus waktu memasuki barak-barak sunyi, sederhana para pertapa Budha aliran Zen di pelosok negeri Jepang di masa itu, dimana dari pertapaan sunyi itu lahir puisi puisi pendek bersahaja sebagai hasil perenungan atas segala peristiwa alam, dimana para pertapa itu mengasah batin, menajamkan kepekaan jiwa pada Kehadiran Tuhan Yang Maha Esa dari setiap peristiwa alam 9) yang terjadi di sekitar Manusia. Dari pertapaan sunyi dan sederhana itu tercipta h Haiku - haiku spiritual yang menaruh penghormatan pada Kehadiran Tuhan Yang Mahas Esa. Tuhan yang di pahami oleh pertapa – pertapa itu sebagai, yang lembut, welas asih, penuh damai dan mencintai hidup. Dari pertapaan sunyi dan sederhana itu, saya kemudian lompat menyeberangi rentang waktu berabad-abad dan hinggap di Group Haikuku Indonesia sambil membawa kenangan manis tentang kelemah lembutan, welas asih, damai dan kecintaan pada hidup dari para penemu dan pencipta Haiku. Berdasar kenangan itu kemudian saya berhayal dan menyadari kenyataan, bahwa Group Haikuku Indonesia adalah sebuah Komunitas modern disertai hiruk pikuk modernitas, di mana Pluralisme 10) dan Globalisasi jadi dialeg dan semoga menuju Harmoni kelemah lembutan,  welas asih, damai dan kecintaan pada kehidupan.
Mengapa Pluralisme? Sebab dalam benak saya Pluralisme adalah kenyataan masyarakat Indonesia yang sudah ada sejak beberapa abad lalu dan akan terus seperti itu. Pluralisme bukan suatu bentuk mempersamakan keaneka ragaman melainkan penerimaan dan menaruh penghargaan (penghormatan) terhadap perbedaan atau kemajemukan itu sendiri. Seperti Globalisasi yang merasuk kemana saja, maka Pluralisme adalah penerimaan dan penghormatan pada realitas kemajemukan. Demikian Globalisasi dan Pluralisme merupakan kenyataan Masyarakat Indonesia (dan Dunia) dalam sebuah keniscayaan yang disebut sebagai ‘New Era’ atau zaman baru masyarakat dunia. 
Saya melihat Group Haikuku Indonesia, berada di sana. Yaitu, sebuah kampung Global dimana Pluralisme, di sadari atau tidak, mengemuka atas kepelbagaian penghuninya. Baik oleh sebab latar belakang : status social, keahlian, pekerjaan, bahasa, Etnis, Agama (kepercayaan), Ekonomi, keIlmuan, kewarganegaraan, bahkan sebaran wilayah huni anggota Haikuku. Semua itu mempertontonkan bahwa Group Haikuku Indonesia teramat atraktif sebagai ‘sebuah kelompok studi’. Komunitas yang menjadikan ‘core business’ bahkan ‘core values’ pada pembelajaran Haiku dan pengembangannya menjadi Haiku Indonesia. Dengan konsentrasi seperti itu maka saya ingin mengajak semua hadirin pada kesempatan ini untuk melihat beberapa pokok pikiran atas Kehadiran Group Haikuku Indonesia.

1. Edukasi Kebudayaan dan Kontekstualisasi
Sebagai hasil kebudayaan asing dan yang bukan peninggalan kebudayaan Manusia Indonesia dari masa lampau, kontekstualisasi Haiku menjadi penting. Kontekstualisasi yang saya maksudkan adalah membuat atau menciptakan Haiku sesuai latar belakang Masyarakat Indonesia yang amat Plural. Jadi bukan memindahkan Pot bunga dan isinya lalu menaruh pot bunga itu di teras rumah kemudian menambahkan pernak pernik di sekitar Pot bunga itu. Jika ini yang terjadi, maka tidak akan pernah tercipta sebuah Haiku yang benar rasa Indonesia, haiku khas Indonesia, Haiku selera Indonesia. Sebaliknya yang terjadi adalah mencipta Haiku di Indonesia dan bukan menciptakan atau menulis Haiku khas Indonesia. 
Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia juga memiliki ragam tradisi, baik dalam bentuk ritual keagamaan dengan ragam bahasa, seni tari, seni perang, seni bangun, bunyi-bunyian dan tetabuhan; sesuai kearifan local, dst. 
Kontekstualisasi sering kali di artikan keliru oleh banyak orang, termasuk oleh mereka yang sering di sebut sebagai Budayawan bahkan kaum akademisi sekalipun. Padahal, kontekstualisasi, berbicara mengenai daya serap atau daya tangkap atau daya siasat masyarakat local terhadap sesuatu yang datang dari luar lalu mensinergikan menjadi sesuatu yang menyerap kearifan local sebagai kekhasan masyarakat tertentu. Ada pembauran bentuk-bentuk, pembauran nilai – nilai baik berupa sitektur bangunan, sistem pertanian, sistem beternak, sistem kekeluargaan, sampai pada sistem kehidupan bersama. Jadi bukan mengadopsi atau meniru kemudian mengaku sebagai milik tradisi terlebih di yakini sebagai budaya sendiri. Salah satu kegagalan pengajaran kebudayaan dalam dunia pendidikan Nasional adalah karena selalu mengadopsi sesuatu yang tampaknya baik, bagus, lalu di terapkan pada dunia pendidikan Nasional tanpa ada serapan, tangkapan pada kearifan local atau muatan local sebagai sebuah pengajaran kebudayaan bangsa. Jangan heran, bila manusia Indonesia mengukur dan di ukur dari selembar kertas yang di sebut ijasah S1 sampai S3, yang saya tahu otak peserta didik di isi hanya ilmu pengetahuan belaka tanpa roh kebudayaan. 

Bagaimana dengan Group Haikuku? 
Sebagai komunitas yang baru dan mempelajari hal baru, saya harus angkat topi untuk keberanian Group Haikuku Indonesia memasuki lorong kontekstualisasi Haiku. Terutama terlihat pada upaya-upaya untuk menggali Mantra – mantra Nusantara dan mengubahnya menjadi sebuah haiku. Dengan tetap mempertahankan bahasa mantra, sehingga tetap dapat di nikmati sebagai mantra, tidak kehilangan spirit kepercayaan yang terkandung di dalamnya. Dan Ini langkah maju dan sangat Indonesia. Dengan cara demikian group Haikuku secara tidak langsung melestarikan tradisi – tradisi mantra, tetapi juga mendokomentasikan berbagai tradisi budaya yang hampir punah itu. Ini salah satu bentuk Kontekstualisasi Haiku.

2. Peristiwa Peradaban
Group Haikuku bukan sekedar ekspresif kebudayaan para pecinta, praktisi dan pegiat Haiku tetapi sebuah moment Peradaban antar dua Negara. Peradapan yang mempertemukan kisi dan ruang. Yaitu, kisi tradisi, bentang waktu serta ruang, tetapi juga memperjumpakan konsep – konsep spiritual masa lalu dan masa kini melalui Haiku, termasuk pertemuan kita malam ini. Oleh karena itu, kesetian pada Pakem dan Patron Haiku menjadikan kita sebagai orang beradap.
Semoga tulisan pendek dan sederhana ini mampu menggelisahkan siapa saja, sebagai sebuah renungan.

Inilah malam
Inilah perkawinan
Para pencari
--------------------------------------------
Notes : 

1). Disarikan dan diterjemahkan bebas dari Philip Smith, Culutures Theory : An Indtoduction, Oxford & Massachusetts : Blackwell Publishers, Chapter 10 – 12, “Culture and Text : Narative and Hermeneutics”, 183 – 201

2). Hal ini ditandai dengan semakin banyak dibangun pusat kajian Budaya atau Kebudayaan yang menamakan diri Cultural studies. Pusat-pusat kajian itu menganalisis pemikiran individual dalam memahami Budaya atau Kebudayaan di lingkungan individu yang bersangkutan. Tokoh-tokoh popular itu, a.l : Ernest Hemmingway, Jacques Derrida, Emile Durkheim, Carel Marx, Jalaludin Rumi, Kahlil Gibran sampai pada Pramoedya Ananta Toer. Kajian-kajian itu pada umumnya, ingin memahami dinamika dan gejolak Budaya atau Kebudayaan yang ada di lingkungan tokoh-tokoh tersebut. Sebelum tahun 1990 – an secara polititis kajian-kajian atau studies seperti itu di haramkan oleh ORDE BARU.

3). Budaya atau Kebudayaan adalah renungan kemanusian yang secara historis holistic merupakan ekspresi pikiran, ekspresi rasa, ekspresi karsa, ekspresi cipta, yang banyak melahirkan ragam Ilmu pengetahuan dan tehnologi, Seni, olah raga, ritual keagamaan di sertai paradigma bahkan dogmatis hingga fatwa-fatwa keagamaan.

4). Globalisasi, tidak hanya mengglobalkan sebuah peristiwa local tetapi juga menduniakan solidaritas antar sesame baik dalam bentuk keprihatinan maupun dukungan termasuk dalam bentuk kutuk dan celaan. 

5). Haiku adalah salah satu bentuk Puisi Pendek yang berkembang di Jepang dan di pelopori Matsuo Basho (1641-1694) kemudian diikuti Yosa Buson (1716-1784) dan Kobayashi Issa (1763-1828) lala muncul Kawahigashi Heigorō (1873-1937) yang di sebut-sebut sebagai pelopor Haiku modern. HAIKU adalah Puisi pendek tanpa judul yang di ikat aturan ketat “Go-Shichi-Go” 575. Yaitu struktur penulisan yang terdiri dari 5 suku kata baris awal, 7 suku kata di tengah dan 5 suku kata di baris akhir. Disamping aturan “Go-Shichi-G0”/575, HAIKU juga mengandung unsur-unsur pertanda kejadian dalam bentangan waktu atau Musim (KIGO). Sebagai Puisi pendek yang hanya terdiri dari tigas baris dan 17 suku kata, Haiku memiliki kecerdasan menampung semua kisah yang terjadi dalam bentang waktu dan musim. KIGO adalah Musim dan Waktu termasuk di dalamnya adalah tanda-tanda yang dapat di lihat, di rasakan sebagai gejala atau perubahan pada musim tertentu atau pada waktu tertentu. Sementara KIREJI adalah Pemotongan Kalimat atau lompatan makna dari kalimat yang dengan sengaja di potong untuk memasuki baris berikutnya.

6). Group Haikuku Indonesia, merupakan Group Haiku yang pertama muncul di Media Sosial Facebook dan secara kontinyu melakukan edukasi dalam bentuk diskusi online dengan membahas karya-karya anggota secara bergilir. Group ini sangat KUKUH dan EKSTRIM mempertahankan POLA PENULISAN HAIKU KLASIK, 575, BERKIGO DAN dan BERKIREJI.

7). Dalam perjalanan Group Haikuku Indonesia yang baru 2 tahun itu, mengalami pasang surut, beberapa anggota pelopor kemudian meninggalkan Group Haikuku dan mendirikan Group serupa namun tidak sepenuh mengikat anggotanya mengikuti Pakem dan Patron Haiku yang berpola 575 ber’KIGO’ dan Ber-KIREJI. 

8). Haiku yang lahir dari barak-barak sederhana pertapaan para Pendeta Budha beraliran Zen di Jepang pada abad 16 – 19 mempercayai bahwa semua kejadian alam di sekitar Manusia, selalu memiliki pesan spiritual. Karena itu, Haiku yang lahir di abad 16 – 19 selalu menjadikan Alam sebagai Objek dan spiritnya. Dan ketika Haiku mulai menyebar keseluruh dunia pada akhir abad 18 sampai sekarang ini, spirit Zen sebagai spiritualitas mulai di tinggalkan menuju kontekstualisasi Haiku menurut kelompok – kelompok/group Haiku dengan latar belakang Religi atau Agama para pemerhati dan pegiat Haiku.

9). Pluralisme dari akar kata Plural yang berarti Jamak atau bermacam-macam. Pluralisme adalah keadaan masyarakat majemuk baik yang bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya, Agama, Pendidikan, status social, termasuk tradisi sebagai latar belakang yang berbeda-beda. Istilah lain yang senada dengan itu adalah Bhineka Tunggal Ika yang secara Polities Kebangsaan dan Kenegaraan menjadi symbol Negara Kesatuan Repoblik Indonesia yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu, NKRI. Sementara Pluralisme menggambarkan keadaan masyarakat seutuhnya dan sebagaimana adanya.

10). KIGO adalah Musim dan Waktu termasuk di dalamnya adalah tanda-tanda yang dapat di lihat, di rasakan sebagai gejala atau perubahan pada musim tertentu atau pada waktu tertentu. Sebagai pertanda musim, Kigo menjadi penting dalam penulisan Haiku. Bandingkan dengan penulisan puisi pendek bebas yang tidak terikat dengan Musim atau Waktu sebagai KIGO. Catatan mengenai pertanda musim, banyak di bahas di Group Haikuku. Tetapi sebagai pengantar dalam tulisan sederhana ini, saya muat beberapa contoh Kigo sebagai pertanda Musim. Misal Musim Dingin : Salju, air membeku, udara dingin, orang menyalakan pemanas di rumah. Pertanda Musim Gugur : Daun rontok, binatang-binatang liat menumpulkan makanan untuk musim dingin, daun berubah warna, dst. Musim Panas : udara panas, gerah, dst. Sementara untuk Indonesia, Musim Hujan : banjir dimana-mana, jamur atau cendawan tumbuh, daun menghijau, dst. Untuk Musim Kemarau : daun rontok, sungai sungai kecil mongering, udara panas, dst. Perbedaan Musim di Jepang dan Indonesia, sangat berpengaruh pada penulisan Haiku.
--------------------------------------------------------------------------------------
Di sampaikan pada Acara Launching Buku The Sound Of Silence.
Penulis adalah Pemerhati Kebudayaan dan Rohaniawan Protestan, tinggal di Samarinda.




RWM.BOONG BETHONY