05/03/16

Haiku dan Sastra


HAIKU DAN PEMBELAJARAN SASTRA.                                                                                                                                                                     (tulisan pertama dari 3 artikel)

Oleh : Romo Roberth W. Maarthin/RWM

(Artikel kecil berseri sebuah narasi  dalam rangkah setahun Group Haikuku Indonesia)



Sebagaimana umumnya, orang tahu bahwa Sastra atau berkesenian dalam bentuk tulis terbukti mampu memengaruhi wajah dunia. Apa pun bentuk tulisan itu; Novel sejarah, novel Roman, novel Pop, Cerpen, Puisi, Biografi, Reportair, dokumentasi teks, naskah drama - filem, bahkan kitab Suci pun tertulis dalam bentuk sastra.
Sebelum kertas ditemukan para seniman sastra praklasik menulis karya kesenimanannya pada Papyrus (kulit kayu) Daun Lontar, Bambu, kayu dan Perkamen (kulit binatang) juga batu (dalam bentuk ukiran, Tugu, prasasti sampai dinding-dinding goa) semua itu karya karya yang informatif menyiratkan situasi sosial kemasyarakatan pada zaman para penulis. Di Indonesia misalanya, kita kenal kesustraan terbagai menjadi beberapa tahapan seperti pra pujangga baru (sebelum jaman kemerdekaan - Clasic), Angkatan pujangga baru ( masa kemerdekaan - Neo Clasic), angkatan pujangga 66 (?) dan yang terakhir angkatan pujangga modern(?). Periodesasi seperti itu hendak menyatakan kondisi sosial yang sedang terjadi ketika para penulisnya mencorat coret karya karyanya. Itulah sebabnya, karya sastra jadi dokumen primer pembelajaran perjalanan komunitas masyarakat tertentu bahkan sebuah negara.
Mengapa Kesusastraan? Yah, karena kesusastraan itu bahasa jiwa, bahasa batin, bahasa kalbu. Karena itu, ia selalu lahir dalam keindahan, dibuat karena cinta, oleh sebab ruh kedamaian. Lantaran itu, para seniman sastra biasanya luhur budi, halus peringai, santun bertutur, elegan berkarya dan yang utama spiritulitas berkeseniannya tak diragukan. Sebab buahnya hanya keindahan, keluhuran, ketulusan dan kebenaran dalam bentuk teks. Makanya, para seniman sering kali dijuluki 'manusia diatas angin' sebab norma norma seperti ini, oleh masyarakat hanya dapat dibaca dalam laku para seniman umumnya dan sastrawan khususnya.

Lalu bagaimana dengan Group Haikuku Indonesia dimana kita belajar bersama soal kesusastraan khususnya sastra Haiku?
Artikel kecil sederhana ini, saya narasikan dalam rangkah menyambut HUT pertama Group Haikuku Indonesia sekaligus memenuhi tantangan Sang Presiden Haikuku Diro Aritonang agar saya membuat sebuah artikel.
Dalam kerangka itu, saya akan jujur dan menghindari pemikiran yang sifatnya hanya subjektif belaka menuju objektifitas naratif.
Ketika saya di undang memasuki pintu rumah Haikuku ini saya sungguh kagum dan gembira. Gejolak darah berkesenian saya membuncah memenuhi syaraf yang ada. Gembira, karena ternyata ada sebuah group yang khusus menggeluti Haiku, Kesusastraan Negeri Matahari terbit. Gembira karena Intensitas member sangat luarbiasa dan animo Penulis Haiku bagai mata air yang enggan surut termasuk membengkaknya  jumlah penghuni.
Seperti hal lumrah terjadi bahwa sebuah komunitas selalu mengalami persoalan, baik karena pemikiran pun oleh karena ketidak pahaman satu anggota dengan yang lain. Mengenai apa itu sastra Haiku, tentang bagaimana Haiku, soal penyesuaian ragam dan bentuk penulisan karena  latar belakang yang memang berbeda dari asalnya di Jepang sana. Yang paling seru jadi objek diskusi ialah Kigo. Yang secara sederhana diterjemahkan dalam arti : Pertanda Musim dan juga Pertanda Waktu. Diskusi tentangnya (KIGO) jadi demikian seru dan vulgar mengenyampingkan keasadaran diri bahwa yang sedang berdiskusi adalah ‘Para Penghuni Negeri di Atas Angin’ yang katanya selalu melahirkan keindahan, ketulusan, kedamaian, kesopanan dan etika tingkat dewa. Padahal, keindahan tidak lahir dari ‘Chaos’/keributan. Ketulusan bukan datang dari amarah. Kedamaian bukan buah dari kebencian apalagi dendam, iri dan dengki. Kesopanan dan Etika tidak dikandung oleh pandangan negative dan prasangka buruk. Spiritualitas bukan persemaian dusta dan fitnah. Bukankah Haiku itu sebuah bentuk yang lahir dari jiwa atau batin yang mencintai keindahan, ketulusan, kedamaian, kejujuran? Bukankah Haiku itu ditulis oleh karena perenungan yang kuat dan dalam dari Jiwa atau Batin pada pondasi Spiritualitas yang kokoh? Bukankah begitu? Itu berarti menulis Haiku, merupakan penghargaan terhadap keindahan, terhadap cinta, terhadap kedamaian, terhadap ketulusan, terhadap kejujuran, terhadap keluhuran, terhadap kebenaran, oleh dan dari para pecinta Tuhan Yang Maha Esa?
JIka pada zaman Klasik Jepang, kebanyakan para penulis Haiku melahirkan karya dalam spirit spiritualitas Zen, mengapa seniman Haiku Nusantara tidak mendasari spirit spiritualitasnya sesuai Iman para penulis? Mengapa musti terpusat pada Zen? Bukankah Zen itu ‘hanya jalan menemukan....?’ dan bukan sebuah Agama. Melainkan sebuah cara untuk memahami ‘lingkaran kehidupan antara Alam dan Manusia. Sebuah jalan yang oleh para penganutnya disebut ZEN. Sebab itu Ia (ZEN) adalah jalan atau cara untuk memahami ‘Lingkaran Kehidupan Antara Alam dan Manusia’ maka ia (ZEN) pun berada dimana mana. Di Italia, Jerman, Belanda, Afrika, Amerika, Australia, China, Jepang, Korea dan juga ada disini. Di Indonesia. Zen tak pernah mengubah siapa dan apa kecuali mengantar memahami, mengantar mengerti. Dan Jalan itu melahirkan Haiku dari kontemplatif padepokan (pertapaan) para penganut Zen di Jepang yang pada umumnya beragama Shinto. Karena Ia (ZEN) hanyalah jalan, maka semua orang bisa menapak di lorong itu.  Terserah apakah berupa jalan tanpa hambatan (TOLL), gang gang kumuh, jalan tikus, jalan setapak baik yang menurun pun mendaki atau rata rata saja. Tidak soal, yang penting semua mencoba jalan itu.  Toh Haiku adalah karya keindahan, keluhuran, ketulusan, kedamaian atas nilai spiritualitas para penulisnya.

Sastra Haiku harus diakuai terlambat mendapat perhatian dari seniman sastra Indonesia, meskipun menilik sejarah kehadirannya (Haiku) telah mulai di kenal oleh para penulis Sastra Melayu. Sebut saja Sastrawan Melayu yang Fenomenal Amir Hamzah dengan Gurindam 12 yang tak kalah menarik dibanding Haiku. Atau syair syair Melayu dalam bentuk Pantun, Seloka dst, yang sesungguhnya juga amat di pengaruhi oleh Spiritualitas Islam. Jika mau jujur, Pantun, Seloka, Gurindam 12 lahir dari dasar yang sama. Yaitu, Keindahan, ketulusan, kejujuran, kedamaian, dan terutama Spiritualitas kesenimanan dari Iman yang kokoh para penulisnya. Saran saya, hendaklah penghuni rumah Haikuku Indonesia, juga belajar memahami jenis kesusastraan Indonesia yang beraneka ragam itu. Tapi baiklah kita kembali pada maksud artikel kecil ini saya tulis. Sejak lahir awal November 2014 lalu, Group Haikuku Indonesia jadi Booming dan mendapat perhatian khalayak pecinta sastra di tanah air bukan saja lewat Media Sosial tetapi juga dalam percakapan nyata di beberapa tempat, seperti Bandung, Surabaya, Denpasar, Jakarta, Yogyakarta, Tasikmalaya, Purwakerta, Malang, Lampung, Medan dan kota lainnya bahkan sampai keluar negeri. Hal ini terbukti dengan anggota/member membludak melalui karya karya terposting yang jumlahnya ribuan 1 x 24 jam. Kenyataan ini membuat penggemar Haiku di seantaro Dunia terheran heran akan fenomenal Group ini. Termasuk didalamnya, produktifitas Haiga (Lukisan sederhana yang membantu untuk menjelaskan isi Haiku dimana pada lukisan sederhana itu terdapat grafis Haiku). Mengapa butuh Haiga? Karena Haiku itu hanya terdiri dari 3 baris dalam format (Etika – Aturan) 5 suku kata pada baris pertama, 7 suku kata di baris ke-dua dan 5 suku kata dibaris ke-tiga. Bukankah dengan format seperti itu teramat sulit untuk menafsirkannya? Bisa di bayangkan! Cerita, kisah, kejadian, renungan seperti apa yang dapat dituturkan atau dituang hanya dalam 17 Suku kata? Itu hanya sebuah kalimat pendek jika ingin menjadikannya sebuah kalimat. Teramat pendek! Itu pun Haiku bukan sebuah kalaimat pendek yang kemudian di susun atau ditulis jadi Haiku. Bukan! Haiku bukan Kalimat Pendek. Nach! Belum lagi bahwa menulis Haiku di kemas dalam Pertanda Waktu dan Musim yang di perhadapkan pada interaksi interaktif pada kejadian itu. Sungguh amat sulit menafsirkannya. Karena itu, para penulis Haiku menyertakan lukisan atau gambar sederhana agar membantu para penikmat Haiku memahami maksud si Seniman.

Bagaimana dengan Para penulis Haiku di Group Haikuku Indonesia?

Alam dan Insan
Satu di mangkuk rasa
Miliki waktu


IN ENGLISH VERSION :


HAIKU AND LEARNING LITERATURE. (The first article of 3 articles)

By Fr. Roberth W. Maarthin / RWM

(Articles tiny glow of a narrative within a year Rangkah Group 
Haikuku Indonesia)




As is generally known that literature or art in the form of facial hair proved to
affect the world. Whatever the shape of the article; Historical novels, romance novels, novels Pop, Short Story, Poetry, Biography, Reportair, text documentation, plays - film, even Scripture was written in the form of literature.
Before paper was found the literary artist praklasik was writing kesenimanannya at Papyrus (bark) Leaves Lontar, bamboo, wood and parchment (animal skin) also rock (in the form of carving, Monument, inscriptions until the walls cave) all the works of informative implies social situation at the time of the author. In Indonesia misalanya, we know kesustraan divided into several stages such as pre poet recently (before the era of independence - Clasic), Force poet new (independence - Neo Classic), force poet 66 (?) And the last class of the poet of modern (?). Periodization as it came to reveal the social conditions that happening when authors mencorat scratch his work. That is why, literature so the primary documents of certain community learning journey even a country.
Why Literature? Well, because the literary language of the soul, inner language, the language of the heart. Therefore, it is always born in beauty, made for love, because of the spirit of peace. Because of that, the literary artist usually noble minds, peringai refined, mannered spoken, elegant work and the main doubt spirituality in art. Because his only beauty, nobility, sincerity and truth in text form. Hence, the artists often dubbed the 'man on the wind' because the norms of this kind, the people can only be read in the general behavior of the artists and writers in particular.

And what about the Group Haikuku Indonesia where we learn together about literature, especially literature Haiku?
This simple little article, I Narrate the first anniversary of Group Haikuku welcomed Indonesia as well as meet the challenges of the President Haikuku Diro Arita so I made an article.
Within that framework, I will be honest and avoid ideas that are subjective only toward objectivity mere narrative.
When I was invited to enter this door Haikuku I was really amazed and delighted. My art blood turmoil erupted meet existing nerves. Excited, because it turns out there is a special group wrestle Haiku, Foreign Literature Sunrise. Happy because the member is extraordinary intensity and zest Writer Haiku like springs that are reluctant to recede including the ballooning number of occupants.
As a common thing always happens that a community has problems, either because the thought was because of unfamiliarity one member to another. Regarding the literature Haiku, about how Haiku, a matter of adjustment varieties and forms of writing because background is different from its origin in Japan there. The most intriguing become the object of discussion is Kigo. Which simply translates in meaning: Season Signs and Omens Time. Discussions about (Kigo) be so intriguing and vulgar disregard keasadaran self that is being discussed is 'The Occupant State in Upper Wind' which he always bore beauty, sincerity, peace, decency and ethical level of a god. In fact, beauty does not come from 'Chaos' / fray. Sincerity does not come from anger. Peace is not the fruit of hatred let alone revenge, envy and jealousy. Courtesy and Ethics are not contained by negative views and prejudices. Spirituality is not the nursery lies and slander. Haiku Is not it a form which is born of the soul or inner love beauty, sincerity, peace, honesty? Haiku Is not it written because of strong and deep reflection of Soul or Mind on a solid foundation of spirituality? Is not it? That means writing Haiku, is a tribute to the beauty, the love, the peace, the sincerity, the honesty, the sublime, to the truth, by and of the lovers of God Almighty?
If the Japanese Classical era, most of the authors of the works in the spirit of giving birth Haiku Zen spirituality, why artists Haiku Nusantara is not spiritually appropriate underlying spirit of Faith writers? Why must be centered on Zen? Zen Is not it 'just a way to find ....?' And not a religion. But a way to understand the 'circle of life between Nature and Man. A road by its adherents called ZEN. Therefore he (ZEN) is a path or a way to understand the 'Circle of Life Between Nature and Human' then he (ZEN) also are everywhere. In Italy, Germany, the Netherlands, Africa, America, Australia, China, Japan, Korea, and also here. In Indonesia. Zen never change who and what except drove understand, dropping understand. And it spawned Haiku Way of contemplative hermitage (hermitage) the followers of Zen in Japan are generally Shinto religion. Because he (ZEN) is just way, then everyone can tread in the corridor. It's up to whether a road without a hitch (TOLL), seedy alley alley, street rat, footpaths either declining or average climbed alone. No matter, all of it is trying to walk it. Toh Haiku is a work of beauty, nobility, sincerity, peace on the value of the spirituality of the authors.

Literature Haiku must be acknowledged too late to get the attention of Indonesian literary artist, although examines the history of presence (Haiku) has begun known by the authors of Malay Literature. Call it writer Malay Phenomenal Amir Hamzah with 12 couplets that are not less interesting than Haiku. Malay poetry or poetry in the form Pantun, Seloka etc., who actually also greatly influenced by Islamic Spirituality. If you're honest, Pantun, Seloka, couplets 12 born on the same basis. Namely, beauty, sincerity, honesty, peace, and especially the spirituality of Faith solid artistic authors. My advice, let residents Haikuku Indonesia, also learn to understand the type of Indonesian literature diverse it. But let us go back to the intent of this little article I wrote. Since birth the beginning of November 2014 and, Group Haikuku Indonesia so Booming and got the attention of audiences lovers of literature in the country not only through social media, but also, in conversation, in some places, such as Bandung, Surabaya, Denpasar, Jakarta, Yogyakarta, Tasikmalaya, Purwakerta, Malang, Lampung, Medan and other cities even abroad. This is proven by the member / member booming through the works of the thousands terposting 1 x 24 hours. This fact makes the Haiku fan at the World seantaro appalled to be phenomenal Group. Including, productivity Haiga (simple painting that helps to explain the contents of Haiku where the graphics are simple painting that Haiku). Why need Haiga? Haiku because it consists of only three rows in the format (Ethics - Rules) 5 syllables on the first line, seven syllables in the second line and five syllables dibaris all three. Is not the format as it was extremely difficult to interpret? Can imagine! Stories, stories, events, reflections such as what can be spoken or poured in just 17 syllables? It was only a short sentence if it is to make a sentence. Very short! It was Haiku is not a short kalaimat then collated or written so Haiku. Not! Haiku is not short sentence. Nach! Not to mention that writing Haiku pack in Time and Seasonal Signs in perhadapkan on interactive interaction on the incident. It is very difficult to interpret. Therefore, the authors Haiku include painting or a simple image to help the audience understand the intent of the artist Haiku.

What Writers Group Haikuku Haiku in Indonesia?

Natural and Human
One bowl flavor
have time





#RWM


HAIKU & ZEN
oLEH : Diro Aritonang.

[PENGANTAR: Mari kita pahami apa itu hubungan Zen dengan Haiku. Bagi masyarakat Jepang, Zen tentu berhubungan dengan keyakinan religinya, sehingga kalangan Zen Buddhism dalam memberi ruh pada haikunya, berhubungan dengan spiritual zen. Bagaimana dengan haiku di haikuKu Indonesia, apakah juga harus memasukkan spritual zen? Tentu tidak, tidak harus spiritual zen masuk di dalamnya. Tapi hal-hal yang berkaitan dengan eksplorasi nilai-nilai universalnya, bukan teologinya. Tentu itu pun tergantung eksplorasi kita dalam memasukkan unsur spiritual religi yang kita anut. Beriku merupakan uraian Richard von Sturmer, bagaimana zen merasuk dalam haiku. Menjadi kekuatan dan kekhasan haiku]
Catatan: Karena haikunya diterjemahkan ke bahasa Inggris dari bahasa Jepang terjadi perubahan mora/suku kata.
oleh RICHARD VON STURMER 
(New Zealand Poetry Society Te Hunga Tito Ruri o Aotearoa)
Sejak Abad Pertengahan, melalui upacara minum teh, merangkai bunga, seni bela diri, dan teater Noh, Zen Buddhisme, dengan penekanan pada kesederhanaan, kealamian dan penghematan, telah menjadi kekuatan dominan dalam budaya Jepang. Di sini kita akan melihat sembilan kualitas yang melekat dalam Zen dan bagaimana kualitas ini berhubungan dengan penulisan haiku.

1. Keesaan
Zen mengajarkan bahwa penderitaan kita timbul dari rasa keterpemisahan, dari perasaan "sendirian dan takut dalam dunianya yang tidak pernah dibuat". Praktek haiku adalah cara melarutkan perasaan pemisahan ini dengan mengalami kesatuan alam kita sendiri dan sifat dari segala sesuatu di sekitar kita. Seperti Basho menulis kepada seorang murid: "Belajar tentang pinus dari pinus, dan sekitar bambu dari bambu. Penyair harus. . . masuk ke objek tersebut agar bentuk puisi itu sendiri menyatu, menjadi satu antara penyair dan objeknya".
the sound of hail-
I remain, as before,
an old oak
bunyi hujan es
Aku tetap, semula
pohon ek tua
- Basho

2. Keintiman
Keintiman berarti tidak menarik kembali tetapi semakin dekat, dan dengan haiku kita selalu mendekat ke masalah. Ketika kita berhenti terpaku pada kekhawatiran pribadi kita, kita dapat memberikan diri kita kepada dunia. Untuk menulis haiku ini berarti menjadi benar-benar selaras dengan lingkungan kita, apakah kita sedang berjalan di sebuah jalan yang sibuk atau berbicara diam-diam dengan seorang teman.
they spoke no word,
the host, the guest
and the white chrysanthemum
ngomong tak kata
tuan rumah, tetamu
dan krisan putih
- Ryota

3. Kekosongan
Ketika Bodhidharma, pendiri Zen, bertemu ke Kaisar Wu dari China Selatan, Kaisar bertanya, "Apa ajaran fundamental agama Buddha?" Jawab Bodhidharma, "Kekosongan yang luas dan tidak suci". Pernyataan revolusioner ini telah bergema sepanjang masa, dan kebenarannya sekarang dikonfirmasi oleh kuantum fisika: atom - hal-hal dasar dari alam semesta - yang 99,999% kekosongan. Itulah cara permasalahannya. Dan kita harus kosong sehingga hal dari dunia ini dapat mengungkapkan diri kita.
midnight - no waves, no wind
the empty boat is
flooded with moonlight
tengah malam – tak gelombang, tak angin
perahu kosong
dibanjiri cahaya bulan
- Dogen

4. Suchness
Misteri besar alam semesta adalah bahwa dari kekosongan yang mendasar muncul berbagai hal mengejutkan bentuk. Sebagai Yasutani-roshi, Zen Guru modern, katakan, "Wajah asli dari universalitas bergerak cepat dalam rincian khusus".
the spring is cold-
the puppeteer
keeps coughing
semi yang dingin-
tentang seorang dalang
selalu batuk
- Suiha

5. Keunikan
RH Blyth menegaskan bahwa "catatan Haiku bagaimana Wordsworth menyebutnya 'titik waktu', saat-saat yang untuk beberapa alasan yang cukup misterius memiliki makna yang aneh". Haiku juga merayakan keunikan itu hal biasa dan, pada saat yang sama, menunjukkan bagaimana keunikan yang berisi universal.
spring rain-
a rat is lapping
the Sumida River
semi berhujan-
tikus memukul-mukul
Sungai Sumida
- Issa
6. Ketidak-kekalan
Dunia ini begitu menakjubkan, misterius dan indah, kuga sedih karena terus berubah. Tak berguna berlangsung, semuanya dalam keadaan fluks. Kebenaran ketidakkekalan tidak mengurangi, melainkan meningkatkan keunikan setiap hal, setiap orang. Hidup ini berharga karena begitu cepat berlalu. Penyair haiku, mungkin lebih daripada kelompok penulis, juga seperti wartawan uang melihat pada sifat fana dunia ini.
the owner of the cherry blossoms
turns to compost
for the trees
milik sakura
nyata adalah kompos
bagi pohonan
- Utsu (ayat kematiannya)

7. Kealamian
Dalam kedua Zen dan haiku ada apresiasi dari tanpa hiasan, dari yang usang dan lapuk. Saat menulis haiku, kita memperhatikan apa yang diabaikan, untuk apa yang ada di margin, untuk apa orang begitu mudah kehilangan di keramaian dan hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Kealamian berarti menjadi satu dengan alam, selaras dengan musim dan keadaan berubah sendiri.
the wind brings
enough fallen leaves
to make a fire
angin membawa
daun bergugur cukup
membuat api
- Ryokan

8. Perhatian
Suatu hari orang awam dikatakan Ikkyu, "Guru, tolong menulis untuk saya beberapa maksim kebijaksanaan tertinggi?" Ikkyu segera mengambil kuas dan menulis kata Perhatian. "Apakah itu semua?" Tanya pria itu. "Apakah Anda tidak menambahkan sesuatu yang lebih?" Ikkyu kemudian menulis Perhatian Perhatian. "Yah," kata pria itu agak kesal, "Aku benar-benar tidak melihat banyak kehalusan dalam apa yang Anda baru saja menulis." Kemudian Ikkyu menulis kata yang sama tiga kali: Perhatian Perhatian Perhatian. Setengah marah, pria itu bertanya, "Apa arti kata perhatian sih?" Ikkyu menjawab, "Atensi berarti perhatian." Dialog ini tentang merangkum: Haiku adalah seni memperhatikan.
peeling pears-
sweet juice drips
from the knife blade
kupas buah pears-
menetes jus yang manis
dari pisaunya
- Shiki

9. Responsif
Kita hidup di alam semesta yang dinamis dan kita dipanggil untuk menanggapi. Sebagai penulis haiku, kita menanggapi dunia melalui tulisan kita. Haiku, dengan mengungkapkan afinitas tersembunyi antara hal-hal, menegaskan keterkaitan dasar dari semua kehidupan.
each time the wave breaks
the raven
gives a little jump
gelombang rehat
seekor burung gagak
beri lompatan
- Nissha

Gagak menjadi satu dengan ombak, dan kami kembali ke tempat kami mulai di daftar kualitas Zen.

Catatan Editor: Artikel ini adalah versi kental dari sidang paripurna disampaikan di Haiku Festival Aotearoa, Wellington, 04-06 Maret 2005. Kami berterima kasih kepada Richard untuk memungkinkan untuk direproduksi di haikuKu ini.
Untuk informasi lebih lanjut tentang Richard von Sturmer dan Zen, melihat Auckland Zen Centre situs.
Beberapa catatan Haiku dan Zen : 
Catatan: Karena haikunya diterjemahkan ke bahasa Inggris dari bahasa Jepang terjadi perubahan mora/suku kata.
(New Zealand Poetry Society Te Hunga Tito Ruri o Aotearoa)
I remain, as before,
an old oak
Aku tetap, semula
pohon ek tua
the host, the guest
and the white chrysanthemum
tuan rumah, tetamu
dan krisan putih
the empty boat is
flooded with moonlight
perahu kosong
dibanjiri cahaya bulan
the puppeteer
keeps coughing
tentang seorang dalang
selalu batuk
a rat is lapping
the Sumida River
tikus memukul-mukul
Sungai Sumida
turns to compost
for the trees
nyata adalah kompos
bagi pohonan
7. Kealamian
enough fallen leaves
to make a fire
daun bergugur cukup
membuat api
8. Perhatian
sweet juice drips
from the knife blade
menetes jus yang manis
dari pisaunya
9. Responsif
the raven
gives a little jump
seekor burung gagak
beri lompatan
Untuk informasi lebih lanjut tentang Richard von Sturmer dan Zen, melihat Auckland Zen Centre situs.




RWM.BOONG BETHONY