30/04/16

Sajak Tentang Tuhan

Sajak hari ini tentang TUHAN.
Romo Ro Wl Ma.

Meretas yang lalu mengunduh akan datang. Semua dari tiada jadi ada kemudian tiada. Lalu mengapa musti kehilangan, kenapa harus memiliki? Cukup waktu yang punya, biar zaman miliki. Manusia adalah detik sekali berdentang lalu lenyap. Jangan cakap menit. Bukan punya, tidak milik. Terlebih bicara jam atau hari! Langit luar langit dalam sama. Bentang dari bentang. Mati atau hidup sama, rentang dari rentang. Hanya TUHAN.
Apa iman itu, apa itu agama. Asal sumber kembali ke sumber, TUHAN ialah sumber.
Mengapa sombong? mengapa tinggi hati? mengapa menimbang yang lain. Tidak, siapapun tidak berarti, tiada makna, tak berisi. Semua kosong, seluruh hampa.
Lihatlah, pohon mengering, tunas tumbuh. Rumput layu, umbi berkembang. Laut surut samudra sarat, hujan turun awan berarak. Tapi manusia? hanya di lahirkan lalu mati. Tak ada cerita, tiada kisah, ia dilupakan. Hanya TUHAN ya! Hanya TUHAN.
Tak lain, tiada lain, tidak lain.
Dari kata dari kalimat dari cerita. Berujung di kata, berakhir pada kalimat. Sampai di cerita. Hanya itu, itu hanya. 
Sungguh TUHAN tak pernah kemana, Tak pernah memiliki rumah, tak pernah memilih persinggahan sebab Dia batin tiap manusia.

Pondok Palem, Limau Samarinda.
Rhyme today about the Lord.
Romo Wl Ro Ma.

Then download a hack that will come. All of the dead so there and then gone. Then why must lose, why should you have? Enough time has, though the times have. Man is a tolled seconds and then vanished. Do not proficient minutes. Not have, does not belong. Especially talking hours or days! Outside the sky in the same sky. The landscape of the landscape. Dead or living together, the range of the span. Only God.
What is faith, what religion is. Originally the source back to the source, the Lord is the source.
Why arrogant? why haughty? why weigh another. No, whoever does not mean, no meaning, no lists. All is empty, all empty.
Look, the tree dries out, shoots grow. The grass withers, the developing tubers. Laden ocean sea receded, raining clouds. But humans? just be born and die. There are no stories, no story, he was forgotten. Only Lord yes! Only God.
Nothing else, nothing else, nothing else.
From the words of the sentence of the story. Culminate in a word, ending the sentence. Got a story. That's it, it's just.
It's where the Lord never, never have a house, never choose a stopover because then every human mind.

Palem cottage, Lemons Samarinda.








Diantara desau angin kerinduan halaman.
by. Roberth William Maarthin



Dalam kepenatan malam Yogjakarta, hari-hari berlalu tanpa kata tanpa bunyi. 
Menanti. 

Menunggu.
Dalam pulas asa.
teringat nyanyian sunyi padang-padang Seko
ketika lenguhan rusa menggesek ilalang mengubah hidup
angin menggambar rerumput karpet kekuningan
sungai jernih berkaca mentari
berapa lama engkau bertahan
berapa jauh engjau berjalan
berapa banyak anak negeri pulang


Dalam kepenatan malam Yogjakarta, hari-hari berlalu tanpa bunyi.
Menanti.
Menunggu.
Dalam nyenyak harap
teringat senandung ladang-ladang Seko
saat lenguhan kerbau moleling mengubah keringat jadi padi
angin melukis sawah jadi karpet kuning
gemercik air meliuk-liuk
sejauh mana engkau tegar
sejauh apa engkau menapak
sejauh jarak anak negeri kembali.


Dalam kepenatan malam Yogjakarta, hari-hari berlalu tanpa bunyi
Menanti.
Menunggu.
Teringat kidung pujaan bagimu
Engkau kucintalah seumur hidup
irama betue, malimongan baba 
itulah tanahku.
Lain tidak.

(yogjakarta, awal mei 2013)

Among the rustle of wind longing page.
by. Roberth William Maarthin

In the evening fatigue Yogjakarta, the days passed with no word without sound.
Waiting.
Wait.
In a deep despair.
remembered the desolate steppes singing Seko
groans when swiping reeds change lives
Wind draw yellowish grass carpet
clear streams filled sun
how long you survive
how far you walk
how many children home country

In the evening fatigue Yogjakarta, days passed without a sound.
Waiting.
Wait.
In soundly hope
remembered the hum fields Seko
groans when the buffalo moleling change so sweat rice
Wind fields into the carpet of yellow paint
splashing water snaking
the extent to which you are brave
as far as what you tread
as far as the child within the country back.

In the evening fatigue Yogjakarta, days passed without a sound
Waiting.
Wait.
Remembering ballad idol for you
You are the beloved of a lifetime
betue rhythm, malimongan baba
That's my land.
Others do not.

Rob Colection


(Yogjakarta, in early May 2013)



RWM.BOONG BETHONY

14/04/16

Esei tentang Ugahari.
By.Romo Ro Wl Ma.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia : Ugahari itu memiliki makna: Sedang; Pertengahan dan Sederhana. Bunyi Sedang itu memiliki arti Tidak keatas tidak juga kebawah. Ukurannya rata-rata, tidak besar, tidak banyak, tidak melimpah, tidak pula kekurangan, bukan miskin, bukan kecil. Selanjutnya bunyi Pertengahan, dapat pula berarti tidak di pinggir tidak pula di tengah; tidak di awal atau di akhir, tidak diluar atau di dalam, tapi di tengah atau pertengahan. Istilah Ugahari ini berasal dari istilah Sansekerta. 
Bunyi kedua setelah UGAHARI adalah KEUGAHARIAN. Bunyi kedua ini merupakan kata kerja yang berarti, Kesederhanaan atau Kesahajaan. Yaitu, berperilaku (menjalani kehidupan) sederhana, bersahaja di keseharian. Suatu pilihan yang berbalikan atau kebalikan dari keadaan sesungguhnya.
Kata UGAHARI dan KEUGAHARIAN berasal dari bahasa Sansekerta yang merujuk pada tradisi dan kebiasan hidup para Rohaniawan (Biksu - Biksuni, Begawan, Resi ), para Empu (para ahli, para pengajar, para seniman) dalam perkembangan Sejarah Indonesia masa kejayaan Hindu - Budha. Dimana, para rohaniawan dan para Empu memilih hidup sederhana di 'Pertapaan' (tempat bertapa), di padepokan, dst. Pilihan hidup sederhana atau bersahaja seperti yang di perlihatkan oleh para Rohaniawan dan para Empu ini, dapat kita sejajarkan dengan 'JALAN zen' yang berkembang di Jepang, di daratan China/Tiongkok sampai kedaerah Buthan dan India yang di kenal sebagai jalan Yoga meski secara substansil tidak sama persis, tetapi miliki jalan yang sama yaitu Memilih hidup Ugahari atau Keugaharian. 
Setelah Agama Islam dan Kristen masuk ke Indonesia, hidup Ugahari atau Keugaharian di perlihatkan oleh para Kiyai dan para pastor atau pendeta. Para Kiyai memilih hidup sederhana, bersahaja di balik Pesantren dan atau Asrama bagi para Pendeta dan Pastor.

UGAHARI dan KEUGAHARIAN Sebagai SPIRITUALITAS.

Dalam konteks Kapitalisme yang 'membesar' di masyarakat kita, dibutuhkan spiritualitas baru untuk mengembalikan Manusia sebagai Manusia seutuhnya. Yaitu spiritualitas yang dapat di artikan sebagai daya kekuatan bersama yang menghidupkan dan menggerakkan. Dewasa ini, spiritualitas jadi makin penting, karena menjadi ukuran hubungan pribadi dengan Sang KHALIK yang dapat terlihat dari perilaku hidup sehari-hari. Karena, Spiritualitas tidak hanya berhubungan dengan Keagamaan atau hal-hal yang rohani saja, tetapi juga dapat menjadi sumber kekuatan untuk menghadapi realitas dalam bentuk apapun (penjajahan, penganiayaan, penindasan, dst) tetapi juga sebaliknya untuk mencapai tujuan bersama (pembangunan, keadilan, kesetaraan, kesejahteraan, dst). Dalam pengertian seperti ini, maka Spiritualitas lebih merujuk kepada 'Cara hidup', 'cara bertindak' dalam keseharian. Spiritualitas sebagai Cara Hidup, adalah benteng bagi kehidupan beriman setiap orang, bahkan lebih lebih dari itu Spiritualitas dapat mendorong, memotivasi, menghidupkan dan menumbuhkan, seseorang dalam pengalaman perjumpaan dengan SANG KHALIK YANG DISEMBAHNYA.
Salah satu pertanda zaman yang mewarnai kehidupan masyarakat (manusia) dewasa ini yakni, Ganasnya Kapitalisme melanda tubuh manusia. Tubuh manusia di jadikan sebagai 'objek dan subjek' produk ekonomi dan alat Komoditas untuk kepentingan kaum Kapitalis (terlebih Neokapitalis). Seorang Sindhunata berteriak lantang, bahwa gaya hidup manusia hanya berorientasi pada diri sendiri dan berlomba-lomba mengejar kenikmatan, kepuasaan diri (Duniawi), krisi iman, miskin dalam solidaritas terhadap sesama, boros dengan membayar harga yang sangat mahal atau berhutang. Tubuh bahkan jiwa kita di jajah oleh kaum kapitalisme. Tak ada lagi ruang tersisa, mulai dari ujung jari kaki, sampai ujung rambut di kepala bahkan segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Semuanya, di rebut oleh Kapitalisme yang pada saat bersamaan berjalan seiring dengan NeoKolonialisme. Perhatikan dan amati dengan seksama, betapa dahsyat kapitalisme melanda hidup manusia. Merasuk semua lini dan komponen hidup bermasyarakat. Lihatlah, hidup para birokrat, Rohaniawan, kaum intelektual, Seniman (artis/aktor Filem, perupa, dramawan, Pemusik, sastrawan) Legislatif, Yudikatif. Perhatikan dan tonton tayangan TV nasional dan transnasional. Majalah, Buletin sampai pada jurnal-jurnal dalam dan luar negeri...semua di rebut oleh Kapitalisme, semua di jajah sebagai bentuk baru dari Kolonialisme. 
Begitu hebat Kapitalisme melanda hidup manusia, sehingga hidup beragama pun tak lagi menjadi sesuatu yang 'Magis, Luhur, Mulia, Agung dan Kudus' dan pada 'saat tertentu' hanya di jadikan pelengkap dalam bentuk-bentuk ritual belaka.

Bagaimana kita di Rumah HAIKUKU INDONESIA?

Seperti yang saya jelaskan secara singkat diatas, bahwa dahulu kala, para Empu (Seniman, ahli membuat...., pengajar,..) dan para Rohaniawan (biksu - Biksuni, Kiyai, Pendeta/Pastor) memilih hidup Ugahari atau Keugaharian sebagai jalan hidupnya.
Mereka (Empu dan Rohaniawan) itu, bukan saja memilih hidup sederhana, tetapi laku Mereka pun sangat sederhana, tidak sombong, lemah lembut, berbudi halus (welas asih) dan mengajar dalam kesederhanaan. Sebab itu, Mereka, sangat di hormati, di cintai, dan di rindukan oleh banyak orang. Sebab dari Mereka, orang lain belajar menjalani hidup.
Para sastrawan Haiku klasik, terkenal dengan Hidup Ugahari atau Keugaharian dengan memilih hidup sederhana. Hidup di pertapaan dengan apa adanya, tetapi pada saat yang bersamaan mereka menjadi Guru bagi siapa saja, termasuk menjadi guru kita para pecinta Haiku.
Dalam esai sederhana ini, saya mengajak semua Handaitaulan, kerabat dan para sahabat, untuk melihat situasi kita masing-masing dalam bentuk perenungan-perenungan, meditasi-meditasi, solat Tahajud, berkontemplatif, Berpuasa, sesuai dengan agama yang kita yakini.

Saya akhiri Esai kecil ini dengan Prosa kecil :

Pada akhirnya, Sang Khalik, TUHAN YANG MAHA ESA menjadi kesepian, di tengah umat yang menjadikan Ibadah dan amalnya hanya sebagai Formalitas Belaka.
TUHAN YANG SENDIRIAN di dalam semarak ritual-ritual keagamaan yang riuh rendah dalam bayangan Kapitalisme.
Pada arena ini, pandangan Spiritualitas menjadi penting bagi kita. Spiritualitas yang menjadi dasar terhadap gerakan dan kekuatan untuk merebut kembali Tubuh dan jiwa yang sudah di kukung, di penjarakan oleh Kapitalisme.
Spiritulitas yang mampu menggerak kita merebut kembali tubuh dan jiwa ini menjadi Tahta di mana TUHAN YANG MAHA ESA hadir dalam perilaku, tuturan, dan berfikir kita.
Selamat Ber-UGAHARI atau KEUGAHARIAN.
Salam dan doa dari Kalimantan Timur.

----------------------------- -
In English


Essays about frugal.
By.Romo Wl Ro Ma.
In Big Indonesian Dictionary: frugal is not without meaning: Medium; Mid and simple. Medium sounds that have meaning not upwards nor downwards. The size is average, not great, not much, not abundant, nor lack, not poor, not small. Furthermore mid sound, it can also mean not on the edge nor in the middle; not at the beginning or at the end, not outside or inside, but in the middle or middle. The term is derived from the term zealous Sanskrit.
Second sound after zealous is moderation. The second sound is a verb meaning, Simplicity or simplicity. That is, to behave (through life) simple, unpretentious in everyday life. A choice that is contrary or opposite of the real situation.
The word frugal and moderation is a Sanskrit word that refers to the traditions and habits of life of The priest (monk - nun, Begawan, Resi), the Professor (experts, teachers, artists) in the development of Indonesian History heyday Hindu - Buddhist. Wherein, the clergy and the professor a simple life in the 'Hermitage' (place for meditation), in the hermitage, and so on. Choice of living a simple or humble like that in the show by The priest and the professor is, can we align with the 'ROAD zen' developed in Japan, in mainland China / China until stricken Buthan and India, which was known as the Yoga albeit substansil not exactly the same, but have the same path that life Choosing zealous or moderation.
After Islam and Christianity into Indonesia, frugal living or moderation in the show by the Kiyai and pastors or pastors. The Kiyai choose to live a simple, unpretentious behind or boarding school and hostel for the Pastor and Pastor.

Zealous and frugality As SPIRITUALITY.

In the context of capitalism 'enlarged' in our society, it takes a new spirituality to restore Man Man as a whole. That is spirituality that can be interpreted as the power along the turn and move. Today, spirituality becomes more important, as being the size of a personal relationship with the Creator can be seen from the behavior of everyday life. Because spirituality is not only related to the Religious or things that are spiritual, but also can be a source of strength to deal with the reality in any form (colonization, persecution, oppression, etc.) but also contrary to achieve common goals (development, justice, equality , welfare, etc.). In this sense, then Spirituality refers to the 'way of life', 'how to act' in everyday life. Spirituality as a Way of Life, is a stronghold for the life of faith of each person, even more than that spirituality can encourage, motivate, animate and grow, a person in the experience of the encounter with the Creator that was worshiped.
One sign of the times that characterizes the lives of the people (humans) today namely, the ferocity of Capitalism hit the human body. The human body is made as 'object and the subject of' economic products and tools for the benefit of the capitalists commodities (especially neo-capitalist). A Sindhunata shouted, that the human life style oriented only on yourself and vying pursuit of pleasure, satisfaction of self (worldly), crisis of faith, the poor in solidarity towards others, wasteful to pay a very high price or owe. Body even our souls in its domination by the capitalist. There is no more space left, from toe to tip of the hair on the head even everything that is around us. Everything, in conquered by capitalism at the same time go hand in hand with neocolonialism. Pay attention and look carefully, how terrifying capitalism engulfing human life. Permeates all levels and components of community life. Look, life bureaucrats, The priest, intellectuals, artists (artists / film actor, visual artist, playwright, musician, writer) Legislative, Judiciary. Pay attention and watch TV shows national and transnational. Magazine, Bulletin until the journals at home and abroad ... all captured by capitalism, all in its domination as a new form of colonialism.
Capitalism struck so violently human life, so that the religious life was no longer something 'Magis, Noble, Noble, Great and Holy' and on 'certain moment' only made in complementary forms of mere ritual.

How do we in the House HAIKUKU INDONESIA?

As I mentioned briefly above, that long ago, the Professor (Artist, expertly made ...., faculty, ..) and The priest (monk - nun, Kiyai, Priest / Pastor) choose to live frugal or moderation as a way his life.
They (the professor and The priest) was not only a simple life, but their behavior is very simple, not arrogant, gentle, refined (compassion) and teach in simplicity. Therefore, they, very respected, in love, and longed for by many people. Because of Them, others learn through life.
The classic Haiku writers, famous or frugality frugal life with a simple life. Life in the Hermitage with what it is, but at the same time they become Guru for anyone, including being our teacher Haiku lovers.
In this modest essay, I invite all Handaitaulan, relatives and friends, to see the situation of each of us in the form of reflections, meditations, prayers Tahajud, berkontemplatif, Fasting, according to the religion we believe in.

I end this little essay with small Prose:
Ultimately, the Creator, GOD ALMIGHTY be lonely, among the people who make worship and charity just as a Mere Formality.
GOD ALONE in the vibrant religious rituals vociferous in the shadow of Capitalism.
In this arena, the view becomes important for our spirituality. Spirituality is the basis of the movement and strength to reclaim the body and the soul is already in kukung, in jail by Capitalism.
Capable of moving the spirituality that we reclaim the body and soul into the Throne where GOD ALMIGHTY present in behavior, speech, and thought of us.
Welcome Ber-zealous or moderation.
Greetings and prayers of East Kalimantan.






RWM.BOONG BETHONY

08/04/16

Esai Kebudayaan tentang Jurnalisme Kekerasan.
By. Romo Ro Wl Ma.

Ada milyaran berita yang kita dengar, baca dan tonton dari Multi Media hasil Jurnalisme. Bahkan untuk kontek dan teks kekinian, Jurnalisme adalah bagian utama dalam komunikasi hidup manusia. Begitu penting ia (jurnalisme) hingga Dunia ini sangat sempit dan tak ada lagi batas-batas untuk itu. Dampaknya adalah, keterbukaan, transparansi dan kebenderangan untuk segala sesuatu. Karena itu, Jurnalisme muncul sebagai 'Dewa' tunggal yang berkuasa atas apa pun, kecuali atas diri sendiri.
Kita bersukur atas pencapaian itu, kita berterimakasih untuk hasil ini. Bergembira karena semua kejadian dan peristiwa dalam hitungan detik dapat di baca, di dengar, di tonton dalam waktu yang bersamaan di seluruh pelosok Dunia. Seorang sahabat saya, yang juga seorang jurnalis, mengatakan bahwa satu-satunya dunia tanpa batas, adalah Jurnalisme. 
'Apa saja dapat menjadi berita! sambung sahabat saya itu. Politik, Olah raga, kebudayaan, pertempuran, Perkelahian, Pemerkosaan, Pendidikan, semua menjadi objek jurnalisme. Jelas sahabat saya.
Mungkin penyataan sahabat saya ini benar, mengingat kenyataan begitu.
Sebagai seorang pemerhati kebudayaan dan juga seorang Rohaniawan, saya justru mempertanyakan pernyataan ini. Jurnalisme tanpa batas adalah Pengingkaran Pada Jurnalisme itu sendiri. Yaitu, pengingkaran atas maksud mulia atas tujuan jurnalisme. Bukankah sebagai pengumpul berita, Jurnalis musti mengedit, menulis lalu menyebarkan atau memberitakan apa yang di kumpulkan (tentu setelah ada pengeditan). Baik dalam bentuk Audio visual pun dalam bentuk Tulisan termasuk dalam bentuk suara.
Jadi bukan tanpa Batas, tetapi penghormatan atas Roh Jurnalisme itu sendiri. Agaknya Roh yang mengikat Jurnalisme itu, sudah lama pergi, entah terbang kemana.
Tak heran ketika berita, baik dalam bentuk tayangan (audiovisual), gambar, tulisan dan suara, memperlihatkan 'sesuatu atau mempertontonkan' jurnalisme yang Vulgar. Apa adanya tanpa sensor (edit) yang mempertimbangkan azas kesopanan, kepatutan, dan kelayakan suatu hasil jurnalisme.
Lihatlah, betapa akrabnya anak-anak hingga orang dewasa dengan istilah 'memperkosa, membunuh, bom bunuh diri, tawuran, perselingkuhan, korupsi, Mutilasi, Terorisme, dst' yang juga di sertai gambar serta tayangan yang teramat Vulgar bahkan seolah menjadi berita utama yang di butuhkan oleh khalayak.
Aneh bila Jurnalisme berkampanye anti kekerasan, anti anarkiesme, Pembela hak-hak azasi, dst, tetapi di saat yang sama justru memberi gambaran di sertai narasi penjelasan bagaimana, kekerasan, anarkiesme, pemerkosaan, itu terjadi? Bukankah ini mengingkari diri sendiri?
Mari telusuri dengan seksama, dalam 1 x 24 jam berita apa yang menonjol dari tayangan TV Nasional dan transnasional. Jangan heran, jika berita Kekerasan dan anarkiesme dalam segala bentuk, perselingkuhan oleh berbagai kalangan atau korupsi yang terjadi baik di Birokrasi, Legislatif, Yudikatif dan swasta, menjadi Porsi besar di banding berita-berita pendidikan, keagamaan, kesenian.
Tengok juga, kejadian-kejadian serupa (seperti tayangan dan berita itu) banyak menginspirasi anak-anak sampai orang-orang dewasa untuk menirukannya.
Demikian juga harian-harian yang terbit, baik pagi pun sore, setali tiga uang dengan Tayangan-tayangan itu. 
Sahabat saya itu mengatakan : "...seperti itu Jurnalisme, ia harus jujur, apa adanya untuk memberitakan sesuatu kepada khalayak"
Atas komentar ini, saya berfikir, apakah musti seperti itu? Apa adanya? Jurnalisme dalam bentuk Gambar (foto) memang musti begitu, tetapi apakah gambar-gambar seperti, tubuh yang terpotong-potong, terburai, misalnya. Layak untuk di tonton atau di lihat?
Atau rekaman kejadian (vidio) pembunuhan, penembakan oleh polisi, kecelakaan dengan tubuh yang terlindas, atau tayangan korban peperangan (pertempuran), investigasi kepolisian terhadap pemerkosa dan korban, atau wartawan menanyakan bagaimana si pelaku membunuh, memperkosa, membakar, membuat senjata rakitan, layak menjadi tontonan sebagai hasil jurnalisme?
Masih ingat siaran langsung tembak-menembak antara Polri versus terorisme di Temanggung waktu yang lalu? 
Juga tayangan langsung dari rumah-rumah terbakar karena tawuran antar kampung dari Lampung juga dari Sulsel beberapa tahun lalu? 
Atau siaran langsung demonstrasi di sertai 'pentung-pentungan, pukul memukul, tendang menendang, hantam menghantam disertai perkataan Vulgar, makian dan hujatan Apakah ini layak di tonton oleh pemirsa Indonesia? 
Atau tayangan perkelahian yang terhormat wakil-wakil rakyat di senanyan, waktu lalu? 
Apakah semua itu layak? siapa yang mengijinkan? Pemerintah? Masyarakat? Atau demi jurnalisme yang jujur dan apa adanya tadi?
Saya pikir, ini bukan jurnalisme yang berkebudayaan, tetapi kampanye kekerasan kesegala arah, atau dengan kata lain bahwa kekerasan, anarkiesme, korupsi, pemerkosaan, pembunuhan, adalah sesuatu yang 'biasa-biasa' saja alias sah-sah saja. Hm!
Jurnalisme dalam paham saya, bertugas memberitakan kejadian, tetapi pada saat yang sama Jurnalisme juga menjaga Kepatutan, kesopanan dan kelayakan sebuah berita (tayangan, suara dan tulisan).
Sebagai salah satu pilar 'pembangun kebudayaan' maka Jurnalisme memiliki tanggung jawab soal itu. 
Pada akhirnya, saya berfikir, jangan-jangan Jurnalisme justru pelaku kekerasan atas dirinya sendiri.
Samarinda, awal april 2016

Ing English

Cultural Essays on Violence Journalism.
By. Romo Wl Ro Ma.
There are billions of news that we hear, read and watch the results of the Multi Media Journalism. Even for context and contemporary texts, Journalism is a major part in the life of human communication. So it's important he (journalism) to the World is very narrow, and no boundaries to it. The impact is, openness, transparency and kebenderangan for everything. Therefore, Journalism emerged as a 'god' sole power over anything, except over himself.
We are grateful for the achievement of that, we are grateful for this result. Rejoice with all incidents and events in seconds can be read, heard, watched at the same time in all corners of the World. A friend of mine, who is also a journalist, said that the only world without borders, is Journalism.
'Any news can be! My friend continued it. Politics, sport, culture, fighting, fights, rapes, Educational, all become the object of journalism. Obviously my friend.
Perhaps my friend's statement is true, given the fact so.
As an observer of culture and also a The priest, I actually questioned this statement. Journalism without borders is Denial In journalism itself. That is, the denial of the noble intention of the purpose of journalism. Is not a news aggregator, Journalists must edit, write and deploy or declare what is collected (of course after editing). Either in the form of audio-visual else in the form of text, including in the form of sound.
So it is not without limits, but respect for the Spirit of journalism itself. Presumably it's the Spirit that binds Journalism, long gone, either move around.
No wonder when the news, either in the form of impressions (audiovisual), images, text and sound, showing 'something or showing' Vulgar journalism. What is without sensor (edit) that considers the principle of modesty, decency, and the feasibility of the results of journalism.
Look, how close the children and adults with the term 'rape, murder, suicide bombings, fights, infidelity, corruption, mutilation, terrorism, etc.' which was also accompanied by images and impressions very Vulgar even as the headlines are in needed by the audience.
Strange when campaigning journalism anti-violence, anti anarkiesme, Defender of rights, and so on, but at the same time it gives an overview accompanied by narrative explanation of how, violence, anarkiesme, rape, it happens? Is this not deny yourself?
Let searched carefully, in 1 x 24 hour news what stands out from the National TV shows and transnational. Do not be surprised, if news and anarkiesme Violence in all its forms, infidelity by various groups or corruption that occurred in both the bureaucracy, Legislative, Judiciary and private, into a large servings in an appeal news educational, religious, artistic.
See also, similar events (such as impressions and news) inspired many children to adults to imitate.
Likewise, the dailies published, either too early afternoon, three-quarter money with Shows that.
My friend said: "... such journalism, he should be honest, what to preach something to the audience"
Comment on this, I think, what it must be like? As it is? Journalism in the form of image (photo) must indeed be so, but whether such images, bodies mutilated, frayed, for example. Deserves to be watched or seen?
Or footage of the incident (vidio) murder, shootings by the police, the accident with a body crushed, or impressions of victims of war (battles), the police investigations against the rapist and the victim, or the journalist asked how the perpetrators of murder, rape, burning, to make the weapons, decent a spectacle as a result of journalism?
Still remember the live broadcast of a shootout between police versus terrorism in Temanggung time ago?
Also the live stream from the houses on fire since fighting between the village of Lampung also from the province a few years ago?
Or broadcast live demonstrations accompanied the 'bat-bat, hit hit, kick to kick, hit hit with Vulgar words, curses and blasphemies Is this feasible watched by viewers Indonesia?
Or impressions fights were honorable representatives of the people in senanyan, time ago?
Is it all worth it? who is allowed? Government? Society? Or for the sake of journalism that is honest and candid about?
I think, this is not journalism cultured, but a campaign of violence in all directions, or in other words that the violence, anarkiesme, corruption, rape, murder, is something that 'ordinary' alias legitimate. Hm!
Journalism in my understanding, in charge of proclaiming the incident, but at the same time journalism also keep Decency, modesty and the feasibility of a message (display, sound and text).
As one of the pillars 'culture builder' then Journalism has a responsibility about it.
In the end, I think, lest Journalism abusers instead of himself.
Samarinda, early april 2016


Rob Colection.
RWM.BOONG BETHONY