21/04/15

Esei Pendek

Esei Jejak Kartini, Budaya Bangsa.

oleh : RW Maarthin.



'Hayo Bangun papi, antar Abang. Mau merayakan Ibu kita Kartini di Sekolah' sambil menggoyang tubuhku yang pagi ini agak berat bangun. Sambil menguap aku turun dari tempat tidur dan melirik si Abang sambil tersenyum.
'Abang sudah mandi?' tanyaku pendek berlalu ke Kamar mandi. Diluar rumah, gemericik dedaunan tertimpa titik-titik air yang mengguyur kota tepian Mahakam. Pantas, si Abang butuh diantar.
'Sudah. Tinggal sarapan. cepetan ya pi, nanti terlambat' ingat anak ke-duaku.
'Baik, sana sarapan dulu' sahutku sambil menutup pintu kamar mandi.
Yah, pagi ini hampir semua Sekolah-sekolah Dasar/SD negeri pun swasta di Kota Tepian Mahakam menanggalkan Seragam keseharian menjadi busana multietnik. Teringat,masa-masa Sekolah di Surabaya dulu. Peringatan Hari KARTINI selalu jadi multi even disekolah-sekolah mulai dari SD, SMP, SMA/SMK. Sepanjang hari itu, tidak ada pelajaran, hanya KARTINIA-an (istilah kami disurabaya). Selain Karnaval busana etnik dan busana lainnya ( berpakaian ala jendral, kiyai, pendeta, pedande, pahlawan nasional, dst) ada juga lomba baca Puisi, busana Kartini, Folksongs, puncaknya pada malam kesenian sekaligus pemberian hadiah bagi pemenang KATINI-an. Moment seperti itu, baik siswa pun guru bergembira dalam kebanggaan KARTINI-an. Tapi itu dulu di Surabaya sekitar 30-an tahun lalu. Akhir-akhir ini, peringatan KARTINI-an, mulai menghilang dari Sekolah-sekolah lanjutan, bahkan seperti hari-hari biasa saja. Saya tak mengerti mengapa seperti itu. Padahal, menurut pengalamanku, KARTINI-an, adalah salah satu moment untuk mengingatkan para peserta didik dan pendidik, betapa indahnya Multi Etnik dalam sebuah ikatan emosi saat-saat seperti itu. Tapi jangankan KARTINI-an, lha Peringatan 17-an Agustus atau 17-an sering juga disebut Agustusan, sebagai Hari Kemerdekaan Negara Kesatuan Repoblik Indonesia, terasa sepi meski ada beberapa kegiatan 'hanya' dibeberapa daerah juga. Sekolah-sekolah sampai Perguruan Tinggi, Instansi Pemerintahan dan swasta, kampung-kampung sampai ke kota Ultrametropolitan pun semakin sunyi dari Peringatan-peringatan Hari Besar Kenegaraan, paling banter Upacara. Bandingkan dengan perayaan hari-hari besar Partai Politik yang riuh rendah dalam Perayaannya! Teringat dikampung saya di Sawunggaling Surabaya beberapa puluh tahun lalu, KARTINI-an dan Agustusan menjadi salah satu hari Perayaan yang ditunggu-tunggu kedatangannya. Karena peringatan ke-2(dua) hari kebangsaan itu, pasti akan melibatkan seluruh penghuni kampung. Ada lomba busana mulai dari anak-anak sampai pada ibu-ibu. Yang lelaki, biasanya akan tampil dengan pakaian Pahlawan atau yang paling memikat adalah tampilnya bapak-bapak dalam busana perempuan. Aneka lomba akan menyatukan seluruh penghuni kampung, tanpa pandang bulu dari suku apa dan agama apa. Semua menyatu, semua memberi support, semua berpartisipasi baik dalam bentuk sumbangan acara puncak pun keterlibatan langsung. Pokoknya ini hari punya kita sekampung, sekota, sekabupaten, sepropinsi dan senegara. 
Yang menang dalam lomba-lomba di hari kebangsaan itu bergembira, yang kalah bergembira, semua bergembira karena itu dalam bentuk Bakti kepada Bangsa dan Negara, ungkapan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena memberi KARTINI dan KEMERDEKAAN untuk Warganya. Apakah, dizaman sekarang ini masih ada ikatan emosi seperti itu?
'Papi, Abang sudah selesei sarapan' teriak anakku dari balik pintu.
'Iya nak, Papi berpakaian dulu ya' sahutku pendek.
Sambil memarkir si putih, aku perhatikan teman-teman sekolah si Abang mulai berdatangan, ada seorang jendral, seorang anak berbusana Jendral besar Soedirman, ada Dewi Sartika, jendral Polisi, Dokter, Penerbang, Petani, Nelayan, Perempuan Papua, Cuk Nya Dien, Perempuan Minang, Sakera, Kiyai, Pastor, Perempuan dan Lelaki Daya' dan Naruto (wah..hihihihi). Guru-guru Perempuan pun tak mau ketinggalan dengan berbusana KARTINI. Pemandangan manakjubkan pagi ini. Sama seperti rasa takjubku, ketika berkunjung ke Belanda kekota Amsterdam, di wilayah Zuidoost - Bijlmer, aku dapati Jln. Raden Ajeng Kartini yang ditulis lengkap (bandingkan nama jln yang sama di kota anda hanya tertulis RA. Kartini), demikian juga di kota kecil VENLO bagian selatan Belanda ada tertulis R.A. Kartinistraat dalam bentuk huruf 'O' di kawasan Hagerhof. Saya tidak tahu, mengapa di Negeri Belanda itu ada jln yang diberi nama Raden Ajeng KARTINI, saya tidak berani mereka atau menduga-duga. Yang jelas dengan memakai nama Raden Ajeng KARTINI tanda Pengakuan terhadap Perjuanag KARTINI Putri Jawa Kelahiran Jepara, 21 April 1879. 
Bagaimana kekinian kita? Disini? Akhirnya saya berfikir bahwa, ketika Bangsa dan Rakyat Negeri ini, tidak lagi menghargai para pahlawan-pahlawannya, maka ketika itu pula simpul-simpul Multietnik, Multireligius, Multibahasa, Multitradisi, Multikuliner, terbuka lebar menjadi ikatan primordial, kedaerahan, individualis yang kemudian melahirkan pengakuan pada ketiadaan lainnya, selain kami. 
TAHUKAH ANDA BAHWA PERAYAAN KARTINIAN DAN AGUSTUSAN, MERUPAKAN BUDAYA BANGSA MEREKATKAN PARA PENGHUNINYA?
Selamat KARTINA-AN.

(Tepian Mahakam, 21 April 2015, pkl.08.45 Waktu Limau)




RWM.BOONG BETHONY