25/11/14

Pokok-pokok Pikiran untuk Masyarakat Adat Seko.

Masyarakat Seko menolak pembangunan PLTA di Seko.
LAPORAN DARI SEKO 0leh : Aleksander Mangonting.
Perjalanan ke Seko dalam rangka pembinaan baik untuk pemahaman tentang PKBGT maupun peningkatakn ekonomi jemaat secara khusus dalam pendampingan untuk menghadapi persoalan yang ada kami laksanakan bekerjasama dengan Ketua PKBGT Klasis Seko Padang Bapak Drs. Tahir Bethoni pada tanggal 6-10 Oktober 2014.
Dalam perjalanan ke Seko beberapa waktu yang lalu, 6-10 Oktober 2014, kami mengunjungi dan mengadakan pembinaan di ketiga Klasis di Seko yaitu Seko Padang, Seko Embona Tana dan seko Lemo. Untuk Klasis Seko Padang dan Seko Embona Tana kami berdua dengan Ketua biro Hukum Gereja Toraja (Pnt. Aleksander Sambenga, SH. M.Kn), dan untuk Seko Lemo hanya kami yang melakukan pembinaan yang dilaksanakan di Kariango dan Kampung Baru.
Adapun perusahaan yang masuk ke Seko adalah PT Asripower menjadi PT Sekopower Prima dan PT Sekopower Prada.
Beberapa catatan penting:
1.Perlunya pengembangan masyarakat Seko ke depan untuk dibina dalam bentuk kelompok baik itu kelompok tani, kelompok wanita dan dalam bentuk koperasi bersama untuk mengembangkan usaha. Dan juga perlu peran aktif dari masyarakat dan jangan hanya menungguh.
2.Perlu sinergitas diantara semua kelompok masyarakat untuk mengambil kesepakatan saling memahami dan saling mendukung dalam berjuang bersama sebagai masyarakat Seko.
3.Perlunya informasi dan data yang jelas mengenai rencana pembangunan PLTA di Seko (2 perusahaan), kemudian diskusi secara terbuka mengenai berbagai hal menyangkut proyek tersebut.
4.Di Sae, Seko Tengah merupakan ujung terowongan aliran air untuk pembangkit listrik tenaga air di Seko dan mobil alat berat sudah sampai di situ dan membuka Posko di tempat tersebut tetapi belum ada papan proyek.
5.AMAN di Seko perlu mengambil peran sebagai penggerak dan bukan “bermain mata” dengan pihak perusahaan lewat kontak person.
6.Titik paling rawan dan paling resah selama beberapa waktu ini (beberapa bulan terakhir ini) adalah di Makaleang.
7.Proyek ini tentu mempunyai dampak kepada seluruh masyarakat Seko baik langsung maupun tidak langsung.
Beberapa masukan untuk masyarakat di Seko sebagai berikut:
1.Perlunya perencanaan secara strategis dalam pendataan dan pengurusan surat-surat tanah masyarakat sehingga jelas posisi hukum tanah mereka paling tidak dalam bentuk SKT (Surat Keterangan Tanah).
2.Sistem pengelolaan masalah dan penangannya harus transparan kepada segenap masyarakat.
3.Amdal proyek perlu transparan kepada masyarakat.
4.Apakah sudah ada percakapan secara terbuka kepada masyarakat tentang ganti rugi.
5.Sudah adakah kesepakatan antara pihak perusahaan dengan masyarakat mengenai hak-hak dan fasilitas apa yang akan diberikan kepada masyarakat.
6.Sesudah berjalan dengan baik kelompoknya, maka beberapa kelompok masyarakat dapat membentuk Koperasi bersama, seperti koperasi tani mandiri dll.
7.PT Seko Fajar kalau kita lihat dari sisi izin usaha, maka seharusnya sudah berproduksi tetapi hingga kini belum ada titik terangnya. Ini perlu dipertanyakan.
8.Sudah pernah ada pengumpulan tanda tangan untuk penolakan mengenai proyek tetapi tidak jelas apa yang menjadi titik tolak dalam penolakan tersebut.
Saran untuk tindak lanjut ke depan :
1.Untuk menindak lanjuti berbagai persoalan yang ada, diharapkan kepada ketiga Klasis yang ada di Seko untuk memasukkan dalam program kerja Klasis tentang pendampingan kepada masyarakat Seko menghadapi persoalan ini.
2.Perlunya pemdampingan secara terus menerus kepada masyarakat atas prakarsa Gereja Toraja di Tiga Klasis di Seko, tetapi masyarakat harus lebih aktif berperan dalam bentuk kelompok. Jadi pola dan sistem perlu kita bangun bersama.
3.Perlu masyarakat dibentuk dalam kelompok-kelompok untuk lebih memudahkan mengorganisir dalam pembinaan dan pengembangannya ke depan.
4.Agar seluruh masyarakat Seko baik yang tinggal di Seko maupun yang tinggal diluar perlu lebih proaktif dalam menghadapi berbagai persaoalan yang ada dan jangan hanya menungguh saja. Zakaria Ngelow To Seko Lipu-Tondok Obil To Seko Hoyane Ikha Milka Nance
Rob Colection

Sekilas Tentang Seko 
By :Rais Laode Sabania

Seko dalam bahasa setempat berarti saudara, atau sahabat/teman, pengertian ini didasarkan oleh cerita masyarakat. Secara geografis, Seko adalah satu daerah Dataran Tinggi yang secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Seko merupakan kecamatan terluas dan terjauh dari sekian kecamatan di Kabupaten Luwu Utara.
Luas Seko mencapai 2.109,19 Km2, wilayahnya berada di ketinggian antara 1.113 sampai 1.485 meter di atas permukaan laut, dengan topografi sebagian besar wilayahnya berbukit-bukit. Sebelah barat berbatasan langsung dengan Kecamatan Rampi, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Toraja, bagian selatan berbatasan dengan Kecamatan Sabbang, Masamba serta Limbong dan bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju.
Kecamatan Seko terdiri dari 12 desa, yang semuanya sudah berstatus definitif sejak tahun 2000. selain itu terdapat sembilan wilayah adat yang tersebar ditiga wilayah besar, yakni Seko Padang (Hono’, Turong, Lodang, Seko Rampi/Singkalong), Seko Tengah (Pohoneang, Amballong, Hoyyane), dan Seko Lemo (Kariango dan Beroppa). Kesembilan wilayah hukum adat tersebut masing-masing memiliki struktur kelembagaan adat, wilayah yang jelas, dan menerapkan hukum adatnya secara otonom.
Dalam pengambilan keputusan, secara keseluruhan (Sang Sekoan) ditempuh dengan cara musyawarah. Sehingga keputusan tertinggi berdasarkan hasil kesepakatan musyawarah yang dikenal dalam bahasa adatnya dengan sikobu/silahalaha untuk Seko Padang, massalu untuk di Seko tengah dan seko lemo.
Masyarakat adat Seko telah mendiami wilayah adatnya secara turun temurun. Hingga sekarang masyarakat adat Seko masih tetap tumbuh dan berkembang. Mereka memiliki aturan adat istiadat dalam berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Mereka memiliki pula kearifan lokal yang masih dijalankan sampai saat ini.
Sistem Hukum
Hukum adalah sesuatu yang abstrak yang merupakan tata nilai dan menjadi kesepakatan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam konteks masyarakat Adat, hukumpun menjadi hal yang subtansi dalam system kehidupan mereka. Namun berbeda dengan system hukum  yang dipahami oleh Negara dengan Masyarakat Adat, dimana negara (baca: Pemerintah) hukum nya  bersifat Tertulis, sementara Masyarakat Adat sendiri, hukumnya tidak tertulis, hanya berupa kesepakatan yang kemudian disakralkan, hal ini tertihat daripada sanksi-sanksi yang di berikan oleh hukum adat.
Masyarakat Adat Seko juga memiliki system Hukum sebagaimana masyarakat Adat yang lainnya. Dalam masyarakat Adat Seko, To/Tu Bara, To Makaka, serta To Kei, merupakan pengambil keputusan terakhir dalam sebuah persidangan adat. Tetapi sebelumnya, To/Tu Bara, To Makaka, serta To Kei, mendengar terlebih dahulu orang yang dituduh melanggar Adat atau para pihak yang bersengketa, setelah itu mendengar pendapat para Tetua Kampung. Kemudian tetua kampung tersebut berembuk dengan To/Tu Bara, To Makaka, To Kei, setelah ada keputusan hasil rembukan tersebut barulah To/Tu Bara, To Makaka, To Kei menjatuhkan putusan.
Dalam hasil musyawarah Adat Seko yang dilaksanakan pada tahun 2000 di Kec. Seko, sanksi adat yang terberat adalah Denda Kerbau dan diusir dari kampung yg dalam bahasa lokal disebut “dipasahu nai Lipu” . Akan tetapi hasil ini tidak sepenuhnya disepakati oleh komunitas adat setempat, sebab menurut pandangan mereka bahwa tidak semua wilayah Adat di Seko memiliki persamaan system Hukumnya, pun penting melihat dan menyesuaikan kondisi masyarakat yang sedang berperkara.
Kearifan Lokal
Kearifan local adalah sebuah tatanan nilai yang berlaku dan dijaga secara bersama-sama oleh komunitas masyarakat adat seko. Salah satunya bagaimana kearifan masyarakat adat dalam menjaga hutan, Masyarakat tidak akan melakukan penebangan pohon dihutan secara serampangan dan berlebihan, mereka sangat memahami dampak daripada  hal tersebut jika dilakukan.
Selain itu, kearifan lokal dalam bercocok tanam, pembuatan rumah, dan penanganan hama yang menyerang tanaman juga masih dipraktekkan  oleh masyarakat adat seko hingga saat ini, yang jika kita cermati bermakna keseimbangan alam. Beberapa Kearifan-kearifan lokal masyarakat yang dimaksud adalah sebagai berikut: (a). Mupalus : kerja kelompok (khusus tubara hono, lodang dan turong). Tapi Khusus to key disebut dengan Momewalo : kerja kelompok. (b). Mampehola : membuka lahan baru dengan gotong royong. (c). Buat rumah tetap masih dijalankan dengan gotong royong. (d). Jika hama menyerang tanaman masyarakat maka langsung diadakan musyawarah dan tugas towolialah yang menebak kejadian/kesalahan apa yang sedang terjadi dikampung sampai hama menyerang.
Sumber Daya Alam Seko
Wilayah Adat Seko dikenal sebagai wilayah yang memiliki kekayaan SDA, baik dari sektor hutan, maupun hasil-hasil pertaniannya. Tanahnya subur, sehingga banyak jenis tumbuh-tumbuhan yang bisa hidup, diantaranya; cengkeh, padi tarone, dambo, kopi, coklat, dan tebu, yang hasilnya cukup berkualitas.
Hutan di Wilayah Adat Seko banyak menghasilkan getah damar, rotan, madu, kayu gaharu dll. Namun kekayaan alam yang sedemikian melimpah tersebut tidak berarti bahwa hidup masyarakat seko menjadi lebih baik. justru sebaliknya, kekayaan alam mereka lebih banyak dinikmati oleh orang lain ketimbang mereka sendiri.
Salah satu contoh adalah PT.Kendari Tunggal Timber yang merupakan perusahaan HPH yang pernah beroperasi di Wilayah Seko. Saat itu keberadaannya tidak memberikan harapan yang lebih baik kepada masyarakat Seko, justru yang ada adalah perpecahan di tengah-tengah masyarakat Seko itu sendiri.
Selain itu, hingga saat ini PT. Seko Fajar secara administratif masih menguasai cukup luas wilayah kelola masyarakat dan beberapa wilayah lainnya masuk dalam kawasan lindung, hal inilah yang membuat masyarakat seko sangat terbatas dalam pengelolaan sumber daya alamnya. 


Rob Colection
(*)RWM.BOONG BETHONY