18/06/14

sebuah coretan

 Sekilas lembaran Dialek.

Benarlah apa kata sahabat - sahabat saya di Kaliurang dalam sarasehan Budaya Pondok Tani - Kaliurang beberapa hari lalu.
Iseng-iseng saya masuk Group Relawan Prabowo dan Group Relawan JOKOWI, ternyata sarat, HUJATAN dan MAKIAN! Agaknya pertempuran Media Massa Sosial masif melebihi batas-batas kemanusian.
Belum lagi Tabloid yang beredar berisikan Fitnahan kepada masing-masing kubu. Lhooo...ini Pilpres di Indonesia ya?
Trus agama yang nggak salah apa-apa juga menjadi sasaran hujatan kedua belah pihak! Lhooo ini Pilpres di Indonesia ya?
Inilah akibatnya lompatan budaya yang terjadi di Indonesia. Dari Budaya Lisan, melompat kebudaya digital.
Padahal kita baru belajar memasuki budaya tulis. Budaya dimana mustinya kita belajar mengkalkulasi dan mengkongklusif pemikiran, ide dalam kerangka dialog berfikir terhadap kemanusian dan lingkungan kedalam bentuk-bentuk tulisan.
Kedalam bentuk-bentuk kaidah berfikir dan keindahan kata serta kalimat.
Tapi itulah Indonesiaku..Indonesia yang belum selesai menemukan jatidiri.
Indonesia yang terkepung dunia digital tanpa budaya tulis.




RWM.BOONG BETHONY

Kegamangan Harkitnas.

 Digondol garong.
(catatan untuk 1 juni)

Buat saya tgl 1 Juni tidak hanya soal tgl baru, bulan baru atau gajian lagi. Tgl tersebut dalam kalender hari besar Nasional dicatat sebagai Lahirnya PANCASILA, yang katanya menjadi dasar Negara Repoblik Indonesia. Dasar Negara? Begitulah, menurut catatan Sahibulhikayat. Lho kok menurut catatan Sahibulhikayat? Bukannya sudah di Undang-undangkan oleh Sidang Umum MPR?. Kisahnya begitu! Catatannya seperti itu!. Karena terbukti itu hanya serupa catatan saja atau lebih parah dari itu sebagai catatan kaki; yang boleh dibaca boleh dilewati atau mau buktikan catatan kaki itu atau tidak terserah yang baca. Makanya, Akhir-akhir ini PANCASILA menghilang dari pemikiran banyak orang, termasuk saya dan anda.
Hilang? Ya Hilang! Trus? Ya kita cari atau buat dasar negara baru. Wahh Berani skali ya? Berani dong! Sapa takut? Lha kalau para pejabat, Birokrat, Legislatif - Legislator, Yudikatif, Rohaniawan, para pujangga, Resi, Baghawan dan Partai-partai Politik, yang mustinya bertanggung jawab menjaga PANCASILA bisa menghianati Dasar negara itu, masak rakyat tidak boleh? Masakan saya atau anda tidak boleh? Lho emang mereka itu siapa? Warga negara asing? Turis?
Menghianati Pancasila? Iya pasti, jelas! Masak kamu nggak bisa melihat penghianatan itu?
Lihatlah birokrat itu! Mentri itu! Gubernur itu! Bupati itu! Walikota itu!
Lihatlah Hakim itu! Jaksa itu! Polisi itu! Pengacara itu!
Lihatlah Rohaniawan itu! Ustads itu! Pendeta itu! Pastor itu!
Lihatlah Ketua partai itu! Presiden partai itu! Pimpinan kelompok itu!
Lihatlah jejak mereka!
Menurutmu mereka punya Pancasila dihati? Didada? Dipikiran? Ditindakan mereka?
Pandanglah rumah! Pandanglah istana-istana! Pandanglah roda-roda mewah! Pandanglah perempuan koleksi!
Menggiurkan?
Menjijikan!
Memuakkan!
Ach, memalukan negeri ini!
Lho, katanya, Pancasila adalah pandangan hidup bangsa indonesia!
Hahahahaahahaha, itu dulu bung! Jaman Bung Karno! Jaman Bung Hatta!
Ini jaman reformasi! Jaman kebebasan! Jaman bebas!
Jadi menurutmu, Pancasila itu Historis ya!
Ya! hanya kisah masa lalu. Kisah yang di jadikan bahan ujian disekolah.
Hari itu, tgl 1 juni!
Kantor-kantor, rumah-rumah, hotel-hotel bintang dan melati, penginapan, tempat-tempat ibadah, bordil-bordil, diserbu ribuan garong.
Merusak pintu dan jendela.
Berebutan, meraih relief garuda pancasila.
Di jual kiloan.
Kiloan?
Ya kiloan! Mumpung masih ada yang mau membelinya.
Mangkanya, aku mau buat dasar sendiri.
Mau ikutan???
(di sebuah makam tua pojok kotaku, merah putih serupa bendera berkibar-kibar ditengah pekuburan. Diujung pekuburan itu, seorang gembala kambing meniup seruling senada padamu negeri)

RW Maarthin.
di rumahku, Istanaku, jln Puspogiwang - Semarang



RWM.BOONG BETHONY

Energi sia-sia


Ach..energi itu akan berputar-putar lagi.
(catatan pinggir tenatng BOLA dan PILPRES)
2 bulan lalu, energi rakyat Indonesia liar berputar-putar seperti angin puyuh terhisap oleh gaung Pemilihan legislatif yang marak dengan Amplop itu. Terhisap oleh Amplop-amplop liar yang melayang kemana saja arahnya, hinggap pada mereka yang terkurung oleh kisaran 30.000 rupiah hingga 100.000 rupiah. Murah meriah tanpa pertimbangan akal sehat apalagi oleh nurani terlebih spiritdemokrasi. Beberapa pekan sesudah itu, energi-energi liar itu mengerucut pada 2 kubu calon presiden dan wakil presiden. Persoalan masih sama, meskipun penampakannya berbeda. Yaitu sama-sama menggugat spiritdemokrasi dan menelanjanginya bulat-bulat sampai nadir. Kali ini bukan permainan amplop vulgar, terang benderang (yang disatu pihak oleh bawaslu tak dipungkiri tapi sulit terbukti dengan alasan tak ada yang mau jadi saksi dan pada pihak lain gelembung suara dimana-mana terjadi. Sejauh ini hanya ada sanksi adiministratif versus kesalahan adiministratif penyelenggaraan Pemilu kemudian masuk dalam kotak lebel pelanggaran ringan? Benarkah seperti itu?). Energi itu liar tuding menuding masing-masing kubu capres-cawapres. Mengemuka keburukan, borok dan lara masing-masing. Saling lempar, saling teriak siapa lebih buruk dan lebih baik. Rakyat tersapu kesitu, bergulingan, berputar, saling menindih, menyikut bahkan merayu-rayu. meminta-minta, adu pekik, semoga kelak tidak jotos-jotosan. Menurut kabar angin yang entah diletupkan oleh siapa, bisa saja kentut seseorang, karena kabar itu mustinya baik. Lha namanya kabar, kan selalu baik. Tapi ini kabar busuk dan berbau. Amplop-amplop liar itu beterbangan dalam jumlah milyard dari kantong kubu yang ada. Kepada siapa saja yang mendekat apalagi membawa gerembolannya. Semua energi terhisap kesana pada kubu-kubu itu. Energi yang mustinya baik dan positif untuk demoraktisasi rakyat indonesia, pembelajaran bagi umat, pembudayaan untuk msyarakat, peradapan bagi bangsa; terlihat serupa teaterikal temporal, bagai pertunjukan ketoprak, serupa karnaval tahunan, tampak sebagai tawuran antar pelajar, tanggung dan akil balik.
Tapi Energi, semua kesitu. Berputar-putar disitu, seperti mati hidup disitu. Merapat, berbaris, mengibarkan panji-panji, mengelabui dan menelikung siapa saja, tak jelas siapa Baghawan dan siapa garong. Siapa guru siapa murid. Siapa Resi siapa rampok. Siapa pujangga siapa pedagang.
Tak jelas, mana pasar mana kampung, mana kantor mana terminal, mana rumah ibadah mana penggadaian.
Tak beda, laki perempuan, anak orang tua, pemangku rakyat, budayawan asongan, baik bobrok, jelaga mutiara. Jadi satu, berpelukan, bergandengan, berlarian,berebut dan berhantam.
Entah bilamana Energi itu henti lalu hinggap disawah-sawah, diladang, dikebun, dipantai, dipabrik, dikantor, disekolah, dikampus, dirumah, dijalanan.
Dan kini, Energi itu terpesona oleh Pementasan akbar di Brasilia. Saya berharap Energi itu berkumpul kesana, agar tak ada lagi energi liar, negatif mengelilingi kubu capres dan cawapres.

Semoga.

(RWM - Jatimulyo Kricak, Yogyakarta, 14 Juni 2014)
RWM.BOONG BETHONY

Tuntutan Petani Indonesia.

Apakah Reformasi Pertanian Penting untuk Ketahanan Pangan Nasional?

Sahabat saya Budiyono Jayus , seorang Praktisi Pertanian, yang selalu turun ketengah Kaum Termarginalkan 'Para Petani Indonesia' menulis beberapa Tuntutan tapi karena beliau orang jawa tulen ia ganti Tuntutan itu menjadi Saran.
Biarlah saran atau Tuntutan ini saya muat kembali di Wall ini, untuk menyuarakan perasaan Para Petani Indonesia yang selama ini menjadi bulan-bulanan mafia yang bergentayangan disekitar Pemerintah.

Capres no 1 dan no 2 masing masing punya kelebihan dan kekurangan tetapi keduanya mempunyai kesamaan. Dalam 2 kali padu ( debat ) keduanya tidak berani menyinggung sektor pertanian yg notabene penyangga utama stabilitas suatu bangsa,keduanya tidak berani mengutarakan/menjanjikan ;
1. Membeli hasil panen petani pada saat harga terpuruk saat panen raya.
2. Membatasi kepemilikan tanah pertanian oleh perusahaan ato perorangan.
3. Memberi setiap keluarga petani lahan garapan 2 ha bagi rumah tangga tani yg lahannya kurang dari 5000 meter.
4. Tanah tanah pertanian yg oleh pemiliknya di ditelantarkan disita oleh negara untuk dibagikan kepada petani yg menjadi buruh tani.
5. Jalankan politik dumping untuk sektor pertanian.
6. Hentikan import untuk produk produk pertanian yang bisa dibudidayakan di dalam negri.
7. Hentikan subsidi pupuk dan diganti dengan subsidi pasar.
8. Semua bahan pangan kebutuhan pokok rakyat tetap dikuasai dan di kontrol negara di bawah pengawasan lembaga yg independen.

Bila salah satu capres ada yg berani merealisasikan ga usah panjang lebar bla blanya 90% jadi tentunya harus ada kontrak untuk mengontrol perjanjiannya.

Wahai CAPRES DAN CAWAPRES....mampukah anda mengembalikan Petani Indonesia menjadi Tuan Tanah di Negeri Gemahripah Loh Jenawi ini?


RWM.BOONG BETHONY