26/11/14

Menelisik proyek-proyek Swasta atas nama Pemkab Di SEKO.
Rob Colection
Perbaikan Ruas jalan Mabusa - Palandoang

WAJIB BACA!
Sahabat, Handaitaulan serta kerabat To Seko Lipu-Tondok, dimanapun berada, proyek besar Seperti pertambangan, PLTA adalah proyek-proyek yang didanai, dieksplore dan dikerjakan oleh Swasta.
Pemerintah, baik Nasional, Propinsi dan Kabupaten/kota hanya memfasilitasi agar Proyek-proyek itu berjalan dengan baik. Pihak Pemerintah, memberi atau mengeluarkan Ijin untuk Pembangunan PLTA, Pertambangan atau proyek-proyek apapun yang bersifat Eksploitasi. Dana pembangunan proyek-proyek itu semua dari pihak swasta, nanti dikelolah oleh swasta dan keuntungan untuk pihak swasta. pemerintah diuntungkan dengan penarikan pajak dari proyek-proyek seperti itu.
Tentu berbeda dengan proyek-proyek sarana dan prasarana infrastruktur seperti, membangun jalan raya, jembatan pun sarana-sarana pendidikan, keagamaan dst.
Biasanya, sebelum pihak swasta membangun proyek-proyek berupa Pertambangan, PLTA/PLTU/PLTBB/PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga : Air/Uap/Batu Bara/Nuklir). Pemerintah akan mengundang Pihak-pihak terkait langsung: Seperti Masyrakat Pemilik Lahan, Tokoh-tokoh Adat dan Pemuka Masyarakat. Untuk membicarakan rencana sebuah proyek di suatu wilayah, dalam pertemuan itu yang dibicarakan adalah :
1. Menyampaikan Maksud dan Tujuan Pemerintah kepada Masyarakat di wilayah dimana proyek itu akan dibuat, Mengapa ini dibutuhkan?
Pertama : Agar Masyarakat tahu tujuan sebuah proyek
kedua : Bagaimana proyek itu akan dilakukan/dilaksanakan
ketiga : Membicarakan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap masyarakat diwilayah tertentu (biasanya kemudian dibentuklah AMDAL yang melibatkan banyak Pihak dan ini memakan waktu yang cukup lama, sebuah proyek besar seperti pembangunan PLTA di Seko, minimal butuh waktu 1 - 2 tahun untuk penelitian.Karena meliputi, pengukuran luas tanah untuk proyek, batas-batas wilayah yang akan dimanfaatkan (berapa hektar dan berbatasan langsung dengan milik siapa), Jika dibangun bendungan, apa yang akan terjadi dengan debit air khususnya DAS dimana sungai itu mengalir dan nanti akan berdampak langsung dengan masyarakat di Karama, Bone hau, dst. Lalu bagaimana dengan limbah proyek yang akan dibangun! Mencatat nama-nama pemilik lahan yang terkena dampak langsung,
keempat : Dibicarakan bagaimana mekanisme pergantian Utung - Rugi bagi Masyarakat berdampak lansung.
2. Ketika Amdal sementara berlangsung, Pemerintah memperkenalkan calon investor yang akan menggarap dan memanfaatkan luasan wilayah yang akan dipakai.
3. Berapa penggantian yang diterima oleh Masyarakat atas proyek itu (kepada para pemilik lahan pun kepada masyarakat yang akan terkena dampak tidak langsung)
4. Direncanakan alih tehnologi kepada masyrakat lokal (biasanya dibentuk semacam pendidikan ketrampilan bagi masyrakat lokal)
5. Berapa alokasi dana untuk CSR selama proyek berlangsung?
6. Ketika semua itu sudah siap, maka disiapkan kertas kerja dalam bentuk proyek dan Agenda Persetujuan antara Masyarakat Pemilik Lahan, Pemerintah dan Pihak investor dalam bentuk MOU.
7. Swasta boleh melakukan kegiatan tersebut (masuk Lokasi, jika sudah jelas semua hal yang saya sebut diatas).
8. JIKA BELUM TERPENUHI MAKA MASYARAKAT DIWILAYAH BERDAMPAK LANGSUNG BERHAK UNTUK MENOLAK DAN MELAKUKAN PERLAWANAN.
9. POSISI PEMERINTAH DALAM HAL INI ADALAH MEDIATOR ANTARA MASYRAKAT PEMILIK LAHAN DAN PIHAK INVESTOR.
10. POLISI HANYA MENGAMANKAN DAN MENJAGA AGAR SELAMA PERUNDINGAN TERJADI MENJADI AMAN.
11. BAIK PEMKAB LUTRA DAN POLRES LUTRA TIDAK BERHAK MENGINTIMIDASI, MEMAKSA APALAGI MENAKUT-NAKUTI MASYARAKAT AGAR MENYETUJUI PROYEK TERSEBUT.
12. UNTUK MENJAMIN BAHWA MOU/PERSETUJUAN DALAM KLAUSAL MOU ITU DAPAT DILAKSANAKAN, MAKA PENANDA TANGAN PERSETUJUAN HARUS DILAKUKAN DIDEPAN NOTARIS DAN DIHADAPAN PEMKAB LUTRA, PIHAK INVESTOR DAN MASYRAKAT.
13. NAH...APAKAH SEMUA INI DILAKUKAN DISEKO?
Semoga tulisan pendek ini dapat memberi pemikiran positif kepada semua pihak.
Rob Colection
5 KM sebelum Palandoang

Rob Colection
Kerbau melintas di Sungai Uro

RWM.BOONG BETHONY

25/11/14

Pokok-pokok Pikiran untuk Masyarakat Adat Seko.

Masyarakat Seko menolak pembangunan PLTA di Seko.
LAPORAN DARI SEKO 0leh : Aleksander Mangonting.
Perjalanan ke Seko dalam rangka pembinaan baik untuk pemahaman tentang PKBGT maupun peningkatakn ekonomi jemaat secara khusus dalam pendampingan untuk menghadapi persoalan yang ada kami laksanakan bekerjasama dengan Ketua PKBGT Klasis Seko Padang Bapak Drs. Tahir Bethoni pada tanggal 6-10 Oktober 2014.
Dalam perjalanan ke Seko beberapa waktu yang lalu, 6-10 Oktober 2014, kami mengunjungi dan mengadakan pembinaan di ketiga Klasis di Seko yaitu Seko Padang, Seko Embona Tana dan seko Lemo. Untuk Klasis Seko Padang dan Seko Embona Tana kami berdua dengan Ketua biro Hukum Gereja Toraja (Pnt. Aleksander Sambenga, SH. M.Kn), dan untuk Seko Lemo hanya kami yang melakukan pembinaan yang dilaksanakan di Kariango dan Kampung Baru.
Adapun perusahaan yang masuk ke Seko adalah PT Asripower menjadi PT Sekopower Prima dan PT Sekopower Prada.
Beberapa catatan penting:
1.Perlunya pengembangan masyarakat Seko ke depan untuk dibina dalam bentuk kelompok baik itu kelompok tani, kelompok wanita dan dalam bentuk koperasi bersama untuk mengembangkan usaha. Dan juga perlu peran aktif dari masyarakat dan jangan hanya menungguh.
2.Perlu sinergitas diantara semua kelompok masyarakat untuk mengambil kesepakatan saling memahami dan saling mendukung dalam berjuang bersama sebagai masyarakat Seko.
3.Perlunya informasi dan data yang jelas mengenai rencana pembangunan PLTA di Seko (2 perusahaan), kemudian diskusi secara terbuka mengenai berbagai hal menyangkut proyek tersebut.
4.Di Sae, Seko Tengah merupakan ujung terowongan aliran air untuk pembangkit listrik tenaga air di Seko dan mobil alat berat sudah sampai di situ dan membuka Posko di tempat tersebut tetapi belum ada papan proyek.
5.AMAN di Seko perlu mengambil peran sebagai penggerak dan bukan “bermain mata” dengan pihak perusahaan lewat kontak person.
6.Titik paling rawan dan paling resah selama beberapa waktu ini (beberapa bulan terakhir ini) adalah di Makaleang.
7.Proyek ini tentu mempunyai dampak kepada seluruh masyarakat Seko baik langsung maupun tidak langsung.
Beberapa masukan untuk masyarakat di Seko sebagai berikut:
1.Perlunya perencanaan secara strategis dalam pendataan dan pengurusan surat-surat tanah masyarakat sehingga jelas posisi hukum tanah mereka paling tidak dalam bentuk SKT (Surat Keterangan Tanah).
2.Sistem pengelolaan masalah dan penangannya harus transparan kepada segenap masyarakat.
3.Amdal proyek perlu transparan kepada masyarakat.
4.Apakah sudah ada percakapan secara terbuka kepada masyarakat tentang ganti rugi.
5.Sudah adakah kesepakatan antara pihak perusahaan dengan masyarakat mengenai hak-hak dan fasilitas apa yang akan diberikan kepada masyarakat.
6.Sesudah berjalan dengan baik kelompoknya, maka beberapa kelompok masyarakat dapat membentuk Koperasi bersama, seperti koperasi tani mandiri dll.
7.PT Seko Fajar kalau kita lihat dari sisi izin usaha, maka seharusnya sudah berproduksi tetapi hingga kini belum ada titik terangnya. Ini perlu dipertanyakan.
8.Sudah pernah ada pengumpulan tanda tangan untuk penolakan mengenai proyek tetapi tidak jelas apa yang menjadi titik tolak dalam penolakan tersebut.
Saran untuk tindak lanjut ke depan :
1.Untuk menindak lanjuti berbagai persoalan yang ada, diharapkan kepada ketiga Klasis yang ada di Seko untuk memasukkan dalam program kerja Klasis tentang pendampingan kepada masyarakat Seko menghadapi persoalan ini.
2.Perlunya pemdampingan secara terus menerus kepada masyarakat atas prakarsa Gereja Toraja di Tiga Klasis di Seko, tetapi masyarakat harus lebih aktif berperan dalam bentuk kelompok. Jadi pola dan sistem perlu kita bangun bersama.
3.Perlu masyarakat dibentuk dalam kelompok-kelompok untuk lebih memudahkan mengorganisir dalam pembinaan dan pengembangannya ke depan.
4.Agar seluruh masyarakat Seko baik yang tinggal di Seko maupun yang tinggal diluar perlu lebih proaktif dalam menghadapi berbagai persaoalan yang ada dan jangan hanya menungguh saja. Zakaria Ngelow To Seko Lipu-Tondok Obil To Seko Hoyane Ikha Milka Nance
Rob Colection

Sekilas Tentang Seko 
By :Rais Laode Sabania

Seko dalam bahasa setempat berarti saudara, atau sahabat/teman, pengertian ini didasarkan oleh cerita masyarakat. Secara geografis, Seko adalah satu daerah Dataran Tinggi yang secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Seko merupakan kecamatan terluas dan terjauh dari sekian kecamatan di Kabupaten Luwu Utara.
Luas Seko mencapai 2.109,19 Km2, wilayahnya berada di ketinggian antara 1.113 sampai 1.485 meter di atas permukaan laut, dengan topografi sebagian besar wilayahnya berbukit-bukit. Sebelah barat berbatasan langsung dengan Kecamatan Rampi, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Toraja, bagian selatan berbatasan dengan Kecamatan Sabbang, Masamba serta Limbong dan bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju.
Kecamatan Seko terdiri dari 12 desa, yang semuanya sudah berstatus definitif sejak tahun 2000. selain itu terdapat sembilan wilayah adat yang tersebar ditiga wilayah besar, yakni Seko Padang (Hono’, Turong, Lodang, Seko Rampi/Singkalong), Seko Tengah (Pohoneang, Amballong, Hoyyane), dan Seko Lemo (Kariango dan Beroppa). Kesembilan wilayah hukum adat tersebut masing-masing memiliki struktur kelembagaan adat, wilayah yang jelas, dan menerapkan hukum adatnya secara otonom.
Dalam pengambilan keputusan, secara keseluruhan (Sang Sekoan) ditempuh dengan cara musyawarah. Sehingga keputusan tertinggi berdasarkan hasil kesepakatan musyawarah yang dikenal dalam bahasa adatnya dengan sikobu/silahalaha untuk Seko Padang, massalu untuk di Seko tengah dan seko lemo.
Masyarakat adat Seko telah mendiami wilayah adatnya secara turun temurun. Hingga sekarang masyarakat adat Seko masih tetap tumbuh dan berkembang. Mereka memiliki aturan adat istiadat dalam berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Mereka memiliki pula kearifan lokal yang masih dijalankan sampai saat ini.
Sistem Hukum
Hukum adalah sesuatu yang abstrak yang merupakan tata nilai dan menjadi kesepakatan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam konteks masyarakat Adat, hukumpun menjadi hal yang subtansi dalam system kehidupan mereka. Namun berbeda dengan system hukum  yang dipahami oleh Negara dengan Masyarakat Adat, dimana negara (baca: Pemerintah) hukum nya  bersifat Tertulis, sementara Masyarakat Adat sendiri, hukumnya tidak tertulis, hanya berupa kesepakatan yang kemudian disakralkan, hal ini tertihat daripada sanksi-sanksi yang di berikan oleh hukum adat.
Masyarakat Adat Seko juga memiliki system Hukum sebagaimana masyarakat Adat yang lainnya. Dalam masyarakat Adat Seko, To/Tu Bara, To Makaka, serta To Kei, merupakan pengambil keputusan terakhir dalam sebuah persidangan adat. Tetapi sebelumnya, To/Tu Bara, To Makaka, serta To Kei, mendengar terlebih dahulu orang yang dituduh melanggar Adat atau para pihak yang bersengketa, setelah itu mendengar pendapat para Tetua Kampung. Kemudian tetua kampung tersebut berembuk dengan To/Tu Bara, To Makaka, To Kei, setelah ada keputusan hasil rembukan tersebut barulah To/Tu Bara, To Makaka, To Kei menjatuhkan putusan.
Dalam hasil musyawarah Adat Seko yang dilaksanakan pada tahun 2000 di Kec. Seko, sanksi adat yang terberat adalah Denda Kerbau dan diusir dari kampung yg dalam bahasa lokal disebut “dipasahu nai Lipu” . Akan tetapi hasil ini tidak sepenuhnya disepakati oleh komunitas adat setempat, sebab menurut pandangan mereka bahwa tidak semua wilayah Adat di Seko memiliki persamaan system Hukumnya, pun penting melihat dan menyesuaikan kondisi masyarakat yang sedang berperkara.
Kearifan Lokal
Kearifan local adalah sebuah tatanan nilai yang berlaku dan dijaga secara bersama-sama oleh komunitas masyarakat adat seko. Salah satunya bagaimana kearifan masyarakat adat dalam menjaga hutan, Masyarakat tidak akan melakukan penebangan pohon dihutan secara serampangan dan berlebihan, mereka sangat memahami dampak daripada  hal tersebut jika dilakukan.
Selain itu, kearifan lokal dalam bercocok tanam, pembuatan rumah, dan penanganan hama yang menyerang tanaman juga masih dipraktekkan  oleh masyarakat adat seko hingga saat ini, yang jika kita cermati bermakna keseimbangan alam. Beberapa Kearifan-kearifan lokal masyarakat yang dimaksud adalah sebagai berikut: (a). Mupalus : kerja kelompok (khusus tubara hono, lodang dan turong). Tapi Khusus to key disebut dengan Momewalo : kerja kelompok. (b). Mampehola : membuka lahan baru dengan gotong royong. (c). Buat rumah tetap masih dijalankan dengan gotong royong. (d). Jika hama menyerang tanaman masyarakat maka langsung diadakan musyawarah dan tugas towolialah yang menebak kejadian/kesalahan apa yang sedang terjadi dikampung sampai hama menyerang.
Sumber Daya Alam Seko
Wilayah Adat Seko dikenal sebagai wilayah yang memiliki kekayaan SDA, baik dari sektor hutan, maupun hasil-hasil pertaniannya. Tanahnya subur, sehingga banyak jenis tumbuh-tumbuhan yang bisa hidup, diantaranya; cengkeh, padi tarone, dambo, kopi, coklat, dan tebu, yang hasilnya cukup berkualitas.
Hutan di Wilayah Adat Seko banyak menghasilkan getah damar, rotan, madu, kayu gaharu dll. Namun kekayaan alam yang sedemikian melimpah tersebut tidak berarti bahwa hidup masyarakat seko menjadi lebih baik. justru sebaliknya, kekayaan alam mereka lebih banyak dinikmati oleh orang lain ketimbang mereka sendiri.
Salah satu contoh adalah PT.Kendari Tunggal Timber yang merupakan perusahaan HPH yang pernah beroperasi di Wilayah Seko. Saat itu keberadaannya tidak memberikan harapan yang lebih baik kepada masyarakat Seko, justru yang ada adalah perpecahan di tengah-tengah masyarakat Seko itu sendiri.
Selain itu, hingga saat ini PT. Seko Fajar secara administratif masih menguasai cukup luas wilayah kelola masyarakat dan beberapa wilayah lainnya masuk dalam kawasan lindung, hal inilah yang membuat masyarakat seko sangat terbatas dalam pengelolaan sumber daya alamnya. 


Rob Colection
(*)RWM.BOONG BETHONY

22/11/14

Gugatan Masyarakat Seko

MENGGUGAT PEMKAB LUTRA.
Para sahabat, Handaitaulan dan kerabat To Seko Lipu-Tondok...Kita bukan bermaksud menolak Pembangunan PLTA PT SEKO PAWER, tapi cara-cara yang dilakukan itu yang tidak menempatkan masyarakat Seko dengan Hormat. Anda bayangkan, ketika saudara-saudara kita di Mamuju (Bonehau, Kalumpang, Karama) menolak rencana pembangunan tersebut, lalu tiba-tiba dialihkan kedaerah Seko, tanpa meminta persetujuan (tanpa ada sosialisasi kepada masyarakat adat Seko) lalu tiba-tiba datang serombongan orang untuk mengukur Lokasi Pembangunan proyek PLTA tersebut! Sebagai orang Seko, saya pasti menolak cara-cara seperti itu! Karena dengan cara seperti itu, Pemerintah masih memandang rendah Masyarakat Adat Seko!
Mustinya, Pemkab Lutra, mensosialisasikan rencana proyek itu, lalu meminta persetujuan Masyarakat Adat Seko, kemudian konpemsasi untuk Masyarakat adat bagaimana?.
Pertanyaan yang saya ajukan kepada Pemkab LUTRA daalam sebuah e-mail adalah :
1. Mengapa Pemkab Lutra tidak mensosialisasikan Proyek itu? Dan Mengapa dipindahkan dari Mamuju ke Seko?
2. Kapan Pemkab Lutra mendapat persetujuan Masyarakat Adat untuk memakai lahan - wilayah Masyarakat Adat seko untuk pembangunan tersebut?
3. Konpensasi apa yang akan diberikan kepada Masyrakat adat? (misalnya ganti - untung atas lahan-lahan yang dipakai untuk proyek itu?
4.Pemkab Lutra, menurut UU Otonomi Daerah..tidak bisa memaksakan kehendak kepada Masyarakat tanpa sosialisasi baik atas nama Pembangunan bahkan atas nama apapun.
5. Menurut UU Otonomi daerah, Pemerintahan kota/Kab. Jika akan melakukan pembangunan Proyek-proyek, maka kewajiban Pemerintah melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat yang berdampak langsung atas proyek-proyek tersebut.
Nach...jadi kita bukan menolak, tapi "MENGGUGAT" cara-cara PEMKAB LUTRA memperlakukan Masyarakat SEKO! Sebagai Generasi To Seko Lipu-Tondok...kami menolak cara-cara ORBA tersebut.
Para Sahabat, Handaitaulan dan kerabat To Seko Lipu-Tondok, khususnya yang berada di Luwu Utara [Sulsel], informasi mengenai pemanggilan 10 orang tokoh masyarakat dan adat di Seko oleh Kapolres LUTRA, harap dikawal dengan sungguh-sungguh. Tolong perhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Jika pemanggilan itu dalam rangkah dialog tentang ketidak setujuan masyarakat adat Seko soal pembangunan PLTHM PT. SEKO PAWER, maka Kedudukan Masyarakat Adat dan Kapolres sejajar...tolong IPPMS dan teman-teman pengurus AMAN LUTRA bisa mengawal dialog itu.
2. Jika pemanggilan itu atas dasar pemaksaan untuk menyetujui proyek tersebut, maka Masyarakat adat berhak untuk menolak pemanggilan itu.
3. Dalam Pembangunan Proyek PLTHM PT. SEKO PAWER, kedudukan Polisi "HANYA" mengamankan situasi jika terjadi tindakan-tindakan anarkis atau kriminal. Dalam persoalan proyek POLISI tidak berhak mengatas namakan atau berpihak pada Pembangunan PLTHM PT SEKO PAWER. POLISI HARUS berdiri dikedua belah pihak.
4. Mohon teman-teman masyarakat adat Seko untuk tidak terpancing melakukan tindakan yang negatif tapi kedepankan bermusyawarah sebagaimana arti SEKO itu sendiri.
5. Jaga jangan sampai POLISI LUTRA melakukan tindakan kekerasan kepada Masyarakat Adat Seko dalam persoalan negoisasi pembangunan Proyek PLTHM PT. SEKO PAWER.
6. Kami masyarakat Seko di Perantauan tidak akan tinggal diam dan berusaha untuk mencari berbagai upaya hukum dan dukungan dari berbagai pihak.
Semoga teman-teman Generasi muda to Seko Lipu Tondok dapat melihat itu sebagai sebuah kebutuhan bersama demi masa depan Masyarakat Adat SEKO.
www.tondokseko.blogspot.com

RWM.BOONG BETHONY

18/06/14

sebuah coretan

 Sekilas lembaran Dialek.

Benarlah apa kata sahabat - sahabat saya di Kaliurang dalam sarasehan Budaya Pondok Tani - Kaliurang beberapa hari lalu.
Iseng-iseng saya masuk Group Relawan Prabowo dan Group Relawan JOKOWI, ternyata sarat, HUJATAN dan MAKIAN! Agaknya pertempuran Media Massa Sosial masif melebihi batas-batas kemanusian.
Belum lagi Tabloid yang beredar berisikan Fitnahan kepada masing-masing kubu. Lhooo...ini Pilpres di Indonesia ya?
Trus agama yang nggak salah apa-apa juga menjadi sasaran hujatan kedua belah pihak! Lhooo ini Pilpres di Indonesia ya?
Inilah akibatnya lompatan budaya yang terjadi di Indonesia. Dari Budaya Lisan, melompat kebudaya digital.
Padahal kita baru belajar memasuki budaya tulis. Budaya dimana mustinya kita belajar mengkalkulasi dan mengkongklusif pemikiran, ide dalam kerangka dialog berfikir terhadap kemanusian dan lingkungan kedalam bentuk-bentuk tulisan.
Kedalam bentuk-bentuk kaidah berfikir dan keindahan kata serta kalimat.
Tapi itulah Indonesiaku..Indonesia yang belum selesai menemukan jatidiri.
Indonesia yang terkepung dunia digital tanpa budaya tulis.




RWM.BOONG BETHONY

Kegamangan Harkitnas.

 Digondol garong.
(catatan untuk 1 juni)

Buat saya tgl 1 Juni tidak hanya soal tgl baru, bulan baru atau gajian lagi. Tgl tersebut dalam kalender hari besar Nasional dicatat sebagai Lahirnya PANCASILA, yang katanya menjadi dasar Negara Repoblik Indonesia. Dasar Negara? Begitulah, menurut catatan Sahibulhikayat. Lho kok menurut catatan Sahibulhikayat? Bukannya sudah di Undang-undangkan oleh Sidang Umum MPR?. Kisahnya begitu! Catatannya seperti itu!. Karena terbukti itu hanya serupa catatan saja atau lebih parah dari itu sebagai catatan kaki; yang boleh dibaca boleh dilewati atau mau buktikan catatan kaki itu atau tidak terserah yang baca. Makanya, Akhir-akhir ini PANCASILA menghilang dari pemikiran banyak orang, termasuk saya dan anda.
Hilang? Ya Hilang! Trus? Ya kita cari atau buat dasar negara baru. Wahh Berani skali ya? Berani dong! Sapa takut? Lha kalau para pejabat, Birokrat, Legislatif - Legislator, Yudikatif, Rohaniawan, para pujangga, Resi, Baghawan dan Partai-partai Politik, yang mustinya bertanggung jawab menjaga PANCASILA bisa menghianati Dasar negara itu, masak rakyat tidak boleh? Masakan saya atau anda tidak boleh? Lho emang mereka itu siapa? Warga negara asing? Turis?
Menghianati Pancasila? Iya pasti, jelas! Masak kamu nggak bisa melihat penghianatan itu?
Lihatlah birokrat itu! Mentri itu! Gubernur itu! Bupati itu! Walikota itu!
Lihatlah Hakim itu! Jaksa itu! Polisi itu! Pengacara itu!
Lihatlah Rohaniawan itu! Ustads itu! Pendeta itu! Pastor itu!
Lihatlah Ketua partai itu! Presiden partai itu! Pimpinan kelompok itu!
Lihatlah jejak mereka!
Menurutmu mereka punya Pancasila dihati? Didada? Dipikiran? Ditindakan mereka?
Pandanglah rumah! Pandanglah istana-istana! Pandanglah roda-roda mewah! Pandanglah perempuan koleksi!
Menggiurkan?
Menjijikan!
Memuakkan!
Ach, memalukan negeri ini!
Lho, katanya, Pancasila adalah pandangan hidup bangsa indonesia!
Hahahahaahahaha, itu dulu bung! Jaman Bung Karno! Jaman Bung Hatta!
Ini jaman reformasi! Jaman kebebasan! Jaman bebas!
Jadi menurutmu, Pancasila itu Historis ya!
Ya! hanya kisah masa lalu. Kisah yang di jadikan bahan ujian disekolah.
Hari itu, tgl 1 juni!
Kantor-kantor, rumah-rumah, hotel-hotel bintang dan melati, penginapan, tempat-tempat ibadah, bordil-bordil, diserbu ribuan garong.
Merusak pintu dan jendela.
Berebutan, meraih relief garuda pancasila.
Di jual kiloan.
Kiloan?
Ya kiloan! Mumpung masih ada yang mau membelinya.
Mangkanya, aku mau buat dasar sendiri.
Mau ikutan???
(di sebuah makam tua pojok kotaku, merah putih serupa bendera berkibar-kibar ditengah pekuburan. Diujung pekuburan itu, seorang gembala kambing meniup seruling senada padamu negeri)

RW Maarthin.
di rumahku, Istanaku, jln Puspogiwang - Semarang



RWM.BOONG BETHONY

Energi sia-sia


Ach..energi itu akan berputar-putar lagi.
(catatan pinggir tenatng BOLA dan PILPRES)
2 bulan lalu, energi rakyat Indonesia liar berputar-putar seperti angin puyuh terhisap oleh gaung Pemilihan legislatif yang marak dengan Amplop itu. Terhisap oleh Amplop-amplop liar yang melayang kemana saja arahnya, hinggap pada mereka yang terkurung oleh kisaran 30.000 rupiah hingga 100.000 rupiah. Murah meriah tanpa pertimbangan akal sehat apalagi oleh nurani terlebih spiritdemokrasi. Beberapa pekan sesudah itu, energi-energi liar itu mengerucut pada 2 kubu calon presiden dan wakil presiden. Persoalan masih sama, meskipun penampakannya berbeda. Yaitu sama-sama menggugat spiritdemokrasi dan menelanjanginya bulat-bulat sampai nadir. Kali ini bukan permainan amplop vulgar, terang benderang (yang disatu pihak oleh bawaslu tak dipungkiri tapi sulit terbukti dengan alasan tak ada yang mau jadi saksi dan pada pihak lain gelembung suara dimana-mana terjadi. Sejauh ini hanya ada sanksi adiministratif versus kesalahan adiministratif penyelenggaraan Pemilu kemudian masuk dalam kotak lebel pelanggaran ringan? Benarkah seperti itu?). Energi itu liar tuding menuding masing-masing kubu capres-cawapres. Mengemuka keburukan, borok dan lara masing-masing. Saling lempar, saling teriak siapa lebih buruk dan lebih baik. Rakyat tersapu kesitu, bergulingan, berputar, saling menindih, menyikut bahkan merayu-rayu. meminta-minta, adu pekik, semoga kelak tidak jotos-jotosan. Menurut kabar angin yang entah diletupkan oleh siapa, bisa saja kentut seseorang, karena kabar itu mustinya baik. Lha namanya kabar, kan selalu baik. Tapi ini kabar busuk dan berbau. Amplop-amplop liar itu beterbangan dalam jumlah milyard dari kantong kubu yang ada. Kepada siapa saja yang mendekat apalagi membawa gerembolannya. Semua energi terhisap kesana pada kubu-kubu itu. Energi yang mustinya baik dan positif untuk demoraktisasi rakyat indonesia, pembelajaran bagi umat, pembudayaan untuk msyarakat, peradapan bagi bangsa; terlihat serupa teaterikal temporal, bagai pertunjukan ketoprak, serupa karnaval tahunan, tampak sebagai tawuran antar pelajar, tanggung dan akil balik.
Tapi Energi, semua kesitu. Berputar-putar disitu, seperti mati hidup disitu. Merapat, berbaris, mengibarkan panji-panji, mengelabui dan menelikung siapa saja, tak jelas siapa Baghawan dan siapa garong. Siapa guru siapa murid. Siapa Resi siapa rampok. Siapa pujangga siapa pedagang.
Tak jelas, mana pasar mana kampung, mana kantor mana terminal, mana rumah ibadah mana penggadaian.
Tak beda, laki perempuan, anak orang tua, pemangku rakyat, budayawan asongan, baik bobrok, jelaga mutiara. Jadi satu, berpelukan, bergandengan, berlarian,berebut dan berhantam.
Entah bilamana Energi itu henti lalu hinggap disawah-sawah, diladang, dikebun, dipantai, dipabrik, dikantor, disekolah, dikampus, dirumah, dijalanan.
Dan kini, Energi itu terpesona oleh Pementasan akbar di Brasilia. Saya berharap Energi itu berkumpul kesana, agar tak ada lagi energi liar, negatif mengelilingi kubu capres dan cawapres.

Semoga.

(RWM - Jatimulyo Kricak, Yogyakarta, 14 Juni 2014)
RWM.BOONG BETHONY

Tuntutan Petani Indonesia.

Apakah Reformasi Pertanian Penting untuk Ketahanan Pangan Nasional?

Sahabat saya Budiyono Jayus , seorang Praktisi Pertanian, yang selalu turun ketengah Kaum Termarginalkan 'Para Petani Indonesia' menulis beberapa Tuntutan tapi karena beliau orang jawa tulen ia ganti Tuntutan itu menjadi Saran.
Biarlah saran atau Tuntutan ini saya muat kembali di Wall ini, untuk menyuarakan perasaan Para Petani Indonesia yang selama ini menjadi bulan-bulanan mafia yang bergentayangan disekitar Pemerintah.

Capres no 1 dan no 2 masing masing punya kelebihan dan kekurangan tetapi keduanya mempunyai kesamaan. Dalam 2 kali padu ( debat ) keduanya tidak berani menyinggung sektor pertanian yg notabene penyangga utama stabilitas suatu bangsa,keduanya tidak berani mengutarakan/menjanjikan ;
1. Membeli hasil panen petani pada saat harga terpuruk saat panen raya.
2. Membatasi kepemilikan tanah pertanian oleh perusahaan ato perorangan.
3. Memberi setiap keluarga petani lahan garapan 2 ha bagi rumah tangga tani yg lahannya kurang dari 5000 meter.
4. Tanah tanah pertanian yg oleh pemiliknya di ditelantarkan disita oleh negara untuk dibagikan kepada petani yg menjadi buruh tani.
5. Jalankan politik dumping untuk sektor pertanian.
6. Hentikan import untuk produk produk pertanian yang bisa dibudidayakan di dalam negri.
7. Hentikan subsidi pupuk dan diganti dengan subsidi pasar.
8. Semua bahan pangan kebutuhan pokok rakyat tetap dikuasai dan di kontrol negara di bawah pengawasan lembaga yg independen.

Bila salah satu capres ada yg berani merealisasikan ga usah panjang lebar bla blanya 90% jadi tentunya harus ada kontrak untuk mengontrol perjanjiannya.

Wahai CAPRES DAN CAWAPRES....mampukah anda mengembalikan Petani Indonesia menjadi Tuan Tanah di Negeri Gemahripah Loh Jenawi ini?


RWM.BOONG BETHONY

14/06/14

Cerita sekitar PILPRES 2014

Ach..energi itu akan berputar-putar lagi.
(catatan pinggir tenatng BOLA dan PILPRES)

2 bulan lalu, energi rakyat Indonesia liar berputar-putar seperti angin puyuh terhisap oleh gaung Pemilihan legislatif yang marak dengan Amplop itu. Terhisap oleh Amplop-amplop liar yang melayang kemana saja arahnya, hinggap pada mereka yang terkurung oleh kisaran 30.000 rupiah hingga 100.000 rupiah. Murah meriah tanpa pertimbangan akal sehat apalagi oleh nurani terlebih spiritdemokrasi. Beberapa pekan sesudah itu, energi-energi liar itu mengerucut pada 2 kubu calon presiden dan wakil presiden. Persoalan masih sama, meskipun penampakannya berbeda. Yaitu sama-sama menggugat spiritdemokrasi dan menelanjanginya bulat-bulat sampai nadir. Kali ini bukan permainan amplop vulgar, terang benderang (yang disatu pihak oleh bawaslu tak dipungkiri tapi sulit terbukti dengan alasan tak ada yang mau jadi saksi dan pada pihak lain gelembung suara dimana-mana terjadi. Sejauh ini hanya ada sanksi adiministratif versus kesalahan adiministratif penyelenggaraan Pemilu kemudian masuk dalam kotak lebel pelanggaran ringan? Benarkah seperti itu?). Energi itu liar tuding menuding masing-masing kubu capres-cawapres. Mengemuka keburukan, borok dan lara masing-masing. Saling lempar, saling teriak siapa lebih buruk dan lebih baik. Rakyat tersapu kesitu, bergulingan, berputar, saling menindih, menyikut bahkan merayu-rayu. meminta-minta, adu pekik, semoga kelak tidak jotos-jotosan. Menurut kabar angin yang entah diletupkan oleh siapa, bisa saja kentut seseorang, karena kabar itu mustinya baik. Lha namanya kabar, kan selalu baik. Tapi ini kabar busuk dan berbau. Amplop-amplop liar itu beterbangan dalam jumlah milyard dari kantong kubu yang ada. Kepada siapa saja yang mendekat apalagi membawa gerembolannya. Semua energi terhisap kesana pada kubu-kubu itu. Energi yang mustinya baik dan positif untuk demoraktisasi rakyat indonesia, pembelajaran bagi umat, pembudayaan untuk msyarakat, peradapan bagi bangsa; terlihat serupa teaterikal temporal, bagai pertunjukan ketoprak, serupa karnaval tahunan, tampak sebagai tawuran antar pelajar, tanggung dan akil balik.
Tapi Energi, semua kesitu. Berputar-putar disitu, seperti mati hidup disitu. Merapat, berbaris, mengibarkan panji-panji, mengelabui dan menelikung siapa saja, tak jelas siapa Baghawan dan siapa garong. Siapa guru siapa murid. Siapa Resi siapa rampok. Siapa pujangga siapa pedagang.
Tak jelas, mana pasar mana kampung, mana kantor mana terminal, mana rumah ibadah mana penggadaian.
Tak beda, laki perempuan, anak orang tua, pemangku rakyat, budayawan asongan, baik bobrok, jelaga mutiara. Jadi satu, berpelukan, bergandengan, berlarian,berebut dan berhantam.
Entah bilamana Energi itu henti lalu hinggap disawah-sawah, diladang, dikebun, dipantai, dipabrik, dikantor, disekolah, dikampus, dirumah, dijalanan.
Dan kini, Energi itu terpesona oleh Pementasan akbar di Brasilia. Saya berharap Energi itu berkumpul kesana, agar tak ada lagi energi liar, negatif mengelilingi kubu capres dan cawapres.
Semoga.
(RWM - Jatimulyo Kricak, Yogyakarta, 14 Juni 2014)

RWM.BOONG BETHONY

14/05/14

Cerita-cerita Angkringan soal Pemilu.
Saya sedang nikmati sebungkus nasi diangkringan jln.Magelang ketika serombongan anak-anak muda datang lalu duduk lesehan disekitarku. Mengamati penampilan mereka, bisa ditebak jika rombongan ini mahasiswa, entah dari Universitas mana. Yang jelas, seketika suasana jadi riuh oleh celoteh mereka sambil masing-masing mengambil sesuai kebutuhan. Pemilik angkringan gembira menyambut mereka sambil menawar mau minum apa kepada tamu-tamunya.

"Adik-adik ini dari mana? kok keliatan kecapean?" sapaku pada anggota rombongan yang duduk pas dimeja lesehan depanku.
"Oh kami baru pulang mengikuti Pleno penetapan di KPU Pak!" sahutnya.
"Oh ya? bagaimana hasilnya?" jawabku spontan.
"Payah! Dan banyak keanehan!" Potong seorang anak muda disampingku.
"Payah dan aneh?" sahutku sambil menoleh.
"Iya Pak! Kami tak habis pikir! Banyak sekali perbedaan perhitungan suara antara TPS, Kecamatan dan KPU?"
"Maksudnya?" kejarku penasaran.
"Haaaa...Romo mulai lagi ya hahahahaha.." suara menggelegar pemilik angkringan membuat kami serentak menoleh padanya.
"Teman-teman...ini Romo paling suka ngobrolin Politik, apalagi soal Pemilu! yang kata Romo banyak kecurangan!" sambung Pak Amat pemilik angkringan.
"Lho apa salah ya Pak Amat?" sahutku sambil menyambar kopi.
"Salah sih tidak Mo. Cuman kita jadi capek ngomongin soal itu!" sambarnya lagi.
"Capek gimana?"
"Ya capek Mo. Lha wong disana-sini terjadi kecurangan. Mulai dari Money Politik, penggelembungan suara, penyelenggaranya tidak sportif. Padahal, kita kan pengin yang lurus-lurus saja Mo. Kalau Romo nggak percaya..tanya tuu anak-anak muda yang jadi pemantau" sambungnya sambil mengaduk jeruk manis.
"Oh jadi adik-adik ini pemantau?" 
"Iya Pak. Tadi kami ikutan Pleno penetapan!" Sahut seorang perempuan disampingku.
"Kalau sudah Pleno kan susah mau di gugat?" sahutku sambil menghisap kretek. 
"pleno kan tinggal penetapan sesuai perhitungan suara!..hanya menetapkan sapa jadi sapa tidak kan?" sambungku.
"Betul Romo!" sahut anak muda didepanku, ikutan menyebutku Romo.
"Beberapa saksi mengajukan keberatan atas perhitungan suara hasil pleno KPU Daerah, tetapi selalu ditolak dengan alasan sudah melewati tahapan sebelumnya. Yang aneh lagi, ada caleg yang di TPS tertentu hanya mendapat 2, 3 suara tapi muncul di kecamatan suaranya jadi berpuluh-puluh!" Jelasnya panjang lebar.
"Lalu apa yang adik-adik temukan?"
"Banyak Romo!" sahut beberapa orang sekaligus.
"Banyak pelanggaran maksudnya?" tanyaku cepat.
"Iya Mo"
"Adik-adik bisa memberi contoh kasusnya?" tantangku.
Anak-anak muda itu saling pandang. Salah satu kemudian mengeluarkan laptop mungil. Membuka.
"Salah satu contoh kecurangan itu ini Mo" sahutnya sambil menyodorkan laptopnya.
"Bagaimana kalau dibacakan saja, supaya kita semua dapat mendengarnya?" pintaku sopan.
"Baik Romo, saya harap teman-teman juga bisa share temuan-temuan dari pantauan selama Pemilu Caleg ini!" sambungnya sambil menoleh kekiri dan kanan.
"yang saya temukan seperti ini. Catatan di TPS A, Suara caleg-caleg sekian-sekian dan suara Partai-partai (yang hanya mencoblos Partai tanpa nyoblos Caleg) sekian-sekian. Tapi aneh, sesampai dikecamatan, ada suara Caleg yang tiba-tiba menggelembung jauh dari hasil perhitungan di TPS A tadi. Setelah dihitung kembali, ternyata tidak ada keselahan. Meski catatan para saksi dari partai-partai sama persis! Ini yang mengherankan kami Mo. Apa yang terjadi?"
"Kalau itu, tidak perlu heran adik-adik" sahutku sambil tersenyum pada mereka.
"Maksud Romo?" sahut mereka hampir bersamaan
"Ini salah satu kelemahan dari System pemilihan sekarang!" sahutku cepat sambil memandang anak-anak muda itu.
"orang-orang yang hanya memilih Partai, otomatis caleg-calegnya tidak dicoblos! Nah..kemampuan para caleg melihat peluang itu luarbiasa! Mengerti maksud saya?" tanyaku sambil berhenti sebentar.
"Saya tahu Maksud Romo!" Pak Amat ikutan nimbrung.
"Para Caleg itu denagn segala daya, akhirnya memengaruhi para petugas TPS untuk mencoblos surat suara yang oleh pemilih hanya mencoblos Partai saja! Makanya ada caleg yang suaranya tiba-tiba menggelembung di tingkat kecamatan" sambung pak Amat merasa lebih tahu dari anak-anak muda itu.
"Ohhhh...pantas saja seperti itu ya Romo?" sahut anak muda yang menemukan kasus aneh itu.
"Itulah yang terjadi! Aneh tapi nyata! demikian pula sampai pada tahapan KPU cara-cara negatif itu terus dipraktekkan!" 
"apakah kasus seperti ini bisa dipidanakan Mo?" tanya seorang muda dari pojok.
"Tentu saja, jika para petugas TPS itu mau mengaku. Tapi siapa yang mau? Lha wong mereka dibayar oleh caleg-caleg itu heheheheehehe.....kasus ini terjadi dari sabbang sampai merauke lhoooo" jelasku sambil menghembuskan asap kretek.
"Wahhhh....." timpal beberapa anak muda.
"ada temuan lain?" tantangku lagi.
"Saya ada Mo. Ini masaalah Money Politik" sambar anak muda yang didepanku.
"Ada caleg yang membagi amplop kepada ribuan pemilih, dan banyak saksi tentang peristiwa itu. Kami sudah melapor kepada Panwaslu/Bawaslu. Tapi ketika Panwaslu/Bawaslu turun menyidik. Para saksi itu tidak mau memberikan kesaksian. Ini kan repot Mo" keluhnya diiyakan oleh beberapa temannya.
"Kira-kira berapa banyak?" potongku sambil bertanya.
"dalam catatan saya, hampir semua Caleg bagi-bagi amplop. Dan isinya rata-rata Rp.50.000,- sampai Rp. 75.000,-. Beberapa informasi yang kami terima, ada yang membagikan 45.000 amplop. Romo bisa bayangkan jika tiap amlop isinya Rp.50.000. Wahhhh....bisa untuk beaya kuliah sampai S3 itu Mo." jelasnya sambil geleng-geleng kepala!
"Aku bisa buka restoran itu" sahut pak Amat cepat sambil terkekeh.
"Itulah yang terjadi diseputar Pemilu Caleg kemaren" sahutku.
"Bangsa kita rusak jika terus-menerus begini ya Mo" sambung anak muda itu lagi.
"Bangsa kita tidak akan pernah rusak. Yang rusak itu adalah orang-orang yang tak lagi memiliki Panggilan Nurani sebagai Manusia Indonesia."
"Jadi para caleg yang ad sekarang ini, dapat kita pastikan mereka semua bermasaalah ya Mo?"
"Kita semua bermasaalah. Ya caleg-caleg itu, Rakyat, Pemerintah. Semua bermasaalah! Termasuk saya, Pak Amat dan adik-adik semua!" sahutku lagi.
"Lho kok bisa begitu Mo?"
"Iyaaa, karena kita tak berdaya menghadapi kecurangan itu! Mau teriak? Mau Protes? Mau Demo?, semua jadi sia-sia. Coba, apa yang kira-kira dapat adik-adik lakukan untuk itu?" tantangku.
Semua terdiam, aku, pak Amat dan anak-anak muda, para mahasiswa itu.
Begitu hebatnya Roh apatisme sudah terbangun dalam persoalan Pemilihan Calon Legislatif tgl 9 April kemaren.
Apatis terhadap Caleg-caleg itu.
Apatis terhadap harapan para caleg itu akan memberi kebaikan.
Apatis bahwa tiap kali Pemilu legislatif akan terselenggara dengan Jujur, Adil dan Transparan.
Apatis bahwa Rakyat tidak akan mau dibeli oleh para caleg.
Apatis bahwa Manusia adalah wakil Tuhan.

(Yogyakarta, 26 April 2014. Angkringan Jln. Magelang)
 — 
RWM.BOONG BETHONY

Mendut Girl Graceful)

Devotional Culture
Mendut Woman that Graceful
(A reflection of civilization)
By Romo Ro Wi Ma.

This afternoon, I visited the Vihara Mendut Magelang to meet with  Bandhe Chief of Vihara mendut. But because the road to Magelang so jammed  make me late until  45 minute and that meeting missed. And the bande chief also has a meeting elsewhere. As compensation for missed that appointments, I'm  surround the temple Mendut and of course my desire, making love to Mendut.

When I  was devoured the beauty of the body Mendut and fondle the curve elegance face of Mendut, my inner turmoil. Vibrating and my passionate love overflowing. Spill and overflow .
"It's physique pretty fascinating" I whispered on the afternoon wind. The wind to stop for a moment to accompany my steps.
"I fell in love 30 years ago and now increasingly grow" I said to the wind.
"Hm" wind caressing my head.
"Are you hesitant with my love to her?"
"Well, It's not my mind, friend" said a brisk breeze.
"Then"
"I know your love is pure. And I'm sure of it!" Then Wind continued  stroking  body of Mendut  that curvaceous.
"What I doubt is the consequence of your love" said the wind.
"Your Mean?" I quickly cut the sentence of wind.
"Indeed Mendut village girl (village), but he is not an ordinary girl! She a symbol! Symbol of a civilization!"
I look fixedly wind and hear what the wind said
"You may be in love the beauty and body ripe of Mendut! You love the beauty of the face of Mendut! But do you love the Symbol beauty of hind?  plumpness that in him? Do you understand of the ideology behind that pretty face?"
I was still staring fixedly wind while lift my right eyebrow.
"Notice the exquisite her body" pleaded the wind.
Once again I  saw of face and thoroughly beautiful  and naked body in front of me. Square stone segments according to the length and width of highly formalized charming,  very a rectangular solid, formidable magical mesmerizing. I turned back to the wind and the wind stroking hair of Mendut in his head.
"Note also the contours of face and body of Mendut" he said again.
For the second time in about the same time I fondle the contours of the exquisite thrill of mendut. So smooth, and the eksotic lines occasionally splurging on Mendut body. Thrilling soul, enjoy the elegance of it. It's conformity.
"Well, now take a look at of her beauty" the wind demand for the third time, jumping and  left me alone.
I stared beautiful face in front of me. Mendut actually challenging with in light eyes sharp, but so soft. Challenging to quickly  for achieved, fondle and embrace him. Unsaturated to look at you Mendut, I whispered to myself.
The wind let me enjoy a beautiful round face naked graceful the front of me.
You are really amazing,  Mendut the Woman graceful.
"What do you think?" the wind rustling asked surprised me.
"Charm and wonderfull" I replied spontaneously.
"That's Symbol Civilization!" Cut a brisk breeze.
"Symbol Civilization Indonesia. Symbol which is forgotten by the children of this country,  the children's of Mendut. Symbol civilization of a nation that had given birth Mendut"
I just sat and started thinking about my  love level for Mendut.
"Only a nation that is gentle, likes to work together and make unity as a civilization to be able to give birth Candi Mendut and to build her young brother, that also mighty in Klaten, Si Borobudur" said winds while soaring left me beside of Mendut.
"Think about it! Later you will understand what I mean" cried the wind from afar while continuing  flying going anywhere place.

Loved Mendut, it's means that loving of civilization to birth the Mendut temple, Borobudur temple, The Jago Temple, etc.
Achhh ... remembered the incident Jakarta International School that horrendous. Remembering International School that more 90%  with in varity of childbirth "sinyo and noni-noni" that then make they foreign of civilization by itself.
Remembering behavior politician this country who swapped civilization with a voice for purchasing power and the opportunity for corruption is wide open.
Remembering the majority of participants in the elections to sell Civilization by choosing who is able to pay even if that person is not of good moral.
Remembering the Students and Students pawn the Civilization with in wrong  clubs and stones in their fights.
Remembering bureaucrats that to change civilization with bad moral and to sell soul itself  and do anything for Money and power.
Remembering the clergy who have betrayed civilization with promises of heavenly.
Remembering poets, Cultural, writer, that civilization which disappeared from this country.
Mendut oh Mendut .. to love you not only delayed but widened to everywhere.
Like the people who love you.

Realizing that, I became embarrassed.
Therefore I immediately returned to Yogyakarta and to let Mendut met or encountered by Love others.
Goodbye Mendut.

Indonesian Verzion

Mendut Wanita yang Anggun
(Sebuah refleksi dari peradaban)
Romo Ro Wi Ma.

Sore ini, saya mengunjungi Vihara Mendut Magelang untuk bertemu dengan Bandhe Kepala Vihara Mendut. Tetapi karena jalan menuju Magelang jadi macet membuat saya terlambat sampai 45 menit dan pertemuan yang tidak terjawab. Dan kepala bande juga memiliki pertemuan di tempat lain. Sebagai kompensasi atas kehilangan itu janji, aku mengelilingi candi Mendut dan tentu saja keinginan saya, bercinta dengan Mendut.

Ketika saya melahap keindahan tubuh Mendut dan membelai kurva keanggunan wajah Mendut, kekacauan batin saya. Bergetar dan gairah cinta saya meluap. Tumpahan dan melimpah.
"Ini fisik cukup menarik" bisikku pada angin sore. Angin berhenti sejenak untuk menemani langkah saya.
"Aku jatuh cinta 30 tahun yang lalu dan sekarang semakin tumbuh" Saya berkata kepada angin.
"Hm" angin membelai kepalaku.
"Apakah Anda ragu-ragu dengan cinta saya kepadanya?"
"Nah, Ini bukan pikiran saya, teman" kata angin cepat.
"Kemudian"
"Aku tahu cinta Anda adalah murni. Dan aku yakin itu!" Kemudian angin terus membelai tubuh Mendut yang montok.
"Apa yang saya ragu adalah konsekuensi dari cinta Anda" kata angin.
"Maksudmu?" Aku segera memotong kalimat angin.
"Memang Mendut gadis desa (desa), tapi dia bukan gadis biasa! Dia simbol! Symbol dari peradaban!"
Saya melihat lekat-lekat angin dan mendengar apa yang dikatakan angin
"Anda mungkin cinta keindahan dan tubuh matang dari Mendut! Anda menyukai keindahan wajah Mendut! Tapi apakah Anda mencintai Simbol keindahan belakangnya? Kebayakan yang dalam dirinya? Apakah Anda memahami ideologi di balik wajah cantik? "
Aku masih menatap tajam angin sementara mengangkat alis kanan saya.
"Perhatikan indah tubuhnya" pinta angin.
Sekali lagi aku melihat wajah dan tubuh secara menyeluruh indah dan telanjang di depan saya. segmen batu persegi sesuai dengan panjang dan lebar yang sangat formal menawan, sangat padat, irama magis tangguh persegi panjang. Aku berbalik kembali ke angin dan angin membelai rambut dari Mendut di kepalanya.
"Perhatikan juga kontur wajah dan tubuh dari Mendut" katanya lagi.
Untuk kedua kalinya dalam waktu yang sama aku mencumbu kontur sensasi indah dari Mendut. Begitu halus, dan garis-garis eksotic sesekali menonjol pada tubuh Mendut. Mendebarkan jiwa, menikmati keanggunan itu. Ini sesuai.
"Nah, sekarang kita lihat kecantikannya" permintaan angin untuk ketiga kalinya, melompat dan meninggalkan saya sendirian.
Aku menatap wajah cantik di depan saya. Mendut sebenarnya menantang dengan mata cahaya tajam, tapi begitu lembut. Menantang dengan cepat untuk dicapai, mencumbu dan memeluknya. Tak jenuh untuk melihat Anda Mendut, bisikku dalam hati.
Angin biarkan aku menikmati indah wajah bulat telanjang anggun depan saya.
Anda benar-benar menakjubkan, Mendut Wanita anggun.
"Apa yang kamu pikirkan?" gemerisik angin bertanya mengejutkan saya.
"Charm dan wonderfull" jawab saya spontan.
"Itu Simbol Peradaban!" Potong angin cepat.
"Simbol Peradaban Indonesia. Simbol yang dilupakan oleh anak-anak negeri ini, anak-anak dari Mendut. Simbol peradaban sebuah bangsa yang telah melahirkan Mendut"
Saya hanya duduk dan mulai berpikir tentang tingkat cinta saya untuk Mendut.
"Hanya bangsa yang lembut, suka bekerja sama dan membuat kesatuan sebagai sebuah peradaban untuk dapat melahirkan Candi Mendut dan membangun adik laki-lakinya, yang juga perkasa di Klaten, Si Borobudur" kata angin sementara menjulang meninggalkan aku samping dari Mendut.
"Pikirkan tentang hal ini! Nanti Anda akan mengerti apa yang saya maksud" teriak angin dari jauh sambil terus terbang ke mana-mana tempat.

Mencintai Mendut, itu berarti bahwa mencintai peradaban untuk melahirkan candi Mendut, Candi Borobudur, The Candi Jago, dll
Achhh ... ingat insiden Jakarta International School yang menghebohkan. Mengingat International School yang lebih 90% dengan di kurikulumnya melahirkan "sinyo dan noni-noni" yang kemudian membuat mereka asing peradaban dengan sendirinya.
Mengingat perilaku politisi negeri ini yang bertukar peradaban dengan suara untuk kekuasaan dan kesempatan untuk korupsi pembelian terbuka lebar.
Mengingat mayoritas peserta dalam pemilu untuk menjual Peradaban dengan memilih yang mampu membayar bahkan jika orang itu tidak baik moral.
Mengingat Siswa dan Mahasiswa menggadaikan Peradaban dengan di klub yang salah dan batu dalam perkelahian mereka.
Mengingat birokrat yang mengubah peradaban dengan buruk moral dan menjual jiwa itu sendiri dan melakukan apa saja untuk uang dan kekuasaan.
Mengingat para ulama yang telah mengkhianati peradaban dengan janji-janji surgawi.
Mengingat penyair, Budaya, penulis, bahwa peradaban yang hilang dari negeri ini.
Mendut oh Mendut .. mencintai Anda tidak hanya tertunda tapi melebar ke mana-mana.
Seperti orang-orang yang mencintai Anda.

Menyadari itu, saya menjadi malu.
Oleh karena itu saya segera kembali ke Yogyakarta dan membiarkan Mendut bertemu atau ditemui oleh Cinta lain.
Selamat tinggal Mendut.



Rob Coletion


(RWM, Serambi Candi Mendut, 5 Mei 2014. kira-kira pkl. 17 lebih)


RWM.BOONG BETHONY

04/02/14

DIALOG BUDAYA. (A few key points Dialectical culture)

A few key points Dialectical culture.
Romo Ro Wi. Maarthin.

Human reality now.

              We are witnessing the establishment of a large house inhabited together. The house where the occupants at each other, touching, exchanging stories, live under one roof, in the same space and time. As it is, I understand globalization. Namely, a new cultural movement, created by and by itself as a result of the Human brightness cultivate the mind through science and technology applied in all aspects of human life. In particular and especially in the development or by the Communication Technology indirectly be the main drivers of globalization. He (Communication technology) gives the region indefinitely, without limit, in spaces of digital coumputer, Android, Ipad, Blackbarry and Mobile. Accessing and utilizing social networking sites become traditional and new human behavior. These digital spaces continuously provide information in any form. Of news events somewhere in the story - the story of another; advertising, job, project reporting, corporate data, literature came to the things that are very personal and Vulgar can be accessed and utilized by anyone and sourced from anyone. Global culture is, streaking ahead of human ability and forecasts. Therefore, everywhere occur nervousness. Nervous since the wave (Globalization), tear down, demolish and grind and break through the boundaries of time zones. Nervous, facing changes in space and time, which simultaneously struck simultaneously in all parts of the world. Nervous, because of tradition, values, local norms simultaneously attract each other, influence each other and generate values, the new norms. Nervous, Because there is a change: the attitude, behavior, perspective, measures that have been considered sacred, sacred and sublime. Nervous, because of the presence of others who are different traditions, language, religion, economics and perspectives. This is the reality in the big house. A reality that is unavoidable by anyone, even by modern and strong country like our European, Japanese, Korean, including the United States though.

                 This reality is very enlightening one side of civilization. Therefore, it should be celebrated as a brilliant era of human intelligence. A giver era brightness addressing the problems that occur anywhere on the Earth's surface simultaneously. The era in which the impetus of solidarity and appreciation for the fate of our fellow human beings emerged in human rights, and equality become the hope that fought together. Feudal Era collapse behavior, anarkhies and arbitrarily detained because of rainbows Democracy. Ongoing era of transparency, openness of the world beyond the boundaries of decades ago into sentiment and the taboo on talking about both locally and across regions. At the same time, efforts to strengthen the traditions, values ​​and norms of the local more fertile. Science and technology more equitable, balanced economic power between north and south; east and west. Addiction and more balanced trade between countries, so there is no longer truly strong both economic and political. Any field intensity surfaced dialogue for the sake of the common life better.

                But on the other hand, we face the reality of dark cubicles Globalization. Readiness to meet the wave of change that was different each place. Happens all nervous late and all's stuttering. Namely, the inability to enter and adapt to the waves of change as a result of globalization. What happens then is the growth of primordial attitude towards secrecy and tend to think negatively against any group or faction outside, followed blossoms narrow fanatic attitudes and accused the Era of Globalization as neocolonialism developed countries in the form of invasion produck-goods, services and Fashen. On the economic chamber, Capitalism, cartels and multinational trade kooperat monopolize the type of goods and consumption in certain areas for the benefit of magnitude, resulting in the collapse of local manufacturers accompanied by declining competitiveness objects and consumption of local products. At booth Religious, secular view coloring adherents who just put the attitude of appreciation and respect for the symbol-symbol and religious rituals without spiritual depth as expected by the teaching of religions contrary to the other side of the increasingly powerful religious sentiment are patterned politicization of ideology between countries and regions. Which is then a separate issue in the house with the so-called globalization, and also the main theme in this essay. The events of violence is everywhere where, often happens in the name of religion, in the name of God and in the name of Heaven.

             It must be recognized that globalization is the wave of change that continues - again, taking place simultaneously and that can not be avoided especially prevented. A drastic changes that happen all the time, spreading everywhere, pervasive and not compassionate toward those who are not ready to one side and be a great chance with any possibility for anyone on the other side. It was a picture of a big house in which we live together is now.

             In this short essay is limited and conical thinking about culture as dialogue. In previous decades, the intensity of inter-religious dialogue and inter faith rife everywhere, from the level of international, regional and local. The rise of dialogues going on fear along the narrow fundamentalist and violent din Atar groups that occur regionally and even multinationals in the name of heaven and even the name of God. What a pity that the dialogues are tiring it is still at the level of elities, and resistant dirana community or grassroots. Or in other words reception on the differences, they belong to the inhabitants of the sky (read: Elities Religion) and not a heavenly revelation that gave the blessing and mercy for the inhabitants (read: the laity). There, the problem, namely the community or grassroots. Where touches life scrolling dynamic but vulnerable to violence at any time explode and surprise. If the reality as it is, it takes intelligence dialogue was expected to enlighten the whole grassroots. Some further thoughts may be approaching enlightenment is, and will be encouraging if this thinking becomes Lightening.

Culture is Heaven.

                Globalization is an instant bridge cultural inclusion of outsiders into the Indonesian people, especially from the western world, East Asia and the middle east. Cultural invasion was highly influential in the policies of the National Development and parse - explained the local cultural Indonesian society. One phenomenon that is growing global mass culture, both in the use and dissemination of personal identity as well as groups. Global mass culture are:
1.   Utilization of mass products mass-produced goods such as Coumputer, mobile 
      phone.
2    Behavior Consumerism and hedonism. Namely, mass roduk proprietary products as       labeled personal and community recognition.
3.   Behavior and tendency to follow the trend is going. Internet use with all social 
      networks, like Facebook, Blogspot, Yahoo, Tweeter, etc.. Or in the form Fashen, 
      cuts and hair styles, fashion clothing and religious trends. Not to forget the field of 
      art, the emergence of a band Boys or Girls Band mushrooming.
4.   Instanisasi. Circumstances and situations where humans tend to behave instantly 
      as turbulence products with instant glow mass product like Instant noodles 
      accompanied the invasion of fast food (fast-food) such as, KFC, Mcdonald, 
      Pitzahutt, types of drinks coke like Coca cola, sprite, instant coffee , and so on.

           This global mass culture can be defined as behavior, highly efficient, emphasizing the convenience, style, speed, entertainment, pleasure simultaneously, fantasy, sensuality, luxury, freedom and simple. A new lifestyle to achieve it everyone will feel an integral part of modern life the world community. But on the other hand, the problem of the humanity and culture are very simplistically reduced to a pragmatic, instant and coped very mathematically calculative that deny basic human capacity on culture.

               As a local tradition-laden nation, Indonesia has a character mapped on each island, language, art, and local beliefs outside the major religions that came to Indonesia. These local traditions build Indonesian culture as an entity that stretches from Pulau We in the west to Papua in the east. That is, the Indonesian culture never existed if the tradition that stretches from Sabang to Merauke it becomes lost. Therefore, looking at Indonesia Civilization means to browse their local traditions character. In the context of the realization that the invasion of global mass culture's influence - intimidate the dynamic development of Indonesian civilization of this century. Because of the resilience of Indonesian community traditions become important, urgent and progressively preserved as a piece of civilization to the Indonesian-ness.

              In the minds of writers, local traditions is the unifying character. Which is the glue of thousands of islands, languages, indigenous peoples, who make up the Cultural Indonesia. This character (local traditions that make up the Indonesian Culture) could be proposed as an alternative base and dialogue - dialogue to overcome the various problems humanity lately fragile in this beloved country. As stated above that the inter-faith dialogue has been the tradition of the inhabitants of heaven (the clergy) but resistant among the inhabitants of the earth (society). A mere dialogue imposible. That is, it (the dialogue between religion and intra-faith) was done as a response when the case of disputes between Religion and faith intra coloring people's lives. A dialogue that does not actually give room conversations from heart to heart; human to human. A dialog, which only show and highlight that each religion has a view and a revelation on the acceptance of the other and or appreciate the difference. A dialogue, which critics of the biblical text was never able to answer and give room reception that 'Another Man it was me and I was another man'. If honest listening, dialogue among people over the years, both regionally and internationally swirling around in the draft text Alkibiah fixed price through the interpretations contextualization and forget the cultural interpretation of the texts. The edges are a joint call in the form of documents, which essentially has a value for documentation. Though the dialogue is a cultural behavior, being born therefore feel as a human being. But the dialogue is often forgotten cultural context, it is often locked himself in the texts (alkibiah) and did not have the guts out to get in the room Heavenly humanity, namely Culture. Disputes, riots, abuse of authority, the destruction of the natural environment is forgetfulness of human culture. That dialogue between faith and my religion intra PAM- AM.

Alrnatif encouraging dialogue and dissipate.

In the end, I think that the dialogue between faith (religion) is not the only path to reconciliation and peace, the opposite dialogue culture can be surfaced as another aternatif. Intercultural dialogue of local / regional wealth and variety of variants of a theological dialogue that is always circled on the religious views respectively formalistic manner. Dialog literature, for example, in the form of literature studies or staging local stories in a theatrical format of traditional arts such, Ludruk, Puppet, Ketoprak, reog, Janger. And in the form of instruments and music festival the archipelago, local dance festival, sculpture and sculpture. Festival tradition of coastal communities, upland communities, martial arts, culinary festivals archipelago and so on. Is not that always show such a dialogue in harmony with each other. And of course so diverse cultural dialogue archipelago that if all written will need dozens of pieces. This (cultural dialogue) could be encouraged to address the various problems faced together. In my opinion, dialogues like this (cultural dialogue) can only be done by any agency in the country, including all religious institutions-an. With active institutions all religion late in the dialogues of cultures can be expected any reward (read: repentance) by institutions all religion-an against the local tradition that has been underestimated and intentionally marginalized even 'killed' in 'sadistic' by all religious institutions-an.

As a small note: Culture in the form of local tradition in the history of the spread of religion in Indonesia discriminated and tend to 'become' the main enemy. Specifically by Christianity and Islam; although in the case of spread, Islam slightly softened, rather than mainly Protestant Christians. In the course then, both religion (Islam and Christianity) is often revealed disharmonis.

Hand encouraging that, at not for me. There is also concern that troubling. Namely, views and attitudes towards local tradition that started left and considered archaic as a result on measures of global mass culture acceptance as images and icons of a new way of life. Of course this is the great problem for the Indonesian culture. At such times the situation is really worrying. Strange, as a nation that claimed cultured, it does not become an emergency! At least visible from the elities which have long been regarded as a leader. In fact, everywhere area, structural decomposition values; degraded norms that result in the reduction of pragmatic culture between the nobility and decay, between nationalities and groups, between nations and ideologies primordial benefit. Unfortunately most reasonable assume that it is the purpose and results of the reform movement. Or otherwise variable with it is the strengthening of regional tastes, ethnicity (ethnic) based on the traditions, love and pride in the arts. Awakening is very encouraging, that attention to local culture increasingly rampant everywhere place in Indonesia. Excavation of the values ​​that used to be considered old-fashioned flourishing done by children younger son from college. Of course this is a cultural enlightenment though only done parcial alone. At least give insight to those involved in the research and study for it.

Dialogue, a culture of learning.

Tracing the history of the birth of the State of Indonesia, provide a valuable lesson, how much difference, antagonism, and exchange of thoughts at that time very exciting but can be boiled down into consciousness to escort us to the threshold of independence. That string of beads of local traditions into knit culture to the Indonesian-ness, as now, first there, and coloring the exchange of thoughts, conflicts, differences and debates that can diseleseaikan culture. Whereas in the early days of independence to the door, fighting and tension can be passed in the processes of cultural discussion by looking at the plurality of the former Territory of Colonies Indies with a form of cultural derivation of national unity. The "foundingFather's" realized indeed, the early settlement discussions independence can not be solved only by religious dialogue alone. Therefore, the awareness to put all Indonesian Culture-an extremely prominent in tension towards the Indonesian Independence. The willingness of the pioneers of nationality, receive national unity is a very brilliant decision culture ever made by this nation in human history and even the history of the world.

Behavior precursor to the recognition of plurality (plurality) is a cultural attitude that is expected to be a character Dialogic settlement of various issues of nationality on the one hand and on the other side into the basic character in global contestation. How's all we now? I just wanted to stalk the "Foundingfather's". Make a cultural dialogue and a culture of learning character dialogue is relentless.
Hopefully helpful, cultural greeting.

Yogyakarta, October 13, 2013



Beberapa pokok pikiran Dialektis kebudayaan .
Oleh: RW. Maarthin.


Realitas manusia kini.
Kita sedang menyaksikan terbangunnya sebuah rumah besar yang dihuni secara bersama-sama. Rumah dimana penghuni saling pandang, bersentuhan, bertukar cerita, hidup dibawah satu atap, dalam ruang dan waktu yang sama. Seperti itu,  Globalisasi saya pahami. Yaitu, Sebuah pergerakan budaya baru, yang tercipta oleh dan dengan sendirinya sebagai akibat kecermelangan Manusia mengolah pikiran melalui Ilmu pengetahuan dan tehnologi yang diterapkan dalam segala  aspek hidup Manusia. Secara khusus dan atau oleh terutama dalam pengembangan Tehnologi Komunikasi yang secara tidak langsung jadi pemicu utama Globalisasi. Ia (Tehnologi komunikasi) memberi wilayah tanpa batas, tanpa limit, pada ruang-ruang digital coumputer, Android, Ipad, Blackbarry dan Handphone. Mengakses dan memanfaatkan situs-situs jejaring sosial menjadi tradisi dan perilaku baru manusia. Ruang-ruang digital ini terus menerus memberi informasi dalam bentuk apapun. Dari berita kejadian disuatu tempat keperistiwa  - keperistiwa lain; iklan, lowongan kerja, pelaporan proyek, data perusahaan, karya-karya sastra sampai pada hal-hal yang amat pribadi dan Vulgar dapat diakses dan dimanfaatkan oleh siapapun dan bersumber dari siapapun.  Budaya Global ini,  melesat mendahului kemampuan dan prakiraan manusia. Karena itu, dimana-mana terjadi kegugupan. Gugup karena gelombang itu (Globalisasi), merobohkan, meruntuhkan dan menggilas batas wilayah serta menerobos zona waktu. Gugup, menghadapi perubahan ruang dan waktu, yang secara bersamaan melanda serentak diseantaro belahan dunia manapun. Gugup, oleh karena tradisi,  nilai-nilai, norma-norma lokal secara bersamaan saling tarik menarik, saling memengaruhi dan melahirkan nilai-nilai, norma-norma baru. Gugup, Lantaran terjadi perubahan : sikap, perilaku, cara pandang, ukuran-ukuran yang selama ini dianggap suci, sakral dan agung.   Gugup, oleh karena kehadiran orang lain yang beda tradisi, bahasa, agama, ekonomi dan cara pandang. Ini realitas dalam rumah besar itu. Sebuah realitas yang tidak terhindari oleh siapapun, bahkan oleh Negara modern dan kuat seperti Masyarakat Uni Eropa, Jepang, Korea termasuk Amerika Serikat sekalipun.

Realitas ini disatu sisi amat mencerahkan peradaban. Karena itu,  patut dirayakan sebagai era cemerlang kecerdasan manusia. Sebuah era pemberi kecerahan menyikapi persoalan-persoalan yang terjadi dimanapun diatas permukaan bumi secara bersama. Era dimana dorongan solidaritas dan penghargaan atas nasib sesama manusia mengemuka dalam hak-hak azasi, serta kesetaraan menjadi harapan yang diperjuangkan bersama. Era tumbangnya perilaku Feodal, anarkhies dan sewena-wena oleh karena pelangi-pelangi Demokrasi. Era berlangsungnya transparansi, keterbukaan dunia yang melampaui batas-batas yang beberapa dekade lalu menjadi sentimen dan tabu dipercakapkan baik secara lokal maupun interwilayah. Serentak dengan itu, upaya-upaya penguatan tradisi, nilai dan norma-norma lokal semakin subur. Ilmu pengetahuan dan tehnologi makin merata, kekuatan ekonomi berimbang antara utara dan selatan; timur dan barat. Ketergantungan dan perdagangan antar negara semakin berimbang,  sehingga tidak ada lagi yang sungguh-sungguh kuat baik secara ekonomi dan Politik. Intesitas dialog dibidang apupun mengemuka demi kehidupan bersama yang lebih baik.

                Tapi pada sisi lain, kita hadapi kenyataan bilik-bilik gelap Globalisasi. Kesiapan menyongsong gelombang perubahan itu beda tiap tempat. Terjadi ke-gugup-an dan ke-gagap-an. Yaitu, ketidak mampuan masuk dan menyesuaikan diri terhadap gelombang perubahan akibat Globalisasi. Yang terjadi kemudian adalah tumbuhnya sikap primordial yang tertutup serta cenderung beranggapan negatif terhadap kelompok atau golongan diluar, diikuti kembangnya sikap-sikap fanatis sempit dan menuduh Era Globalisasi sebagai neokolonialisme negara-negara maju dalam bentuk invasi produck-produk barang, jasa dan fashen. Pada bilik ekonomi, Kapitalisme, kartel-kartel dan kooperat perdagangan multinasional memonopoli jenis barang dan konsumsi pada wilayah-wilayah tertentu demi keuntungan besarnya, yang berakibat  bangkrutnya pabrikan lokal dibarengi  menurunnya daya saing benda-benda produk dan konsumsi setempat. Pada bilik Agama,  pandangan sekuler mewarnai penganutnya yang hanya menempatkan sikap penghargaan dan penghormatan pada symbol-symbol dan ritual-ritual keagamaan tanpa disertai kedalaman spiritual sebagaimana yang diharap oleh pengajaran agama-agama sebaliknya pada sisi lain semakin kuat sentimen keagamaan yang berpola politisasi idiologi antar negara dan wilayah. Yang ini kemudian menjadi persoalan tersendiri  dalam rumah bersama yang disebut Globalisasi, dan juga menjadi temah utama dalam esay ini. Peristiwa-peristiwa kekerasan dimana-mana tempat, seringkali terjadi atas nama Agama, atas nama Tuhan dan atas nama Surga.

Harus diakui bahwa Globalisasi adalah gelombang perubahan yang secata terus – menerus, berlangsung serentak dan yang tidak dapat dihindari terlebih dicegah. Sebuah perubahan drastis yang terjadi setiap waktu, menjalar kemana saja, merasuk dan tidak berbelas kasih terhadap mereka yang tidak siap disatu sisi dan menjadi peluang besar dengan segala kemungkinan bagi siapa saja pada sisi lain. Itu gambaran rumah besar yang kita huni bersama ini sekarang ini.

Dalam esay pendek ini pemikiran terbatas dan dikerucut sekitar  kebudayaan sebagai diaolog.  Dalam beberapa dekade sebelumnya, intensitas dialog antar agama dan inter iman marak dimana-mana, dari level internasional, regional dan lokal. Maraknya dialog-dialog terjadi atas ketakutan bersama pada fundamentalis sempit dan riuhnya kekerasan atar kelompok yang terjadi secara regional bahkan multinasional atas nama surga dan terlebih atas nama Tuhan. Sayang bahwa dialog-dialog yang melelahkan itu masih pada tataran elities, dan resisten diranah masyarakat atau akar rumput. Atau dengan kata lain penerimaan pada perbedaan,  masih milik para penghuni langit (baca: Elities Agama) dan tidak menjadi wahyu sorgawi yang memberi berkah dan rahmat untuk  penghuni Bumi (baca: kaum awam). Disitu, persoalannya, yaitu pada masyarakat atau akar rumput. Dimana sentuhan-sentuhan kehidupan bergulir dinamis tapi rentan menghadapi tindak kekerasan yang sewaktu-waktu meledak dan mengejutkan. Jika realitas seperti itu, maka butuh kecerdasan dialog yang diharap memberi pencerahan terhadap seluruh akar rumput. Beberapa pemikiran selanjutnya  semoga dapat mendekati pencerahan yang dimaksud, dan akan menggebirakan bila pemikiran ini menjadi Pencerah.

Kebudayaan adalah Sorga.
Globalisasi adalah jembatan instan masuknya kultural masyarakat luar kedalam masyarakat Indonesia, terutama dari dunia barat, Asia Timur dan juga timur tengah. Invasi kultural itu sangat berpengaruh dalam berbagai kebijakan Pembangunan Nasional dan mengurai-burai kultural lokal masyarakat Indonesia.  Salah satu fenomena itu adalah pertumbuhan budaya massa global, baik dalam pemanfaatan maupun sebagai sosialisasi identitas personal serta kelompok. Budaya Massa Global adalah :
  1. Pemanfaatan secara masal produk-produk barang yang diproduksi secara masal seperti Coumputer, telepon genggam.
  2. Perilaku Konsumerisme dan hedonisme. Yaitu, kepemilikan produk-roduk masal sebagai lebel personal dan pengakuan komunitas.
  3.  Perilaku dan kecenderungan untuk mengikuti trend yang sedang terjadi. Pemanfaatan internet dengan segala jejaring sosial, seperti Facebook, Blogspot, Yahoo, Tweeter, dst. Atau dalam bentuk fashen, potongan dan model rambut, trend pakaian dan busana keagamaan. Tak ketinggalan dibidang berkesenian, munculnya Boys band atau Girls Band yang menjamur.
  4. Instanisasi. Keadaan dan situasi dimana manusia cenderung berperilaku instan seiring gejolak produk-produk instan dengan marak produk masal seperti Mie instan disertai serbuan makanan cepat saji (fast-food) seperti, KFC, Mcdonald, Pitzahutt, jenis minuman coke seperti Coca cola, sprite, kopi instan, dst.
Budaya massal global ini dapat dirumuskan sebagai perilaku, sangat efisien, menekankan kemudahan, gaya, kecepatan, hiburan, kesenangan serentak, fantasi, sensualitas, kemewahan, kebebasan serta simple. Sebuah gaya hidup baru yang dengan meraihnya setiap orang akan merasa menjadi bagian integral dari kehidupan modern masyarakat dunia. Tapi pada sisi lain, masaalah kemanusian dan kebudayaan secara sangat simplistis direduksi menjadi pragmatis, instan dan diatasi sangat matematis kalkulatif yang mengingkari kemampuan dasar manusia atas budayanya.

Sebagai bangsa yang sarat tradisi lokal, Indonesia memiliki karakter yang terpetakan pada setiap pulau, bahasa, kesenian, dan kepercayaan lokal diluar Agama-agama besar yang datang ke Indonesia. Tradisi-tradisi lokal ini membangun kebudayaan indonesia sebagai suatu Entitas yang terbentang dari Pulau We dibarat sampai Papua ditimur. Artinya, budaya indonesia tidak pernah ada jika tradisi-tradisi yang terbentang dari sabang sampai merauke itu menjadi hilang. Oleh sebab itu memandang Peradaban Indonesia berarti menelisik karakter tradisi lokalnya. Dalam konteks itu kesadaran bahwa invasi budaya massal global ini mempengaruhi - mengintimidasi dinamika perkembangan peradaban indonesia abad ini . Karena itu ketahanan tradisi masyarakat indonesia menjadi penting, urgen dan secara progresif dilestarikan  sebagai kepingan peradaban ke-Indonesia-an.

Dalam benak penulis, tradisi-tradisi lokal adalah karakter pemersatu. Yang merupakan lem perekat ribuan pulau, bahasa, masyarakat adat, yang membentuk  Kebudayaan Indonesia. Karakter ini (tradisi lokal yang membentuk Budaya Indonesia) dapat diajukan sebagai dasar dan alternatif dialog - dialog mengatasi berbagai soal kemanusian yang akhir-akhir ini petas  di Negara tercinta ini. Seperti tertulis diatas bahwa dialog-dialog antar iman selama ini menjadi tradisi para penghuni langit (para tokoh agama) tapi resisten dikalangan penghuni bumi (masyarakat). Suatu Dialog yang kasuistik belaka. Artinya, ia (dialog antar Agama dan intra iman) dilakukan sebagai  jawaban ketika kasus pertikaian antar Agama dan intra iman mewarnai hidup masyarakat. Suatu dialog yang tidak sesungguhnya memberi ruang percakapan dari hati ke hati; manusia ke manusia. Suatu dialog, yang hanya mempertontonkan dan menonjolkan bahwa masing-masing Agama memiliki pandangan dan wahyu atas penerimaan yang lain dan atau menghargai perbedaan. Suatu dialog, yang secara kritik teks alkitabiah tidak pernah mampu menjawab dan memberi ruang penerimaan bahwa ‘Manusia lain itu adalah aku dan aku adalah manusia lain’. Jika jujur menyimak, dialog antar umat selama ini, baik regional dan internasional berputar-putar sekitar teks Alkibiah dalam konsep harga mati melalui tafsir-tafsir kontekstualisasi dan melupakan tafsir budaya terhadap teks-teks itu. Ujung-ujungnya adalah seruan bersama dalam bentuk dokumen-dokumen yang pada hakekatnya memiliki nilai dokumentasi belaka. Padahal dialog adalah suatu perilaku kebudayaan, yang lahir oleh karena merasa sebagai manusia. Tapi sering kali dialog melupakan konteks budaya, karenanya sering  mengurung diri dalam teks-teks itu (alkibiah) dan tidak punya keberanian keluar untuk  masuk  ruang Sorgawi kemanusian, yaitu Kebudayaan. Pertikaian, kerusuhan, penyalahgunaan wewenang, rusaknya lingkungan alam adalah kealpaan manusia pada kebudayaan.  Begitulah dialog antar iman dan intra agama saya pamami. 

Dialog alrnatif yang menggembira dan merisau.
Pada akhirnya, saya menyangka bahwa dialog-dialog antar Iman (Agama) bukan satu-satunya jalan untuk pendamaian dan kedamaian, sebaliknya Dialog budaya dapat mengemuka sebagai aternatif lain. Dialog lintas budaya lokal/kedaerahan memiliki kekayaan dan ragam varian dari sekedar dialog teologis yang selalu berputar-putar pada pandangan agama masing-masing secara formalistik. Dialog kesusastraan misalnya, dalam bentuk kajian-kajian sastra atau  pementasan kisah-kisah lokal dalam format teaterikal kesenian tradisional seperti, Ludruk, Wayang, Ketoprak, Reog, Janger. Dan dalam bentuk Festival instrumen dan msik-musik daerah Nusantara, festival tari-tarian daerah, seni pahat dan patung. Festifal tradisi masyarakat pesisir, masyarakat dataran tinggi, pencak silat, festifal kuliner Nusantara dan sebagainya. Bukankah itu dialog yang selalu mempertontonkan rupa harmonis antar sesama. Dan tentu begitu ragam  dialog kebudayaan nusantara yang jika semua ditulis akan butuh puluhan lembar. Ini (dialog kebudayaan) dapat didorong untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bersama. Menurut saya, dialog-dialog seperti ini (dialog kebudayaan) dapat saja dilakukan oleh lembaga apapun di negeri ini, termasuk lembaga ke-Agama-an. Dengan aktifnya lembaga ke-agama-an dalam dialog-dialog kebudayaan dapat diharapkan suatu penghargaan(baca: pertobatan) oleh lembaga ke-Agama-an terhadap tradisi lokal yang selama ini dipandang sebelah mata dan dengan sengaja disingkirkan bahkan ‘dibunuh’ secara  ‘sadis’ oleh lembaga ke-Agama-an.

Sebagai catatan kecil : Kebudayaan dalam bentuk tradisi lokal sepanjang sejarah penyebaran Agama di Indonesia diperlakukan  diskriminatif dan cenderung ‘menjadi’ musuh utama. Secara khusus oleh Kristen dan Islam; meskipun dalam kasus penyebarannya,  Islam sedikit melunak, dibanding Kristen terutama Protestan. Dalam perjalanan kemudian, kedua Agama (Islam dan Kristen) justru sering menampakkan disharmonis.

Disisi yang menggembirakan itu, setidak-tidak untuk saya. Ada pula kekawatiran yang merisaukan. Yaitu,  Pandangan dan sikap terhadap tradisi lokal yang mulai ditinggal dan dianggap kuno sebagai akibat atas ukuran-ukuran penerimaan Budaya Massa global sebagai citra dan ikon dari sebuah new way of life. Tentu ini persoalan kebudayaan yang mahabesar bagi Indonesia. Pada saat seperti itu situasinya benar-benar mencemaskan. Aneh, sebagai suatu bangsa yang mengaku berkebudayaan tinggi, hal ini tidak menjadi suatu gawat darurat! Setidak-tidaknya nampak dari para elities yang selama ini dianggap sebagai pemimpin. Padahal, dimana-mana area, secara struktural terjadi pembusukan nilai-nilai; mengalami degradasi norma-norma yang berakibat pada reduksi pragmatis kebudayaan antara keluhuran dan pembusukan, antara kebangsaan dan kelompok, antara kemaslahatan bangsa dan idiologi primordial. Celakanya sebagian  beranggapan wajar,  bahwa itu adalah tujuan dan hasil gerakan reformasi.  Atau sebaliknya variable dengan itu adalah semakin menguatnya selera kedaeran, kesukuan (etnis) berdasar tradisi-tradisi, kecintaan dan kebanggaan pada kesenian. Kebangkitan ini sangat menggebirakan, bahwa perhatian pada kebudayaan lokal makin marak dimana-mana tempat di Indonesia. Penggalian terhadap nilai-nilai yang dulu dianggap kuno semakin marak dilakukan oleh anak-nak muda dari perguruan tinggi. Tentu ini sebuah pencerahan kebudayaan meskipun baru dilakukan secara parcial belaka. Setidak-tidaknya memberi pencerahan bagi mereka yang terlibat dalam penelitian dan studi untuk itu.

Dialog, budaya belajar.
Menilik sejarah awal kelahiran Negara Indonesia, memberi pelajaran berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran pikiran kala itu amat seru tapi dapat mengerucut dalam kesadaran untuk  mengantar kita ke gerbang kemerdekaan. Bahwa untaian butiran-butiran tradisi lokal menjadi rajutan budaya ke-Indonesia-an seperti sekarang  ini, lebih dahulu ada, dan mewarnai pertukaran pikiran, pertentangan, perbedaan dan perdebatan yang dapat diseleseaikan secara kebudayaan. Bahwa pada awal-awal menuju pintu kemerdekaan itu, perseteruan dan ketegangan dapat dilalui dalam proses-proses diskusi kebudayaan dengan melihat kemajemukan eks Wilayah Jajahan Hindia Belanda dengan bentuk derivasi kebudayaan Bhineka Tunggal Ika. Para “foundingFather’s” menyadari sungguh, penyelesaian diskusi awal-awal kemerdekaan tidak dapat diselesaikan hanya dengan dialog keagamaan semata. Oleh sebab, itu kesadaran untuk menempatkan Kebudayaan ke-Indonesia-an sangat mengemuka dalam persitegangan menuju Kemerdekaan Indonesia. Kesedian para Pioner kebangsaan, menerima Bhineka Tunggal Ika adalah keputusan Kebudayaan yang sangat cemerlang yang pernah dibuat oleh bangsa ini sepanjang sejarah manusia bahkan sejarah dunia.

Perilaku pendahulu terhadap pengakuan kemajemukan (pluralitas) adalah sikap budaya yang diharap menjadi karakter  dialogis penyelesaian berbagai persoalan-persoalan kebangsaan disatu sisi dan pada sisi lain menjadi dasar karakter dalam kontestasi global. Bagaimana ke-kini-an kita? Saya hanya ingin menguntit para “Foundingfather’s”. Jadikan dialog kebudayaan dan kebudayaan dialog karakter pembelajaran yang tiada henti.
Semoga bermanfaat, salam budaya.
Yogyakarta, 13 Oktober 2013

RWM.BOONG BETHONY