22/09/13

Hidup ini Pelajaran.

"Hidup ini Belajar"

Dalam rangka menyambut I Surro (1 Muharram) saya dan beberapa teman-teman (bpk-bpk) nongkrong di pos ronda jatimulyo, selepas solat mahgrib. Pak RT sengaja mengundang untuk diskusi bagaimana menjadikan kampung kami menjadi kampung aman, nyaman buat siapa saja. Sambil minum kopi dan pisang goreng, pak RT minta saya memberikan beberapa masukan 'mumpung' banyak bpk-bpk sedang nongkrong bareng di pos ronda, katanya.  
Belum cukup 5 menit saya memberi masukan, listrik iba-tiba padam di barengngi hujan deras turun.
Serentak beberapa diantara kami berteriak "Wadoohhh..piye PLN ki!"
""Wes peteng njur jawahhh" teriak yang lain.Tapi Pak RT dengan tenang membuka laci kecil di meja Ronda mengeluarkan beberapa Lilin kecil lalu menyulut.
"Wes rak peteng maneh thooo?" hibur Pak RT sambil tersenyum memperlihatkan gigi yang sebagian ompong.
"Wahhh Pak RT jan joss tenan kiiii...ngerti wae yen PLN mati.."
"Tenang-tenang sek, Romo arep ngandiko...monggo dipun lanjutaken Romo..."
"Maurnuwun pak RT!"  sahutku sambil mengangkat gelas kopi. "mongga mumpung iseh angettt" sambungku.
Lalu rame-rame kami menikmati kopi hangat di iringi hujan deras.
"begini bapak-bapak. Membuat suasana kita jadi aman dan tenang sebenarnya tidak susah, tinggal niat dan maksud baik kita masing-masing"
"maksud Romo?" sahut bapak di sebelah kiri saya sambil menghisap kreteknya.
"Salah satu contoh, keadaan kita sekarang ini. Tadi terang menderang karena nyala lampu listrik cuaca juga sejuk. Skarang remang-reman karena hanya diterangi beberapa lilin ditambah hujan deras disekeliling. Situasi kita cepat berubah. nah perubahan itu,  selalu memberi sesuatu yang tidak kita duga. 
Untung Pak RT waspada dengan selalu menyimpang lilin dalam laci meja ini. Kalau tidak..wes bubrah kabeh too? njur adem ngeni ki luwih penak moleh ketemu bojone dewe-dewe hehehehehehe...."
"ha..ha..ha...kecuali pak RT Romo...lha sudah menduda beberapa tahun..." sahut bapak didepan saya.
"hahahahahahahaha......" sambut yang lainnya.
"Wesss...gojegan terus wae..." sambar Pak RT sambil ikutan ngakak.
"Yang saya maksud adalah, bahwa kita memang harus selalu belajar dari setiap peristiwa yang kita alami. Misalnya, ketika PLN padam. Kita belajar untuk menghargai betapa penting menghemat energi...bukan belajar memaki PLN! Atau ketika hujan turun, kita belajar untuk selalu menyediakan payung."
"Wahhh Romo nyindir aku kiiii..." sahut bapak disebelah kanan saya.
"Romo nyindir piye  to kang Tejo?" sahut Pak RT.
"Lhaaa yang maki PLN tadi kan saya" sahutnya sambil ngakak.
"Iki Serius lhooo...hayo Mo..silahkan dilajutkan wejangannya"
"Dari dulu nenek moyang kita selalu mengambil hikmat yang kemudian menjadi kearifan lokal karena peristiwa-peristiwa yang dialami. Contoh lain, kita belajar apa dari perkelahian dan tawuran anak-anak sekolah yang kerap terjadi akhir-akhir ini?" sambungku sambil menatap mereka satu persatu.
"Atau pelajaran apa yang dapat kita petik dari peristiwa penangkapan para koruptor yang sering ditayangkan dari TV-Tv itu? Bukankah dari perkelahian dan tawuran anak-anak sekolah kita belajar untuk tahu kelalain kita sebagai orang tua memberikan pendidikan budi pekerti pada anak-anak! Dari penangkapan para koruptor, kita belajar betapa penting untuk hidup sederhana dan "nrimo" apa yang kita dapat dari pekerjaan. Dari kasus-kasus pencurian di sekitar kampung selama ini kita belajar untuk waspada dan belajar untuk menjaganya. Dari rubuhnya pos penjagaan yang diujung kampung itu, kita belajar untuk memelihara apa yang sudah kita bangun selama ini. Dari peristiwa kemarau beberapa bulan ini kita belajar bagaimana menghargai dan menghemat air. bukankah begitu bapak-bapak?" jelasku panjang lebar alu mengangkat gelas mendekati bibir.
"Wah, aku baru mendengar itu MO" sahut Tejo.
"Satu Contoh lagi!" sambarku cepat setelah meletakkan gelas.
"Apa itu Romo?"
"Dari peristiwa kematian seseorang kita belajar menghargai hidup ini. Kita belajar untuk mengasihi, mencintai, menyayangi mereka yang ada disekitar kita. Ya istri, anak-anak, orang tua. Kita belajar menjadi orang baik menurut pengajaran iman kita masing-masing. Betul nggak Pak RT?" tanyaku sambil menoleh.
"Wahhh Pak RT kan nggak punya istri yang perlu disayangi lagi lhoooo" sahut seorang bapak menggoda.
"Lha kan masih ada anak-anak, menantu dan cucu-cucuku. Mereka perlu saya sayangi dan cintai mumpung masih sama-sama hidup" sahut Pak RT mantap.
"Banyak orang yang menyia-nyiakan orang-orang disekitarnya baik istri, anak-anak, orang tua, adek-adek atau kakak dengan mengabaikan atau menyakiti mereka bahkan cenderung melakukan tindakan kekerasan. Coba bapak-bapak bayangkan, bisakah semua itu ditebus ketika mereka sudah meninggal? pasti tidak. Yang ada tinggal penyesalan...nah mumpung keluarga kita masih hidup, sayangi, cintai dan kasihi mereka dengan sungguh-sungguh. Bukankah itu Ibadah?"
"Romo dan Pak RT saya pamit dulu ya. Saya harus menemui istri"
"Tapi hujan deras pak" sahut Pak RT.
"Nggak apa-apa pak. Rumah saya kan dekat. Saya tadi membentak istri dan belum sempat minta maaf. pamit dulu bapak-bapak. Assalammuallaikqum!" Dalam deras hujan bapak itu berlari kecil menemui istri tercintanya.

(Jatimulyo, November 2012)   


Silahturahim dan Lebaran dalam Catatan saya.

29 Agustus 2011 pukul 9:15
Sejak masa kanak-kanak, saya sudah akrab dengan suasana Ramadhan yang berakhir pada Hari Raya Idul Fitrih atau Hari Lebaran. Saya yang sejak kecil sudah di Baptis jadi orang Protestan karena lahir dari keluarga Protestan hidup ditengah komunitas Muslim yang baik yang saling menunjang memperhatikan satu sama lain tanpa membedakan Agama. Teringat masa remaja yang saya lewati di Surabya, ketika itu tiap kali Ramadhan, bulan yang amat disucikan oleh saudara Muslim, saya kebagian koordinator Patrol keliling kampung (group-group yang keliling kampung sambil memukul kentungan untuk membangunkan orang ber-saur). Dengan penuh canda dan gembira kami berkeliling dari gang/lorong ke gang/lorong. Seminggu sebelum lebaran tiba, kami anak-anak remaja dan pemuda (di Surabaya di sebut Karang Taruna) di kumpulkan oleh Imam mesdjid Kampung dan di serahi mengecat Rumah Ibadah/Mesdjid,  termasuk pagar. Saya selalu kebagian yang berat-berat seperti mengangkat Cat atau membuat tangga, alasan Pak Imam Mesdjid karena saya nggak puasa. Tiap kali tiba saat untuk Solad Id, kami  keliling kampung meminjam tikar dari rumah kerumah sekaligus mengembalikan. Belum lagi dalam halal-bihalal di kampung, kami biasanya akan sibuk dengan berbagai latihan-latihan untuk pementasan dalam Acara itu.Yang membuat saya selalu bangga menjadi bagian dari Ramadhan dan Lebaran, karena dalam situasi seperti itu semua penduduk kampung menyatu, saling berkunjung dan saling menerima. Rumah kami sudah pasti kewalahan menampung 'hantaran' ketupat, opor ayam dan makanan kecil dari tetangga (bayangkan semua orang melakukan hal itu, saling berkirim makanan meski menunya sama) sebagai bahagian kampung yang beragama lain kami menjadi amat istimewa. Istimewa karena akan selalu jadi tamu istimewa pula di tiap keluarga lain di kampung kami.  Dan menjadi warga kampung yang selalu ditunggu-tunggu kedatangannya.Suatu kali kami sekeluarga bepergian ke Sulawesi (Kakek meninggal dunia di Masamba-sulsel) dan saat itu menjelang akhir Ramadhan, ketidak hadiran kami membuat semua orang kampung bertanya-tanya, bukan karena kami orang penting, tapi menurut Pak Kadus nggak lengkap kalau kami tidak ikut bergembira merayakan saat-saat Suci seperti itu.Tapi itu 35 tahun lalu. Kini suasana agak beda. Kebersamaan sebagai Filosofi Gotong Royong masyarakat Indonesia mulai pudar bahkan di sebagian masyarakat sudah terlupa. Perayaan-perayaan hari besar ke-Agama-an tidak lagi menjadi milik bersama bahkan dianggap tabu untuk hadir. Padahal, Hari-hari besar ke-Agama-an Hari yang sangat menggembirakan dan menyukacitakan tiap orang, termasuk mereka yang beragama lain. Sungguh sedih melihat semua itu. Kerinduan-kerinduan untuk kembali bersukacita dan bergembira bersama saudara-saudaraku Muslim dalam saat-saat FITRAH seperti sekarang ini terasa menyesak di dada. Sepertinya ingin merasai dan menikmati  kembali suasana 35 tahun lalu di Kampung Sawunggaling Surabaya tempat aku bertumbuh, bersama tiap penghuni kampung.Sebagai Kristiani, saya dan keluarga bergembira dan bersukacita atas kegembiraan dan kesukacitaan Hari Raya Idul Fitrih/Lebaran ini. Sekaligus mengucapkan Selamat bergembira, Selamat Bersukacita kepada saudara-saudaraku Muslimin. Salam dan Doa kami dari Semarang.Semarang - 29 Agustus 2011.



AKU MENGGUGAT INDONESIA.

27 September 2011 pukul 12:50
AKU MENGUGAT.

Ada satu kalimat yang begitu akrab dan sering di ucapkan oleh ratusan juta penduduk Indonesia. Kalimat ini ada dimana-mana. Ya di kantor-kantor seluruh negeri bahkan di ruang-ruang pos siskamling. Juga di ruang pendidikan, play group sampai perguruan tinggi. Anda pasti sudah bisa menebak kalimat itu, ya 'BHINEKA TUNGGAL IKA'. Kalimat yang diterjemahkan dan di sejajarkan dalam bunyi "PLURALIS". Konotasi dan penjelasan sederhana "Beragam; berwarna-warni; bermacam-macam; terdiri dari banyak latar belakang : Tradisi, Bahasa, rumpun etnis, kepercayaan dan agama, pola hidup, kearifan lokal.
Oleh Bangsa dan Negara Indonesia, Premis ini di kemas sebagai "BUDAYA" Indonesia, Identitas Indonesia, Entitas Indonesia bahkan diklaim sebagai FILOSOFI Indonesia, Rakyat Indonesia.
Tapi 2 windu belakangan PREMIS ini jadi Pesakitan.

Tergugat dan Terdakwa. Di perhadapkan pada Pengadilan terbuka. Gugatan dalam ruang besar NKRI. Pengadilan atas nama Sorga, atas nama penguasa langit, atas nama penguasa hidup, atas nama Premis itu sendiri!
Gugatan yang menyeruak, menyentak, menggetar. Menebar dan menerbangkan apa saja ketika Pledoi-pledoi bertutur Dar! Dir! Der! Dur! Dor! Bum! Bam! Bim! Bom!
Gugatan yang menelikung, meliuk-liuk, berbelok-belok, berkelok-kelok. Menyusur dan menyisir apa saja saat genderang bertalu-talu, berebam-rebam, berebab-rebab.
Gugatan yang berdengung-dengung, melanting-lanting, melantun-lantun, berdenting-denting.
Bukan apa-apa sobat, tidak siapa-siapa kawan, tak kenapa-kenapa kawan, nggak mengapa-mengapa sahabat.
Lantaran itu, semua sama, seluruh sejajar, segala rata.
Timur, Barat, Utara, selatan bernyanyi, berdendang, bersenandung tentang tantang. Kami bukan Indonesia. Aku tidak Nusantara.
Itu kemaren! Hari lalu! Minggu lewat! Bulan tanggal! Tahun pergi! Usang! Tertinggal! Klasik!
Hanya catatan! Sejarah! Monumen! Rumah musium!
Ini Era baru! New Era! Jaman kini!

Bhineka Tunggal Ika, tak lagi ada dalam ruang Indonesia. Burung Garuda yang setia menjaga, terkapar oleh elang-elang dan dicabik-cabik musang.
Helai demi helai rontok bulu-bulu. Berjatuhan seiring pupus Bhineka.
Kami Tunggal Ika, lain tak perlu! Siapa pergi!
Porak-porak dapur, poranda-poranda beranda, berantakan-berantakan tengah ruang.
Wajah kami Tunggal Ika! Rupa lain tak butuh! Pergi siapa!
Luluh-luluh hati, leleh-leleh rasa! Tanpa jiwa! Tiada kalbu.
Mau kami!
Keinginan kami!
Juang kami!

Tralala! Ini lagu baru! Hymne baru! Kebangsaan Baru!
Hanya satu mau kami, ikut atau menggelepar!

Hari-hari Premis bau anyir.
Minggu-minggu Premis bergelimpangan.
Bulan-bulan Premis berguguran.
Tahun-tahun Premis Mati.

(Taman Srigunting, Semarang 27 Sep'011)




RWM.BOONG BETHONY

Catatan Perenungan.

Refleksi dulu dan sekarang

Dulu...aku sangat kagum pada manusia cerdas, kaya, cemerlang dalam karier dan hebat dalam dunianya.Tapi sekarang...aku mengagumi mereka yang hebat di mata Tuhan. Meskipun penampilannya begitu biasa dan bersahaja.
Dulu....aku memilih marah pada mereka yang menyakitiku dengan kalimat-kalimat sindiran serta penghinaan, dan geram pada mereka yang memfitnahku.
Sekarang....aku memilih untuk bersabar, bersyukur atas perlakuan yang sama kepadaku, dan memberi maaf.Dulu...aku memilih untuk mengejar dunia dan menumpuknya sebisaku...tapi kusadar bahwa ternyata kebutuhanku hanyalah makan dan minum untuk hari ini dan bagaimana cara membuang sisanya dari perutku.
Sekarang...aku memilih bersyukur untuk apa yang kumiliki dan berfikir bagaimana aku mampu mengisi hari ini dengan penuh kasih dan bermanfaat untuk sesama.
Dulu.......aku berfikir bahwa aku bisa membahagiakan orang tua, saudara-saudaraku dan sahabat-sahabat dengan dunia yang dapat kuraih.Ternyata....yang dapat membuat berbahagia mereka adalah sikap, tingkah laku dan sapaanku pada mereka.Sekarang...aku memilih membahagiakan mereka dengan yang ada padaku.
Dulu..kupusatkan pikiran, tenaga membuat rencana-rencana dahsyat untuk duniaku...ternyata aku menjumpai teman-teman, saudara dan sahabatku begitu cepat menghadap Tuhan.Sekarang yang menjadi pusat pikiran dan rencana-rencanaku adalah bagaimana mempersiapkan diri dan terutama hatiku agar selalu siap jika suata saat namaku dipanggil olehNya.Tak ada yang memberikan jaminan, bahwa aku masih bisa menghirup nafas esok hari...Dan kalau hari ini atau esok hari aku masih hidup, itu semata-mata hanya karena anugerah Kasih Tuhanku. 

Jatimulyo - Yogjakarta, 13 Desember 2012.



RWM.BOONG BETHONY

Bopeng, luka dan kusam.

Yogjakarta engkau itu.

24 April 2013 pukul 23:07
Padamu Kawan.
Yogja.. aku pulang cumbui elok tubuhmu tak perduli wajahmu bopeng-bopeng
Yogja.. aku kembali nikmati lentur jemarimu tak perduli mukamu luka-luka
Yogja.. aku datang menggauli pesona lenggak-lenggok bodimu tak perduli rautmu kusam-kusam
Yogja.. aku kemari untuk bermesraan denganmu tak perduli rupamu borok-borok
Yahh..tak perduli
Yogja bopeng-bopeng
Yogja luka-luka
Yogja kusam-kusam
Yogja borok-borok
Tak perduli
Bopeng-bopeng Yogjakarta
Luka-luka Yogjakarta
Kusam-kusam Yogjakarta
Borok-borok Yogjakarta
Tak PerduliYogjakarta borok
Yogjakarta kusam
Yogjakarta luka
Yogjakarta borok
Tak perduli
Borok Yogja
Kusam Yogja
Luka Yogja
Borok Yogja
Tak Perduli
Bopeng-bopeng
Luka-luka
Kusam-kusam
Borok-borok
Tak perduli
Yogjakarta borok, kusam, luka, bopeng
Tak perduli
Bopeng, Luka, Kusam, Borok Yogjakarta.
Borok borok borok kusam borok luka borok bopeng
Kusam borok
Kusam kusam
Kusam luka
Kusam bopeng
Luka borok
Luka kusam
Luka luka
Luka bopeng
Bopeng borok
Bopeng kusam
Bopeng luka
Bopeng bopeng
Kita.
RW.Maarthin.
(20 April 2013, Pojok Jatimulyo - Yogjakarta) —



RWM.BOONG BETHONY

Sang Pecinta

REMBULAN Sang Pecinta.
By. RW. Maarthin.

Engkau
Menggantung hari 
Menyalib malam
Memasung petang
Mengurung pagi
dari perkasa dan kelembutanmu para pecinta menghambur
tetes air mata dan semburat sperma
dalam kemolekan dan pesonamu kaum kasmaran menebar
desah dan persetubuhan
Seperti engkau tiada bosan menggerayangi tubuh bunda
Menyusu nikmati sedap kopyor air susunya

Kau
mengikat hari
mengekang malam
mendekap petang
memeluk pagi
pada temaram dan binarmu , insani berhitung
tetesan keringat dalam senggama
dari kerlip dan cahayamu, manusia membilang
lenguh dan birahi
Seperti kau, liar melahap keelokan ibu
Merengguk aroma wangi sekujur tubuhnya

tanpa sisa
tanpa bekas
tanpa tanpa
Sebab engkau Sang Rembulan
Lantaran kau Sang Purnama.

(Kricak - Jatimulyo' Medio September 2013)




RWM.BOONG BETHONY