13/04/11

REUNI


REUNI

Oleh :  RWM.
Seperti yang  lalu-lalu. Roby tiba di rumah pukul lima sore. Rumah  Biru Langit ini sudah dua setengah tahun ditempati. Di beli  sejalan Bisnis Ternaknya  beberapa tahun lalu di kota Masamba pedalaman Sulawesi Selatan.
Meletakkan Tas kerja, longgarkan dasi di leher.
Seorang perempuan Baya menyambut dari ruang tengah. Ia menyodorkan segelas besar Jus alpukat,  kesukaan Roby.
“Selamat sore den !”
“Sore Bi’. Oh ya! Ada telpon?”
“Telepon ? hanya surat den! Saya ambilkan!”
“Makasih! Taruh di meja! aku  nikmati  ini dulu!”  Mengangkat Gelas Alpukat. Wanita baya, tersenyum.
Roby, lelaki sederhana. Dalam usia sekarang seharusnya sudah berumah tangga. Tapi, belum terpikir olehnya. Dalam usia menjelang kepala empat sangat sukses di Bisnis ternak yang dirintis kurang lebih limabelas tahun silam. Bisnis yang dilakoni dalam berbagai kesulitan dan pengorbanan sejak berani berkelana ke Kalimantan Timur awal delapan puluhan. Ketika itu Kalimantan adalah sasaran pebisnis kayu glondongan,  Ilegal maupun Legal.  Roby mengadu nasib disana. Berpetualang bertaruh hidup sebagai buruh penebang dan pengupas kulit kayu.
Sebagai mantan buruh kasar, Roby tahu bagaimana mempekerjakan orang di perusahaanya. Pengalaman Kalimantan merupakan pelajaran berharga yang membuatnya kritis dan peka memimpin perusahaan.
Dimulai ketika Manager Perusahaan menunjuknya sebagai pengganti dan pelaksana Kepala bagian Pengadaan dan Belanja Barang  perusahaan. Roby yang ketika itu masih lugu dan polos, akhirnya diserahi jabatan  Menager Logistik.    Urusan Pengadaan seragam, alat kerja sederhana sampai alat-alat berat termasuk   sukucadang jadi tanggung jawabnya
Di tahun delapan puluhan,  Borneo tertingal jauh dibanding Sulawesi, Sumatra, terlebih Jawa.  Bukan hanya soal pembangunan infrastruktur tapi terutama sumber daya manusia. Roby, satu dari lima orang karyawan yang mengantongi Ijasah perguruan tinggi di antara seribuan karyawan. Lantaran  itu, Big Bos di Singapura member kepercayaan. Bertahun-tahun sebagai menager,  banyak keuntungan pribadinya. Bukan hanya dari perusahaan tapi juga dari agen-agen langganan di Balikpapan, Jawa,  bahkan dari luar negri.
Cita-citanya tinggi. Pengelanaan itu adalah jalan meraih harapan dan ambisinya.  Ketika Kontrak kerja habis, pesangonnya hamper satu milyard. Tapi itu belum cukup. Berbekal selembar surat pengalaman kerja ia di diterima perusahaan Tambang Batu Bara yang baru dibuka, Jabatan Areal Meneger diterimanya. Pekerjaan ini juga memberi keuntungan! Pundi-pundinya di Bank menjadi tambun.
Enam tahun  di Tambang Batubara, Roby keluar.  Katanya, ingin berusaha sendiri.  Sebagian  Tabungan dibelikan Tanah seratus hektar di pinggiran kota Tenggarong, Kalimantan Timur.  Di atas lahan ini ia mulai  beternak Unggas dan penggemukan Sapi. Katanya, Ia hanya memanfaatkan kesempatan.
Pengalaman diperusahaan kayu dan tambang memberi gambaran bahwa tiap kali  belanja Daging ayam dan telur, dipesan kejawa! Daging sapi, ke Sulawesi selatan. Bahkan sayur mayur dan berbagai buah-buahan setengahnya dari luar pulau. 
“Ini kesempatan emas, kenapa tidak!? saya akan rebut pasar itu!” Tulis Roby dalam buku hariannya.
Dilihatnya bahwa perkembangan Kalimantan Timur kian tahun, semakin Ramai.  Banyak perusahaan baru dibuka, baik Tambang Minyak, Gas, terlebih Batubara!  Camp-camp pekerja berlahan-lahan menyulap diri menjadi kota-kota kecil yang semakin padat.
“Semuanya butuh daging dan Telur!”  Seru Roby di hadapan karyawan,  ketika pertama kali perusahaan mengirim  dua konteiner Daging Sapi dan ayam, termasuk  dua ton telur permintaan salah satu Tambang Emas dan beberapa perusahaan kayu di Hulu Mahakam. Pengiriman itu mulai menyibukan Peternakannya. Banyak perusahaan-perusahaan di Kalimantan, memilih menjadi konsumen tetap.
Dalam sewindu, PT. BETUE, berkembang pesat, melebarkan sayap hampir keseluruh  penjuru Kalimantan. Armada PT. BETUE, terlihat menyusuri jalan-jalan menuju Kota  Bontang, Tarakan, Sangata, Muara Badak, Samarinda, Balikpapan bahkan ke Kalimantan Tengah dan Selatan.
Lahan seratus hektar di Tenggarong merupakan kantor pusat, menjadi sempit  untuk ruang gerak perusahaan. Roby membangun beberapa cabang di kota-kota lain, termasuk Kalimanatan tengah dan Selatan. Ia juga ingin beternak Kerbau karena itu Sulawesi Selatan menjadi target berikut.!   
Kota Masamba dipilih jadi Basis usaha di Sulawesi. Di pinggiran kota kecil ini, Roby membeli Enam Ratus hektar dan membangun cabang usaha,  empat setengah tahun lalu.
Sudah seperempat isi gelas pindah ke dalam tubuh atletisnya ketika telepon berdering di ruang tengah. Wanita tadi tergesa dari belakang akan menerima telepon, Roby mendahului. 
“Hallo,……ya, saya sendiri….Oh Pak Richard! Ya…ya..okey pak!…tapi seleksi  mesti ketat. Prioritas berpengalaman kerja!…..okey baik! E, hallo…Richard!  Kau selesaikan saja! Oh ya, bagaimana perumahan karyawan?……ya-ya…kalau begitu, Aku tunggu di kantor, selamat sore!” meletakkan gagang, menyambar gelas dari meja.  Meneguk beberapa kali. Gelas jadi kosong.
“Den…Air hangat udah bibi sediakan!”.
Roby menoleh, tersenyum.
“Makasih bik Lelah !”.
Sambil menghentak lengan kekiri-kanan Roby ke Kamar, mandi. Bibi Lela mengiring dengan tatapan. 
Wanita limapuluhan ini,  sudah sepuluh tahun  sebagai pengurus Rumah Tangga.  Lela mengurus kebutuhan dan keperluan Roby sehari-hari. Ya belanja, masak,  cuci  pakaian, menyetrika dan membersihkan rumah. Lela paham kebutuhan dan kebiasaan Roby. Lambat laun pelayanannya, bukan majikan-pembantu tapi pengabdian seorang ibu.
Lela, lahir di Jogyakarta pada zaman Revolusi dari keluarga miskin. Di usia  belia, Lelah dipaksa orang tua dinikahi anak Bayan di desanya.  Setelah nikah, ikut Transmigrasi ke Kalimantan Timur tahun enam puluhan. Di  sana hidupnya bukan mambaik, tapi lebih menderita. Duapuluh tahun berkeluarga tanpa dikaruniai anak. Suami meninggal gara-gara  penyakit  Tropis! Sesudah itu, Lela   bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Samarinda.  Akhirnya bertemu Roby yang kini, diam-diam disayangnya bagai anak sendiri. Sewaktu Roby melebarkan sayap  ke Masamba, Bi Lela ikut. 

Roby sedang menyelesaikan bisnis ke Makassar  ketika Lela menerima Richard dan beberapa orang sore itu. Richard, tepatnya Richard Suhendar tangan kanan Roby. Lelaki berkacamata minus tebal, tinggi besar, warna kulit sawo matang. Usia empat puluhan. Ulet, teliti dan selalu serius dalam segala hal. Sudah berkeluarga. Istri satu, tiga anak, perempuan semua. Roby mempercayai lelaki ini dalam semua urusan perusahaan.
“O, pak Roby sudah berangkat ya Bi?” Tanya Richard! Suaranya parau.
“Iya. Den Roby mampir makan siang. Kemudian pergi lagi sama pak Rusli!”
“Wah…kami bersimpangan ya! Sayang sekali. Ada pesan beliau?”
“Ooo ya, ada didalam! Sebentar ya pak!” Lela tergesa keruang kerja Roby.
Richard menoleh rombongan yang sedang duduk dikursi Bambu dinaungi teras sejuk yang  dibuat  menyerupai pendopo. Disitu ada kolam ikan, dekorasinya artistik.
Sementara itu Lela muncul kembali membawa Napan yang sarat gelas-gelas orange’s dingin.
“Wah, bik Lela koq repot!”    bosa-basi Richard.
“Den icad dan bapak-ibu ini, baru dari perjalanan jauh. Jadi bibik buatkan minuman  supaya segar”
“Bibik baik deh! Makasih!”
“Ayo, silahkan aden sekalian minum!”  suruh Lela sopan.
“Makasih Bik!”
“Oh ya! Bik Lela. Bapak-bapak dan Ibu-ibu ini karyawan baru di perusahaan….baiknya  bibik berkenalan pada mereka” tegur  Richard ramah dan sopan. Lela mengangguk-angguk, menatap satu-satu tamu itu.
“Yang ini, bu Sherlina! disampingnya, bu Abel Carmelitha. Nah, yang ini namanya Pak Obet Tammu. Bapak ini Maneger pemasaran. Yang disamping Bi Lela itu, Pak Antonius. Terakhir Pak Indra.   Kepala pengadaan jasa dan barang. Mudah-mudahan Bibi cepat menghapal beliau-beliau,  karena  akan sering bertemu!”
“Aduh…bibik sudah tua! Kalau nanti salah manggil aden sekalian jangan marah ya? Karyawan banyak sekali! Manggil Den Ichad saja sering salah” sahut Lela lugu. “Oh ya, Bibik ambilkan titipan den Roby ya? Silahkan di minum!”
“Saudara-saudara, Bik Lela pengurus rumah tangga disini. Ibu ini bertahun-tahun  membantu direktur. Bahkan sejak perusahaan mulai dibangun. Ayo orange’s nya diminum, nanti bik lelah marah kalau dibiarin” Gurau Richard.
Tak lama, Lela muncul  lagi  membawa Map plastik tebal. Menyerahkan ke Richard.
“Den Roby pesan,  Aden selesaikan segala sesuatu di dalam map ini”
“Iya bik. Makasih”
“Eh den Ichad,   jangan keburu. Bibik lagi masak. Nanti semua makan malam disini…..”
“Jangan repot bik!” potong Richard “kami pesan  saja dikantin!” sambungnya.
“Nggak….nggak repot koq!  Silahkan aden ajak bapak-bapak dan ibu-ibu ini kedalam, bibi mau kebelakang!”.
“Bi Lela kalau sudah maunya…nggak bisa ditolak deh!”
“Aden-aden ini kan jauh dari rumah jadi bibik masakin, tunggu ya!” berlalu.
“Itu kelebihan wanita tua ini. Kalau urusan masak-memasak susah ditolak. O ya, anda harus merasai nikmatnya masakan bi Lela”.
“Maksudnya baik pak!” suara wanita di samping Richard. Semua muka mengarah kesitu.
“Itulah bik Lela. Pak Direktur sangat menyayanginya!”
“Ngomong-omong…perlu mandi pak. supaya seger”  Usul Indra.
“Benar juga! Kita ke Mess. Sesudah mahgrib baru kesini lagi. Masakan bik Lela sayang dilewatkan begitu saja. Saya beritahu beliau” Richard ke dapur.
Sesaat kemudian muncul beriringan Lela.
“Bibi tunggu jam delapan ya? Jangan sampai nggak datang lho!” 
“Pasti! Pasti kami datang bik!” jawab Indra mendahului.
“Sungguh lho, bibik masak banyak. Nanti nggak habis!”
“Jangan kuatir, habis mandi kami kembali!” Sambar Abel dari samping Richard.
Lela mengantar rombongan kecil itu sampai di beranda.

Malam itu rumah Roby beda dari biasanya. Dari ruang makan terdengar senda gurau dan sesekali diselingi percakapan serius. Lela tersenyum bangga. Ia senang melihat wajah-wajah yang sore tadi, baru dikenalnya. 
“Ayo tambah nggak usah malu-malu, disini  sudah biasa, tanya den Icad!” Lela menyembut Richard dengan gaya sendiri.
“Waah….masakan bibik luar biasa ! saya kekenyangan nich!” komentar Obed kepedisan.
“Betul bik. Saya nambah tiga kali!” sambung Indra  bosa-basi.
“Ah aden ada-ada saja! Masakan saya kan tidak sesedap masakan istri aden!”.
“Benar nich! Tuuuh jatah saya habis!” sambar Obed.
“Oh ya. Nanti kami mau rapat disini. Bibik tidak keberatan kan?”  Tanya Richard.
“Boleh den, Bibi malah senang kalau Aden semua bermalam disini”.
“Wah, ini rumah direktur, rumah bos kami. Mana berani bi” sambung obed lagi.
“Yang penting kami udah ngerasain masakan bibik. Trimakasih ya bik?!” Sherlina di ujung meja menikmati poding buatan Lela.
“Jangan kuatir bu Sherly. Bapak kalau mau rapat selalu diadakan disini. Jadi, hidangan bi Lela pasti masih dinikmati!” kata Richard, melirik Sherly.
“Ah den icat ada-ada saja!” sahut Lela bangga.
“Oh ya, kita kepavilium. Ngobrolnya di sambung disana. Bi Lela, kami keruang sebelah dulu ya!” Richard berdiri, mendorong kursi  mepet ke meja.
“Lhoo, jangan repot. Nanti bibik yang ringkas, tuuu den icad udah kesana.”. Cegah Lela melihat Sherly, Abel mulai menumpuk piring.
“Trimakasih ya bik! Masakannya sedap sekali!”  Abel mengitari meja “Bibik belajar masak dimana” sambung Abel.
“Hi-hi-hi belajar?! Lha wong bibik nggak bisa membaca! Aden ada-ada saja!”  sahut Lela, tangannya cekatan menyimpun peralatan makan.
“Trus gimana cara bibik meramu masakan kayak tadi, kalau nggak belajar?” Abel penasaran.
“Den Roby yang ajar. Bibik ingat-ingat dan praktek!”  Lela polos.
“Oh…bapak yang ajar bibik??” Sherly penasaran juga.
“Iyaa. Den Roby hobby masak! bibik hanya ngikutin.”.
“Nnngggg!” Sherly, Abel manggut-manggut.
“nggak ikut rapat ya? Tuh den icad nunggu!”
“Ya-ya. Kami permisi bik!” sahut Abel.
“Makasih ya bik!” sambung Sherly.
Lela memandang dua wanita muda itu dan melanjutkan kerjaanya.
Diruang samping, sayap kanan. Richard Suhendar duduk dikepala meja dikelilingi para staf baru.
“Saudara diterima.  Sama seperti saya, tugas saudara membantu direktur mengembangkan perusahaan. Meski Beliau tidak ditempat, saya diberi mandat menjelaskan beberapa hal sesuai nota dinas beliau tadi siang…”  Diam sejenak, membuka dan mencatat di buku agenda. “Sebagai Staf ahli dan Sub Manager, saudara masing-masing difasilitasi Rumah dan kendaraan Dinas roda empat. Kota Terdekat dari sini, hanya enam belas kilometer. Dalam satu-dua bulan ini harap saudara memboyong keluarga, beaya mutasi ditanggung perusahaan. Ini perintah direktur. Maksudnya, supaya saudara fokus keperusahaan. Besok, saudara sudah bekerja di perusahaan ini. Pukul tujuh tigapuluh, saya tunggu dikantor. Jam delapan keliling lokasi peternakan. Siang, saudara berkenalan dengan seluruh karyawan dan staf  sesuai jabatan masing-masing. Ada pertanyaan?” Tanya Richard  sambil membuka Map tebal disamping buku Agenda.
“Nota Dinas berikut..Selamat bergabung diperusahaan ini! Maaf tidak bertemu langsung. Pak Richard wakil saya! Informasi job, dijelaskan dan diatur saudara Richard…… Selamat datang, selamat mengembangkan karier diperusahaan ini. Tertanda.  Direktur PT BETUE!” diam sejenak “Atas nama direktur dan pribadi, saya sambut anda dengan mengangkat tost. Mari!” Richard angkat gelas, menyorong kedepan. Diadu seperti dilihat dari layar kaca TV, meneguk sebagian isinya.

Di Makassar, Roby memilih nginap di Hotel yang pas di ujung pantai Losari. Dipilih kamar berjendela menghadap  Laut. Perjalanan panjang 600 km, membuat badannya capek dan bangun siang,  itupun karena Rusli Sopirnya mengetuk berulang-ulang. 
Klek! Pintu terbuka Rusli berdiri disitu.
“ada apa Rus?” rambutnya acak-acakan.
“Anu pak, saya kuatir. Soalnya udah jam satu siang bapak belum keluar dari kamar, jadi saya coba-coba ketuk pintu. Siapa tahu…”.
“Ooooh, nggak apa-apa. Aku cuma cape, makanya tidurku lelap. Masuk! “ Roby mendorong daun pintu dan terus  kekamar. Mandi.
“Bagaimana semalam Rus, nyenyak ya?” suara Roby terdengar di dalam kamar.
“Wah, hampir-hampir nggak bisa tidur pak!” sahut Rusli setengah teriak.
“Lho, kenapa? Kamarnya kurang bagus ya?”
“Bukan! Bukan karena itu pak! Malah terlalu bagus untuk saya”.
“Jadi?”.
“Anu pak, saya kedinginan” jawab Rusli pelan.
“Apa Rus?”
“Saya kedinginan pak!” membesar volumenya.
“Kenapa suhu Ac-nya nggak diturunin?”
“Anu pak. Ee…saya tidak tahu caranya. Jadi saya keluar dan tidur di mobil, nggak tahan dingin”
“Ha-ha-ha….! Rusli! Rusli, lain kali tanya. Supaya nggak menderita kayak semalam! He-he..” Roby berderai.
“Saya udah biasa tidur di mobil pak!”
“Iya….! Itu kalau di sana. Di kantor. Disini kan lain. Makanya kamu disewakan kamar”.
“Anu pak, ee maaf!”.
Diam sejenak. Hanya suara air berkecipratan dan dengungan Ac yang lembut.
“Udah sarapan Rus?”
“Anu pak, kalau sarapan udah. Makan siangnya belum!”.
“He-he-he, aku lupa kalau udah siang. Sarapan dimana?”
“Anu pak, diwarung”.
“Lho, emang ada warung di hotel?” Roby heran.
“Anu pak, saya sarapan diluar. Soalnya, disini nggak ada warung!”.
“Rusli-rusli! Mana ada warung di hotel. Yang ada yaaa Restoran!”
Diam lagi, tinggal dengungan Ac.
Klek! kamar terbuka. Roby keluar, Jeans tua, kemeja motif kotak-kotak lengket dibadan. Rusli menatap, heran.
Ada apa Rus? Kamu sakit ya?” kawatir Roby.
“Anu pak! Ee…..”  Rusli gugup, memperhatikan penampilan Bos.
“Oh ini thooo. Hari ini mau jalan-jalan,  santai Rus. Sabtu kantor pada tutup. Kamu nggak mau liat-liat Makassar? Katanya belum pernah”
“Anu, anu pak. Saya bagaimana”  Rusli perhatikan pakaian dinasnya.
“kamu nggak bawa ganti?”
“Anu, ada pak. Celana biasa dan baju kaos saja”
“Itu aja kau pakai. Ganti baju, aku tunggu disini”
Roby dekati cermin besar diruang tamu. Memandang tampang sendiri. Diamat-amati. Pipi diusap-usap. Rambut dikucek-kucek. Kerah baju  dirapikan. Dagu dipegang-pegang. Senyum-senyum sendirian.
“Hm!” Roby melihat bayangan di kaca. Mengeluarkan Nokia kecil dari Saku, memijid beberapa nomor  mendekatkan benda itu ditelinga. Terdengar suara halus dari seberang sana.
“Ya hallo, selamat siang bik! Saya Roby!….ya baik-baik! Ooo…ya-ya. Jadi Richard…udah ya?……hallo! rombongan? O, ya! ya-ya. Terus titipan……o ya, makasih bik. Jaga rumah ya,…….mungkin agak lama bik. Dari sini, Aku ke Kalimantan. Ya,….nanti saya telepon,……Rusli? Nggak…ikut. Kalau udah selesai urusan disini dia pulang ke Masamba. Oh ya, suruh telepon saya…ya lewat Hp tho biiiik. Udah ya…selamat siang” Menarik Hp dari telinga memasukkan kesaku. Melihat arloji dipergelangan, masuk kekamar menyambar  JI SAM SU.
Tinnnnggg! Suara Zippo, asap melingkar-lingkar menghiasi ruang tamu sweet Room 502.

“Kita kemana pak!” Tanya Rusli memegang setir Jeep Land Rover Ranger, keluar areal parkir.
“Belok kanan. Kita makan diwarung langgananku dulu, semoga masih buka”
“Dimana pak!”.
“Lurus saja! Diujung Benteng sana, belok kanan. Kita ke Cendrawasi. Aku ajak kamu ketempat aku suka ngutang makan waktu masih kuliah”
Dalam mobil hening. Hanya deru mesin  dan sesekali bunyi  klakson terdengar.
“Putar tape Rus!”
Suara berat James Rees mengiringi Roda Land Rover Ranger menuju Cendrawasi.
“Ini udah jalan Cendrawasih pak, sebelah mana?” Rusli menyelingi James Rees yang berdendang.
“Cari jalan Baji Gau, diambang jalan itu ada warung. Mudah-mudahan masih buka”.
James Rees berdendang Well come to My world.
“Stop! Stop! Itu disamping kiri! Wah, kau melamun ya?”.
“Anu pak, saya keasikan dengar tape!”.
“Parkir disini!”.
Kleek! Pintu terbuka. Buuk! Pintu ditutup.
“Ayo Rus! Emang mau disitu saja!?”.
“Anu pak, parkirnya ?”
“Ya, disitu, ayo….”. Roby menyebebrangi jalan Baji Gau tanpa menoleh lagi. Terus masuk kebangunan  sederhana disitu. Meduduki bangku panjang. Mengamati ruangan.
“Hm….sudah tidak terawatt, catnya buram!”  Bisik Roby.
Sepi, tak ada pengunjung. Diluar, Rusli tengok kiri kanan ia kehilangan jejak.
“Hei….aku disini Rus!” Roby memanggil dari warung kecil di seberang jalan.
“Maaf Pak! Saya pikir Bapak kemana!” Heran mendapati Bos santai diwarung kumuh seperti ini.
“Ayo duduk! Yang punya belum keluar”
Plek! Rusli menaruh Pantat di Bangku. Tiiinnng! Zipo Roby menyulut kretek di bibir. Asap Ji sam Su kelabu menari membungkus wajah. Cess! Rusli ikutan menyulut sebatang Jarum tujuh enam dibibirnya yang hitam. Masih Sepi! Asap rokok menari bermain, mencandai hidup.
“Eee…ada tamu thoooo!” Suara parau perempuan Tua menyambut diambang pintu tengah.
Roby, Rusli, menoleh!
“Waduh..maaf ya….ibu sedang dibelakang…mau pesan apa ya…?” tersenyum ramah menawar.
Roby menatap lekat perempuan itu, lalu menoleh kepada Rusli.
“Pesan apa Rus?!”
“Kopi manis bu!” sahutnya. Roby kembali menatap perempuan itu.
“Kopi jahe pake susu kental, masih ada bu?!”
Perempuan warung menatap seksama. Heran. Seingatnya, hanya almarhum suami yang minta  minuman seperti ini…dan, oh ya. Juga seorang mahasiswa. Tapi… itu puluhan tahun lalu! Kabarnya, anak itu sesudah lulus ke Lombok. Sejak itu tak ada kabar. Dulu, aku biasa membuatkan setiap pagi. Dan anak itu……aduh aku lupa namanya!  Oh ya…temannya biasa panggil  Abang! Tiap malam minta kiriman ke asramanya. Katanya jadi teman belajar. Ah…semua sudah berlalu. Lhoo,  kok aku melamun ya? menarik nafas panjang.
“Maaf Pak yang itu, ibu tidak buat lagi. Kalau kopi biasa ada, mau?”
Roby mengangguk. Perempuan menyedu kopi.
“Dulu…..seharian, dia menggendong sambil  melayani pengunjung. Betapa kuat dia waktu itu. Eh…kok, nggak ada suara lain? Pada kemana?? Biasanya Bapak menemani disini” bisik Roby dalam hati. “Mereka sangat berjasa dihidupku. Kalau bukan mereka, aku tidak akan selesai kuliah”   Whuuussh! hempas nafas Roby mengagetkan Rusli.
“Eee…bapak sakit ya?”
“Tidak….kenapa Rus?” toleh Roby.
“Anu pak, saya hanya kuatir. Habis bapak nggak biasa begitu!”
“Yang  seperti ini….Whussssh  yaaa?”
“He-he-he-he…..”.
“Nah….ini pesanan Bapak-bapak! gulanya ibu taruh sedikit…kalau kurang tambah sendiri” Dua cangkir kopi kental tersaji “Ibu tidak jual kue”
“Kami mau minum kopi, jadi tidak pake kue juga nggak apa-apa!” Sahut Roby. “Ibu sendirian ya….apa nggak ada yang bantu?” selidiknya.
“Ya…. sendirian. Beberapa tahun lalu,  warung dipenuhi anak-anak. Sekarang udah pada nikah. Dan bersama suami masing-masing”.
“Suami ibu?, kerja!” pancing Roby.
“Bapak sudah lama meninggal….”
“Maaf bu!” sesal Roby.
“Tidak apa-apa. Bapak meninggal sepuluh tahun lalu, jadi sudah nrimo!. Bapak orang mana? baru ibu liat”.
“Bu….dulu saya suka cuci piring disini….ibu lupa??”.
Perempuan perhatikan Roby! Berkedip-kedip. Memicing, mengucek-ngucek. Memejam. Sedetik, dua, tiga, empat, 5, 6…..”Naaaak!  Abaaanngg Yaaa!”  teriaknya. 
Roby mendekat.
“Pantas dari tadi jantung Emaaak deg-degkan!”  Perempuan memeluk Erat. Rusli Heran.
“Huk! huk!huk!”   
Rusli menyambar Cangkir, Glek! Separoh isinya pindah.
“Duduk mak!”  pinta Roby.
Sesunggukan! Roby menuang segelas air, menyodor ke Emak!
“Minum Mak, supaya segar!” bujuk Roby.
Glek! glek! Nyaman tenggorokannya. “Makasih nak abang!”
“Ini teman Abang mak!” Roby menunjuk Rusli yang gelagapan. Lalu menyalam.
“Rusli! waktu kuliah dulu aku cuci piring disini, supaya gratis makan, he-he..he…iya nggak mak?”  
Mengangguk, senyum keriput menghias.
“Kalau bukan Emak sekeluarga…mana bisa seperti sekarang ini….Oh ya Mak, mana Sugeng dan adik-adik?”
Pertanyaan menusuk hati. Senyumnya pahit. Titik-titik bening  membasahi keriput  pipi. Mematung. Sedetik, dua, tiga, empat, 5, 6, 7, 8. Dua cangkir kopi kental melayang kebibir. Glek! Glek!
“Su…adikmu Sugeng…gugur di Timor-timor! Enam tahun lalu mendaftar ke Angkatan Darat. Katanya di tembak fretelin dengan mortir. Emak… tidak sempat melihat jenasah Sugeng. Huk-huk-huk…”
Perasaan perempuan mendekap Roby.  
Sunyi  membungkus sedetik, dua, tiga, 4, 5,….!

Memasuki halaman Hotel pkl. 22.30.
Sore tadi,  menemani Emak Ziarah kemakam Bapak dan berkunjung kerumah Sunarti, di Tanjung Bunga.
Roby sedih mendapati Keluarga Emak lebih miskin dari yang dulu. Roby membujuk Emak ikut ke Masamba, tapi beliau menolak. Alasannya, Warung ini, satu-satunya peninggalan Almarhum suami.
“Sugeng dan kedua adikmu, lahir disini! Jadi Emak tidak kemana-mana! Emak ingin mati disini seperti  Bapakmu”
Roby tahu, Emak pasti gigih berjuang dan memepertahankan janji. Roby menghormati keputusan itu dan berjanji merenovasi warung. Makanya sedari petang, Roby menghubungi rekanan bisnis bidang sitektur,  untuk renovasi warung emak.
“Pak, nggak makan dulu? Dari siang bapak belum makan!” Nasehat Rusli.
“Waduh…betul Rus! Kenapa tidak bilang dari tadi?”.
“Anu pak! Eh…takut bapak terganggu…..ka…”
“Terganggu bagaimana…..?” potong Roby.
“Anu pak, sesudah diwarung Emak…Bapak serius sekali!”
“Ha-ha-ha….kau ini ada-ada saja!……ayo putar! Kita makan di Losari! Kau pernah cerita  pingin ke Losari. Nah….sekarang saatnya!”.
“Lewat mana pak?”
“Waah…gitu aja nanya! Kalau udah keluar, belok kanan! Ikut terus jalan itu. Nanti akan banyak pedagang  bergerobak, itu Pantai Losari!…… Musik Rus!”
“Baik pak”.


Ngungun pagi menguak bumi Makasar, sedikit berkabut dan lembab. Dari kamar 502 Hotel Makasar City, terdengar siulan mengiring percik air dari shower. Pagi itu, Roby bangun cepat, ia harus bertemu berapa Orang bule Belanda di Restoran Hotel.  Agak tergesa Roby masuk  ke Restoran di lantai tiga Hotel tempat menginap. Kesebuah meja panjang berbentuk Elips, Roby melangkah.
“Selamat pagi, Mr. Roby!”   Suara berat berlogat asing, menyambut dari meja itu.
“Selamat pagi, bagaimana kabar tuan-tuan?’” balas Roby.
Seorang tinggi besar berdiri mengulur tangan ke Roby. “Well, Mr. Roby, kami semua sehat. Anda?”
Roby membalas. “Tuan Van dick  kita  bertemu lagi. Bagaimana keluarga di Denhaag?”
“Well, mereka semua sehat, trimakasih. Oh ya, saya ditemani beberapa kawan. Ini Tuan Dejoong, tuan Kloopass, dan Tuan Maarthin. Silahkan duduk. Kami sudah pesan untuk makan pagi, tuan ingin sesuatu?”
“Trimakasih!”. Meletakkan Tas kerja kekursi dan duduk disamping Van Dick.
“Sambil menunggu menu utama. Tuan mau minum apa? Ada teh, Kopi, Susu, juga juis?”. Tawar  Van Dick. 
“Saya pilih, juis Alpokat!”
“Tuan Roby, waktu Van Dick cerita tentang anda,  image saya adalah seseorang  sebaya kami! ha..ha..ha” Bule dikirinya angkat suara. Roby berpaling, ikut tertawa mengiring tawa lainnya.
“Yaa, Van Dick tidak mengatakan,  anda masih sangat muda…sungguh kami kagum!” suara Bule diseberang meja.
“Ha..ha. tuan bisa saja!”
“Benar! Sangka kami  akan berurusan dengan seseorang yang sudah berumur, ternyata kami salah”
“Eeeeh maksudnya, selama ini tiap kali melakukan urusan bisnis di Indonesia selalu menghadapi orang-orang tua. Jadi tuan jangan tersinggung ucapan meneer  Maarthin dan meneer Kloopass tadi” sambar Van Dick.
‘Ha..ha..ha. jangan kuatir Mr. Van Dick. Biasa saja dan kenyataan begitu”
“Oh maafkan saya” Sambung  Maarthin dari seberang meja. Roby tersenyum diringi anggukan kecil.
“Senang dapat mengenal anda!  Terlebih dalam kerja sama ini” suara Dejoong dari sisi kanan meja.
“Yaa,  sama-sama! Tuan sudah datang untuk pertemuan ini” Roby menyahuti  Dejoong.
“Bagaimana? Kita mulai percakapan ini? Setuju?” tawar Van Dick.
“Mengapa Tidak?” sahut Roby.  Mengeluarkan setumpuk kertas dan LapTop keatas meja.
“Silankan tuan-tuan teliti proposal ini. Dulu sudah dikirim via Mr. Van Dick. Mungkin ada perbaikan atau revisi yang tuan kehendaki. Nanti kita bahas” membagi kepada masing-masing orang.
“Trimakasih Mr. Roby. Kami juga membawa beberapa tawaran baru untuk tuan pelajari.” Sahut Van Dick  menyodorkan satu jilid kertas kerja.  “ Yang ini akan kita bahas dalam pertemuan kedepan”
“Trimakasih”.
Masing-masing memperhatikan, meneliti kertas kerja itu.
“Bagaimana tuan-tuan…..” Roby memecah keheningan dimeja itu.
“Well..di Denhaag sudah kami pelajari dan diskusikan proposal ini. Kami setuju dan Siap berkerja sama.  Oh ya, kami ingin melihat Lokasi dan perusahaan…apakah anda setuju” Tanya Van Dick.
“Mengapa Tidak? Justru, Saya akan bertanya jika anda tidak berkunjung kesana. Kapan..?”
“E waktu kami sempit! Disamping bisnis ini, kami bersama Keluarga. Rencana libur ke Tanah Toraja dan Bali. Kalau Rabu depan tuan-tuan …”      
“Bagus…..” potong Roby. “Saya siapkan beberapa Staf untuk mendampingi tuan-tuan,  Sopir saya menemani ke Masamba. Maaf tidak menemani karena harus ke Kalimantan menyelesaikan persoalan Perusahaan. Sekali lagi maaf”
“Oh….tidak masaalah! Yang penting persetujuan kerja sama ini. Kami memahami kesibukan anda” sahut Maarthin.
“Trimakasih pengertian anda. Disana wakil saya mendampingi dan Anda boleh tanya apa saja mengenai Perusahaan ini. Oh ya, saya lebih senang jika MOU di tandatangani sesudah Peninjauan kesana”
“Oh…itu gentle mr. Roby. Semakin menarik berinvestasi dengan anda, bukankah demikian kawan-kawan?” Timpal Kloopass, sambil menatap Roby.
“Berapa hari rencana tuan-tuan”
Ke empat bule saling memandang.
“Manurut saya, sehari tidak cukup, minimal dua hari!”
“Baiklah…kami setuju!” sahut Van Dick menyalami.
“Setuju”.
“Trimaksih…..sekarang kita makan!?”.
“Itu lebih baik!”

Baru selesei Roby mandi, telepon berdering. Dengan lilitan handuk di pinggang Roby mengangkat gagang.
“Yaa hallo?......ya, ini saya. Oh Richard. Ya..ya, okey..bagus. Jangan lupa beri tahu bik Lela rumah dibersihkan……ya, hallo! Atur saja…..bagaimana? Lowongan udah terisi?…Oh ya, Bagus…..oh tamu? empat orang, layani mereka. Atur supaya tamu-tamu itu melihat langsung aktifitas perusahaan termasuk Kelompok Tani  mitra bina. Siapa?   Rusli?....Rabu. Hallo…Rusli yang antar ke Masamba. Pak Richard tunggu di rumah….Saya?...saya lanjut ke Balikpapan dan Samarinda. Ya..Hallo…ya betul, okey selamat bertugas, hubungi saya tiap saat. Yaa-yaa…..trimakasih Selamat Sore”    
Klik! gagang kembali ketempat.
Roby senang sore ini. Negoisasi bisnis dengan Bule-bule itu berjalan lancar.  Hasil diluar dugaan.
“Santai dulu aaaah” menyambar Remote  menghidupkan TV pas Berita Sore. Tinnng. Zipo membakar rokok dibibir.
ToK!tok!tok! Klik! Pintu terbuka. Rusli bengong mendapti Boss, busananya minim.
“kenapa perlihatkan tampang bloonmu Rus, ayo masuk”
“Anu pak…..katanya mau jalan, tapi bapak masih…”
“Oooh….santai Rus. Duduk. Mau minum? Kopi kental kesukaanMu? Tuuu disanaa…aku ganti baju dulu, kau buat sendiri ya? Eh aku juga Rus”
Rusli menyedu kopi. meletakkan dimeja tamu.
“wah aromanya merangsang  ya Rus” Roby diambang pintu.
“anu…iya pak…” Rusli melongo lagi.
“Kenapa lagi dengan muka Bloonmu?”
“Anu pak. Kog….pakaiannya…..”  Rusli melihat stelan Kaos oblong dan Jeans.
“Oh ini toh? Apa nggak boleh dua hari lalu kamu juga protes?”
“Anu…baru disini lihat Bapak beda.  Seperti sehari-hari saya, kalau begitu terus disangka mahasiswa he-he…..”
“Kalau aku ngantor dengan busana ini, bagus nggak?”
“Bagus pak. Tapi….Bi’ Lela? Lha kalau saya jemput Bapak nggak pake seragam dimarahi, apalagi Bapak?”
“He-he ini busana santai. Eh mana kopiku?”
“Yang ini pak”
“Shyruuuup. Enak nih. Kau sudah makan?”
“Anu…. sudah pak!” Rusli menepuk perutnya, lebih tambun dari Roby.
“Hm…kalau kau tidak diet Rus, bisa kau yang disangka bos gara-gara perutmu itu, ha-ha-ha…”
Ha-ha-ha!
“Kita jalan kerumah teman. Mudah-mudahan dia masih tinggal di Perumnas! Ini alamatnya!”
“Anu pak…..eeeeeh..”
“Anu apa? Koq anu-anu terus, emang anumu He-he-he….”
“Maksud saya mau ganti baju seperti Bapak, boleh?”
“he-he-he…Sana ganti…”
“Anu pak, saya pergi dulu”
“Kopimu Rus?”
“sudah habis dari tadi, he-he-he..”

Gerimis  halus di bumi Makassar petang itu.  Sebuah Land Rover Abu-abu Metalik meluncur santai di Jalan Tidung, kemudian menepi.
“Betul ini jalannya Rus?”
“Betul pak. Rumah yang bapak cari pas disamping kita”.
Roby keluar dari mobil, menengok kanan-kiri.
Tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Sesuatu yang tersembunyi dalam bilik hatinya, tiba-tiba muncul kepermukaan.  “Ah….perasaan ini, kupikir sudah lama hilang” bisik Roby.
“Rusli tunggu disini”  melangkah ke Rumah bercat Coklat Tua dihadapnnya.
“Hm…bertahun-tahun berlalu, masih saja perasaan ini. Getaran ini, sama setiap kali aku berkunjung. Semoga pemiliknya masih seperti dulu” Roby berharap. Tok! Tok! Tok! ……Tok! Tok! Tok!  Pintu dibuka. Seorang Lelaki tua berdiri. Menatap, rautnya bertanya.
“Maaf mengganggu pak” sapa Roby cepat.
“Tidak apa-apa,  Cari siapa?” suara parau gemetar.
‘Eee..saya mencari Evi. Ada pak?”
“Oh…temannya Evi?...ayo masuk! Masuk nak” terbuka lebar, Roby masuk duduk disofa dekat pintu.
“Maaf. Pernah berkunjung kesini?”
“Iya pak, tapi….itu dulu. 20 tahun silam!”
“Waaahh, pantas lupa! Maklum udah tua. Jadi wajar kalau lupa, he-hehe….Ooo ya, anak siapa? Apa teman kerja Evi, atau teman kuliah dulu?”
Roby menatap lelaki didepannya. “Hm…rupanya 20 tahun mengubah banyak hal dalam hidupku, termasuk beliau” bisiknya. “Saya Roby! Masih ingat pak?”
“Roby? Roby….Ooooooh ya…aduuuhhhh! Nak Roby banyak berubah? Sampai bapak tak mengenalmu lagi, Apa kabar naaak?”
“Baiiik! Saya baik pak! Bapak??”
“Ya beginilah sekarang. Pension dari guru, bapak tidak punya kegiatan lain, kecuali dirumah. Ibu juga sudah pension, malah sering sakit-sakitan. Orang tuamu?…apa  masih di…..”
Surabaya pak. Tapi….Ayah sudah lama meninggal”
“Ah…bapak minta maaf”
“Nggak apa-apa pak. Ngomong-ngomong mana yang lain?”
“Itulah….dirumah hanya  bapak dan ibu. Yang lain sudah punya rumah masing-masing. Tapi akhir minggu, cucu bapak pada ngumpul disini. Tadi sore Ibu pergi Kondangan. Oh ya sebentar,  bapak kebelakang…..masih tetap ngopi kayak dulu khan…..?”
“Jangan repot pak!” potong Roby cepat.
“Lhaaa yang repot siapa? Cuman nyedu kopi koq, he-he-he, sebentar ya,….. nak Roby udah lama tidak berkunjung “ terdengar suaranya dari ruang belakang.
“Hm….ruangan ini masih seperti dulu. Kecuali dinding, makin banyak potret bergelantungan disitu. “Apakah E’E’ sudah berkeluarga?” Berdiri meneliti pigura yang bergantungan. Deeg! Jantungnya berdegub keras. Matanya tertumpu pada seorang perempuan berpose duduk sambil menggendong seorang bayi!
“Hmmmm…..dia sudah menikah dan seorang anak!” Hatinya sepi. Merana!. Lama menatap bingkai itu. Duka disana. Phuihh!  Tiiinnnng, Zipo membakar Ji Sam Su. “Selamat berbahagia E” sumbang.
“Nak Roby….kopinya udah siap nii. Ngobrol serambi ngopi kan asyiik. Mudahan sesuai seleramu. Ayo dicoba mumpung masih hangat”
“Waaah…ini sih kopi hebat pak. Aromanya sedap”  Kaget, tak sangka pak Tua sudah disitu.
“Nak Roby ada-ada saja! Ayo minum”
“Makasih pak”.  Tiup beberapa kali. Shyruupp. Glek.
“Bagaimana? Pahit manis?”
“Pas kopinya, he-he-he…” Sahut roby meniru iklan Tv
He-he-he-he.
“Beginilah sehari-hari. Tinggal berdua ibu. Untuk mengisi waktu, paling-paling nonton Tv. Anak-anak sudah pada kerja, mereka tinggal diluar kota. Setiap akhir minggu mereka berkunjung, atau kami mengunjungi. E…ngomong-ngomong nak Roby masih di Pulau Lombok? Bapak dengar selama ini disana?”
“Benar masih disana” Bohong Roby. Terbayang Surat merah jambu terakhir. Diterima dari rumah ini.
“Dulu, Evi bilang. Nak Roby kerja di Mataram. Kerasan disana?”
“Begitulah pak, namanya cari makan. Suka atau tidak, harus dijalani”.
“Syukurlah kalau begitu. Anak-anak Bapa bekerja di Swasta, termasuk Evi. Tapi sayang ia tak pernah betah lama disatu perusahaan. Selama ini, sudah empat perusahaan ditempati kerja. Minggu lalu adiknya nelpon. Katanya, Evi pindah lagi ke perusahaan lain. Bapak kurang jelas perusahaan mana”.
“Ya namanya cari makan pak. Setiap orang ingin mencari suasana baru, peningkatan karier”.
“Mungkin juga ya? Naaah itu Ibu. Hei bu, lewat sini saja..” panggilnya, melihat istrinya akan lewat pintu samping.
“Bapak! Ada tamu koq teriak-teriak! Persis cucu-cucunya. Maaf ya nak?!”
“Masih ingat anak muda ini bu?”  Tak peduli teguran istri. 
Roby berdiri, menyalami. Ragu, perempuan ini membalas. Ia berusaha mengingat.
“Naa,..nah. terbukti. Istriku juga pikun kan?” sambungnya.
“Saya Roby bu. Teman Evi!”
“Roby? Waduh maaf ibu sungguh tak ingat!”
“benar kan? pikun! He-he…”  suaminya terkekeh.
“Yang pikun Bapak!” sahut istrinya manja. “maaf nak Roby, ibu kebelakang. Eh..udah dibuatin minum ya?  Aduh,  moga-moga nggak kepahitan”
“Kopi buatan Bapak enak koq!”  memperhatikan Perempuan tua yang kebelakang.
“Jadi Evi tinggal dimana Pak?” Keduanya kembali duduk.
“Selama ini tinggal di sudiang!”
“boleh saya minta alamatnya?”
“Boleh-boleh, sebentar ya nak….”  menyusul istrinya.
Roby membuang tatapan keluar jendela. Matanya menangkap Rose mekar. Sunyi halaman ini.
“Lho mana bapak nak Roby?”
“Oh ibu…bapak kebelakang!”
“Waaah, dasar pikun. Ada tamu koq ditinggalin!”
“Lho, lho…yang ninggalin tamu siapa bu? Bapak sedang menyalin alamat Evi untuk nak Roby…..ya gini  nak Roby. Kami sering berbantahan, meskipun soal kecil saja. He-he..he. Malah bisa lebih ramai dibanding para demonstran”
“Ah bapak ada-ada saja, he…he..” Roby merasa lucu.
“Nih alamat Evi” sodornya.
“Trimakasih pak, udah ngerepotin….Oh ya saya sekalian pamit……”
“Lhoo, koq tergesa-gesa? Ibu kan baru datang belum sempat ngobrol”
“Udah ngobrol sama bapak bu. Mohon maaf, saya pamit”
“Iya deh. Lain kali jenguk kami lagi ya?” tawar Pak tua.
“Trimakasih!  Pak, bu permisi. Selamat malam!”
“Malam, hati-hati dijalan”
“trimakasih!” Roby menganggukkan kepala dan menuju halaman terus kejalan Raya.
“Roby siapa ya Pak, kog ibu tidak ingat lagi?” lamat-lamat Roby mendengar pertanyaan itu.
“Robynya si E….”
 Buk!!. Pintu Land Rover tertutup. Rusli memutar mobil, kembali kearah dari mana datang.
“Putar tape Rus. Yang ada gambar Aple kamu putar!”
Terdengar Sound Treck Film Ghost mengalun. Mendendangkan Unchained Melody.
Hmmmmm.

Richard  gelisah, mondar-mandir diruang tengah rumah Roby. Bik Lela ikutan gelisah.
“Den Ichad, ada apa kog dari tadi mondar-mandir saja? Ada masaalah? Bertengkar dengar istri ya?”
Rihard menolah. “nggak ada apa-bik. Saya hanya kawatir, Rusli belum juga sampai. Dia kan sedang mengantar tamu ..”
“Oooh. Saya kira bertengkar lagi sama istri!”
“Aah bibi, buka rahasia saja!”
“Habis…kalau gayanya udah begitu, pasti karena bertengkar…hikhikhik” lucu di benak Lela.
‘Husss, kali ini karena urusan perusahaan. Istri dan anak-anak sedang di Bandung
“Hikhikhik….gitu aja marah” gurau Lela. “Den, kopinya jangan dibiarin dong…keburu dingin tuh!”
“Oh iyaaa, makasih bik. Eeee kamar untuk tamu udah siap ya?”
“Sudah…tadi bu Lina ikut bantu, rapi banget. Katanya dibuat kayak dihotel. Supaya tamu betah.  Bu Lina itu, pinter ya Den?”
“Iya… dia  PR Perusahaan!”
“Oooh. Bu Lina bilang mau kesini lagi.  katanya mau menemani Aden terima tamu! Orang mana den? sepertinya penting sekali!”
“Bos nggak nelpon Bibik?”
“Nelpon! Cuma bilang akan ada tamu,  Orang bule. Bibik disuruh bersihin rumah. Itu saja pesannya. Orang bule? Kayak apa ya den?”
“Orang bule itu, orang barat. Masak bibik belum tahu?”
“Orang barat? Oooh bibik tau dah. Kayak yang ditelevisi itu kan?”
“Iya, kayak yang main Film Cowboy”
“Ooooo bibik tau dah. Berapa orang den?”
“empat Bik!”
“Waaaah, gimana melayani mereka? Bahasanya kan waswes. Bisa repot ya den?”
“Bibik tenang saja. Nanti bu Lina yang nemanin. bu Lina kan pintar bahasa waswes. He-he-he” canda Richard meniru gaya Basuki di Iklan TV.
“Ah, den Ichard ini. Kan bibik tidak tahu bahasa waswes!”
“itu bahasa inggris bik!”
“Den icad bisa ya?”
“yaaa, sedikit. Yaa…Waswes juga he..he..”
Sebuah Kijang Soluna berhenti di halaman samping. Richard, Lela menoleh kesana. Sherlina turun dari mobil menenteng tas kerja. Richard bergegas menyonsong diikuti Lela.
“Sore pak Richard. Maaf terlambat” seru Lina menaiki tangga beranda.” Eh bik Lela, sore bik”
“sore bu Lina..”  bersamaan Richard, Lela menyahut.
“Tamu sudah tiba pak?”
“Belum bu” Richard perbaiki letak kaca minusnya.
“Ayo tunggu didalam saja!” ajak Lela. Tiga pasang kaki masuk ke ruangan sejuk. Dinding-dinding ruangan itu dipenuhi ornament tradisionil Indonesia. Tadi siang,  Sherlina sempat menanya Lela tentang  ornament itu dan mengapa tidak ada potret keluarga menghias ruangan. Lela memberi penjelasan bahwa  Roby mengoleksi seluruh hiasan itu. Katanya lebih hidup dari pada foto.
“bibik ambilkan oreng’s ya bu? Mau yang dingin?” tawar Lela.
“Makasih bik!” 
“Bagaimana, udah siap?  Mudah-mudahan ibu telah paham seluk beluk perusahaan. Hal itu dibutuhkan untuk penjelasan pada tamu-tamu kita.”
“saya akan berusaha sebaik-baiknya. Oh ya, ada satu maasaalah pak…!”
“Masaalah? Apa bu?” sahut Richard cepat.
“Saya mencari fail prospek dan blue print pengembangan perusahaan. Tapi, belum ketemu. Semua karyawan di bidang administrasi sudah saya Tanya, tak satupun tahu, mungkin bapak?”
“Oooh yang itu. Ada sama Direktur. Maaf, saya lupa beritahu. Kopiannya dikirim via Rusli. Nanti kita pelajari bersama”
“baiklah, trimakasih pak” sahut sherlina tersenyum.
“Oh ya, bagaimana dengan bu Abel? Nggak kesini?”
“Tadi,  kami bersama. Tapi,  bu Abel minta diturunin di Mess. Mau mandi dulu. Sedari pagi, bu Abel dilapangan. Katanya bantuin sapi beranak sama ngawinin sapi…hik-hik lucu ya pak?”
“Ah ibu bisa aja! Bu Abel ahli peternakan, jadi kalau ngawinin sapi, itu memang kerjaannya, Ha-ha”   Sahut Richard geli, membayangkan seorang perempuan ngawinin sapi.
“Hayo…ngomongin bu Abel ya? Nanti bibik bilangin lho?....nih minumannya…”
“Hanya bersenda gurau bik..” potong Lina.
“Bibik juga bergurau koq, Oh ya…den icad bilang bu Lina bisa bahasa waswes ya?”
“Bahasa waswes? Apa itu bik?”    Lina heran, menatap Richard.
“Ooooh, anu bu….maksud bik lela, eeh, bahasa inggrisss he-he”  
“Oooooh itu thoooo, mengapa bibik bilang bahasa waswes, kayak iklan jamu di TV hikhik..”
“Bibik nggak bisa bahasa itu, jadi waswes saja hikhik..” sahut Lela geli.
Ha-ha-ha,hikhikhik…..
Tiba-tiba Hp Richard bergetar dikantong celana, menghentikan tawanya.
“Ya Hallo? Oh Bapak! Apa kabar pak? Baik..lancar pak! Belum…..mungkin sebentar lagi. Ya…ya..baik pak, Oh sudah siap…..kami siap pak! Bapak dimana?....Balikpapan? mau ketenggarong? Salam untuk teman-teman pak…….Oh ya pak.….  baik…baik pak….selamat sore pak!” lalu menyimpan Hpnya disaku.
“Pak Direktur bu. Salamnya. Beliau di Kalimantan sekarang”
“Kapan beliau pulang pak?” sahut Lina sambil mengangkat cangkir.
“Beliau tidak bilang tuu, mungkin bik lela tahu?”
“Waah bibik juga tidak tahu. Den Roby biasa gitu. Nanti kalau udah deket mau pulang baru beritahu, iya kan den?”
“Ya….begitu! Beliau biasa pulang diam-diam. Ngantor diam-diam. Kelapangan diam-diam. Dan kalau pulang kesini biasa tidak lama. Paling-paling sebulan, dua bulan, pergi lagi…” terang Richard.
“Naah itu bu Abel…..” teriak Lela, berjalan kepintu. “Sore bu….” Sambungnya.
“Sore bik. Apa kabar bibik?...eh sore pak Richard! Bu lina! Maaf terlambat”
“Soreee!  Bu Lina cerita,  dari lapangan ya? Bagaimana disana? Katanya habis nga…” sahut richard .
“Anu buuu, den Icad sama bu Lina bilang bu Abel ngawinin sapi ya? Koq sapi dikawinin bu?” potong Lela polos.
Hikhikhik,ha-ha-ha.
“Hikhik….bukan dikawinin biiiiik, tapi dibantu supaya cepat produksi. Pakai suntikan. Bukan sapi jantan dikawinin sama sapi betina. Kalau gitu….Aku juga ngeriii hikhik..”  Abel  terkikik.
“Hikhik….bibik sangka seperti itu……hikhik.. hebat dong tenaga bu Abel bisa angkat sapi…..hikhik”
whuaaakkk-whuaaakk,hiiikhiiik.
“maaf deeh, bibik salah sangka…”

Di Kalimatan, Roby menghadapi wabah Virus Avian influenza atau Flu Burung yang menyerang ternak unggas. Dua minggu kemudian Roby mengumpulkan seluruh stafnya.
“Pak Ingan, Pakan dan vaksin yang diorder ke Surabaya? Kapan tiba?” 
“Sampai sekarang belum ada berita pak, beberapa kali menghubungi via telepon, selalu dijawab  sementara dalam proses pengiriman, maaf pak”
“Hm……para menager lapor sekarang. Litbang!  Saya ingin dengar informasi saudara”
“Trimakasih pak. Sebulan ini produksi Broiler turun sampai 27%, Ras Layer  30%. Dua bulan lalu  20.000 ekor unggas mati terinfeksi flu burung.  Sekarang sekitar 130.000 ekor terjangkit virus ini, kami  sudah antisipasi. Ternak sehat dikarantina kesektor Empat, tiga hari sekali divaksin. Yang ketular di isolasi disector dua dan tiga. Oh ya pak, unggas yang positif terjangkit, kami usul…..”
“Katakan, tidak usah ragu!” perintah Roby pada Manager Litbangnya.
“Hm...dimusnahkan pak. Untuk mengelemener penularan.  Maafkan pak!”
Roby menatap stafnya. Sunyi. Tiiinnnng, Kretek dibibir terbakar, asap melingkar-lingkar. Telapak tangan Roby, tiba-tiba terasa gatal, lalu perutnya ikutan mual terus kekepala. Pusiiinnng.
“Setengah tahun lalu,  saya ingatkan untuk mengantisipasi penyakit ini. Apa yang saudara kerja selama itu?......” berhenti sejenak, lalu menatap Ingan “Saudara tidak melapor soal ini! Saya butuh penjelasan!” 
“Mohon maaf pak direktur. Waktu sedang buat laporan, ada beberapa ratus terinfeksi. Menurut  Litbang  hanya penyakit biasa, bisa diatasi. Kami tidak menyangka akan separah ini. Mohon maaf pak!”
“Untuk apa Laboratorium yang saudara minta? Untuk keren-kerenan?? Sarjana Peternakan, dr hewan, ahli gizi ternak,  kita punya. Lhaa, yang begini koq bisa terjadi?” suara Roby meninggi. Telapak kakinya juga ikut gatal.
“Marketing?!”
“Eehh, iya pak. Kami melapor…aa maksudnya lapor bah…bahwa…eh akibat persoalan ini, quota  konsumen tidak terpenuhi. Kami berinisiatif mendatangi pelanggan dan  menjelaskan kondisi ini. Kami tawarkan daging sapi dengan harga 1% lebih murah sebagai pengganti pasokan daging Broiler dan telur. Proposal sudah kami kirim bulan lalu”
“Sudah diperhitungkan?? Lalu bagaimana tanggapan konsumen?”
“84% pelanggan setuju. Yang 16 %  bertahan pada kontrak lama.  Pak Ingan sudah berusaha  menjalin kerja sama dengan perusahaan Ternak unggas lain agar quota terpenuhi. Pak Ingan mungkin sudah merinci hal ini ke Bapak. Mohon maaf atas krisis ini!”
“Baik, trimakasih pak Naryo. Saudara Ingan?”
“Bapak yang kami hormati! Kami lanjutkan. Hm…sementara ini kita disuplay perusahaan lain. Harganya 0,9% lebih murah. Mengenai rincian lengkap termasuk prospek sudah kami sampaikan pada bapak semalam. Oh ya pak…tentang konpensasi tadi! Meskipun tipis, perusahaan masih untung. Selanjutnya mohon petunjuk bapak.”       
“Baik, trimakasih….keuangan?.  Laporan tertulis sudah dimeja saya. Sekarang Informasikan garis besar Neraca perusahaan supaya  bidang lain  mengetahui!”
“Baik pak. Sampai kwartal kedua tahun ini, neraca perusahaan sangat sehat, dan keuntungan rata-rata diatas 40% banding beaya operasional. Kwartal ketiga,  turun mendekati level 15%  beaya operasional. Melihat situasi dan kondisi Ekonomi makro Negara kita plus kejadian terakhir di perusahan, kami perkirakan neraca kita akan terus turun dan sebanding beaya operasional. Artinya jika tidak mengambil langkah-langkah yang tepat perusahaan akan mengalami devisit…” ia berhenti sejenak, meneliti catatan. Sampai saat ini, perusahaan tidak mempunyai tanggungan pada pihak lain. Sebaliknya beberapa pelanggan dibidang jasa perhotelan dan resort, memohon penjadwalan piutangnya. Untuk ini wakil direktur sudah….”
“Cukup! Pakan dan Gizi, laporan saudara menyatakan ada kendala!” 
“Pak direktur….stock pakan, Gizi dan Vaksin menipis! Sampai kwartal ini suplayer di Jawa belum memenuhi permintaan kita. Harganya naik berkisar 12% sampai 20%. Ongkos kirim naik 5%. Akibatnya beaya produksi tinggi. Mengenai pasokan….wakil direktur lebih tahu. Demikian pak”
“Cadangan seberapa??”
“Hanya tiga minggu!”
“Eeeh, maaf pak ….”
“Yaaa, Heriansyah! ada apa?” Potong Roby.
“Begini pak…..yang terinfeksi tidak mungkin diselamatkan. Berdasar data ini, Kami kalkulasi bahwa stock digudang cukup untuk dua sampai tiga bulan lagi…”
“Maksud saudara?”
“Hm, Kalau unggas pesakitan dimusnahkan,  berarti stock pakan tidak berkurang.  Jadi…”
“Dedy? Bagaimana?” Roby menatap tajam.
“Maaf pak. Kami tidak terpikir sampai kesana. Mohon waktu pak”
“Ya  sekarang”
Tiiinnnng. Whussss. Asap melingkar-lingkar.
“Pak direktur?...Kalkulasi Heryansyah benar. Stock masih cukup untuk empat bulan”
Roby mengangguk-angguk. Para staf jadi patung. Tapi  asap rokoknya banyak bicara, berfikir, melingkar-lingkar.
“Baik…saya mulai dari Litbang…” Membuka catatan “Basmi yang terinfeksi. Jangan sampai  lolos keluar pagar. Seluruh areal peternakan di semprot anti virus termasuk kandang sapi. Yang sehat dijaga produktifitasnya. Teliti dari mana sumber malapetaka ini. Terus waspada terhadap setiap gejala yang ada. Manager keuangan hitung cermat beaya operasional akibat krisis ini. Sertakan neraca banding kwartal satu, dua,  sampai prakiraan dua kwartal kedepan. Saudara Ingan, Tinjau seluruh kontrak kerja pada pemasok dari Surabaya, Malang dan Tangerang. Usul agar mereka menekan kenaikan sampai 5% saja. Kalau tidak, kita ekspor dari Australia atau dari Tailand, ada pertanyaan?”
Ada pak.”
“Yaa…Dediyansyah!”
“Bagaimana konsumen yang minta penjadwalan piutangnya?”
“Bolah! Mengapa tidak? Bukankah itu merupakan servis perusahaan pada konsumen? Ada lagi?”
“Saya, Heryansayah pak! Bulan lalu, pemerintah mengundang kita. Pak Ingan, saya dan Pak Dediansyah, menghadiri undangan tersebut bersama beberapa pengusaha lain. Dalam pertemuan itu pemerintah daerah mengajukan proposal  untuk Bina Tani Didaerah Sebulu dan Kota Bangun. Setiap Perusahaan diminta untuk mengadopsi usaha Petani yang ada di kedua Kec. Tersebut dengan menyalurkan Dana sesuai jumlah dalam proposal. Sampai sekarang kita belum membahasnya, mohon petunjuk Bapak!”
Roby menggeleng-geleng, tersenyum kecil. 
“Bukankah selama ini, perusahaan banyak memberi keuntungan pada para petani yang jadi bina Mitra Usaha? Apa saudara tidak jelaskan pada pemerintah?” Roby heran.
“Sudah pak. Salinan seluruh kegiatan Bina Mitra Usaha Tani diserahkan pada pemerintah daerah” Jawab Ingan tegas.
“Kalau begitu, buang ke Tong sampah!...... perusahaan jauh hari sudah membina usaha kaum Tani dan menjadikan Mereka sebagai mitra perusahaan. Mengapa saudara tidak mengajak Pemerintah meninjau ke Lapangan?”
“Maaf pak. Sudah dan kita siap memfasilitasi peninjauan tersebut, tetapi alasan  Pemerintah  bahwa ini beda.  Sekarang Era Otonomi Daerah dulu kan pemerintah orde Baru!”
“Ha-ha-ha…” Derai Roby mengejutkan.  “Apa saudara nggak merasa lucu? Proposal itu lelucon. Mengada-ada! Bagaimana mungkin? Perusahaan mengadopsi usaha Tani tapi duitnya disetor ke pemerintah?...ada-ada saja!” sambung Roby lucu. Seluruh staf  hanya saling tatap.
“Mengapa? Apa anda tidak mampu ketawa dalam siatuasi seperti ini? Kalau begitu saudara juga lucu, ha-ha-ha….” Sambungnya sambil  berdiri. Menatap semua orang yang duduk dimeja berbentuk U itu.
“Sudalah…saya tahu anda semua prihatin karena krisis ini…….semangat itu penting buat saya.  Dan Ingat baik-baik! Kalau perusahaan ini berkembangan yang pertama menikmati adalah saudara! Sebaliknya kalau perusahaan mundur? Saudara yang rugi! Ingat itu. Selama saudara bekerja diperusahaan ini, pernahkan saya menyia-nyiakan tenaga dan jerih payah saudara? Adakah kewajiban perusahaan kepada karyawan yang tidak terpenuhi? Atau saudara tidak sejahtera bekerja di sini? Saya minta,  saudara bekerja dengan sungguh, terutama menghadapi  krisis ini. Oh ya, perintah saya tadi,  dua Bulan kemudian kita bahas di meja ini. Bagaimana saudara sanggup?”
“Sanggup pak!” koor Staf.
“Saudara Ingan dan Mansyah, siapkan semua yang berhubungan dengan sanitasi areal dan pemusnahan unggas pesakitan. Saya perintahkan semua anak-anak dibawah 12 tahun dan ibu hamil diungsikan saat penyemprotan. Tolong bagikan masker kepada seluruh karyawan dan laporkan kegiatan ini kepada Dinas Peternakan.  Manager bidang lain beserta staf masing-masing, berkoordinasi pada kedua saudara tersebut tadi. Operasi ini kita laksanakan secara terpadu. Jangan lupa daerah radius 1 km diluar peternakan juga disemprot. Operasi ini harus berjalan sukses. Beberapa hari ini semua kebutuhan kegiatan harus sudah siap. Minggu depan kita jalan. Ada pertanyaan?” diam sejenak. “Kalau tidak ada, pertemuan ini saya tutup, selamat bekerja, selamat malam!”
Sepeninggal Stafnya, tergesa Roby mengemasi kertas-kertas dari meja kedalam Tas kerja saat Ingan muncul kembali dipintu, mengetok daun pintu yang masih terbuka.
“Ya?! Oh Ingan, Ada sesuatu Ngan?”.
“Maaf pak, ada yang lupa saya laporkan dalam rapat tadi, ee….”
“Duduk dulu Ngan!” potong Roby. Ia juga duduk.
“Trimakasih pak. Ee..penjajakan ke Kab. Nunukan sudah kami coba. Di Nunukan memang belum ada Perusahaan sejenis, tetapi pasokan Daging, sapi, ayam sekalian telur tidak pernah kurang pak”
“Kalau disana belum ada perusahaan Ternak, dari mana mereka dapatkan?”
“Eee, dari import pak!”
“Import? Maksudmu?”
“Nunukan dipasok Malaysia! Khususnya dari Tawau dan Sandakan!”
“Jadi bagaimana prospek disana?”
“Nilai jual disana tinggi, untuk komuditi daging Sapi perkg 45 banding70. Ayam 30 per 47 tiap kg, demikian juga telur”
“Wah, sangat Prospek”
“Tapi kecil pak. Perbulan berkisar 3 sampai 5 setengah Ton Daging sapi. Ayam, 2 setengah sampai 4.  Pasaran disana sulit kita direbut”
“Lhooo, jangan lupa. Perusahaan ini, tidak seketika jadi besar! Dulu kumulai dari beberapa Ratus ekor ayam. Penggemukan sapi,  sepuluh ekor. Pemasarannya pun aku antar sendiri kepasar-pasar. Untuk  produksi setengah Ton Ayam per bulan, aku butuh waktu dua tahun. Jadi,  kalau Nunukan bisa Kau rebut, itu luar biasa NGan!”  
“Maksud saya,….kalau buka cabang disana, saingan ketat. Katanya, importir disana ada jaringan kuat. Dibeking  oknum pemerintah dan aparat keamanan. Saya dapat informasi, ada seorang pengusaha local. Di gebuk jaringan ini. Ternaknya diracun bahkan main bakar-bakar pak!”
“Kalau seperti itu!  Bukan kerjaan Pengusaha apalagi eksportir. Tapi Teroris merangkap penyeludup. Agar tampak legal, setoran pada oknum Pemerintah dan oknum keamanan pasti besar. Jadi, jika harga lebih mahal disana wajar. Tau nggak? Yang membuat mahal, ya oknum pemerintah dan keamanan tadi.  Ngerti maksudku?” 
Ingan mengangguk-angguk. Kagum analisa Roby.
“Masih ada?” tantang Roby lagi.
“Soal Nunukan, saya tunggu  petunjuk Bapak!” jawab ingan menyerah.
“Oke, nanti kita bahas. Oh ya!. Temani aku ke Samarinda malam ini. Tapi, pamit dulu sama istrimu! Saya tunggu di rumah!”
“Trimakasih pak. Permisi. Selamat malam!”
“Malam juga! Salam untuk keluargamu”
“Trimakasih pak!”


Siang itu di kantor.  Roby dan Ingan sedang menbahas laporan. 
“450.000 bibit ayam? 5000  ekor Sapi!? Dari mana diperolah? Peternakan unggas sedang krisis!“
“Begini pak,  di Bekasi ada perusahaan pembibitan unggas menawar pada kita. Diatas jumlah itu pun, disanggupi. Untuk pengadaan bibit  sapi dari NTB dan Bali. Bulan depan, Pak Naryo bersama Staf Marketing akan bernegoisasi  kepengusaha disana. Ini datanya pak”
“Bibitnya berkualitas tidak?” .
“Untuk broiler dan ras layer,  katanya bibit unggul. Bibit Sapi saya belum tahu persis”
“Kau ke Bekasi,  lihat produksi mereka! Litbang gimana? separuhnya bisa dipenuhi?” 
“Anu pak, Telur untuk bibit, separuhnya dilempar kepasar memenuhi permintaan Konsumen. Disamping itu,  yang lolos Flu burung, produksinya menurun. Sudah saatnya peremajaan pak”
“Oke!..” memijit nomor telepon dimeja kerjanya “Yeni! tolong  panggil Naryo dan Zaini” Lanjut meneliti kertas di tangannya.
“Oh ya, perjalananmu ke jawa? Ada hasil?”
“Cukup menggembirakan pak. Ada Produsen Pakan dan Gizi ternak di Surabaya mau jadi suplayer kita.   Perusahaan tersebut mengajukan proposal dan sanggup memenuhi seluruh kebutuhan kita,  termasuk Vaksin ternak. Saya sudah pelajari, tinggal menunggu persetujuan Bapak Direktur….”
“Mana proposal itu?” membolak-balik  kliping dimeja.
“Yang covernya coklat pak! Ada gambar anak ayam. Yaa, yang itu…”
Tok! Tok! Tok!
“Masuk!” perintah Roby.
Klek! Pintu terbuka. seorang gadis Tinggi semampai, cantik. Berdiri disitu.
“Yeni! mana mereka?”
Ada diruang tunggu pak!” Yeni, sekretaris Roby.
“Ah kau….suruh mereka masuk”
“Ya..ya pak!” Yeni keluar.
“Jangka panjang?? Apa maksudmu” 
“Perusahaan ini  ingin menjadi suplayer tungal selama 10 sampai 15 tahun. Pengiriman Per triwulan dan terima jadi. Termasuk yang di Sulsel.  Kompensasinya,  team ahli mereka akan membantu program dan penelitian bibit unggul”
Roby manggut-manggut. “Bagaimana Suplayer di Malang dan Tangerang?”
Tok! tok! Tok!
“Masuk!” perintah Roby lagi.
Klek! Naryo dan seorang perempuan tigapuluhan masuk. Masing-masing menjepit Map tebal.
“Silahkan duduk!  Lanjut Ngan!”
“Tidak ada kendala pak. Tapi, kalau Bapak menyetujui Proposal ini, suplayer lama kita stop”
“Nanti di lanjutkan!..” lalu menoleh Naryo.
“Jenis bibit Sapi apa?  Yang Kau rencana dari NTB dan Bali?  Jumlahnya sangat banyak Nar!” Cecar Roby.
Naryo perbaiki letak kacaminusnya. “Bapak perintah membuat prakiraan produksi. Angka ini adalah  rencana produksi empat tahun kedepan. Yang sementara penggemukan sekitar 1000 ekor sudah termasuk yang di Bina Mitra Tani. Jadi 4000 ekor untuk empat tahun” Naryo perbaiki  lagi letak kacaminusnya. “Dari NTB jenis Brahman, Benggala dari Bali. Pakannya murah pak. Saya dengar, kedua jenis ini bandel terhadap virus yang sering menyerang ternak sapi!”
“Pakan murah dan bandel terhadap penyakit? Apa maksudmu?” 
“hmm anu pak,…Sapi benggala dan Brahman, pakan hijaunya rumput Gajah dan daun Lamtaro. Tambahan gisi, bungkil jagung campur awang padi,  pasti cepat gemuk. Kan murah pak!”
“Iyaaaa, lalu?”
“Atas ijin Bapak, bulan depan saya ke Bali terus ke NTB. Saya sudah buat janji ketemu beberapa  pengusaha disana. Bapak setuju?”
“Saya setuju! Tapi mesti hati-hati! Jangan sampai membeli sapi tua, atau yang pesakitan. Nanti kita rugi.  Oh ya, bulan lalu  saya tugasi mencari lahan, apa sudah ada?”
“Sudah pak! Tapi lokasinya agak jauh, di Jahab. Luas sekitar 10 hektar. Kami sudah membuat akte jual-beli dan sudah sepakat soal harga. Tinggal persetujuan Bapak. Maaf pak, kalau boleh tahu untuk apa?” Naryo penasaran.
“Setengah tahun lalu kalian usul supaya perumahan karyawan di bangun diluar areal peternakan. Tanah itu ya untuk perumahan kalian“
“Waah, trimakasih pak” Sahut Naryo gembira.
“Atas nama karyawan, kami berterimakasih pak!” timpal Ingan.
“Jangan keburu gembira! Lahannya belum dibayar. Siapa tahu tidak jadi!” gurau Roby.
“Kami, sangat percaya bapak!..” sahut Zaini.
“Iyaaa pak..” timpal Naryo.
“Saya tahu bahwa karyawan dan keluarganya terganggu oleh aktifitas perusahaan siang dan malam. Belum lagi aroma yang dihirup  keluarga saudara sehari-hari! Meskipun belakangan perusahaan ini  krisis! Saya percaya, bahwa seluruh karyawan akan bahu-membahu mengatasi krisis ini supaya lebih berkembang dan maju….” diam sejenak. “Karena itu akan dibangun komplek baru diatas lahan tadi. Areal yang sekarang hanya diperuntukkan beternak dan perkantoran” sambung Roby lagi.
“Trimakasih pak!”
“Dari tadi trimakasih melulu….mana yeni? Minumannya koq belum diantar?”
Zaini bergegas keluar, lenyap ditelan pintu.
Roby menarik laci. Tiinng, Zipo membakar Ji Sam Su. Whuuss, asap melingkar-lingkar.
Zaini muncul memapah napan. Yeni mengekor.  Beberapa kertas ditangan Yeni disodor kemeja  Roby.
“Fax dari mana?”  Roby menyambar kertas-kertas itu.
“Dari Pak Richard di Sul-sel! Beliau  minta dikirim copian akte pendirian perusahaan!”
“sudah kau kirim?”
“Sudah pak. Oh ya, tadi ada telepon dari Bali. Dari Tuan De joong! Bapak diminta menghubungi. Ini nomor telepon dan Hotel beliau menginap!” Yeni menyobek notes yang dicabut dari saku baju.
“Baik, trimakasih. Yeni, tolong atur pertemuan dengan dinas Peternakan dan dinas PU daerah! Kalau bisa dalam sehari?”
“Baik pak.”  beranjak kepintu.
“E sebentar! Besok pagi, temani pak Naryo mengurus akte Tanah. Nanti kelanjutannya,  kau selesaikan”
“Baik pak!”
“Mbak Zaini! Rencana ini jadi tanggung jawabmu. Buat proposal proyek, sekalian maketnya. Saya minta awal  tahun, proyek sudah dimulai. Tugas-tugasmu di kantor serahkan ke Ingan. Konsentrasi pada tugas  itu, segala sesuatunya langsung ke aku.  Ingat,  sekembali saya dari Bali bulan depan, proposal sudah dimeja ini! Sanggup!”
“Sanggup pak!” jawab Zaini. Tepatnya Ir. Nur Zaini, putri Kutai asli. Alumnus fakultas tehnik Arsitektur Universitas Negeri di Semarang.
“Saudara Ingan! siapkan kertas kerja untuk produsen di Surabaya. Urusan ke Bekasi secepatnya, jangan ditunda!”
“Ya pak. Malam  ini saya siapkan”
Ada hal lain?” Tanya Roby,  lalu diam sejenak.”kalau tidak, selamat sore!”.

Diluar, kabut tipis lembab mulai membungkus bumi Kartanegara. Satu demi satu lampu kota mulai bercahaya, melawan temaram kian gulita. Jalanan mulai lengang. Tapi dikantor, Roby  asyik dengan lap top dan kertas-kertas yang menghambur di meja. Diruang sebelah. Ingan, wakilnya sibuk juga menghadapi computernya.
Ingan, Putra Dayak dari sub Etnis Bahau. Usia sebaya Roby. Master manegement, alumnus  salah satu Universitas ternama di Wasington DC Amerika. Ayah tiga putra, satu putri dari seorang istri.  Ia pekerja keras, jujur dan ulet, sama seperti kebanyakan orang-orang Dayak.
Di bawah komando Ingan, perusahaan Roby maju pesat. Berkembang mejadi usaha Ternak yang hampir-hampir memonopoli  pasar  Kalimantan. Karena  ide-ide brilian Ingan, Roby menjadi pengusaha muda yang handal dan sukses. Roby tahu itu. Ia sadar bahwa Ingan merupakan asset yang harus dipertahankan. Bagi Roby, Ingan bukan hanya karyawan tapi juga kawan dan penasehat.  Beberapa Tahun lalu Roby menawarkan seperempat saham perusahaan pada Ingan. Saat itu, dengan halus Ingan menolak. Justru Ia memberi ide baru pada Roby.
“Lebih baik saham ini bapak tawar kepada seluruh karyawan! Akan bagus dampaknya!”
“Maksudmu?”
“Kalau karyawan ikut memiliki perusahaan ini, mereka pasti bekerja lebih semangat! Karena bekerja untuk diri sendiri. Untuk perusahaan sendiri.” Terang Ingan.
“Hm….ya jelaskan lebih rinci Ngan!” pinta Roby.
“Begini….. .saham itu bapak lepas 40%. Tapi tidak kebursa saham melaikan pada karyawan. Istilahnya, Saham tertutup.  Disamping Bapak tetap memiliki perusahaan melalui kepemilikan Saham mayoritas, karyawan juga menjadi pemilik badan usaha ini….! ”
“Yaaa? Lanjut supaya aku lebih mengerti!”
“Tiap pekerja adalah pemilik perusahaan. Saya jamin semangat kerja  akan tinggi. Perusahaan Bapak akan berkembang pesat. Karena seluruh karyawan disamping memperoleh upah kerja, mereka juga  peroleh pembagian laba perusahaan sesuai saham yang dimiliki!.....dan… "
“Yaaa. Ya, saya mulai paham maksudmu. E…bagaimana soal prestasi dan karier karyawan? Apakah kepemilikan saham tidak mengganggu struktur kerja? Bagaimana pembagian keuntungan? “
“Ooo tidak pak! Perusahaan ini tidak berubah struktur kerjanya. Termasuk prestasi dan karier karyawan! Tetap seperti yang selama ini bapak terapkan. Kami tetap karyawan Bapak! Bekerja pada Bapak! Hanya, dalam urusan keuntungan perbandingan 40 per 60, termasuk kerugiannya. Penilaian karyawan berdasar prestasi kerja. Bukan pada kepemilikan saham. Bapak direktur, tetap berwewenang dalam hal itu….hm soal pembagian keuntungan atau kerugian harus ada  aturan mainnya. Bisa setahun sekali, bisa juga dua sampai lima tahun sekali…. ”
“Berarti, aku digaji juga dong?!” potong Roby mulai paham.
“ha-ha-ha….itu tergantung Bapak!” sahut Ingan mengimbangi.
“Okey…idemu bagus! Tolong  konsepnya ditulis, supaya aku pelajari!”
“Saya selalu siap membantu bapak!”
Dua tahun sesudah percakapan itu, Roby melepas 40% saham perusahaan. Saham-saham itu disambut sukacita karyawan-karyawannya. Analisa Ingan tentang kinerja karyawan, benar. Dampaknya, luar biasa. Dalam beberapa tahun saja, PT. Betua   meraksasa di ranah Nasional.
Roby mencatat dibuku hariaannya, sebagai fase kedua hidup dan kariernya.

Diruang tunggu Air Port Internasional Ngura Rai Bali, Roby gelisah. Sebentar-sebentar melihat arloji. Sebentar-sebentar menengok layar monitor TV 29 Inc diruangan. Sebentar-sebentar menggeser dudukan pantatnya dikursi. Sebentar-bentar jemarinya keluar masuk saku. Sementara itu diluar gedung, hujan deras membumi basahkan dunia Denpasar. Tapi…bukan karena itu Roby gelisah. Sudah tiga jam ia terkurung diruang tunggu Bandara. Pesawat yang akan ditumpangi ke Makassar tak kunjung pasti. Petugas informasi, mengumunkan pesawat tersebut, terlambat terbang dari Ampenan, Pulau Lombok. Disana terjadi Hujan badai. Celakanya, tinggal itu, yang menerbangi Jalur Ngurah Rai ke Makassar. Untung didapatinya beberapa orang yang bertingkah seperti dia, bahkan ada yang dandanannya lebih lusuh. Roby tersenyum sendiri. Dari balik kacamata hitam, ia perhatikan orang seruangan itu. Ada yang hilir mudik. Main game HP. Sibuk menelpon. Bercakap-cakap. Suami-istri membujuk anak yang rewel. Baca Koran. Tiduran dikursi. Modelnya juga beda. Ada Gemuk, kurus. Tinggi. Pendek. Busananya? Ada fulldres. Mini. He-he-he macam-macam saja! Bisik Roby. Sekali lagi ia perhatikan TV monitor, meneliti. No. penerbanganya belum juga disana. Hujan makin deras,  landasan pesawat mulai tergenang. 
“Perhatian-perhatian. pernerbangan Garuda No.501 tujuan Bandara Iternasional Hasannudin Makassar, ditunda keberangkatan sampai besok pagi. Pkl.08.00. Kepada seluruh penumpang dimohon untuk……”.
“Sialan!” umpatnya bergegas keluar sambil menentang tas kerja menuju Restoran Bandara.
Roby memesan secangkir kopi lalu duduk. Mengeluarkan HP dari saku Blue jins, menelpon ke Masamba.
“Hallo, Richard? Ya..saya! Bagaimana kondisi disana?......ok’ trimakasih! Ya Halo, soal apa? Undangan dan pameran?....dari panitia apa? Oh….Hut RI? Pameran Pembangunan! silahkan saja. Ya…yang itu?? Sudah chad! Kau selesaikan ya?....ya hallo! Masih di Air port….tertunda sehari, ya…oohh nanti dari Makassar, saya kabarin! Eh..hallo, bik lela bagaimana?.....Oke chard! Trimakasih! …..Yo, selamat sore!”
Menyimpan Nokia. Tangannya mengeluarkan  sejilid kertas dari Tas kulit yang selalu ditentengnya kemana-mana.  Sambil menopang wajah, Roby meneliti kertas kerja yang baru siang tadi ditandatangani bersama Mitra bisnisnya di Grand Senggigi Beace. Suasana yang tenang dalam restoran menjadi terganggu ketika serombongan perempuan masuk sambil bercerita. Roby menoleh sejenak lalu kembali asyik dimejanya. Tapi suasana tidak tenang lagi. Sekali lagi wajahnya terangkat. Tatapannya terhendi di meja ujung,  ke rombongan yang sedang bercakap-cakap.
Ia tajamkan penglihatannya. Penasaran, lalu melepas  kacamata riben yang sedari siang tadi bertengger di batang hidungnya. Ragu terhadap daya indra penglihatannya, dirogohnya saku dan mengeluarkan kacamata minus. Makin penasaran, memajukan muka, memicingkan mata.
“Ya benar! Dia itu!”  Bisik Roby.  Terfocus pada seorang perempuan, duduk menyamping disana.
“Tidak salah! Itu EE’”  Jantungnya berdebar kencang.  Berdiri, menghampiri.
“E’E’….” Suaranya tercekat ditenggorokan.
“EE’!”  ulangnya.
Rombongan di meja menoleh. 
“E’E’”  lebih dekat.
Rombongan saling tatap. Tapi perempuan yang jadi tumpuan pandangan Roby menggosok-gosok matanya. Memejam sejenak.
“Abang ya? Bang Roby!” berdiri menyongsong.
“Apa kabar E’…lama tidak ketemu!” Roby menyodor kedua lengan.
“Abang bagaimana? Kemana aja selama ini? EE’ tak menyangka ketemu abang disini!”
Saling tatap. Saling tersenyum.
Entaaah siapa yang mulai. Berpelukan. Satu menit. Satu setengah. Dua menit.
Kilat menyambar diiingi guruh menambah deras hujan diluar. Bunyinya menggetarkan ruang. Roby terkejut. EE’ terkejut. Orang diruangan Terkejut. Semua menutup telinga. Tapi EE’ makin erat. Kepala sandar dibahu Roby.
“Hussst! Temanmu pada ngeliat tuuu!” bisik Roby.
“Biarin bang!”
“Malu dong! Nanti mereka bilang  apa….”
“Biarin!”
“Husst! Kayak ABG saja!”
“Biariiinnnn! Habisss…abang…. waktu dulu pergi, nggak pernah kasih kabar! Sekarang rasakan! Aku nggak akan ngelepasin lagi!...” sahutnya manja.
“Hei!….temanmu pada bengong tuuu”
“Biarin!”
“Kalau aku udah punya istri, gimana??”
“Bia…” melepas pelukan, menatap Roby. “Beneer??? Abang udah beristri?”
Saling tatap. Saling senyum.
“kamu udah berumah tangga kan?!”
“Abang tahu dari mana?”
“Huk! huk! huk! suara batuk dibelakang EE’.
“Maaf teman-teman, ini bang Roby! Dulu…ee…kawan baik saya! Bang! Kenalin…teman-temanku”
Roby menghampiri.
‘Roby!”
“Hermin!”
“Tina!”
“Ludya”
“Sri handayani”
Lalu sunyi  mereka. Satu menit. Satu setengah.
“Maaf! adegan tadi hanya untuk dia!” bosa-basi Roby mencairkan kebekuan.
“seperti di Film lhooo…” sahut Tina melirik Ee’
“mesra banget. Sampai ngiri deeh” timpal Hermin.
“Teman apa pacar siihh??” sambar Ludya tak mau ketinggalan.
“Bisa aja!” sahut EE’.
“Nah, ketahuan tuuh. Pipinya merah! Habis itu pasti menunduk!”  sambung Ludya, sambil menghindar dari terkaman E’E’.
“Hei, sudahi gurauannya. Apa nggak kasihan pengerannya dibiarin berdiri?” lerai Sri. “Silahkan duduk Bang eh, mas atau abang ya?” sambung Sri.
“Terserah, mau panggil yang mana” jawab Roby sambil menyeret kursi dari meja sebelah.
“Kenal Teman kami yang cantik ini dimana bang?” Tanya Tina, mengerling EE”.
“hm..” Roby melirik.  “Dulu, di Bontaeng Sulsel. Kira-kira….” Roby melirik lagi. Yang dilirik salah tingkah.
“Hm, 20 tahun lalu! Baru sekarang kami ketemu! Sudah lama ya?”
Hanya mengangguk.
“Ooooo pantass! Adegannya seperti itu! hikhikhik” Hermin  menggoda.
“Adoow!” jerit Ludya keras. Orang-orang serempak menatap mereka. Roby, Hermin, dan Sri bengong.
“Kira-kira donnng kalau nendang!” plotot Ludya.
“Maaf! Maaf aku kira kaki Hermin! Sory ya friend!” E’E’ menahan tawa.
Hikhikhik, keempat perempuan itu cekikikan. Roby ikutan ngakak.
Hujan tetap mengguyur, meski tak selebat tadi.
“Aku tak menyangka ketemu disini. Eh, kerja dimana E’?” Tanya Roby.
“Anu bang, masih tetap di peternakan! Sama dengan teman-teman ini!..Abang?”
“Masih seperti dulu! Kesana kemari…cari penghidupan!” sahut Roby sekenanya.
“Abang masih suka bikin cerpen dan melukis ya?” meneliti penampilan Roby. “Hm, masih seperti dulu. Tapi lebih rapih  dan…..lebih berkelas….” Bisik EE’ dalam hati.
“masih!” bohong Roby membalas tatapan EE’
“udah lama ya Bang!....Abang banyak berubah. Tidak gondrong lagi dan lebih Putih!” EE’ lupa ada orang lain situ.
“Hm….” Roby menatap lalu perpaling ke Ludya. “Sorrry ya Ibu-ibu…he-he-he…”
“Kami ngerti koq! Iya nggak teman-teman!” potong hermin.
“Anggap aja kami lagi di twowentyone!” sambar Ludya cekikikan.
“Eiiiit, hati-hati kawan. Bahaya, tendangan bayangan Bruce Lee!” sambung hermin bergurau.
EE’ melototin Hermin, gemes. Hermin hanya cekikikan.
“maaf bang, mereka teman-teman karib EE’. Yang begini udah biasa!”
“He-he…dulu aku juga biasa ngerjain teman?!...Oh ya, ibu-ibu sedang liburan di Bali ya?”
“Ibu-ibu?? Waah kayak arisan aja! Resmi banget mas, eh bang hikhikhik…” potong Hermin.
“jadi….panggil apa dong? Mbak? Atau nona?”
“Mbak? Boleh juga tuuu…”
“Hussss! Panggilan emmbaaaak, untuk presiden Megawati saja, iya nggak?”
“Nona dong! Hikhikhik!”
“Heeiii, nyebuuuut  eliiiing yaaaa???, hihihih…”
“Sudah-sudah. Kasihan pangeran kita. Tuuu, rautnya jadi bego beneran! Hikhikhik!”
Tiba-tiba Guntur menggelegar lagi. Reflek, semua menutup telinga.
“Tahu nggak Miiin??? Gledek tadi untuk kamu!”
“Gledek atau ngeledek???” sahut Hermin.
“Sudah gurauannya?!” pinta EE’ melihat Roby keki.
“Iya deeh maaf ya Bang!” sahut temannya serentak.
“Abannnngggg?! Orang batak ya?” Tanya Tina.
“Huss….kalau nanya kira-kira dong! KAROmu kentara kali!” ludya menyela.
“Hihihi….kebiasaan!” Tina cengengesan.
“Emang…panggilan Abang, hanya milik orang BataK??? Betawi juga lhoooo. Contoh…abang Bajai, bang ojek! Dan jangan lupa yang paling ngetop adalah Abang becak!?! hihihi…..” timpal sri.
“Sudah! Sudah!....” potong EE’. “pesanan kita datang tu…” sambungnya.
“Mau pesan apa bang?”
“tadi saya pesan kopi!”
“gabung aja disini yuuk!” tawar Hermin.
“Kalau ibu-ibu tidak keberatan!”
“Keberatan dooongg!” sahut hermin iseng lagi tapi kawan-kawannya pada melotot.
“Sorrrry, bergurau koq. Bagaimana kalau…panggil nama saja? Setuju teman-teman?”
Yang lain mengangguk-angguk, acc.
“Okey…Trimakasih….permisi. Saya ambil tas dulu!” beranjak mengambil tas kerja trus ke konter restoran, kemudian kembali.  
“Pesanan Abang mana?”
“Tuuu!” tunjuk Roby kepelayan yang datang.
”Hanya kopi? Apa nggak pesan kue?”
Roby hanya tersenyum. “Hm, kau masih seperti dulu E’ “ bisik Roby dihati.
“Liburan disini ya?” ulang Roby.
“liburan? Wah asyik dong!” sahut Ludya. “kami sedang kerja bang! Di Benoa, ada kegiatan Pekan Ternak Nasioanal. Saya dan teman-teman ini peneliti  Ternak.  Jadi, kehadiran kami disini karena persoalan ternak menernak” jelas Ludya memplesetkan istilah ternak.
“Ohhh asyik dong!” sahut Roby pendek.
“Asyiik apaan? Tidak ada waktu jalan-jalan. Begitu Pekan Ternak tutup, bos kami memerintah, segera pulang. Hari ini jadwal terbang. Tapi dicensel sehari!...”
“Kalau tidak, Bang Roby pasti nggak ketemu……” sambar Tina, kalimatnya ngambang melirik EE’.
“Mau mulai lagi ya? Mau nggodain  lagi ya?...” ancam Ee’ melotot.
Tina cengengesan.
“Waah sama! pesawatku juga. Ngomong-ngomong kalian terbang kemana?”
“Ke Makassar bang!”  sambar EE’ cepat, kawatir sohib-sohibnya menyahut duluan.
“Waah sama dong!”
“itu namanya jodoh bannng”  sambar Tina lagi.
“waah sama dong!” sambung Ludya.
“Sama apanya Ludya?!” tekan Tina semangat.
“Pendapat kita he-he…hihi”
Hujan mulai reda, tamu restoran, mulai meninggalkan tempat masing-masing.
“Malam ini nginap dimana?” Tanya Roby.
“Di Hotel dongg!”
“Lhaa iya, masak wanita-wanita secantik ini, nginap  dikolong jembatan. Hotel mana?” cecar Roby.
Keempatnya saling pandang, terutama kepada Ee’.
“Belum tahu! Baru mau cari…” jelasnya.
“Sama dong! Sebentar ya! Aku telpon dulu mudahan masih ada yang kosong!” Roby mengeluarkan Nokia lalu memijit beberapa nomor.
“Ya Hallo….Pondok Bambu resort? …Masih ada tempat Kosong?.... Oh ya? saya ingin bicara dengan Pak Ketut Sudiane?.... Dari Roby. Okey…saya tunggu….” Roby menyambar cangkir kopi, sryuup. “…..yaa? Aku Belih. Roby. Tolong dua tempat ya? Untuk malam ini. Iya….pesawatku di censel…sebentar lagi kami kesana! Oh ya, sekalian kirim mobil,…di Restoran bandara! Ya…halo, trimakasih belih!” Roby memasukan Nokianya kesaku Blue jins.
“Teman saya,…”terang Roby. “Seorang pelukis sukses, lalu membangun Resort….kita nginap disana saja! Nggak jauh dari sini koq, hanya setengah jam! setuju?”.
Keempatnya saling pandang, kepada Ee’ lagi.
“Maaf bang! Tadinya, mau cari penginapan murah meriah. Kemampuan kami paspasan. Resort kan mahal?” Ee’ keberatan.
Roby menatap satu persatu.Terakhir EE’. “Kalian nggak usah kawatir! Si Sudiane pasti ngasih harga murah! Dia sohib saya dari SMA.  Aku boleh Bantu kalian kan? Hitung-hitung ngerayain pertemuan ini!”
“Bagaimana?” Tanya EE’ kesohibnya.
Tatapan saja.
“Aku nggak paksa koq! Terserah kalian!”
Empat pasang mata pasrah. 
“Boleh bang!!” putus EE’. “Sekali-kali ngerasain nginap di Resort kan boleh!? Iya nggak teman-teman?”
Empat pasang mata mengangguk.
“Tempatnya asyik lho? Pas pinggir pantai. Yakin deh, betah!” Roby mengerling EE’.
“Wah ada yang akan Nostalgia dong?”
“Lhooo, dulu waktu masih bujang? Aku senang juga kepantai…” sahut Hermin
“Jadi sekarang ngaku ya? Tadi minta dipanggil Nona. Hihihi…”sahut Tina
“Ssst, ada yang datang tuu!” tunjuk Sri.
“Maaf! Saya cari Mr. Roby! Apakah Bapak?” Tanya pria gemuk memakai ikat kepala khas Bali.
“Ya….saya? Ada yang dapat saya Bantu?” sahut Roby.
“Kami menjemput rombongan bapak!” sahut pria gemuk ramah.
“Bagaimana, kita berangkat? Atau keliling Denpasar dulu?” tawar Roby.
“Boleh dong, kita cari souvenir. Untuk oleh-oleh keluarga” timpal Ludya ganti menawar.
“Mengapa tidak? Yang lain bagaimana?” Tanya Roby.
“boleh, mumpung masih disini. Gratisan lagi” Gurau Tina.
“Ssst. Sembarangan…” tegur hermin berlagak marah.
Cengengesan lagi.
“Okey…kita keliling cari souvenir…bagaimana E”?” potong Roby.
“Baiklah! Teman-teman udah pada setuju. Yook”
Roby menghampiri kasir, membayar  tagihan. “Barang-barang kalian dimana?”
“Udah kadung dibagasikan bang! Tinggal ini!” hermin menunjukkan tas tentengnya.
“Jadi,…. malam ini kalian nggak bakalan ganti dong?? Ngerinyaaaa???” goda Roby.
“si Abang mau tahu aja!” sahut Tina. “Itu kan rahasia perusahaan hikhikhik”
Hujan benar-benar reda. Bekasnya membawa udara sejuk sore di Bali.
Saat mahgrib, sebuah Volk Wagon putih meluncur meninggalkan  Bandara Internasional Ngurah Ray, lenyap ditelan hiruk pikuknya Pulau Dewata.

Pkl. 21.00 waktu Pulau dewata, Volk Wagon Putih tadi perlahan  memasuki areal Pondok Bambu Resort di pantai Kute Bali. Berhenti di Pintu front Ofice. Pintu mobil terbuka, Roby  menghambur keluar. Kebelakang mobil, membuka dan mengeluarkan beberapa benda  belanjaan.
“Pak Roby….selamat malam dan selamat datang! Apa kabar?” suara berat  menghampiri dari belakang. Roby menolah.
“Hei.., Sudiane….sssst…” Roby menoleh kiri kanan. Sudiane ikut-ikutan. Heran.
Ada apa Boss?” suaranya merendah setengah berbisik.
“Jangan buka rahasia ya? Kamu layani ibu-ibu itu seperti tamu biasa,  aku juga! Ngerti beli?!”
“Kenapa Boss?”
“Ssssst, lakukan saja!?”
“Baik Boss!”
Sudiane menghampiri Rombongan EE’. ”Selamat datang di resort kami. Suatu kehormatan  dapat menjamu ibu-ibu sekalian. Mari….”.  lalu mendahuli rombongan masuk ke ruang resepsionist. “Silahkan, resepsionist siap melayani bapak dan ibu!” sambung Sudiane ramah.
Roby menghampiri konter, mengambil beberapa Brosur. Membagi masing-masing satu.
“Yang pas berhadapan laut, masih kosong pak?” Tanya Roby.
‘Ooh masih pak! Yang mana bapak dan ibu-ibu pilih? Ada empat kamar atau yang dua kamar saja. Mau yang doble bad atau tunggal? Silahkan pilih! Semua menyediakan Jakuzzi untuk berendam” Sudiane promosi.
“Bagaimana,…..”  tawar Roby.
EE’, Tina, Hermin, Ludya, Sri, saling tatap lagi. Ketika melihat harga sewa yang tertera.
Roby menangkap kegelisahan itu.
“Jangan kuatir….itu harga promosi buat orang bule….iya nggak beli?” Roby mengedip.
“Oh ii….iya….resort kami berlaku standard ganda.  Untuk orang asing dan dalam negri. Brosur…itu untuk orang asing!”
“Bener ni pak!” sahut Tina.
“Be…benar bu!” jawab Sudiane hampir gagap melirik Roby.
“Waahh asyiik nih! Yang ini saja! Yang empat kamar! Ada extra Badnya kan?” timpal Ludya.
“Semua pakai extra bad bu! E…Bapak?”
Roby meneliti dulu. “Sewaan mereka sebelah mana belih?”
“Dipantai pak! yang dulu sering bapak tempati melukis”
“Disebelahnya? Terisi ya?”
“Kosong! Bapak pilih yang itu?” tawar Sudiane.
“Okey! Trimakasih. O ya…teman-teman saya ini diantar dulu nanti saya nyusul. Saya ada urusan hanya sebentar koq!!”
Sudiane memerintahkan room boy, mengantar tamu.
“Selamat beristirahat! Kalau ada yang dibutuhkan, anda tinggal angkat aipon! Karyawan siap melayani” Jelas sudiane lagi.
“Trimakasih pak!”
“Eh, bang Roby. Nginap jauh nggak dari kami?” suara Ee’.
“Masih kangen ya? Bisa diatur..hihihi….” tina menggoda lagi.
“Husss, orang nanya beneran koq!” potong Ee’ manyun.
“Oh, tidak bu. Hanya dibatasai taman dan jalan setapak” jelas Sudiane.
Roby tersenyum, tampak sorot mata EE’ menikam lubuk hatinya. “Nanti saya menyusul!”

Dalam Bangunan no. 40 Resor Pondok bambo. Tina, Ludya, Sri dan Hermin ngobrolin Ee’ yang saat itu sedang berendam air hangat dalam Jakuzzi.
“Kalian ingat waktu masih Kuliah dulu? Charmelita cerita kalau sedang jatuh cinta! Tapi cowoknya nggak pernah kita tahu! Jangan-jangan si Roby ini orangnya!”
“mungkin juga Min!...buktinya di bandara tadi. Nggak biasanya Charmelita begitu! Kalau Kau, itu sudah biasa! Iya nggak teman-teman?!” sahut Ludya bercanda.
“Husst, ini serius lho!” tegas Hermin.
“Iya! Iya deeh!” sambung Ludya lagi.
“Waktu kita wisuda Charmelitha bilang cowoknya mau hadir! Tapi tidak kan?”
“iyaa aku ingat!” timpal Tina. “Semenjak peristiwa itu. charmel berubah pendiam dan tertutup. Mungkin itu yang membuatnya maniak kerja! Seperti sekarang!”
“Huss! Kalau pendiam dan tertutup memang, tapi maniak kerja seperti sekarang, Itu sesudah punya cowok lagi lhooo..” sambar Sri sambil menyisir rambut panjangnya.
“Cowok brengsek itu maksudmu? Yang memperkosa charmelita!” jawab Tina cepat.
“Hei! pelan-pelan, nanti didengarnya!” sambung Hermin menurunkan volume.
“Lelaki brengsek itu, mudah-mudahan mati disamber gledek!” Sambar Tina emosi. 
Sunyi. Deburan ombak pantai Kute mengisi seluruh ruangan.
Ada setan lewat!” Suara sri memecah keheningan.
“Husst! Dasar jawa” seru Ludya.
“Eyang putri bilang, kalau ada orang ngobrol lalu tiba-tiba pada diam. Tandanya ada setan liwat. Hihihi...”
“ada-ada saja kamu Sri!” sahut Hermin, sambil menghampiri TV dan memutar chanel.
“Eh, gimana kalau kita jalan-jalan di pinggir pantai? Mumpung hujan udah reda!” Tina melongok keluar jendela. “ Terang bulan diluar…wooo pasti indah!....” sambung Tina Gembira.
“Ingat! ibu-ibu bukan ABG lagi. Udah gampang masuk anginnn!” sahut sri.
“Itu kan kamu!! Gara-gara kamu gampang masuk angin! Anakmu hamper setengah lusin hikhikhik…” sambar hermin.
Hikhikhik…hihihi.
“Lhooo pada ngetawain apa?” suara Ee’ di ambang pintu. Tampak seksi.
“Ini lhooo, si sri…hihihi. Gara-gara gampang kemasukan angin, anaknya hamper setengah lusin hahaha”
Hikhik..hihi..haha.
“Cepatan ganti dong! Kita mau jalan-jalan di pantai. Rembulan diluar sana sedang nungguin putri-putri jelita keluar sarang!” ajak Hermin.
“Bagaimana kalau ketemu bule yang sedang mandi disana?” Tanya Sri lagi.
“Apa….mau tambah anak lagi? Kami tidak tanggung jawab lhoooo” sahut Tina bergurau.
“Hussst! Sembarangan!” Tegur Ee’ memelotot lalu kembali kekamar.
Trinnnng! Trinnnng! Trinnnng!
“Waduuhh! Kaget aku!” teriak hermin pas disamping telepon.
Haha..hikhik.
“Halo? Oh Bang Roby? Ada apa bang?.....oh ya. Trimakasih!....”
“Roby nanya tuuh? Apa mau ngobrol sambil menikmati bulan terang dan bakar ikan diluar sana?” Tanya Hermin sambil menyandarkan gagang telepon ketubuhnya.
“Mau dong! Perut mulai laper nich, beritahu aja Min, sebentar lagi kita kesana!”
“Hallo…bang Roby? Sebentar lagi kami kesana….trimakasih ya?” Klek! Gagang telepon kembali ketempat.
“Aku berdoa, mudah-mudahan si Roby berjodoh sama teman kita!” ungkap Ludya sambil merapatkan kedua telapak tangan dan mendongak kelangit-langit rumah.
“Berdoa? atau berdoa? Mentang-mentang si Roby kelihatannya cowok baik, lalu mau jodoin Charmelita! Ingat?? Yang dulu kan kelihatannya juga begitu! Nyatanya??? Brengsek!!” sela Tina.
“Iya deeh! Gitu aja sewot. Kayak nenek sihir hikhik..”

Di depan bangunan no.42,  tampak nyala api di tungku yang tersedia disitu. Aroma ikan bakar segar, terbawa angin malam menyusup kemana-mana. Dari langit telanjang, cahaya  rembulan temaram meski jelas. Room Boy Servis sementara membolak-balik Kakap Merah diatas tungku. Seorang lagi, sedang menata beberapa kursi. Didalam Pondok terdengar  percakapan serius.
“Bos…beberapa pondok termasuk yang disebelah sudah dibooking orang, katanya mau masuk malam ini! Gimana bos?”
“Bangunan lainnya?”.
“Full bos!”
“Udah pasti masuk malam ini?”
“Iya bos! Agen di Australia malah udah ngirim bookingannya! Gimana dong bos?”
“Huusss…basbos-basbos! Kayak preman aja!.....”
“Maaf bos…eh Mas!”
“Udah kamu cek?!”
Tiba-tiba telepon di bar kecil ruangan berdering.
“Angkat tuu..” perintah Roby sambil mengeluarkan Kretek JI SAM SU. Memilin-milin. Dipatuk-patuk ke Zipo. Tinnnng. Zipo menyala membakar Ji SAM Su. Asap melingkar-lingkar.
“Waduuuuh…syukur bos! Resepsionist menerima interlokal bahwa Bule-bule itu, lusa baru tiba. Jadi..aman Bos!”
“Ya syukur kalau gitu! Aku bisa istirahat disini! Masak punya resort nggak pernah dinikmati? He-he…”
“Lhoooo, yang bilang tamu Raja…kan boss! Eh….sory! Mas, Ibu-ibu itu siapa? tadi diparkiran kirain ada teroris! Sampai  degdegkan”
“Naah..ini yang aku mau bilang. Jangan sampai mereka tahu! Property  ini kubilang punyamu! Kau pelukis sukses lalu bangun semua ini! Hubungan kita sahabat dari SMA! Aku pelukis juga! Paham?”
“Paham bos!” Ketut Sudiane, mengangguk-angguk.
“Dan ingat….basbosmu itu! Awas kupotong gajimu nanti..haha…haa”
Hahaha…..
Lamat-lamat terdengar suara wanita  sedang mengobrol. Makin jelas kedengaran. Room boy yang menata kursi, muncul dipintu.
“Maaf pak! Rombongannya udah didepan!”
“Udah siap De?” Sahut Sudiane balik nanya.
“Sudah pak!”
“Trimakasih De”.
Roby berdiri keluar, diikuti Ketut Sudiane. Di pintu pagar tampak Hermin, Tina, Ludya, dan Sri beriringan EE.
“Malam ibu-ibu…bagaiamana? Udah pada segar?” Sudiane menyongsong rombongan itu.
‘Malam pak sudiane!....Bang Roby!” sahut mereka hampir bersamaan.
“Ayo silahkan duduk, tinggal pilih! Dekat perapian atau yang disini…terserah deeh!” sambut Sudiane ramah.
“Hmmmm, harum! Perut jadi laper nih!” sambar Ludya tampa bosa-basi.
“Aku juga jadi gimana gituuuu!” sahut Hermin. Tangannya gatal.
“Ooh silahkan, silahkan! Pak Roby yang pesan semua ini, kami baru bakar tiga ekor saja! Sisanya nanti bakar sendiri….iya kan pak Roby?” 
“ee….iya….Trimakasih pak Sudiane” sambut Roby.
“Baiklah…saya permisi! Kalau butuh sesuatu Room Boy kami siap melayani satu kali duapuluh empat jam. Selamat malam”
“Trimakasih pak!” sambar Tina.
Ketut Sudiane berlalu.
Debur Ombak Pantai Kute mengiringi langkahnya. Rembulan menerangi langit telanjang.
Roby mendekat Tungku,  memanggang seekor kakap merah.
“Ayo, mbak Hermin mulai aja! Keburu dingin tuu. Malam ini pesta kecil-kecilan!” ajak Roby.
“Makasih Bang….hei teman-eman, jangan pada bengong! Bantu bakar keq, Bantu nyediain piring keq! Malah pada bengong” sahut  Hermin.
“Lha kamu ngapain?”
“Bantu makan! Hikhikhik…”
Roby hanya tersenyum! Satu-satu diperhatikan wanita-wanita itu.
Taksirannya, mereka seumuran EE’. 32-an tahun. Ludya, kulitnya sawo matang, rambut ikal, wajah oval.
Sedikit gemuk. Seperti Hermin. Tina, putih bersih, rambut lurus. Paling tinggi diantara mereka. Wajahnya,  khas. Perempuan Batak. Sri, hitam manis. Rambut tergerai sampai pinggang, kalem dan sedikit pendiam. 
EE’??. Tatapannya lama disitu.
“Hm….agaknya mereka ibu-ibu rumah tangga….”. Roby menarik nafas panjang.
“Bang Roby…..melamun ya? Tuu..ikannya hangus!” Suara Tina membuyarkan isi otaknya.
“Ah..eh…sorry! A…Aku…”
“Naaahhhh, ketahuan deeh! Lagi mikirin si Diiaaa yaaaa?” Sambar Hermin menekan Bunyi Dia keras.
“Ah…eh….”
“Bang….yang hangus juga enak koq hihihi….Hermin suka lho…hihihi….” Sambung Tina.
“Enak ajaaa! Sini bang aku gantiin….ntar hangus semua. Kalau hangus, gimana gituuu…” Sambar Hermin. “Bang Roby duduk aja…ini kerjaan Ibu rumah Tangga….iya nggak Tin??”
“Iya….iya….nanti saya bantuin!”
Roby membiarkan tempatnya diambil alih Hermin. Lalu memilih duduk kekursi yang menghadap ke laut lepas. Angin malam mencandai dedaunan, mencipta simponi alam.
Ludya, Sri dan EE’ sedang meracik bumbu colek untuk ikan bakar. Aroma lapar menusuk lambung.
Tinnng! Zipo menyala, membakar sebatang Ji Sam Su. Asap buyar tertiup angin.
EE’ yang asik menuang kecap, menoleh mendengar bunyi itu. Bola matanya menangkap lelaki duduk membelakngi. Bunyi Ting itu, dulu akrab ditelinganya.
“Dulu! Belasan tahun silam! sekarang baru terdengar lagi!” bisik EE’. Bola matanya menelan bulat-bulat punggung Roby. ‘Ach…….ingin rasanya menggayut dipunggung itu. Seperti dulu!...tapi mungkinkah?”. Teringat di Bandara tadi sore. Roby mengaku sudah beristri! EE’ mengalihkan tatapannya ke Hermin dan Tina yang asyik mengelilingi tungku. Tapi bayangan masa lalu bersama Roby, tergambar dalam lidah api di tungku. Malam tutup tahun di Malang. Berdua Roby, ikut acara renungan akhir tahun pemuda Gereja. Di hadapan Api unggun, Roby berbisik akan setia sampai mati.
“Tapi….itu dulu……”. Ditariknya nafas lalu dihembus panjang. Ludya dari tadi diam-diam memperhatikan mencoba menafsir tingkah sohibnya.
“Charmel….kamu nggak apa-apa kan?”
“Ehh! Apa? Oh… nggak, aku ngggak apa-apa!”
“Aku perhatiin sepertinya kamu punya story sama dia yaaa?” bisik ludya. “Pasti bukan teman biasa, seperti katamu di bandara tadi?” sambungnya menyelidik.
EE’ menatap. Lalu Roby. Ludya lagi. “Yaaa..” jawabnya lirih dibarengi tarikan nafas.
Ludya menatap. Lalu Roby. EE’ lagi. “storynya Very sad ya??”
EE’ tidak bereaksi. Ludya juga.
Debur ombak pantai Kute setia beriak, mengiringi simponi malam.
“Naah….ikannya sudah matang! Bagaimana bumbunya Bu Charmel?” Hermin mengacaukan simponi itu.
“Beress….” Sri menyahut.
“Ayo bang….udah siap nich! “ ajak Tina sambil menenteng beberapa ikan bakar menuju meja bundar dibawah atap.
Roby berdiri dan melirik arloji. Jarum menunjuk angka 10.30 malam. Mendongak kelangit cerah! Rembulan condong kebarat, bayangannya menari-nari dipermukaan laut. Dipantai, beberapa bule sedang mencandai Sang Dewi malam. Roby berbalik, kemeja bundar. Tatapnya menindih bola mata EE’.  Ada Seyum menyambut. Kemudian hilang bersama bola mata itu. Roby mendekat duduk dikursi kosong samping Ludya. Tangan-tangan cekatan Sri dan EE’ membagi bumbu colek ke beberapa piring.
“Silahkan bang! Bumbu ini racikan Charmelita lho….pasti sedap” goda Tina.
“Namanya bumbu semalam di pantei kute….ayo mas eh bang! Yang lain nggak perlu dipersilahkan. Udah pada kreatif hihihi…” Timpal Sri.
‘Hm! Pasti enak! Apa lagi yang nyediain cantik-cantik!” Roby mengimbangi.
“Maaf,  tidak ada uang kecil untuk rayuan! Nggak tau kalau Charmel????” balas Sri.
“lhoooo koq aku!”
“Lhoooo gitu aja koq protes! Kalau tidak punya ya udah hihihi..” 
“Bicara aja kalian berdua….biar kami yang makan….ayo bang…nggak usah malu-malu…”
“husss….kebalik Min!!!” potong Ludya.
“ada-ada saja…he-he-he” Roby geleng-geleng.
“Naah, naah…Bang Roby pusing pasti gara-gara Hermin dari tadi ngomel…” Canda Ludya.
“orang menggeleng koq dibilang pusing? Yang begitu, tandanya…..”
“Ap Min??” potong Tina rautnya lucu.
“Ciri-ciri sapi birahi, nggak percaya? Tanya Sri! Dia biasa ngawinin sapi..hihihi…”
Hihi….he-he.
“Husssss….bercanda kamu!!!” tegur EE’ geli. Sri yang jadi objek ikutan ngakak.
“Sudah, kita makan dulu. Nanti disambung lagi, setuju bang?” timpal Tina.
“Mengapa tidak? Ayo…”
“Naah, itu baru benar Miiin! Yang tuan rumah, menyilahkan” Goda Ludya lagi.
“Kalau bang Roby nggak nyuruh gimana???” Tina nggak mau kalah.
“Ya…apa boleh buat. Malu-maluin aja….hihih” Sahut Hermin.
Ha-ha-ah….tawa Roby berderai.
“Gitung dong ketawa lepas!”
“Sudah bercandanya. Udah  larut malam. Besok pagi-pagi kita mesti kebandara. Ntar telat bangun!” sahut EE’.
“Yang sering kesiangan dia, malah kita dinasehatin. Kebalik atu…..” cela Sri.
“Waah, kapan makannya! Ayo bang, biarin mereka bercanda”
Tiba-tiba Dering telepon dalam rumah terdengar.
“Sory….aku angkat telepon!  Silahkan duluan” beranjak kedalam.
“Ssst! Bercanda kelewat tuuu! Kita belum kenal bener ama si Roby! Nanti kesannya kayak apa!” bisik Ludya.
“Terutama?? Sama bidadari kita ini” Sri menunjuk EE’.
“Lhoo koq aku lagi siih?”
“He-eh bener tuuh. Wuiih kepedesan nich…!” sambar Hermin mengipas-ngipas mulut yang terbuka.
“makanya pelan-pelan” celah Tina.
“Sssst…dia datang!”
“Maaf! Saya ke front office sebentar,  ada telepon. Silahkan dinikmati ya? Sekali lagi mohon maaf!”.
“Ehhh, iya bang!” Ludya menyahuti.
“Aman koq! Lagian ada mereka disini” tunjuk Roby pada Room Boy dekat tungku. “Saya tinggal ya” Roby berlalu.
“Dia ganteng lhooo! Charmel!” sambung Ludya.“sepertinya masih lajang! Dari tadi aku perhatiin lhoo!?”
“Naksir ya? ingat anak suami dirumah!” canda Tina.
“Aku serius! Maksud…”
“Apa yang seriusss? Mamak Ryan?” potong Hermin menyebut Ludya dengan panggilan anak pertamanya.
“Makannya dong he-he-he….’
Hihihi…..
“Kalau boleh nanya, dia yang kamu tungguin waktu kita Wisuda dulu?” Tina hati-hati.
Yang ditanya menatap sejenak. Lalu meneruskan kesibukan mencolak-colek bumbu. Hermin, Sri dan Ludya melototin Tina.
Sepi.
“Sory deeh kalau ucapanku tadi membuatmu ingat story yang lalu. Maaf ya!” Tina menyesal.
“Nggak apa-apa. Memang dia!  Tapi sudah berlalu” suaranya  ditelan debur ombak.
“Dia tahu nggak? Kalau kamu….”
“Tina?! Udah dong bikin charmel sedih aja!”.
“Tidak Sri. Aku udah melupakannya. Hanya…diluar dugaan dalam suasana seperti ini ketemu dia.”
“Pantas tadi sore magnitnya lengket banget!”
“siapa tahu, dugaan Ludya bener! Berarti kalian sama dong!”
“Sama apanya?” sambar Tina lagi.
“Yaa sama-sama bujang lapuk hihihi….”
“Husssst. Mamak Ryan Bercanda melulu”
“Dua puluh  tahun lalu, kami sepasang kekasih. Waktu dia selesei kuliah, pamit ke Mataram Lombok! Katanya cari suasana yang pas untuk melukis. Dari Mataram beberapa suratnya sempat datang. Terakhir dia janji menghadiri Wisudaku. Tapi..kalian tahu kan? Semenjak itu aku tidak dengar kabar! Sampai sore tadi!” jelas EE’.
Keempat sohibnya mengangguk.
Debur ombak Pante kute mengisi ruang yang sunyi. Dipikiran masing-masing.
“Kalau aku udah beristri gimana?”  Charmelitha mencoba menepis kata-kata itu. Semakin dicoba, makin  terpatri disitu. “Kamu udah berumah tangga kan!” kedua kalimat Roby ini terus terngiang ditelinga. Dalam hati. Dalam rasa.
Perjumpaan tadi membongkar puing-puing masa lalu. Sulit dicegahnya. Terbayang kota Bontaeng. Disana pertama kali.  Cintanya. Hatinya direbut Roby.  Lalu, Majene, Surabaya, Malang. Kota dimana Roby membuktikan betapa kuat dan suci cintanya.
Banyak kesempatan yang dilalui berdua. Seperti suatu malam berdua Roby di kamar Hotel Purnama Batu Malang.
“Bang! E’E’ bangga mencintaimu. E’E’ percaya Abang tidak akan menyakitiku”
“Maksudmu?”
“E’E’ merasa Bang! Jangan marah ya?”
“Marah? Marah gimana?”
“Selama ini kalau bermesraan. Kita sekedar berciuman, paling banter saling meraba. Padahal E’E’  pengin lebih dari itu!”
“Trus?”
“Demi cinta E’E’. Aku pasrah Bang!”
“E’E’ sayang! Kamu sangka Abang tidak terangsang ya? Aku juga pingin! Tapi logikaku lebih nalar. Ingat hidup ini penuh mistery. Hari esok merupakan teka-teki. Trimakasih kamu sangat percaya padaku. Tapi itu Nanti, saat malam pengantin”
Charmelita menarik nafas. “Ach…. Semua sudah berlalu! Dulu waktu Abang pergi aku berjanji menunggu! Ya, Lima tahun aku tekun menunggumu. Sampai lelaki keparat itu hadir. Lelaki yang menghancurkan hidup dan membawa aib keluargaku. Sekarang kita ketemu lagi Bang! Tapi semua sudah berubah!...Abang bukan punya EE’ lagi! Tau Bang?? Sampai sekarang cintaku tidak berubah!!”
Tanpa disadari dua mutiara bening bergulir pelahan membekas pada guratan wajah halusnya. Tangannya masih mencolak-colek bumbu dipiring.
“Sudah dong! Jangan terbawa perasaan!” Sri mendekat dan memeluk pundaknya.
“Sory Mel?? Bukan maksud kami mengajakmu mengingat story itu” timbrung Tina.
Charmelitha memaksa senyumnya. Tapi senyum itu, justru menjebol bendungan kembar yang coba ditahannya. Lebih dahsyat dari Ombak Pante kute.  Mengiris telinga.
Telepon kembali berdering. Seorang Room Boy berlari kecil menghampiri dan mengangkat gagang.
Ombak bergelora buihnya kelabu.
“Maaf bu! Pak Roby mau bicara!”    
Ludya, bergegas kesana. Menempel gagang telepon di telinga.
Pante Kute sembilau, basah digerayangi ombak laut.
“Teman-teman, Roby ada urusan keluar Resort! Dia minta maaf! Sampai ketemu besok, katanya. Acaranya terserah kita….mau terus disini atau di tempat kita nginap? Atau jalan-jalan dipantai…?”
“Lebih baik kita istirahat aja! Supaya besok seger!” sahut  Sri.
“Iya…bener tuu!”  sambung Ludya sambil melirik arloji mungilnya. “Waaahh, udah jam setengah duabelas, istirahat aja deeh. Lagian udah kenyang??!”
Gambar hati dihamparan pasir kute tersapuh dingin malam. Riaknya putih berkejaran.

Mentari menyebarkan enersi hangat di Bumi Dewata pagi itu. Volk Wagon putih metalik menyusuri jalan raya menuju Bandara Internasional Ngurah Ray Bali. Berhenti di pintu masuk keberangkatan. Ketut Sudiane, tergesa turun dan mengeluarkan beberapa tas bergambar khas Pondok Bambo.
“Ibu-ibu dan Bapak! Atas nama Pimpinan Resort Pondok Bambu mengucapkan selamat jalan. Mohon maaf kalau pelayanan kami tidak memuaskan! Oh ya…..kami menyediakan souvenir mohon diterima sebagai tanda ucapan terimakasih kami!. Saya doakan perjalanannya lancar dan selamat.”
“Waaah, trimakasih banyak pak Sudiane!”   Sambut Ludya ceriah.
“Pak Sudiane, makasih yaa!”
“Saya permisi Bapak dan Ibu-ibu. Sampai ketemu lagi” Buk! Pintu Volk Wagon tertutup lalu meluncur keluar areal Bandara.
Roby dan rombongan menuju konter Garuda. Lalu melanjutkan langkah menuju ruang keberangkatan.
“Bang Roby….trimakasih udah bantuin kami!” suara Tina. Masing-masing duduk disova.
“Iya lhooo Bang. Trimakasih banyak” sambung Ludya sambil memasang kacamata hitam.
“Kebetulan kita ketemu disini satu tujuan dan senasib! Saling perhatiin kan biasa?” Roby merendah.
“Semalam…kami pingin ngobrol banyak, tapi Abangnya sibuk…” timpal Tina.
“Maaf deh! Nggak sengaja! Sekarang bisa kan?”
“Eh iya…he-he…bang ini alamat saya..” Tina menyodorkan kartu nama.
“ooh. Trimakasih….maaf saya tidak punya kartu nama! Tapi saya bisa catatkan….” membuka tas mengambil Notes. Mencatat dan menyodorkan pada Tina.
“Tenggarong? Kalimantan Timur? Abang disana ya?”
Roby mengangguk. Lalu melihat EE’.
“Alamatmu?”
EE’ membuka tas kecil, lalu menyodorkan kartu nama.
“Oh masih tinggal dimakasar ya? Nich…alamatku”
“Kapan-kapan kita ketemu lagi bang…” sambung Ludya.
“Kalau ada sempat main kerumah ya?” pinta Hermin.
“Ya, suatu waktu. Dari Makassar aku ke Kalimantan. Ada kerjaan disana!...”
“Bang kalau boleh tahu, kerja dibidang apa?”Tanya Tina langsung.
“Anu ee kadang melukis…kadang membuat cerpen! Jadi masih kesana kemari”  Roby berdusta.
“Kapan-kapan bisa dong jalan ke Tenggarong? Katanya,  disana kota wisata” Hermin bertanya.
“Boleh, kenapa tidak? Tenggarong pada zaman dulu pusat kerajaan Kutae. Banyak peninggalan kerajaan yang jadi objek wisata. Disamping itu ada pulau kumala! Pulau ini membelah Sungai Mahakam jadi dua. Pemerintahan Kutei, membangun pulau kumala jadi miniature Taman mini Indonesia.  Ibu-ibu suatu waktu harus berkunjung kesana!....” Jelas Roby panjang lebar.
“Pantas Abang betah disana!” potong EE’  bernada protes.
Roby sontak menoleh, menatap lekat.  Mencoba menerka. Tiba-tiba Roby teringat bingkai foto di Rumah EE’.  “Kau tidak seperti dulu lagi!” bisik Roby sendiri. Reflek, tangannya merogoh saku. Tinng! Zipo menyala membakar sebatang kretek Ji Sam Su, asap melingkar-lingkar.
“Bang…dilarang merokok!” protes EE’.
“maaf….nggak sadar!” Roby menegok kesana kemari, mencari bak sampah.
“Tuuu, dibelakang Abang!” tunjuk EE’.
“Oh iyaa…makasih E’” sambut Roby menyebut Charmelita dengan E’ saja.
Rasa bahagia tiba-tiba merasuk EE’. Mendengar sebutan terakhir itu. “Seperti dulu bang!” bisiknya. “Aku rindu Bang! Rindu banget!” bisiknya lagi sembunyikan gejolak. “sayang Abang sudah berdua!”. Galau hatinya.
“Perhatian-perhatian, penumpang nomor penerbangan GA 501. Tujuan Bandara Internasional Hasannudin Makasar, segera menaiki pesawat. Perhatian-perhatian….
“Naaah! itu pesawat kita. Yook!” ajak Roby.
Tapi EE’ masih asyik dalam pikirannya. “Kamu tetap cuek! cuek banget, bang!” lamunnya.
“Hei…mau pulang nggak?” tegur Hermin melihat EE’ masih mematung di tempat duduknya.
“Eh apa? Oh udah mau berangkat?”
“He-eh. Kalau mau tinggal, tinggal aja sendirian hikhikhik…” canda Hermin.
Pagi cerah. Dua hati galau. Boing 747 Garuda Indonesian Air  menembus awan menuju Makassar.

Pukul 10.15. waktu Makasar  Garuda Boing 747 nomor penerbangan 501 mendarat di Bandara Internasional Hasannudin Makasar. Hermin, Tina, Ludya dan EE’ turun dari tangga depan, Roby tampak diantara penumpang turun di tangga belakang. Naik Bus jemputan, turun depan ruang kedatangan. Sambil menunggu Bagasi, Roby memilih duduk diujung. Ia segera ingin menikmati kretek Ji Sam Su kegemarannya. EE’ berjalan menghampiri,  duduk dikursi sebelah.
“Jadi  terus ke-kalimantan Bang? Nggak istirahat dulu di Makasar?”
Roby menghembus Asap kreteknya. Menatap lekat. Pas EE’ juga  memandang. Sekilas  bola mata EE’ berbinar. Lalu tunduk. Kakinya menggambar kegelisan.
Kretek dihisap dalam-dalam, dihembuskan. EE’ tunduk, kakinya yang tergantung di kursi menari-nari. Roby menatap lagi. Masih tunduk.
“E’!” tidak bereaksi. “E’ maaf…d…dulu aku tidak tepati janji!”
Bisu.
“Andai,…..ada kesempatan kedua…akan kutebus semua itu…..maafkan aku E’”
Tubuhnya  bergetar.  Tarian dikaki mematung. Berdiri, menutup wajah. Berlari menuju pintu keluar.
“E’….EE’ tunggu!…..” menyambar tas kerja. Mengejar keluar.  Terlambat. Sebuah taxi sedang  berputar menuju pintu gerbang keluar.
“Ada apa bang?” suara Tina dari belakang.
“Tau….tu EE’….” Jawab Roby sekenanya.
Tina memandang searah tatapan Roby. “Itu Charmelita?”
Sebelum menjawab Roby menarik nafas dan membanting Kretek Ji Sam Su keatas lantai. “Yeaaahh!”
Tina menggapai lengan Roby.
“Bang, ngbrol didalam Yook?? Mumpung pesawat Abang belum berangkat….”
Roby menoleh, lalu mengangguk. Kembali ketempat tadi.
“Bang….Ada yang ingin saya sampaikan mengenai Charmelita!”
Roby memperbaiki duduknya.
“Charmelita pacar Abang dulu ya?....”
Roby menggeser pantatnya. Mengangguk lagi.
“Singkat bang!…..semalam Charmelita cerita tentang hubungan kalian! Ia sangat mencintai Abang!”
Roby menatap Tina. “Bercanda lagi ya???” potong Roby cepat. Tapi  raut Tina serius.
“Mana mungkin! Dia sudah bersuami!” bisik Roby pada diri sendiri. “Foto di rumahnya, banyak bercerita tentang itu!..ah Tina  bergura nich!” Sekali lagi ia memandang Tina.
Tina mengangguk. “Naaah….terserah Abang, percaya atau tidak!!”
Diam.
“Eh…mungkin itu pesawat Abang!” Tina mendengar informasi penerbangan. “Sampai ketemu! Bang!”  sambung Tina sambil menyalami.
“Trimakasih, senang bertemu kalian! Salam untuk mereka ya?” sahut Roby sambil menunjuk kedalam ruangan.
“Iya bang! Ingat, Charmelita mencintai Abang!” .
Senyumnya menutup galau di hati!, lalu berlari kecil menuju ruang keberangkatan.

Dalam Merpati tujuan Balikpapan, Roby gelisah. Sikap EE’ dan  ucapan Tina terus membayang.   Roby bahagia dengar penuturan Tina. “Tapi mungkinkah?????”. Bingkai Foto dan keterangan Bapak EE’, silih berganti bermain dalam hati dan perasaannya.
“Mungkinkah???”.
Pkl. 13. 25 waktu Balikpapan Roby di Spinggan. Setiba diruang kedatangan, Roby  segera mencabut Nokia  Membuka Tas kerja, mengeluarkan sebuah kartu nama. Memijit beberapa angka, melihat monitor Lalu menempel ke Telinga.
“Ya Halooo….saya bu! Roby!….oh sudah. Sekarang di balikpapan…..baik….bu ludya?? Oh dirumah?? Ya, salam balik buat suaminya….Halooo…mau minta tolong….bolehkan???..ha-ha-ha tau aja….iya tuuu…saya bilang, minta maaf karena dulu tidak tepati janji…..oh begitu?....ada! tapi nggak pake nomor telepon…..iya deeh. Bu Ludya? halloo…esemes saja ya?! Oh ya?..…..okey Trimaksih. Selamat siang!”.   
Roby tidak ke Tenggarong! Ia memilih tinggal dibalikpapan dan nginap di Grand Senyiur.
Dua hari kemudian beberapa staf menghadap melaporkan kegiatan perusahaan. Tampak Ingan,   Zaini dikuti Naryo dan  Heriyansyah.
“Saudara saya  panggil,  karena Saya kelelahan dan butuh istirahat. Saya akan ambil cuti beberapa bulan.  Sebelum itu, saya perlu koordinasi dan rapat kerja perusahaan bersama cabang perusahaan termasuk  devisi Sulawesi” terang Roby. Mereka duduk di ruang meeting hotel Grand senyiur  “Bagaimana urusan ditenggarong?”
“E…”
“satu-satu! Dari mbak Zaini dulu…..”
“Saya lapor…bahwa instansi terkait pemerintah daerah sudah mengeluarkan IMB untuk pembangunan komplek perumahan! Akte jual beli dan sertifikasi sudah selesai……tinggal persetujuan Bapak untuk pencairan Dana Proyek!”
Roby membuka kliping di hadapannya, memeriksa. “Secepat itu Zaini? Biasanya berbelit-belit berurusan dengan pemerintah!”
“Eh..anu….Kebetulan kepala Dinas Pertanahan masih kerabat dekat kami, jadi prosesnya cepat pak!”
“Keluargamu banyak pejabat ya?”
“Tidak pak! Hanya satu! Yang lain…..saya pakai pelicin?”
“Pelicin??? Maksudmu??” tatap Roby.
“Anu…nyuap, Eh…ngasih….” Zaini bingung menjelaskan.
“Nyuap? Ngasih?….yang jelas thoooo!”. Hardik Roby.
“E…” Zaini menelan ludah “saya terpaksa ngasih amplop pada pejabat lain…supaya lekas urusannya pak Direktur!....”
“Zaini..Zaini!....kalau semua berbuat seperti itu? Bisa kamu bayangkan, siapa penguasa sesungguhnya di Negeri ini! Bayangkan kalau pemerintah….bekerja hanya untuk duit, yang dilayani bukan rakyatnya! Tapi duit! Tahu nggak? Cara seperti itu tak bermoral!”
“Maaf pak! Mereka yang nyodorin. Katanya, kalau sekian atau segitu seminggu atau sebulan. Malah bisa beberapa hari saja!” jelas Zaini.
“Kayak jual obat saja!” hardik Roby. “Jadi berapa amplop?”
“E, …” Zaini mengeluarkan catatan dari tas. “lima belas pak! Masing-masing 5 juta! Maaf pak!”
“Haaa?!” Roby geleng kepala. “Sebesar itu?”
“Anu pak! Katanya…pasarannya segitu!”
“Yaaa, sudalah! Lain kali…. ikuti jalur dan prosedur!  Kalau terus menerus begini, jadi kebiasaan! Ingat, kerja kita selama ini baik! Seluruh mobilitas keuangan selalu diarahkan untuk kesejahteraan karyawan dan kemajuan usaha! Saya ngerti maksudmu baik! Tapi, caranya keliru…….” Diam sejenak. “ Masih ada Zain?”
“Maaf! Saya ngaku salah!”
“Nggak apa-apa! Jadi pengalaman berharga buat kita!”
“Trimakasih pak! Mengenai ijin penggunaan uang proyek sudah bisa dicairkan pak?”
“Infra strukturnya siap? Terus kontraktor mana yang ngerjain?”
“Pak Ingan yang tahu!”
“Baiklah!  Kalau tidak ada kendala, nanti saya tanda tangani! Saudara ingan?”
“Hm! Hm!...e…sekalian saya lapor kegiatan perusahaan tiga bulan belakangan ini. Pertama, Negoisasi kemalang dan Bekasi sukses! Ke dua, Bibit sapi dari NTB mulai pengapalan. Dari Bali mulai akhir tahun. Lokasi karantina juga sudah di renovasi, baik untuk ternak Unggas maupun Sapi. Ketiga, pelayanan pada Konsumen mulai stabil. Bahkan pemerintah daerah lewat dinas peternakan bersurat agar kita mensuplai pasar-pasar tradisionil. Katanya, Ayam Broiler dan telur  belakangan ini hilang dari pasar tradisionil!. Dinas peternakan juga bilang,  banyak peternak gulung tikar gara-gara wabah Flu Burung kemaren! Keempat…..”
“Saya potong laporanmu…ada data peternak yang dimaksud?”
“Ada pak! Tapi belum semua, mungkin dinas peternakan tahu! Kalau bapak butuh, saya akan cari data! Untuk apa pak?”
Roby menyambar Zipo dan kretek. Tinnng! Asap melingkar-lingkar. Lalu kembali menatap Ingan.
“Sesama peternak…khususnya ternak unggas harus saling perhatian! Kamu kan wakil ketua persatuan Ternak Unggas Kaltim! Masak nggak mikir sampai kesana?” tegur Roby.
“Maaf pak…sa..saya konsentrasi diperusahaan. Jadi lupa”
“Ingan! Ingan…kamu lupa motto Perusahaan ini ya? ‘Maju bersama Peternak’ membangun Rakyat!”
“Maaf, mohon petunjuk Direktur”
“Biasanya kamu punya ide cemerlang”
“Maaf pak! Kalau soal menejemen saya bisa tapi kalau….”
“Sekarang tugasmu mikirin bagaimana menolong mereka meski tidak semua. Maksud saya, ajak para peternak itu jadi mitra supaya mereka bangkit lagi. Emang kamu mau? Jadi tukang ngedrop kepasar-pasar Tradisionil seperti dulu? Kamu data, teliti….kemudian buat proposal! Soal beaya, nanti dipikirin. Kamu kan ahlinya!”
“E, maksud Direktur?”
“Coba teliti peternak kecil yang gulung tikar tadi. Kamu klasifikasi, mana yang benar-benar bangkrut. Mana punya modal! Kita coba carikan jalan keluarnya” 
“Baik pak! Saya persiapkan dalam sebulan” sahut Ingan kagum kepedulian Big Bosnya.
Demikian juga Naryo, Heriansyah, Zaini. Mereka tahu karakter dan sifat Big bosnya!  Seorang yang sangat perduli pada siapa saja terlebih karyawannya.  Seorang direktur yang tidak segan berkunjung kerumah karyawan tanpa melihat kedudukan dalam perusahaan. Soal Rumah tanggalah, anak-anaklah, terlebih kalau ada yang sakit. Semua mendapat perhatiannya.
“Sungguh kami beruntung bekerja diperusahaan ini” Lamun Naryo.  
“Laporan selanjutnya?”
“Saya pak”
“Ya lanjutkan!”
“Yang keempat…” Ingan mencabut satu klip kertas dari tas. “Ini…rencana relokasi lahan khusus Rumput Gajah beserta pakan hijau lainnya. Dan proposal pembangunan pabrik bungkil Jagung dan kedelei”  
“Makasih! Soal kontraktor?”
“Sudah ada pak! Tinggal tanda tangan kontrak kerja”
“Baik, aku setuju  proposal  itu. Hanya pengawasan dan control kwalitas material diperketat. Kapan mulai?”
“Kalau kontrak kerja sudah bapak tandatangani!” potong Zaini.
“Yaaaa, yang itu! kapan???”  
“Senen depan!”
“Bagus! Trimakasih atas upaya saudara. Target siap huni?”
“Kalau tidak ada halangan akhir tahun depan!” sambung Zaini.
“Kita doakan pak!” sambung Heriansyah.
Roby mengangguk-angguk. “Heri, Naryo ada kendala tugas kalian?”
“Laoran kami udah disampaikan pak Ingan. Saya hanya menambahi bahwa pengapalan ternak dari NTB dan Bali akan bertahap sepanjang tahun ini sampai pertengahan tahun depan! Jenis Kapal  angkutan ternak sangat terbatas dan ukuran sedang saja! Mohon Bapak berkenan memaklumi” jelas Naryo singkat.
“Makasih, kesehatannya gimana?”
“Di jamin pak! Dinas Peternakan disana ketat! Setiap Ternak yang keluar NTB  diperiksa dan diawasi”
Roby mengangguk. “Oke….Hery?”
“Stock pakan ternak sudah teratasi! Demikian juga persedian jenis obat-obatan. Pelan-pelan  dapat kami upayakan  beberapa bulan ini. Semua berkat dorongan dan semangat yang bapak berikan. Hanya ini yang dapat kami sampaikan”
“Saya harap spirit kerja seperti ini terus hidup, mengenai Kontrak itu  Aku tunggu atau harus ketenggarong?”
“E…kami kesini Bapak perlu istirahat.  Soal perusahaan nggak usah kuatir pak! Kami siap dilapangan maupun dikantor” sahut Ingan cepat.
“Iya pak..!”  Naryo menyambung.
“Trimakasih! Kalian andalan saya di perusahaan ini!”
“Maaf pak!” sambung Ingan.
“Ya?”
“Soal Raker, Dimana bapak kehendaki pelaksanaanya?”
“Ya.. disini thoo!  Dua Bulan depan perusahaan ini akan  24 tahun. Untuk itu saya harap seluruh manager dan staf hadir dalam Raker tersebut. Kamu, Richard sebagai senior meneger bertugas memprosentasekan  perjalanan perusahaan ini. Kendalanya, kemajuannya, juga prospek kedepan. Hubungi Richard ke sulsel”
“Siap pak!”
“Telepon Si Yeni, suruh berangkat besok. Mobil antikku suruh Yeni bawa sekalian!”
“Sopirnya pak?”
”Suruh Awang! Masak Yeni yang nyopirin dari sana!” Roby melirik arloji. “Baru jam 9 malam! Udah pada makan? Kalau belum kita ke pantai kerestorang sea food, enak lhooo” Tawar Roby.
“Saya bersama keluarga pak!” potong  Zaini.
“Keluarga karyawan, keluarga saya juga. Kayak nggak tahu aja!” tegur Roby.
“makasih pak”
“Kalian..?”
“Bujangan….pak!” sahut Naryo.
“Kamu nyindir aku Naaarrr?” Hardik Roby pura-pura.
“Ma…maaf pak!”
“Becanda Narrrr!!! E, ringkas kertas kerja kalian! Kita ketemu di Lobi! Heri, kamu hubungi resepsionist, kita butuh kendaraan. Selamat malam”
“Malam pak direktur!”      
Masing-masing kembali kekamar.


Di Masamba. Richard, Obed sedang serius dalam percakapan di ruang meeting.
“Proposal ini sudah dipelajari?!”
“Ada kendala pak!” Obed memotong kalimat Richard.
“Masaalah apa??”.
“Para peternak mengharap budidaya Kerbau lebih diutamakan dari pada penggemukan. karena permintaan konsumen sangat tinggi!”
“Maksdumu?”
“dalam proposal ini Peternak menginginkan bahwa pengembangbiakan ternak kerbau di pacu, karena selama ini para peternak tergantung pada proses alamiah”
“Yang bisa menjawab bidang Litbang. Bu Abel dan teamnya mudah-mudahan hari ini sudah kembali. Oh ya, sebentar” Ricard memijit tuts aipon “Sarce….tolong bu Sherly dipanggil ya?”
“Dibawah pimpinan Bu Abel, Perusahaan meneliti dan megembangkan cara pembiakan  Kerbau. Kita doakan, semoga beberapa tahun atau bulan kedepan, team ini dapat memberi hasil yang bagus”
“Selamat siang!” salam itu membuat Richard dan Obed berpaling kepintu “Siang juga Bu”
Sherly masuk dan duduk dikursi menghadap Richard.
“Bapak panggil saya?”
“Iya! Kami sedang bahas pengajuan kelompok Bina Mitra. Oh ya ada kabar dari direktur?”
“Beliau sekarang  di Balikpapan. Tadi siang nelpon, bapak dan saya diperintah ke Kalimantan”
“Okey anda urus soal itu! Eh, kapan?”
“Sabtu depan pak!”
“Hm…empat hari lagi. Kita bisa sering duluan bersama staf, Direktur pasti minta laporan. Bu sherly persiapkan pertemuan itu ya?”
“Baik pak.”
“Sampai dimana tadi pak obed? Oh ya soal pembiakan. Eh, Ibu kan orang Toraja! Minus plus saol kerbau pasti tahu!”
“Waah…….Meski orang Toraja, saya paling ngeri  terhadap binatang ini. Pak Obed pasti lebih tahu selama ini urusannya”
“Yang saya tahu! harga jualnya bu. Kalau ngurus!? Nyerah deh!” sahut Obet.
“Kalau tidak salah? Dikalangan Suku Toraja, kerbau merupakan unsur penting dalam Tradisi ritualnya.  Benar nggak bu?” Tanya Richard.
“Eh…gimana ya pak? Soalnya orang perantauan! Tapi, kalau melihat pengalaman kami selama ini kesimpulan Bapak  benar!”
“Justru dari Tanah Toraja permintaan paling banyak pak!” potong obed.
“Yaaa karena ada hubungan dengan budaya tadi pak!” jelas Sherly.
“Kendala kita adalah harga. Perusahaan tidak bisa mematok harga pasaran ditanah Toraja. Konsumen menentukan!”
“Mengapa begitu?” Tanya Richard lagi.
“Di Masyarakat Toraja tidak semua kerbau diterima dalam ritual budaya. Pada upacara – upacara tertentu, seperti  Pemakaman. Kerbau itu setidak-tidaknya memiliki ciri-ciri khusus. Seperti apa ya??” jelas Sherly mengerlitkan alis. Berfikir.
“Contoh kerbau-kerbau dikarantina blok A dan G. Bapak pernah meninjau kesana kan?” potong Obed Tammu.
“Yang belang-belang Kulit dan kukunya itu?”
“Ya!!!….yang bola matanya seperti kelereng!”
Richard mengangguk-angguk.
“Orang toraja menyebut ‘Tedong Tori atau Tedong Bonga’. Pengembangan Jenis ini sementara diteliti bu Abel dan teamnya” jelas Obed tammu lagi.
“Saya dengar di Toraja jenis ini tidak bisa dibudidayakan. Perkembangannya bukan karena factor genetika. Apa benar?” timpal Richard bertanya.
“Itu hanya cerita dan legende sebab semua mahkluk yang dilahirkan termasuk karena penetasan, pasti dari Gen jantan dan Betina. Ya termasuk manusia!”        
“Waaah pak Obed bisa nyaingi bu Abel nich” Gurau Sherly.
“Orang saya tahu dari bu Abel koq! He-he-he”
“Jadi, bagaimana mengatasi pasar disana?”
“Untuk sementara ikut pasar pak. Menurut saya perlu data akurat agar  mampu memenuhi permintaan khas tersebut. Suatu waktu bapak mesti pergi ke Tanah Toraja. Terlebih saat ritual budaya sedang berlangsung!”
“Iya! asyik lhoo pak! Terutama moment adu kerbau! Saya beberapa kali melihat langsung” potong Sherly.
“Hmmm aku penasaran, kapan ya?”
“Lusa saya ke Tanah Toraja. Bu Abel pesan dicariin beberapa bibit betina yang khas tadi. Nanti saya cari informasi kapan dan dimana Ritual itu akan diadakan”
“Makasih pak Obed!”
“Siapa tahu direktur tertarik juga kesana kan bisa Sekalian wisata?” sambung Sherly yang kenal hanya suara direkturnya.
“Nggak berani jamin yaa?! Beliau sibuk! Buktinya setahun belakangan ini, komunikasi  kita terhadap beliau, kalau bukan Via Telepon ya Email. Kalau Tidak, ya surat!”
“disini kan ada Bapak!” sambar Sherly memuji Richard.
“Iya, aku penasaran juga! Setahun disini belum bertemu beliau!”
Richard tersenyum, ia tahu kebiasaan pimpinannya. Dulu, ia mengalami hal yang sama. Malah lebih parah. Dua tahun, baru bisa bertemu.
“Bapak direktur nggak perlu disoal! Yang penting kerja dan tanggung jawab kita membangun dan  memajukan perusahaan. Sebab hidup kita  dijamin perusahan, adil kan?” tegas Richard.
“Eh…mumpung saya ingat! Kontraktor Laboratorium tahap dua minta bapak meninjau kelapangan. Katanya, ada perubahan struktur pengelolaan Limbah. Mereka minta persetujuan Bapak!”
“OK! Besok pagi! Bu Sherly ikut kesana ya!”
“Apa nggak ada yang cemburu?” Goda Sherly, tahu istri Richard cemburuan.
“Husst…kayak bi Lela saja! Selalu cari perkara!” sahut Richard bercanda.
Hihihi…haha….!

Di Makasar, di Komplek Sudiang Permai block A. N0. 9. Tina, Hermin dan EE’ sedang terlibat percakapan.
“Sikapmu tempo hari pada Roby, kekanak-kanakan! Kayak ABG aja!” tegur Tina.
“Sebenarnya apa yang terjadi Tin? Kau bilang waktu itu karena ada urusan Bidadari kita ini pulang duluan. Ada storynya? Ceritain dong!” pinta Hermin.
“Dasar tukang gossip, mau tahu urusan orang saja!” potong EE’ tidak mau Hermin tahu story itu.
“Kamu ngasih alamat kan?” Tanya Tina.
“Iya…alamat sini!”
“Kamu ada alamat dia?”
“Ada! kenapa? maksudmu?? Supaya aku ngubungin dia?? Tina! Tina! kamu ngajarin aku ngeganggu rumah tangga orang ya? Meskipun ku akui…bahwa aku tetap mencintainya, nggak bakalan menghubungi. Merusak kebahagian orang! Dosa Tin!”
“Lhooo?? Koq jadi serius ya??” Tina becanda. “Maksudku bukan gitu, setidak-tidaknya minta maaf atas sikapmu terhadap Roby! Gitu lhoooo! jangan sewot dong, nanti cepat tua!”
“Kamu siih…!” sahut EE’ manja.
“Halooo!? Aku masih disini yaaa!” protes Hermin dari seberang meja.
“Lupain deeh, bikin sableng aja!”
“Lhooo yang sableng kan kamu! Mau dilupain kek! Mau diingat kek! Kakekku nggak ikutan…”
“Hai!...kalian tuli ya? Atau buta?” suara Hermin protes.
“Kebetulan kami tuli dan buta!” canda Tina.
“Dasar!” hujat Hermin.
Hihihi….
“Mana Ludya dan Sri sopir bus udah bosan nunggu tuuu!” Tanya Tina.
“Kalau Sri! Biasaaaa! Banyak urus telur,  Ludya tadi kerumah tadi katanya besok nyusul ke Masamba. Hari ini dia ada meeting Rektorat di Kampus! Kita tinggal tunggu Jeeeng sri saja!” sahut Hermin kocak.
“Oh ya, aku lupa britahu kalau Ludya lagi bingung untuk nentuin kariernya! Semalam  berdua suami kesini, Minta advis! Kalian tahu Dia suka Riset dan cenderung bersama kita! Disisi lain,  dia dosen dan pegawai negri! Kalian tahu tooo? Dosen yang satu ini lagi nanjak kariernya di Kampus!”
“Jadi, gimana menurutmu?”  Tanya Hermin dari seberang meja.
“Aku bilang…terserah dia dan suami! Di perusahaan kita bertanggung jawab  dalam Riset dan penelitian. Dari segi keilmuan, tentu lebih menantang! Soal masa depan perusahaan, tergantung pada bidang ini yang kita kelola sekarang. Kalian masih ingat? Waktu saya minta mengisi lowongan ini? Wakil direktur berjanji memfasilitasi dengan Laboratorium pengembangan dan penelitian ternak. Tina memuji bahwa laboratorium kita lebih lengkap dibanding yang di kampus! Iya nggak?”
“Ho-oh tuu”
“Naah kalau perusahaan menjawab kebutuhan kita sedemikian canggih! Berarti perusahaan ini tidak sekedar mencari laba! Tapi juga pengembangan Ternaknya! Di negeri tercinta ini, jarang ada perusahaan yang khusus melakukan risert. Bukankah ini kesempatan emas?” jelas EE’ panjang lebar.
“Charmel! kamu kayak wakil direktur. hikhik!” gurau Hermin.
“Hussst! Hargai dongg…diperusahaan dia atasan kita lhooo..” timpal Tina. Geli, membayangkan Richard.
“Emang mau dijual berapa! Tin? Ada yang kiloan nggak??”
“Husssst! Hormati dong….!”
“Emang inspektur upacaraa???”
“Sudah! sudah! Tuuu….jeeeeng sri baru datang!” tunjuk EE’ kejalan raya. Ikut-ikutan make Jenng.
“Jengger ayam kali! Hihihi…” sambung Hermin.
“Hussst! Nggak pernah serius ibu ini..” protes Tina pura-pura sewot.
“Husst-husst! Emang sedang ngusir meoonng?”
Hihihi…hikhikhik..
“Aduuh! Minta maaf ya….maklum ibu Rumah Tangga!” sapa Sri, mukanya memerah kena terik.
“Emang cuman kamu yang i-erte? Jangan sombong kawan! Kami juga!” sahut Tina.
“husst! Jangan sembarangan Min!”
“iya deh! Gitu aja marah!” Hermin memonyong.
“Lhooo, mana Ludya? Kupikir aku yang paling telat”
“Emang kamu! Dari masa kuliah dulu siapa yang suka telat? Ayo siapa coba?” tantang Tina.
“Yaaa gang kita….”
Hihihi…!
“Sri! Ludya nyusul belakangan! Lagi rapat rektorat di kampusnya! Minum cendol tuu, keburuh dingin..”
“Emang siapa juga yang minum cendol panas!”
“Teman-teman Perusahaan sudah menyediakan rumah lhooo! Apa nggak di manfaatkan? Dari pada kalian bolak balik masamba-makassar!” EE’ mengingatkan. 
“Kami sekeluarga siap boyongan. Tapi nunggu anak-anak selesai semesteran. Suamiku ngalah. Katanya lebih baik dia yang bolak-balik dari pada Aku” Sri menimpali.
“Aku belum pasti Mel! Soalnya suami dan anak-anak pingin disini saja!” jelas Hermin.
“Kalau aku…nggak ada masaalah! Kami kan belum punya momongan! Suamiki hari minggu nanti nyusul kesana!”
“Baiklah…yang penting perusahaan sudah memfasilitasi. Kita berangkat sekarang?” tawar EE’
“Mengapa tidak? Cendolku, sudah habis koq!”
“Tante! Tante! Ada telepon, dari tante Ludya. Mau bicara sama tante Charmelita!” seru seorang  remaja putri dari ruang tengah.
“Oh ya, makasih Gina!” EE’ beranjak kesana.
“Eh…dibandara sebenarnya apa yang terjadi Tin?” bisik Hermin.
“Penasaran ya? mau tahu aja!”
“Serius nih! Charmelita kan temanku juga, kalau dia susah aku juga! Iya nggak Sri?”
“Gini! waktu itu Roby duduk berduaan Charmelita! Roby minta maaf  karena dulu tidak tepati janjinya! Tahu kan? Charmelita lagi sensitif banget saat itu”
“Truss?” Hermin penasaran.
“Charmelita…..” Tina menengok ruang tengah. “tiba-tiba meninggalkan Roby begitu saja!...Roby berusaha mengejar. Tapi Charmelita keburu naik Taxi, gitu! Jelas?”
“Ho-oh!”
“Jadi kamu….” Pandang Sri melototin Tina.
Tina nyengirrrrr!  
“Maaf deeh! Ini demi kebaikan? Kalau aku terus terang waktu itu, kalian pasti langsung kesini! Iya kan? Padahal saat itu,  aku kangen beraaat sama suamiku. Hehehe”
“Adoouw!” jerit Tina kaget. Jemari Sri hinggap dipahanya.
“Kira-kira kalau teriak! Ngagetin orang!” hardik Hermin kaget juga.
“Sory…” nyengir!
“Ada apa?” suara EE’. Nafasnya agak tersengal.
“Hikhik…ini si Tina! Kena jurus sumpit Sri!”
“Kirain….kegigit si Pleki!” sambung EE’ lega. “Ehhh berangkatnya ditunda ya? Ludya ikut sekarang!” terang EE’.
“Lengkap dong gang kita!” timpal Tina.
“Jadi….?? ngapain sekarang?” sahut Sri.
“Shoping dong!” sahut EE’
“Boleh tuu, mumpung belum berangkat! Oh ya, aku nelpon suami dulu ah…” sambar Tina kenes.
“Aku juga! Ada yang kelupaan ku pesan sama anak-anak dirumah!” Hermin mengeluarkan selularnya.
“Kamu Sri? Nggak nelpon suami?” goda EE’.
“Pinjam telpon ya? Nggak sempat ngisi pulsa! Hihihi…”
EE’ hanya tersenyum. Ditatapnya satu persatu sohib-sohib itu. Tina Ginting, perempuan asli Batak sub Etnis Karo. Kelahiran jawa.  Pintar, ahli kesehatan dan gizi Ternak. Hermin. Perempuan peranakan Bugis-Sunda. Ahli reproduksi Ternak! Sri! Asli jawa! Soal kepintaran hanya Ludya yang mampu menyaingi! Master dalam bidang inseminasi buatan. Semua humoris! Ludya, Peranakan Sub Etnis Kulawi sulawesi tengah. Master  dalam pembuahan sel telur ternak Sapi. Mereka teman EE’ dari bangku Kuliah. Team  Riset peternakan yang ahli dalam bidang masing-masing. Persahabatan yang unik sekaligus  Persahabatan yang sering membuat suami-suami pada bingung. 

Sabtu sore, Yeni tiba di Balikpapan! Ia mengendarai Jeep Wilis antik, milik bosnya.
Di Lantai enam Suite Room, Roby sedang menikmati tayangan dangdut dari salah satu chanel TV Swasta  ketika terdengar ketukan lembut beberapa kali di pintu. Cepat Roby membuka pintu. Yeni berdiri disana.
“Kau Yen! Masuk, dengan siapa?”
“Makasih pak!”
“Lhooo…Mana si Awang? Kenapa nggak diajak naik sekalian? ”
“Istrinya sedang hamil tua pak! Jadi….mobil  saya yang bawa!”
“Gila kamu!…kalau terjadi sesuatu dijalan? Gimana!?” Hardik Roby. “Aku sudah pesan….bawa sopir! E…malah di setirin sendiri!” bergeleng melihat kenekatan Sekretarisnya itu.
“Maaf pak!....” sambut Yeni segan.
“Sopir perusahan banyak! Kenapa suruh salah satunya?”
“Maaf pak”  
“Sudalah lupakan! Lain kali jangan mengendarai sejauh itu! Sudah booking kamar?”
“sudah pak! Dilantai dua, nomor 408!”
Sore itu penampilan Yeni beda! Blue Jeans ketat paduan Tishert merah jambu membungkus tubuhnya. Membuat Yeni tampak cantik mempesona di mata Roby. 
“Titipan dari pak Ingan?”
“Ada di kamar, Saya ambil pak?!”
“Sudah berbenah?”
“Belum pak! Sesudah dapat kamar saya langsung menghadap bapak!” 
“Kalau begitu kau istirahat dulu! Jam setengah delapan saya tunggu! Sekalian bawa arsipnya.”
“Baik pak! Saya pamit dulu! Selamat sore!”
“Sore Yen!”
Yeni buka pintu dan lenyap disana. Roby menatap dari duduknya. Baru disadari bahwa sekretarinya itu sangat menarik.
“Mungkin selama ini aku terlalu sibuk! Sampai Yeni luput dari perhatianku! Eh, nama panjangnya siapa ya?”
Teringat tahun lalu! Ingan minta supaya ia dibantu seorang Sekretaris. Roby menolak. Selama ini ia mampu menangani Bisnisnya.
“Pak! Bapak sering tenggelam mengurusi perusahaan! Sampai lupa urusan pribadi. Sudah saatnya, bapak didampingi Sekretaris. Perusahaan semakin besar. Tenaga administrasi yang mendampingi Bapak sangat perlu supaya tidak terlalu sibuk.  Nanti saya cari pak!”
Lalu ada Yeni. Roby mengakui bahwa sesudah itu, waktunya agak luang.
“Sekarang bapak bisa mikirin yang lain! Yang lebih prevensi” jelas ingan akhir tahun kemaren.
“Prevensi? Apa maksudmu?”
“Bapak super sibuk. Apa nggak mikir, maaf pak! Berumah tangga?”
Roby terperangah. Ditatapnya Ingan lekat-lekat.
“Sudah saatnya Bapak mengarah kesana! Dari segi finansiil, usia, karier dan bisnis? bapak sukses! sekali lagi maafkan pak!” 
Teringat nasehat Ingan! Roby menghembuskan nafas kuat-kuat! Berdiri, masuk kamar! Kaluar lagi lalu duduk. Tinnnng! Zipo membakar kretek dibibirnya.
Terlintas wajah beberapa! Gadis-gadis  yang sempat akrab denganya. Charmelita, Susan, Dewi, Wiwik! Dan Lina.
“Lina??? dimana dia sekarang? Apakah masih di Mataram?” Pikiran menerawang ke Mataram Pulau Lombok! Pada seorang Gadis yang sempat mengisi hatinya.
Terbayang Suatu malam ketika apel kerumah Lina.
“Pokoknya kami tidak setuju! Dia kasih makan apa sama kamu!”
“Tapi saya sangat mencintainya Paman! Saya….”
“Cinta! Cinta! Emang itu yang membesarkan kamu selama ini? Pokoknya! mulai sekarang! Kami larang   kamu berhubungan lagi dengan pemuda lontang lantung itu! Titik!” tegas paman Lina!!.
Saat itu Roby ada di ruang tamu depan  dan mendengar semuanya.
“Maaf anak muda! Mulai malam ini jangan sekali-kali menemui anak saya! Saya tidak mau anak saya mendapat jodoh orang seperti kamu! Silahkan keluar!” usir paman Lina.
Semenjak malam itu! Roby tidak pernah lagi bertemu Lina! Meski berbagai cara dicoba menemui pujaannya itu. Menelpon, nyamperin kekantor! Mencegat saat pulang kerja, semua buntu. Sampai suatu siang diruang pameran perupa kenamaan dari Bali. 
“Maaf mas! Selama ini, saya yang menghindar!”
”Jadi…kamu lebih memilih keputusan pamanmu?”
“Maafkan Lina mas!” 
“Ya! Ya! aku sadar! Kamu dari keluarga kaya! Wajar kalau kamu campakkan aku!”
“Maafkan aku mas!”
“Lalu untuk apa selama ini? dua tahun Lin! Dua tahun kita menjalin kasih! Hanya karena pamanmu tak setuju….”
“Paman saya benar mas! Dua bulan ini, saya banyak berfikir! Hububangan kita memang timpang! Coba mas ingat-ingat! Tiap kali bepergian, atau mengenai kebutuhan mas …selalu aku yang ngongkosin! Maaf, Lina tidak bermaksud menyinggung Mas! Aku hanya berfikir relistis!”
“Yah.. aku me…” tiba-tiba Roby melompat dari kursi! Rokok kretek di jemari kanannya membakar kulit. Lamunannya buyar seketika. Mengibas tangan kiri, menghampiri asbak  membuang puntung. Tinnnnng! Sebatang kretek  terbakar lagi. Asap menari-nari dalam ruangan.
“Lina! Lina!...kudoakan jodohmu seperti harapan pamanmu!” guman Roby sendirian. 
Lalu teringat, ucapan Tina dibandara! Terbayang juga Bingkai Foto dirumah orang Tua EE’. Kejadian di Bali! Silih berganti membayang!
“Aku yang salah! Salah E’….dulu…harusnya aku britahu kamu! Tapi….ach sudah terlambat! Sangat terlambat!” sesal Roby. Asap kreteknya terus mengepul dari bibir, meliuk-liuk menghias ruangan.
“Semoga kamu bahagia E’…” bisik Roby keluh. Lalu berdiri, mematikan puntung diasbak! Melirik arloji dan masuk kamar.

Roby baru selesei berkemeja. Ketika Yeni mengetok pintu Grand Suite Roby.
“Yeni. Masuklah”
Ia melangkah masuk. Berhadapan muka dengan Roby.  Wajahnya memerah. Tanpa dipersilahkan ia meletakkan setumpuk Map diatas meja, lalu duduk. Nafasnya sedikit tersengal.
Roby menuang segelas oreng’s juis. “Kenapa nggak bilang kalau sebanyak itu? Aku bisa bantuin” tegur Roby.
“Suda biasa pak!” sahut Yeni sopan.
“Hm…minum dulu!” menuang segelas lagi untuk dirinya. “Sempat istirahat?”
“Sempat pak! Hampir satu jam!”
“Pantas kamu keliatan segar!” puji Roby sambil meneliti dandanan Yeni.
Baru sekali ini ia di tatap Bigboosnya seperti itu. Wajahnya merona.
“Tau nggak???kalau kamu berdandan seperti itu, cantik!” sambung Roby. Buru-buru meneguk oreng’s! Terkejut, kalimatnya meluncur begitu saja dari bibir.
Yeni salah tingkah! Rona di wajaha kian kentara! Sejauh ini diam-diam Yeni mengagumi Roby! Dan Penasaran! Belum pernah ia dan direkturnya berdua-duaan seperti sekarang ini. Tiap kali ia dipanggil keruang kerja  selalu ada orang lain disana! Itupun jarang. Perintah, lebih banyak dari Aipon.
Sierrr!  Perasaan Yeni beda.
Roby meneguk habis isi gelas lalu meletakkan dimeja. Tanganya meraih salah satu map.
“Laporan meneger pemasaran ini ya?” Tanya Roby.
“Ehh…..yang merah mudah pak!” sahut Yeni gugup. Menghindari tatapan kearahnya.
Roby melirik meja, mengganti map. Suasana terasa kaku. Sama-sama diam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Yeni dikursi. Roby menyimak isi map merah muda itu……… Satu menit…..Dua menit……Tiga menit…… Bunyi Nokia dari Tas Yeni, mencairkan suasana!
“Bunyi Hp mu Yen…..”
“Eh iya…” membuka tas dan mengeluarkan Ponsel, melirik monitor. “Maaf pak, saya terima diluar! Dari Mama saya…”
“Disini saja! biar Aku kekamar!” buru-buru membawa map.
Dalam kamar, Roby heran mendapati perasaanya jadi lain. Lembar laporan itu, belum juga dimengerti meski terbaca jelas!
“Gawat! Ini gara-gara Ingan! Macam-macam ngasih Nasehat!” gumannya.
Dalam hati Roby mengakui! Skretarisnya itu, cantik! Menawan!
“Hah???....aku jatuh hati!???” Roby meneliti perasaannya. Terbayang kantor di Tenggarong. Setahun ini, suara Yeni selalu pertama dan terakhir menyapanya tiap kali ngantor. 
“Selama ia jadi sekretaris baru kali ini aku memperhatikannya” 
“Terlaluuuu!! Masak aku jatuh hati pada gadis muda?” tepis Roby menyadari usianya yang  kepala empat. Meletakan map ditempat tidur lalu menghampiri cermin. Menatap wajah sendiri! Meneliti! Tangannya bergerak keatas, menyibak rambut. Tampak beberapa garis  putih disana. Tersenyum sendiri. 
“Bener juga si Ingan! harus cepat-cepat nich…Eh si Yeni…..” buru-buru keluar.
Yeni masih dikursinya sibuk menyusun Map.
“Bagaimana kabar orang tuamu” Roby bosa-basi.
“Ehh..baik pak! Mama saya hanya pengin tahu apa udah nyampe?” sambut Yeni tak berani menatap langsung.
“Orang tuamu tinggal dimana?” sidik Roby.
“Di semarang pak!”
“Ohh….saya pikir  di Samarinda. Eh…sory ya? Kalau boleh tahu….kamu berapa bersaudara?”
“Empat pak! Saya anak pertama!”
“Ohh….ketemu pak Ingan dimana?” Tanya Roby lagi.
Yeni beranikan  menatap langsung . “Saya baca dikoran ada lowongan! Lalu saya melamar di kantor Bapak! Ternyata saya diterima!”
“Ohh…..begitu??” sambung Roby sambil mengangguk. “Kamu lulusan mana?”
“Dari Stads Asmi Jakarta pak! Apa pekerjaan sa….saya tidak memuaskan bapak direktur??” Yeni kawatir.
“Bukan begitu! Selama ini…kita…eh maksudku….kurang mengenalmu! Terus terang baru sekarang ku tahu, kamu orang semarang! Nama lengkapmu aku tidak tahu lhoooo!” jelas Roby.
“Saya salah pak! Harusnya saya perkenalkan diri pada Bapak” sesal Yeni.
“Sudalah….sebutkan saja! Supaya Aku nggak penasaran” 
“Grace Yeniati Hui. Papa saya suku Tionghoa mama saya jawa!” terang Yeni.
“Ooo pan….” Memotong bicaranya. Hampir saja terucap ‘Pantas kamu cantik!’ dari bibirnya.     
“Eh….ngomong-ngomong udah makan malam?” sambung Roby.
“Belum pak! Bapak? Saya pesankan ya pak!” Yeni mendekati telepon.
“Nggak usah! Kalau kamu mau kita makan diluar!” ajak Roby ragu.
Yeni terkejut! Seolah tak percaya. Selama ini dikantor! Rumor beredar, bahwa meski bapak direktur sangat Familiar,  tapi urusan wanita katanya, sedingin gunung Es!.
“Atau aku yang Geer nich!” bisik Yeni.
“Gimana?” sambung Roby.
“Ehh…iya pak! Tapi...saya ganti baju dulu!” Yeni sembunyikan perasaan.
“Gitu saja! Aku suka penampilanmu! Aku yang mesti ganti…tunggu ya!” Roby tak perduli reaksi gadis itu.
Yeni berdebar-debar, bangga campur, eh  berbunga-bunga! Mengeluarkan kotak kecil dari tas. Membuka, mengintip wajahnya lewat cermin kecil disitu. Memoles-moles tersenyum kecermin. Rambut sebahu  disisir tergesa! Meniliti yang dikenakannya. Beres! Lalu duduk. Debaran jantung mengguncang tubuhnya. Kedua tangan dirangkapkan didada.  Bibirnya bergerak-gerak. Mencoba menenangkan hati, Entah apa yang digumankannya.
Pintu kamar terbuka. Tampak Roby berkemeja Blue Jean’s  dan kaos kerah biru langit! Yeni, menatap lelaki itu. 
“Ah, betapa tampan wajah pria ini! Andainya dia bukan big bosku. Di mata hitamnya terpancar kecerdasan dan semangat yang menyala-nyala. Rambutnya dihiasi warnah putih. Pasti ia tak mudah lagi. Tapi, entah apa yang membuatnya nampak mempesona” Yeni membuang muka, malu mendapati lelaki itu memandangnya.
“Kenapa Yen? nggak serasi ya?”  melihat Yeni menyusuri tubuhnya.
“E…cocok pak! Pak Direktur kelihat…….”
“Kelihatan apa? Tua?”
“Bukan itu…maksud saya, bapak terlihat mudah!” Yeni kagum. “dan tampan!” sambungnya, tapi dalam hati.
“aku cuman nyesuain ama kamu!”
Mendengar itu Yeni berbinar-binar.
“Jadi…gimana? Boleh kan?”
“Eh…i..iya pak!” gugup.
“Apanya yang iya?” Godanya berani.
Gadis kuning langsat itu merah padam mukanya. Roby senang memandangnya. Lalu mendekati,  berdiri pas berhadapan Yeni. Ada dorongan yang tak mampu ditahannya. Meraih bahu perempuan itu. Saling tatap. Yeni memejam biarkan tatapan Roby melahap habis mukanya. Wajah Roby mendekat. Dengus nafas Yeni mengelus lembut pipi, hidung, dagu dan lehernya. Dorongan itu menekan kuat.
Lalu bibir Yeni yang lembut dan basah, menyapa bibir Roby. Seketika perasaan melayang. Yeni menggelinjing! Membalas pagutan itu. Nafasnya terengah! 
“Maaf…maaf Yen!! Aku…….” Roby mundur hampir melabrak meja. Perasaanya nggak karuan! 
Yeni terduduk lemas! Nafasnya tersengal. Perasaanya melambung tinggi, melayang-layang. Lalu tiba-tiba terhempas. Padahal ia pengin tetap melambung. Mengapa berhenti?.
Roby menyambar Zipo dan Kretek. Tinng….asap meliuk-liuk.
“Maaf yen! Aku…nggak sadar!” perasaannya mulai tenang.
Yeni sembunyikan wajah.  Hatinya berwarna-warni, tiada gambar. Lalu mengangkat kepala, menatap Roby.
“Sa…saya juga minta maaf pak!” rona mukanya.
Sunyi….satu menit….d..
“Maaf Yen!.......Jadi keluar?”
“Terserah bapak”
“Lho…aku ngajakin! Kalau kamu nggak ber….”
“Eh, jadi pak!” potong Yeni. “rugi kalau kesempatan terlewat” bisik Yeni.
“Okey! Oh ya…bawa jaket nggak?”  
“Ada pak, di kamar! Nanti sekalian saya ambil! Kunci jeepnya kelupaan!“
“Bareng aja…yoook!” sambar Roby sembari meraih kunci kamar.
Menuju parkiran, Yeni menenteng jaket mengekori Roby. Pintu Jeep antic itu terbuka.
“Didepan sini Yen!” Roby melihat Yeni coba buka pintu samping belakang.
Hop! Setelah duduk didepan, Yeni menarik pintu. 
“Yen…..” Panggil Roby. Menyebut Yeni dengan Yen saja!
Yeni kontan berpaling.
“kalau hanya berdua, nggak usah panggil pak direktur” pinta Roby.
“Eh…iya pak!...trus Yeni manggil gimana? Bapak kan direk……” Sahut Yeni, mengganti saya dengan Yeni.
“sssssst!....nggak dengar ucapanku tadi ya?” potong Roby.
“Gimana dong?”
“Terserah….yang penting enak kudengar!”
“Kalau mas?? Bapak nggak tersinggung?”
“Itu lebih familiar!” sambar Roby.
Mengoper perseneling, menginjak gas! Mobil melaju membelah kota minyak Balikpapan. Dua hati dalam rajutan malam.

Di Bondy Restoran. Roby dan Yeni memilih meja dekat tangga di lantai dua.
“kamu yang pilih menu! Terserah masakan apa…yang penting ada didaftar itu…”
Yeni meniliti sebentar. “Mas!……..” tatapnya. “ Yeni…. belum biasa ke Restoran mewah….jadi bingung!” sahutnya polos.
“baiklah kalau gitu….” Membaca daftar menu. “bagaimana kalau…..Ikan bakar saos dan  udang kukus rica-rica? Sayurnya cah kangkung! Setuju?” tawar Roby.
“Yeni nurut aja mas!”
“Bener?”
“Bener!” sahut Yeni Manja.
“Nggak nyesel nantinya….” Goda Roby.
“Nggak!?”
“tunggu ya….” Roby melambai. Seorang pelayan menghampiri. “Dek….pesanan  kami,  tolong dibuat pedes ya…” jelas Roby kepelayan.
“tunggu mas…” protesnya “Yeni nggak tahan pedes!!”
“Lhoooo…tadi bilang terserah aku!”
Tahu dirinya sedang dikerjain….Yeni tanpa sadar mencubit lengan Roby.
“Na..naa, udah berani ya?????” ancam Roby pura-pura.
“Habissss…Bapak……eh…masnya sihhhh!”
“Husss, malu diliat orang! Nanti dikira pecaran!”
‘Biarin mas!”
“Serius niiiih!”
“Yeni juga!” sahutnya tak mau kalah.
“Bener????”
“Ho-oh!”
“Bagaimana Pesanannya jadi?” tawar pelayan yang sedari tadi hanya tersenyum saja.
“Eh….iya. Cepetan ya?” sahut Roby. Ia melirik gadis sipit yang diciumya di Hotel itu. Yeni sedang bersandar kelengannya. Mendapati itu Roby curi pandang keliling ruangan, didapatnya beberapa pasang mata sedang perhatikan kearahnya.
“Yen…..” bisiknya.  “Ssst Yen……orang-orang pada melototin kita tuu..”
“Biarin mas….kita kan nggak ngapa-ngapain!....” balas Yeni cuek.
“Sssst….Udah donnng!”
Yeni menarik diri lalu bersandar kekursi. Beberapa saat tadi ia merasa bahagia! Dan ingin terus, seperti itu.
“Mas???”
“Nggg!”
“Andai……mas bukan….” Kalimatnya Stop disitu. Hampir saja ia buka isi hatinya.   
“Kamu… mau bilang apa?” potong Roby cepat.
“Nggak mas….” Elaknya.
“koq nggak?”
“Nggak aja!” balas Yeni manja.
“Nggg???”

Minggu siang sepulang Gereja, Roby ngajak Yeni shoping ke Balikpapan Centre.
“Aku mau cari kaos oblong dan baju dalam! temanin ya?”
“Kebetulan mas! Aku juga mau cari pakaian sekalian kosmetik, Yeni mandi dulu!” Sahut Yeni di intercom.
“Iya deeh! Kalau udah siap telepon sini!”
“Ho-oh Mas!”  
Klik! Gagang kembali ketempat. Sambil menunggu, ditelitinya beberapa laporan tapi hatinya tak tenang. Bayangan Yeni yang manja, selalu muncul dibenaknya. Semalam, sepulang dari Bondy Restoran Ia dan Yeni  berkeliling kota. Sepanjang jalan diatas Jeep, Yeni terus bersandar kebahunya. Diakuinya Yeni memang cantik! Ditopang  bentuk tubuh yang menawan. Ada perasaan bangga campur bahagia Dekat Gadis ini.  Jantungnya sering berdebar-debar.  Seperti sekarang.
“Jangan-jangan aku sedang jatuh  hati padanya!” pikir Roby. 
“Direktur jatuh cinta pada sekretarinya! Gawat bisa jadi berita gempar ditengah karyawan!” guman Roby sendirian. Map itu dilemparkan keatas meja. “Gila! Aku benar-benar kesemsem…..padanya! Atau??? karena selama ini…aku jarang berpergian dengan wanita?? Gimana ya?” pikirnya lagi.
Tinng! Zipo membakar kretek dibibir. Asap meliuk, mirip tarian ular India.
Telepon berdering. Roby segera menyambar gagang.
“Halooo?...oh kau Yen?...cepet amat mandinya?...oh begitu!? iya deeh!”. Masuk kamar, menanggal baju gereja dengan Hem kotak-kotak lengan pendek. Meneliti didepan cermin, berbalik menuju pintu keluar, terus kelantai dua. Mengetok sebuah pintu dikoridor tengah. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka.
“Eh mas! Yok masuk!” sambut Yeni. Rambut sebahunya masih basah. “Yeni ngeringin rambut  dulu, hanya tiga menit koq!” Sambungnya membiarkan Roby lewat. “duduk mas! Sebentar ya?”
Yeni mengeluarkan alat pengering khusus, mencocok kabel kedinding.
Roby  perhatikan, jantungnya berdebar lagi. Hatinya tak karuan lagi. Di pelupuk matanya, apapun yang dilakukan Yeni tampak mempesona.
“Koq diam mas? Cape  ya??” Tanya Yeni, melihat Roby seperti itu. “Kalau mas lelah…istirahat aja!”
“Aku fit koq!” terang Roby pendek.
“Serius??? Wajah mas keliahatan nggak cerah tuu!”
“Emang cuaca? He-he-he…!” kelakar Roby.
“benar mas??” sahut Yeni nggak yakin. Dia tahu bagaimana bosnya itu. Setahun bekerja sebagai sekretaris, belum pernah melihat Big Bosnya bermuka muram, seperti sekarang.
“Emang ada apa denganku?”
“Mas Ro….eh…” ragu-ragu.
“Nggak apa-apa! Kamu boleh manggil dengan sebutan tadi!” potong Roby mengerti.
“Wajah mas…kelihatan muram lho?? Biasanya kan ceriah..” sahutnya Manja. Mencabut kabel lalu duduk disamping.
“kamu yang bikin begitu!” kata roby, tapi dalam hati. “Yang bener yen?!”
“Masak mau bohong mas!” sahut Yeni lagi. Dipendengaran Roby, seperti berbisik. Roby berpaling kekanan. Pass Yeni menatapnya. Dua mata saling mengadu. Serrrr! Yeni menunduk, jantungnya mengguncang kencang.
“Kalau udah siap, kita jalan!” Roby mencoba menutup gejolak dihati.
Yeni mengangkat wajah, meneliti sejenak. “Okey…kalau mas bener-bener sehat!” sahutnya.
“Yeni! Yeni!...sudah ku bilang yang membuat aku begini ya..kamu! 100% aku sehat!” sambung Roby lagi dalam hati.
“Sehat!” Roby berdiri, Lalu melempar senyum.
“Ah…senyum itu!” bisik Yeni.
“Yok!...”
Yeni ikut berdiri lalu menghampiri tas tenteng. “YoooK!”
Sepanjang jalan dari Grand Senyiur menuju Balikpapan Central, Yeni mengulang perbuatannya semalam! Membuat Roby jengah dan Memacu jantung sekencang Roda Jeep! Roby bangga, bahagia! Tiada kata. 
Masuk areal parker. Memutar kebelakang Shoping center dan stop disitu.
“Yen….udah nyampe!” tegur Roby mendapati Yeni asyik menyandari bahu kirinya.
“Eh…iya…” duduk tegak. “Maaf….” Sahutnya malu-malu.
“Nggak apa-apa! Aku juga senang koq!” sambungnya sambil menatap Yeni.
“Ah…mas!”
“Turun, emang mau disini seharian?” goda Roby. Lalu membuka pintu. Yeni ikutan, kemudian menggandeng lengan Roby. Menuju pintu masuk lalu berbaur dikeramain.

Roby sedang membulak-balik Blue Jeann’s dirak estalase toko ketika seorang lelaki mendekati dan menyapa. Yeni menunggu diluar dengan setumpuk belanjaan.
“Roby!”  Mendengar namanya dipanggil, menoleh dan mencari sumber panggilan itu. Tiba-tiba Wajahnya berseri.
“waahh lama tidak jumpa! Apa kabar??!”
Berpelukan, saling menatap! Berpelukan lagi, menepuk-nepuk punggung.
“Jemy!...nggak nyangka ketemu disini…apa kabar sobat?”
“Baik! Kamu? Eh…udah berapa anakmu?”
“Baik! Baik Jem! Dimana sekarang?” sahut Roby balik bertanya.
“Kamu pasti belum kawin-kawin...ha-ha-ha…” Jemy menarik  Roby keluar dari toko. “Sini….aku kenalkan kamu pada seseorang….”
 Diluar seorang wanita ditemani dua gadis remaja belasan tahun memandang mereka sambil tersenyum. “Tuuuu…kau lihat??”
Wanita itu menyongsong. “Astaga!! Roby!” menghambur, memeluk Roby.
“Rosa kamu makin gendut saja!” gembira balas merangkul.
“Roby! selama ini kemana?? Kami rindu!” Rosa menetes air matanya.
Roby diam.  Jemy ikutan merangkul. Jadi tontonan orang disekitar.
“Sudah! Sudah Ros! Nanti aku ceritaian semua!” sahut Roby  perasaannya gembira campur haru.
Jemy dan Rosa. Memandang Roby! Rosa menyeka air mata. 
“He-he-he…benar kan bu? Mataku nggak salah lihat tadi!” Jemi coba melebur hati Rosa. 
“Iya….papa nggak salah liat! “ sahutnya memaksa senyum.
Yang ditatap, senyum-senyum saja!
“Ma….” Panggil Jemy.
“Ya?”
“Dia belum kawin-kawin lho?”
“Papa tahu dari mana? Becanda kali!” istrinya berpaling memperhatikan Roby.
‘Nggak laku ya? Hikhikhik..oh ya..mana sikembar pa?” Rosa menoleh kiri kanan.
“Tuuu dibelakang mama!”
“Tatik! Tutik! ini Paman kalian! Yang fotonya tergantung diruang kerja papa! Kenalin sayang”
Roby menatap dua gadis kembar belasan tahun yang berdiri didepannya.
“Tatik Om” sahut sirambut kepang kecil-kecil.
“Tutik om” si rambut kepang dua memperkenalkan diri.
Roby menyalami dan menatap bergantian kedua gadis remaja itu. “Waah….kemenakan om cantik-cantik! Bangga dong om!” sahut Roby. Lalu menatap Rosa dan Jemy! “Hebat kalian…yaa!” pujinya.
“Makanya cepatan! Masak mau membujang terussss!” sahut Rosa.
Ha-ha-ha..hikhik….
“Oh ya hamper lupa” Roby mamandang keliling. “Yeni” Panggilnya.
“Kenalin ini Yeni!” Roby bingung mau bilang apa.
“Rosa!” sahutnya. Kagum melihat kecantikan Yeni lalu menatap Roby dengan sorot Tanya.
“Jemy!” katanya Lalu melirik Roby, alisnya miring kekiri.
Melihat itu, Roby ikutan mengerlitkan alis.
“Bahasa rahasia ya? udah kuno!” bunyi Rosa melihat gaya kedua sahabat itu.
He-he-he.
“Oh ya….ini Tutik dan TatiK!” terang Roby pada Yeni.
“Om! Tantenya cantik ya?” seru Tutik eh Tatik.
Roby tersenyum. “Tapi…lebih cantik kalian? Iya nggak tante Yeni?”
“Ho-oh….bidadari kembar dari kayangan!” sahut Yeni. “Oh ya…..sekolah dimana, kalau tante boleh tahu?”
“Di Malang tante! Kelas III SMP”
“Waooo…bentar lagi ujian Nasional dong!...Eh…guru kalian apa bisa bedain?? Habis sama! Cantik lagi” puji Yeni.
“Nggak Tante! Kami menyebut nama masing-masing!” jelas rambut kepang kecil-kecil.
“Kalau nggak gitu, bisa keliru!” sahut satunya lagi.
“oh gitu?” Lalu diam.
“Eh, gimana kalau cari tempat ngobrol?” tawar Roby
“Tempat Kongkow-kongkow maksudmu!” potong Rosa teringat kebiasaan jaman kuliah dulu.
“Tau aja si mama ya!” suaminya menyahut.
“Kalian itu, luar dalamnya aku tahu lhoooo!” gurau Rosa.
“Dimana bagusnya. Kamu tahu Yen?” sambung Roby.
 “Aku usul…kalau ada Kentuky Fried Chiken, kita kesana saja! Anak-anak seneng masakan itu. Gimana?” tantang Rosa.
“Hore…hidup mama!” sahut sikembar gembira.
“Ada! kira-kira setengah kilo dari sini! setuju?” Tanya Roby.
“Mama kalau soal makan, paling jitu nyari tempat bagus!” sahut papa.
“Kalau begitu sekarang saja! Aku bawa mobil!” terang Roby.
“Kamu udah jadi bos ya? Boleh dong sekali-kali pinjam” gurau Rosa.
“Minjam? Iiih mama, malu dong! Masak jauh-jauh dari malang pimjam mobil om Roby!” protes sikembar.
Ha-ha-ha….
“Mama cuman godaian om Roby sayang! Paman Roby ini, kawan Papa dan Mama dari duluuu. Iya kan pa?”
“Iyaaaa! Artinya, paman Roby sama dengan papa dan mama! Kalian boleh manja sama om Roby” Jemy menjelaskan  persahabatan mereka.
“Asyik dong punya om baru!”
Roby menjinjing belanjaan. “Lewat sini” Menuju halaman parker.
Roby dan Jemy duduk depan, Yeni, Rosa dan sikembar dibelakang.
“Om mobilnya antic ya? Tapi keren lhoo!” puji Tati.
“Dari dulu paman Roby sukanya barang antic!” Jemi tersenyum pada Roby.
“Husst!” sambut Roby geleng-geleng. Mengerti maksud Jemi.
“Om…puterin kaset ini dong!” pinta tutik menyodorkan kasette group band Piter Pan.
Roby memutar tape. Hits terbaru Peter Pan mengiringi Roda jeep menuju restoran cepat saji Ketucky Fried Chiken.
“Ada Apa denganMu!” Tanya Peter Pan.

“Jadi kalian sedang liburan?” Tanya Roby sambil menikmati podeng coklat.
“Anak-anak yang liburan Rob. Kami ikutan saja! Mereka……” Rosa melirik meja sebelah. Dimana Yeni berhadapan dengan si kembar. “pingin liat Tenggarong dan Pulau Kumalanya!”
“Aku baca di Koran pemkab Kutai membangun Replika Indonesia di  Pulau itu?! Pas anak-anak liburan, sekalian liburan keluarga! Makanya ketemu kamu disini!” sambung Jemy.
“Tapi, ngomong-ngomong kamu belum jelaskan siapa gadis cantik itu??” bisik Rosa.
“Pacar kamu? Atau salah satu koleksi barang antikmu? Ha-ha-ha….” Timpal Jemy.
“Sembarangan! dia cuman teman biasa!”
“Temen atau temen?” sahut Rosa.
“Rob di Shoping Center tadi, kami cukup lama mengamati kalian lhoo! Mulanya Rosa nggak yakin kalau itu kamu. Lalu kami diam-diam ngikutin! Jadi kalau temen biasa Tidak mungkin semesra itu? Iya nggak ma?”
“Kalian dari dulu nggak berubah! Suka usil urusan orang!”
“Yang tidak berubah? Ya kamu! Nyatanya, masih seperti yang dulu! Tuuu! hasil perubahan kami!” sahut Rosa menunjuk si Kembar.
Ha-ha-ha…hikhikhik…
“Oh ya….kapan tiba dari Malang? Trus nginap dimana??”
“Kemaren sore. Nginap di Hotel Balikpapan! Besok akan terus ke Tenggarong, mau ikutan? Atau mau ngongkosin? Pilih aja, mau yang mana?” sambar Rosa.
“Aku serius! Selama disini aku traktir sampai pulang kemalang! Hitung-hitung Nostalgia…..” pinta Roby lalu menyulut Kretek. Tinggg.
“sekarang Kamu banyak uang Ya! Nggak kere lagi?”gurau Jemy.
“Nggak ngebon makan kewarung lagi ya? Hihihi…”
ha-ha-ha…hihihi.
“Roby, kalau melihat tongkrongan dan gayamu? Hidupmu sukses! Tapi mengapa selama ini, tidak pulang menjenguk mamamu?”  Rosa serius.
“Iya beliau sering Tanya! Selama ini kami fikir kamu…….”  Jemy ragu.
“Koiiiit!? Maksudmu?” sahut Roby cepat.
“Maaf, dua puluh tahun nggak ada berita!” jelas Rosa.
Roby menarik nafas. “Sooory! semua salahku! Aku  nggak ngasih kabar!”
“Boleh! Boleh perlakukan kami seperti itu, tapi mamamu? Adik-adikmu? Meskipun dia hanya mama tiri! Kamu tetap harus perhatiin” sambung Rosa.
“Rosa betul… Sejak Papamu meninggal hidup mereka menderita! Jelek-jelek begitu beliau  mamamu juga? Terlebih adik-adikmu!”
“Eh, si Mirah udah nikah lho? Suaminya orang Bali. Anak mereka udah dua! Jemy walinya saat mereka nikah! Si Lilik udah kuliah, Adik bungsumu itu pintar” terang Rosa.
“Mereka pasti gembira mendengar kau masih hidup!” sambung Jemy.
Roby diam. Rautnya berubah-ubah. Kemerahan, kehitaman. Manatap Rosa dan Jemy bergantian, lalu asyik dengan kreteknya.
“Kamu mesti nengokin mereka di Mojokerto!” Rosa mengingatkan.
“Mojokerto?”.
“Iya Mojokerto! Mereka pindah kesana kurang lebih delapan tahun lalu!” jelas Rosa.
“Lalu, yang disurabaya?”
“Udah dijual. Untuk modal usaha mamamu! Tapi gagal. Dari situ hidup mereka menderita!” terang Jemy.
“Kalian kan tahu!? Waktu papa masih ada, mama perlakukan aku tidak adil! Sampai papa mengusirku. Seingatku terakhir bertemu saat pemakaman papa! Waktu itu, mama curiga bahwa property peninggalan papa. Akan kurebut, karena itu aku tidak pernah pulang!”
“Sekarang kondisinya beda! Seluruh peninggalan papamu ludes! Mereka hanya mengandalkan pengsiun almarhum papamu. Untuk hidup di jaman sekarang, mana cukup! Belum lagi kebutuhan Lilik!  Selama ini kami berusaha membantu, tapi  kan terbatas!”
“ini alamat mereka di Mojokerto!” sodor Jemy.
“Trimakasih, aku pasti menjenguk mereka!”
“Naahhh itu baru Roby! Paman si kembar!” puji Rosa.
Roby tersenyum.
“Timakasih sudah mengingatkan! Selama ini aku sering merenungkan mereka! Beberapa tahun lalu, aku singgah ke Surabaya. Tapi rumah itu sudah orang lain! Lalu..aku ke percetakan…disana aku di beritahu kalau property-properti itu bukan lagi milik keluarga. Semenjak itu,  aku tidak pernah lagi mencari!” menyulut Ji Sam Su. “ Awalnya aku memang sakit hati! Akhirnya aku lupakan semua itu! Aku Pasti menjenguk mereka! Trimakasih kalian sangat memperhatikan!” sahutnya Mantap, menatap kedua sahabatnya.
Di meja seberang, si kembar dan Yeni bercanda  Sambil menikmati ice Cream coklat.
Di luar, lampu-lampu jalan mulai menyala.
“Oh ya rencana ke Tenggarong bagaimana?”
“Besok kami lanjut kesana. Katanya sekitar 100 san kilo ya?” sahut Rosa.
“Ya sekitar itu! Oh ya nanti Yeni akan mengatur seluruh perjalanan dan akomodasinya. Kalian tenang-tenang saja dan nikmati liburannya!”
“Ohhh jadi…dia asistenmu?” bisik Rosa. “cantik lhooooo”.
Roby senyum lagi.
“Sobat, sebelumnya terimakasih! Bukan kami….” Timpal Jemy.
“Jemy! aku gembira atas pertemuan ini! Disamping itu, kalian bukan orang lain untukku! Meskipun puluhan tahun tidak bertemu, persahabatan ini tetap seperti dulu!” potong Roby.
“Ok..trimakasih! Tapi ingat?!” sambar Jemy.
Roby menatap serius.
“Punya asisten secantik dia berbahaya! Ha-ha-ha!”
“Ah kirain apa!”
he-he-he… ketiganya tertawa lepas. Orang-orang dimeja seberang menjadi heran.
“Papa ngetawain kami ya?” timpal Tutik setengah teriak.
“Hust! Papa dan mama lagi seneng ketemu om Roby” nasehat Tatik.
Yeni hanya diam memperhatikan. Ia suka sekali ngobrol bersama si kembar yang ceriah itu.
“Anak-anak, udah malam! Kita ke hotel yuuk! Besok bisa ketemu Om Roby dan Tante Yeni lagi”
“Kan belum larut ma!!” sahut Tutik manja.
“Lagian…ice creamnya belum habis!” sambung Tatik tak  mau kalah.
“Lhoo-lhoo! kayak dirumah saja! Ingat besok kita ke Tenggarong! Supaya tetap seger  mesti banyak istirahat! Tuuu,  Om Roby  udah siap-siap. Yook ah” Ajak Rosa.
“Besok! Tante Yeni ngantar ke Tenggarong!” jelas Roby diatas Jeep.
“Waah asyik dong! Eh, bener tante?” sahut Tatik kurang yakin.
Mendengar ucapan itu Yeni terkejut! Benih yang terpendam baru mulai mekar terhadap Roby. Tapi teringat bahwa Roby  Big Bosnya. Yeni tidak protes.
“Ya! Kan om Roby udah bilang!” sahut Yeni.
“Hore!” sambar Tutik senang.
“Hust…kayak anak ABG aja!” gurau Jemy pada kedua anaknya.
“Emang!” sahut sikembar bersamaan.
“Puterin lagu yang tadi om!” sambung Tutik.
“Hei, anak mama koq mulai nggak sopan ya?” tegur Rosa.
“Ihh mama, gitu aja koq, om Robynya nggak marah? Iya kan om!”
“He-eh! Mana om tega sama keponakan cantik-cantik kayak kalian ini!” Gurau Roby sambil mutar tape Mobil.
“Cantik mana ama tante om?” sahut Tatik polos.
“Tatiiik!” plotot Rosa.
“Sory ma!” sahutnya.
“Naah udah nyampe nih!” kata Roby disela-sela senandung Peter Pan.
“OM Roby makasih fred chiken dan ice creamnya. Tante Yeni jangan lupa ya..” 
“Om…kapan-kapan, Tatik mau lagi lho!”
“Hust sama om Roby koq gitu!” Tegur Jemy.
“Kan omnya Tatik pa? masak nggak boleh? Daag om! Daa tante!” sahutnya lincah.
“Daaaa sampe besok ya?” jawab Roby.
“Rob, makasih! Hei anak-anak, belanjaan kalian nich!...” sambar Rosa melihat si kembar buru-buru masuk hotel!
“Ah mama! Kebelet niiihh!” sahut Tatik setengah teriak, Tutik sudah menghilang.
Rosa dan suaminya hanya geleng-geleng.
“Sobat, makasih atas semua! Besok ketemu dimana?” Tanya Jemy.
“Pagi-pagi kami kesini. Jeep ini kalian pakai. Di Tenggarong nanti,  kalian boleh tukar dengan kendaraan lain. Yeni siap melayani, iya nggak Yen?”
“Iya mas! eh pak!” jawab Yeni gugup.
Melihat itu, Rosa melempar senyum pada Roby. Jemy mengangguk-angguk menatap penuh arti.
“Baiklah, kami pergi dulu! Salam untuk anak-anak! Daaa…”
“Daa…!”

Pkl. 21.30 Jeep masuk halaman Hotel Grand Senyiur,
“Aku antar kamu dulu ya?”
“Trimakasih mas!”
Masuk Lift, naik kelantai dua. Menyusuri koridor Hotel.
“Masuk yok!” tawar Yeni.
Melangkah masuk,   Yeni menutup pintu lalu meletakkan belanjaannya.
“Duduk mas! Mau  oreng’s”  lalu membuka Lemari pendingin di sudut kamar.
“Air putih deeh!”
Yeni menghidangkan Agua gelas dan duduk disamping Roby. Memperhatikan Roby yang menyobek dan meneguk  Agua. Tahu sedang diperhatikan lalu menoleh. Dua pasang mata bertumpu jadi satu.  Yeni melawan tatapan yang menggetarkan hatinya itu. Tunduk. Jantungnya berdegup! Tapi lebih kencang jantung Roby.
“Hm…!” hanya itu suara Roby. Lampu yang temaram, membuat gadis didepannya makin menawan! Tiba-tiba Yeni mengangkat wajahnya, dadanya bergerak turun naik. Menatap mesra, mempesona! Adrenelin Roby sampai diubun-ubun.
Seketika Yeny merangkul, Roby membalas. Tahu-tahu bibir Yeni menindih bibirnya. Hangat!  Merangsang sayaraf-sayaraf sensitive dikedua tubuh mereka. Terbanting keSofa, bergulingan. Nafas memburu. Sepasang Tangan saling meraih. Menarik. Meraba. Menyebrangi batas-batas. Zone terlarang hilang sudah. Jemari liar menelusup kebalik kaos. Jemari Yeni melenggak-lenggok! Jari Roby menari-nari! Tarian merasuk sukma. Terlena!
Gunung kembar teremas, Yeni menggelinjing. Pakain tersibak. Busana Roby tanggal. Menindih! 
Roby berontak melepas rangkulan, bangun, duduk membelakang!  Keduanya setengah Telanjang.
“Maaf Yen!” bisik Roby.
Yeni yang sudah sampai pada puncak birahinya berbalik, mengenakan busana tanggal.
“Maafkan aku!” ulang Roby.
“Yeni salah pak! Tadi pinginnya ciuman saja! Maaf pak!” sesal Yeni.
“Bukan! Bukan kamu! Tapi aku!” Roby membenahi pakaianya. “Aku terus kekamar! Sampai ketemu besok!”
“Tunggu pak!” cegah Yeni lalu mendekati Roby. “ Bpak jangan salah sangkah! Yeni bukan cewek murahan! Tadi…” Memeluk Roby dari belakang. “Yeni Cuma pengin ciuman!”
Roby membalik badannya. Memegang Bahu si cantik menawan ini. Menatap kedalam bola mata Yeni.
“Aku percaya! Kamu gadis baik-baik!” hibur Roby.
“Pak….”
“Yaa?”
“Yeni mencintai bapak, bahkan sudah lama!” Jelas Yeni jujur. Selesai bilang begitu! Yeni sembunyi wajah kedada Roby yang bidang. Meski terkejut, kali ini Roby mampu menguasi perasaan. Membelai-belai rambut hitam Yeni.
“Yaa! Trimakasih Yen! Aku bangga mendengar itu. Tapi, kamu harus ingat usia kita jauh beda!”
“Yeni udah dewasa pak! Yeni bukan gadis remaja lagi!”
“Yeny, dengar…” mendorong halus dan mengangkat dagu Yeni. “Aku juga menyukai kamu. Tapi aku tidak tahu apakah mencintaimu! Kuakui, kamu menawan, cantik!” tatap Roby. “Ingat,  baru beberapa hari ini kita akrab. Perlu waktu Yen!”
Yeni diam sejenak. “Yaaa, Yeni paham maksud Bapak!”
“Naa sekarang kamu istirahat. Besok ada tugas!”
“Trimakasih pak! Maaf pak!” sahutnya lalu memeluk Roby.
“Aku juga minta maaf ya!” mengecup bibir Yeni lalu melangkah keluar kamar. “Selamat malam Yen!”
“Malam pak!”

Pukul sepuluh pagi jeep Wilis antic itu masuk pelataran Hotel Balikpapan. Disamping Roby, Yeni duduk membisu. Make up tipis yang merias wajahnya tak mampu menutupi raut yang kusam. Roby perhatikan hal itu! Setelah mematikan mesin, Roby berpaling.
“Kamu kurang tidur ya?”
“Eh..anu”
“Yeni, yang semalam jangan diingat lagi! Harusnya kita bersyukur nggak lebih dari itu!” membuka pintu. Menyambar Zipo. Tiiing! sebatang kretek tersulut. “Beberapa hari  ini aku perhatiin kamu. Kamu perempuan menawan! Cantik dan pandai! Selama ini aku memandangmu sebatas karyawan saja! Kalau sekarang seperti ini terlalu cepat untukku!” menghisap kretek. 
“Maafkan Yeni pak!”
“Tidak. Kamu nggak salah! Mencintai dan dicintai itu hak setiap orang! Termasuk kita! Hanya, waktunya yang nggak pas! Kamu….” Roby menggantung kalimat, menghisap kretek lalu menatap Yeni. 
“kamu gadis muda, aku lelaki setengah baya! Usia kita jauh beda!”
“Maafkan Yeni” suaranya tenggelam di tenggorokan. Menunduk, tatapan Roby kali ini tak kuasa dibalasnya. Ucapan itu bagi Yeni penolakan. Tiba-tiba ia merasa melayang tinggi! Tinggi sekali, lalu mendadak jatuh menghempas di bebatuan tajam. Kejadiannya begitu cepat.
“Yen? Yeni!” Roby menguncang bahunya. “kamu sakit?”
“Ti…tidak pak!” matanya terbuka, sembab.
“Kalau sakit nggak usah ke Tenggarong!”
“Yeni nggak apa-apa koq!”
Roby kawatir, Yeni tiba-tiba rebah ke sandaran jok mobil.
“Bener pak! Yeni sehat!”
“hm….kamu yakin?!” tegas Roby.
Yeni  mengangguk.
“Okey Aku percaya! Mengenai hubungan kita, biar waktu menentukan!” Roby mencium keningnya.
“Trimakasih pak!”
“Naah…itu Jemy dan keluarganya, kamu siap-siap! Nanti aku naik taksi! Oh ya…sebelum hari sabtu kamu sudah disini! Bicarakan baik-baik dengan Jemi atau Rosa rencana mereka! Sebelumnya trim’s ya! Hei Jemy…kami disini!” teriak Roby melongok dari pintu sambil melambai. Menghidupkan mesin, beringsut  mendekati Rombongan Jemy.
“Rob. Kami pergi dulu…sampai ketemu minggu depan!” seru Jemy dari belakang kemudi,  rombongan itu siap berangkat.
“Hati-hati di perjalanan…sampai jumpa!” sahut Roby.
“daa…..”
“Daaaa!”

Kamis Siang, Rombongan Richard tiba di air port spinggan Balikpapan. Tampak, Sherly, Sri, Tina dan Obed beserta beberapa staf. Richard membawa rombongannya menuju Hotel Grand senyiur. Ingan sedang menunggu di Loby.
“Hai, Richard! Apa kabar?” sambut Ingan hangat, saling menepuk bahu.
“Baik bung! Kawan-kawan lain?”
“Sore ini mereka nyusul! Banyak juga rombonganmu ya?”
“Bung Ingan, kenalin. Bu Sherly, bu Sri, bu Tina, pak Obed yang disana semuanya staf. Beliau wakil direktur untuk devisi Kalimantan!”
“Pak Richard ada-ada saja!” Ingan menyalami mereka. “Oh ya! Direktur minta maaf nggak bisa menyambut rombongan pak Richard. Beliau sedang rapat dengan Wagub di Samarinda”
“Nggak apa-apa! Emang orang penting? Masak direktur mau nyambut kita?! Pak Ingan bisa aja!”
“Beliau pesan begitu! Namanya amanat, ya harus disampaikan! Oh ya, kamar-kamar udah disiapkan langsung saja” Ingan melambai pada seorang Karyawan. “silahkan pak Richard dan ibu-ibu menuju kamar masing-masing. Oh ya, nanti pkl 8 malam ada pra meeting. Semacam sering untuk hari sabtu!”
“Beres! Devisi Sulsel siap bung!”
“Pasti,  pak Richard kan andalan kita!” puji Ingan.
“Pak Ingan becanda kali!” Richard merendah meski kentara bangganya.
“Kalau ngobrol terus, bisa-bisa seharian disini. Silahkan kekamar anda dulu, nanti kita sambung lagi!”
“Baik trimakasih bung!”
Sepeninggal sejawatnya dari Sulsel, Ingan menemui manager hotel.
“Kami bangga dapat menyediakan akomodasi untuk kegiatan perusahaan Bapak!” sambut Manager.
“Trimakasih! Saya ingin mengetahui apakah kebutuhan kami sudah terpenuhi!”
“Jangan kuatir pak! Semua kebutuhan Raker sesuai proposal yang kami terima sudah tersedia! Tinggal menunggu pelaksanaannya. Oh ya, maaf,  pastinya berapa person?”
“sekitar 200 orang! Ada kendala?”
“Ooh tidak! Saya hanya memastikan!” sahut manager hotel.
“Oh ya ini time scedul kami!” Ingan menyodorkan map.
“Trimakasih!” membuka membaca isinya. “di mulai malam ini ya?”
“Ya! Siang ini staf kami akan mulai bekerja! Apa ruangan udah siap?”
“Sebentar pak” Manager Hotel mengangkat telepon lalu berbicara dengan seseorang. “Udah siap pak! Di lantai tiga. Kalau bapak ingin meninjau, saya antar!” tawar Manager Hotel.
“Boleh!” lalu berdiri tergesa menuju pintu dan membukanya.
“Trimakasih!” sahut ingan pendek.
Sementara itu, di samarinda Roby baru selesei rapat bersama Wagup bidang Kesra. Wagup meminta agar para pengusaha  Kalimantan Timur memperhatikan pendidikan Masyarakat asli yang tertinggal jauh dari penduduk lainnya. Roby mendukung ajakan, setelah rapat Roby minta bertemu secara pribadi dan  diterima diruang kerja Wagub.
“Trimakasih pak Roby. Anda tanggap terhadap masaalah ini dan meluangkan waktu bertemu saya!” sambut wagup.
“Maaf aktifitas Bapak terganggu!” Roby merendah.
“Tidak sama sekali! Justru saya bersyukur,  pengusaha sebesar  anda meluangkan waktu untuk hal-hal seperti ini! Oh ya,  panggil saja dengan sebutan Hansen! Nggak usah pake wagub-waguban segala” pinta Wagub yang dalam hidup sehari-harinya amat sederhana. Beliau asli suku Daya.
“Trimaksih pak Hans! Kembali ke masaalah yang dijelaskan dalam rapat tadi.  Saya siap menyisihkan laba perusahaan untuk beasiswa! Asal programnya jelas dan tepat guna!”
“Trimakasih! Kalau setiap pengusaha berhati dan berfikir seperti anda program ini pasti akan memberi hasil baik bagi masyarakat pedalaman! Oh ya, berapa kerelaan anda untuk itu?” Tanya Hansen to the point.
“Hm, untuk sementara sepuluh orang study Strata satu.  Masing-masing lima tahun” jawab Roby yakin.
“Sepuluh orang?” Hansen menatap Roby.
“Benar pak! Saya sanggup asal benar-benar putra daerah dan dari keluarga tidak mampu!” Roby balik menatap. “Karyawan saya banyak putra daerah.  Beberapa diantaranya sedang kuliah di Jogyakarta atas beaya perusahaan!”
“Saya dengar seperti itu. Sebenarnya ide ini saya adopsi dari Perusahaan Anda. Sebagai putra daerah yang kebetulan dipercaya rakyat dalam jabatan ini.  Saya sangat beruntung. Tapi diluar sana, jutaan orang tidak seberuntung saya!”
“Pak Hans terlalu merendah!”
“Benar pak Roby! Saya tidak mengada-ada! Saya berterimakasih, baik atas nama pemerintah daerah maupun atas nama pribadi. Semoga pengusaha lain dapat mencontah Bapak. Oh ya, kalau ada kesempatan, kami sekeluarga akan sangat senang menyambut pak Roby dirumah! Kapan ada waktu pak?” undang Wagup.
“Suatu kehormatan bagi saya Pak! Trimakasih banyak! Seminggu kedepan schedule saya padat!” Roby mengeluarkan memo elektronik dan memijit beberapa hurup. “Bagaimana kalau sabtu ke 2 sesudah hari ini?”
“Boleh! Kebetulan anak-anak dan cucu saya pada ngumpul! Mereka libur semesteran! Kalau malam gimana?”
“Saya akan datang pak! Sungguh saya merasa terhormat!” sahut Roby.
“Persoalan ini kita bahas pada saat itu saja! Kebetulan istri saya dipercaya oleh teman-teman Persatuan Daya’ Kalimantan Timur mengelola sebuah Yayasan Nirlaba yang bertujuan membangun pendidikan Gratis di pedalaman. Harapan kami bahwa anda membawa ide-ide segar!”
“Dengan senang hati pak! Boleh saya mendapat nomor pribadi bapak?” pinta Roby.
“Mengapa tidak? Ini kartu nama saya dan ini kartu nama Istri saya! Nanti saya akan cerita kepada ibu. Beliau pasti gembira mendengar!” sambut wagub senang.
Tiba-tiba terdengar pintu diketok.
“Masuk!” perintah wagub.
“Maaf pak! Sepuluh menit lagi bapak ada pertemuan dengan komisi E!”
“Oh ya, trimakasih bu Silent”
“Sama-sama pak, selamat siang” lalu keluar.
“Saya mohon pamit pak!”
“Waaah padahal saya senang bercakap-cakap dengan anda! Sayang schedule saya padat! Sampai berketemu kembali!”
“Trimakasih! Selamat siang pak Hans!” Roby menyodorkan tangan.
“Trimaksih! Selamat siang!” mengantar Roby sampai pintu keluar.

Dari Kantor Gubernur Roby, menuju Tenggarong. Rencananya sore ini terus ke Balikpapan.
Heriansyah, Dedi, bersama beberapa personil pemasaran sedang bersiap berangkat ketika mobil Roby masuk pintu gerbang perkantoran PT Betue. Heriansyah menyambut diikuti Dedy.
“Selamat Sore pak direktur!” sapa Heri. Roby keluar dari mobil.
“Sore Her! Dedy! Siap berangkat? Mana lainnya?”
“Pada ngumpul di Hall! Kami sedang tunggu Bus!” sahut Dedy.
“Lho busnya kemana? biasanya parker disitu!?”
“Sedang ngisi bensin pak!” sambar Heri.
“Oh! Eh, bagaimana keluarga kalian? Trus istri si awang  udah melahirkan ya?”
“Keluarga sehat-sehat pak!  Istri pak awang udah melahirkan, bayi Lelaki!” terang Heri.
“Oh syukur deh! Awangnya mana?”
“Lagi isi bensin pak! Beliau yang akan ngantar ke Balikpapan!” terang Heri lagi.
“Oh, suruh menghadap! Saya tunggu dikantor. Salam untuk teman-teman! Selamat siang”
“Selamat siang pak direktur!”
Roby menuju bangunan utama perkantoran PT Betue. Bangunan ini sitekturnya menyerupai Lamin Etam khas suku Daya.
“Siang Yen! Kamu lagi ngapain?”
“Eh…siang pak!”  Yeni kaget tiba-tiba Roby muncul disitu.
“Sibuk? Ngerjaian apa?” sambung Roby menghampiri.
“Eh anu pak..sedang…” Sierrr…Yeni salah tingkah.
“belum berangkat?”
“Saya nyusul entar malam! Eh…slidenya baru saya kerjain pak!”
“Okey kalau gitu!” Roby terus ke ruang kerjanya. Pura-pura bersikap seperti dulu. Padahal,  hatinya juga bergejolak.
Yeni curi pandang, Roby membuka pintu dan hilang disana. Ada sesuatu yang tak mampu ia jelaskan tiap kali melihat Roby. Beberapa hari belakangan ini, ia kehilangan konsentrasi. Pekerjaan kantor yang biasanya  mudah jadi  sulit baginya. Sejak meninggalkan Balikpapan beberapa hari lalu, cintanya mengelembung berbuah Rindu. Rindu yang terbawa kemana-mana, di kantor, dirumah, dalam perjalanan. Seperti sekarang! Jantungnya serasa copot tiba-tiba Roby muncul.
“Untung mas Roby cepat-cepat masuk ruangan! Kalau tidak, bisa ketahuan perasaanku” bisik Yeni.
“Siang bu Yeni, saya diperintah menghadap!”
“Waduh…..pak Awang! Ngagetin aja!” sambar Yeni. “Sebentar pak!” Yeni memijat tombol dihadapannya. “Pak Awang mau menghadap, pak!”
“Silahkan! Sekalian kamu!”
Deg! Jantungnya berdebar kencang. “Baik pak”
“Silahkan duduk! Yeni, tolong kopinya! Pak Awang minum apa?”
“Eee..anu….air putih aja!”
“Lhooo koq air putih?”
“Anu pak kami tergesa, mau nganter ke balikpapan!”
“Oh ya! selamat atas kelahiran putramu ya? Maaf belum sempat kerumahmu! Tolong sampaikan salam saya keistrimu. Anak keberapa Wang?” Roby mendekat lalu menyalami.
“Ke tiga pak!”
“Hebat! Tapi, kalau bisa ikut KB ya? Supaya kamu bisa hidup sejahtera! Kalau terlalu banyak anak, sementara penghasilan tidak memadai anak istrimu bisa menderita! Masak mau, seperti itu?”
“Iya pak! Saya laksanakan amanat bapak!”
“Husst, ini bukan amanat Wang! Hanya saran dan ini untuk pembeli susu anakmu! Kasih istrimu ya!”
“Trimakasih pak!” Awang berdiri dan menerima hadiah bossnya.
“Kalau bawa bus jangan ngebut? Hati-hati”
“Iya pak! Amanat Bapak saya laksanakan! Saya boleh permisi pak? Yang mau berangkat udah pada nunggu!” pinta Awang sopan.
“Air putihnya diminum dulu! Kasihan Yeni udah nyediaian!”
“Trimakasih pak!” sekali teguk habis. “Saya permisi. Sekali lagi trimakasih pak direktur!” sambung Awang membungkuk gembira.
“Sama-sama pak! Sampai ketemu dibalikpapan!”  Setelah Awang menutup pintu, Roby berpaling pada Yeni.
“Gimana? udah selesai kerjaanmu?”
“Sebentar lagi pak! Masih ada beberapa Slide!” menunduk jantungnya berdebar.
“Kalau gitu kamu selesaikan saja! Ke Balikpapannya bareng ya?!” tatap Roby.
“E..e..iya trimakasih! Sa…saya permisi pak!” sahut Yeni buru-buru hendak keluar, kawatir Roby tahu betapa kacau persaaannya. Betapa berbunga Hatinya.
“Nanti aku telepon kamu! Aku mau ngeliat proyeknya Zaini! Dia ada ya?”
“Udah berangkat duluan tadi pagi pak!”
“Nggak apa-apa! Aku cuman jalan-jalan aja kesana! Eh, soal si kembar gimana?”
“Mereka nginap di Pulau!”
“Bagus! Nggak usah britahu kalau aku kesini! Nanti si Rosa protes”
“Iya pak! Bapak mau berangkat sekarang?”
“Iya…emang nunggu minggu depan?” gurau Roby.
“Maaf pak Direktur!”
“Yeni! Aku pernah bilang,  kalau hanya berdua nggak usah formal!?”
“Sekarang jam kantor pak, jadi Yeni mesti”
“Ya suda, terserah kamu! Aku berangkat ya? Oh ya, ntar malam jam berapa?”
“Mungkin jam 8 baru Yeni selesai pak!”
“Okey! sampai ketemu!” Menyambar tas kerja. Menuju pintu.
“Kopinya pak!” suara Yeni dibelakangnya. Tangannya menyodorkan cangkir.
Braaak! Pranng! Air kopi membasahi sebagian seragam Yeni dan Celana kerja Roby. Cangkir berkeping-keping dilantai.
“Maaf pak! Yeni nggak sengaja!” buru-buru melap tumpahan kopi di celana bosnya.
Roby buru-buru melap tumpahan kopi dibaju sekretarisnya. Semua Reflek!.
Tersentuh begitu darah Yeni berdesir! Pikirannya tak karuan. Tangan Roby yang mengibas-ngibas di bagian depan tubuhnya dirasakan seperti elusan. Terlena, terpana.
Dengus nafas Yeni dan Aura yang terpancar, menyihir Roby. Begitu dekat, mempesona.  Hanya sepersekian detik  bibir Yeni dipagut, diterkam. Satu menit, dua menit.
“Mas…” 
Telepon berdering.
“Mas…!”
Roby terlena, Yeni hanyut disitu.
Telepon kembali berdering.
Roby melepas pagutan, Yeni menghampiri telepon.
“Dari pak Ingan! Rombongan Sulsel sudah di balikpapan!” terang Yeni meletakkan Gagang.
Saling pandang. Menantang. Roby meraih melumat bibir Yeni. Satu menit. Dua menit.
Telepon berdering  lagi.
“Mas…ah”
Roby menyambar gagang, wajahnya terlihat kesal. Yeni, mengatur nafasnya. Lalu duduk dikursi. Pecahan cangkir dibiarkan berserakan dilantai. Meletakkan gagang telepon, lalu duduk disamping Yeni.
“Yeni…” menatap “aku nggak mau munafik! Kalau terus menerus begini bisa-bisa kita jatuh dalam dosa” Roby memegang pundaknya berusaha mengatur nafas yang memburu. “Bulan depan,  aku temui papa mamamu. Kamu mau jadi istriku?” putus Roby tiba-tiba.
seperti kilat menyambar siang bolong! Yeni amat terkejut! Melongo! Mematung.
“Yen?.....” meraih, mendekap. “Kamu mau jadi istriku?”
Tubuh Yeni lemas. Dibiarkannya Roby mendekap tubuhnya. Nafas Yeni memburu, terasa lewat dadanya yang berirama turun naik.
“Yeni….aku mau jadi suamimu, apa kamu terima?” bisik Roby ditelinga.
Ia balas merangkul. ”Mau mas! Sekarang biarkan aku tenggelam kedalam tubuh mas!”
Roby melonggarkan pelukan. Mengangkat dagu Yeni.
“Aku mencintaimu!” mesra.
Hanya anggukan.
“Nggak nyesel?”
Anggukan. “Bener! Nggak nyesel, seumur hidupku mas!”
“Timakasih Yen! Akhirnya ku sadari bahwa aku mencintaimu”
Berpelukan lagi. Lalu bisu. Air mata bahagia, deras mengucur dipipi Yeni.
Aneh??? Memang!!!  Cinta, itu buta! Buta, itu cinta. Roby dan Yeni tahu makna kalimat ini.
“Lebih baik kamu ganti baju dulu. Kalau ada semut yang ngerubungin kamu, bisa-bisa aku cemburu!” gurau Roby.
“Mas juga deh! Kalau ada semut merubung pahanya,  bisa-bisa mati cemburu aku!”
“Hm…I love you!”
“Koq pake bahasa inggris mas?”
“Lebih gampang ngucapinnya!”
“Kalau gitu I love you too mas!”
He-he-he….hikhikhik!
“Udah mas! Malu ah!”
“koq…”
“Pokoknya malu!”
“Nnnnng??”
“mas?”
“Ya?”
“Makasih ya! Yeni pikir, mas menolak!”
“Truss”
“Ya nggak konsen?”
“Truss?”
“Adowww!”
“Maaf mas! Nggak sengaja!”
“Nggak sengaja koq nyubitnya milih!”
“Habis…mas,….malu ah!”
“Malu koq bilang!”
“Masih mau ngerasian ya?”
“kapok deeh! Ngerasain bibirmu aja!”
“Udah mas! Yeni…”
“Okey kalau gitu. Sekarang kamu mesti selesaikan tugasmu! Aku ke proyek perumahan dulu ya?”
“Iya mas!” Menggandeng Roby keluar.
“Sampai nanti Yen!”
“Daah mas!”
“Husst…sama direkturnya koq gitu!” canda Roby.

Di Balikpapan Ingan dan Richard sibuk menyusun bahan untuk kegiatan Raker. Beberapa Personil devisi Kalimantan dan Sulsel membantu, termasuk Sri dan Tina.
“Jadi Pak Direktur tiba malam ini ya?”
“Ho-oh, begitu kata pak Ingan. Emang kenapa Sri?” 
“Apa nggak penasaran? Hamper tiga semester kerja disini tapi pemilik perusahaan belum di kenal! Aku dengar beliau masih muda! Katanya belum cukup empatpuluhan!”
“Truss?”
“Ya penasaran saja!”
“Eh…udah nelpon Bos kecil belum?”
“Udah! Charmelita bilang besok baru bisa terbang! Ada masaalah Sri?”
“Soal Ini!” Sri menyodorkan map kuning.
“Apaan?”
“Baca dong!” perintah sri.
“Oh…nggak usah kawatir! Charmelita bisa dipegang janjinya koq!”
“Tadi pak Richard minta, malam ini kita shering kedevisi Kaltim. Disket sama Charmelita!”
“Kamu kan ahlinya! Masa gitu aja mau pake disket!”
“Emang kertas-kertas itu bisa dimasukin infocus?”
“Hikhikhik…yang bilang begitu siapa?”
“Awas kamu ya!” ancam Sri.
Ingan yang kebetulan melintas disitu, menghampiri mereka.
“Ada yang perlu saya bantu?”
“Eh..pak Ingan! Malam pak!” sambut Tina.
“Ini lhooo si Tina, bikin gara-gara melulu!” keluh Sri.
“Cari bantuan ya? Biasanya sama pak Richard! Hikhikhik!”
“Maaf pak! Hanya bergurau!”
“nggak apa-apa bu Sri! Oh ya pak Richard bilang devisi Sulsel sedang Risert Kloning ya? Katanya anda anggota team risert? Cerita dikit dong!” pinta Ingan sambil duduk disalah satu kursi.
“Bu Sri bintangnya pak! Bapak boleh nanya apa saja mengenai hal itu. Gimana Sri?”
Sri melototin Tina.
“Oh ya malam ini kita shering bersama seluruh Manager cabang dari Devisi Kalimantan maupun Sulsel.  Jadi, sebelum hari Sabtu, sudah ada inti bahasan! Maunya direktur gitu!” sambung Ingan.
“Eh boleh nanya pak?” tawar Sri.
“Lhoo, permintaanku belum dijawab malah nanya” gurau Ingan.
“Big bos kita gimana orangnya! Udah Tua atau masih muda pak?”
“Hengg????, emang belum ketemu??” Ingan heran, menatap Tina. Yang ditatap mengangguk-angguk.
“he-he…gimana ya? Sulit aku jelasin! kalau bilang tua ntar salah. Bilang muda ntar salah juga! Gimana ya?” sambung Ingan jual mahal.
“Dengan pak Ingan mana lebih tua?” sambar Tina.
“Atau sama pak Richard deh” timpal Sri.
Ingan melihat kiri kanan mencari Richard. “Pak Richard….” Teriak Ingan.
Richard yang sedang sibuk diNotebook kontan menoleh. Berdiri, menghampiri.
“Ini lhooo…mereka pingin tahu soal bigbos! Mungkin anda bisa bantu!” sambung Ingan becanda.
“Sudah ku bilang, malam ini pasti ketemu! Beliau dalam perjalanan!”
“Penasaran siih!” sambung Sri.
“Beliau kurang lebih seumur saya!” gambar Ingan.
“Berarti masih mudah dong! Lebih mudah dari pak Richard! Eh maaf bos!”  celetuk Sri.
“Emangnya aku tua-tua banget?”
“Ho-oh tuu, Tanya pak Ingan!” sahut Tina sambil menutup mulutnya.
Ingan hanya mengangkat tangan, mimiknya lucu.
Ha,ha,ha! Hikhikhik! Ruangan penuh tawa.
“Udah guraunya! Kerjaanku jadi terbengkalai!” komentar Richard siap kembali.
“Pak Richard, bu sherly kemana? Dari tadi kami nggak ngeliat?” cegah Sri.
“Di kamar, lagi persiapkan data! Kalian?”
“Tanggung beres bos! Tinggal cuap-cuapnya. Jam berapa mulai?”
“Tanya tuan rumah tuu!” Richard menunjuk Ingan.
“Tadinya jam 8! Tapi diundur sampai selesai makan malam!” Ingan melihat jam tangannya.
“Waktunya masih panjang, Kita ngobrol aja”  sambar Sri.
“Boleh! Anda berutang penjelasan? Bayar sekarang ya?” tawar Ingan memperbaiki duduknya. “atau pak Richard yang jelasin, gimana?” sambung Ingan.
“Soal apa?”
“Soal clone pak!” timpal Tina.
“huss…mana aku tahu! Kaliang pakarnya. Kalau perkembangan perusahaan bolelah!” sahut Richard serius.
“Becanda aja bos!” redam Sri.
“Pak Ingan hati-hati ngobrol ama mereka! Sekarang baru dua orang. Kalau udah lengkap, pasar kalah ramai lhooo!” balas Ingan.
“Eh tau nggak pak?! Bos Richard katanya mau dikloning juga! Hik-hikhik…” celetuk Tina lucu.
“Huss….sembarangan!  Itu….kan rahasia kita!” sambar Sri tak mau kalah.
Ha, ha, ha! Tawa Ingan lepas.
Hikhikhik!
Meski jadi sasaran, Richard juga tertawa lepas. Beberapa bulan ini, ia mulai akrab dengan ‘group tukang suntik’ demikian Richard menjulukinya.
“Udah deh! Ntar perutku sakit!” komentar Ingan menahan tawa.
“sory,  beginilah kondisi kami di Sulsel!”
“Sama saja! Hanya yang kocak sekaligus brilian kayak ibu-ibu ini, kami nggak punya!”
“Waduh maaf pak kami nggak punya uang kecil nih!” sambar Tina.
“realistis dong! Masa anak buah yang ngasih ke boss?” sambung Sri.
“Iya deh aku nyerah!” sambut Richard.
“kapan ceritanya bu Tina?”
“Lho, tadi bu Sri yang nyanggupin. Koq saya??”
“terserah aja deh! Serius nih…aku pingin tahu!”
“Iya deeh, anggap saja aku sedang ngajar mahasiswa!” masih sempat bergurau.
“Kloning adalah pengembangan genetika induk lewat pembelahan sel DNA. Artinya, proses pengembangan atau pembiakan  mahkluk hidup,  dilakukan tanpa pembuahan sperma dan sel telur. Hasilnya akan sama dengan induknya. Sederhananya seperti itu!” jelas Tina.
Meski kurang paham, Ingan mengangguk-angguk. “jadi,  tidak ada proses melahirkan?”
”tetap ada! Cara mirip proses Bayi tabung! Bedanya, kalau bayi tabung, sperma dan sel telur pembuahannya  di laboratorium lalu dikembalikan atau disuntikan kedalam cikal bakal induknya. Cloning, DNA induk dibelah sedemikian rupa. Yang ini tidak mengenal jenis kelamin. Artinya yang jantan juga bisa dicloning, demikian juga yang betina”
“Wah rumit sekali!”
“Bukan hanya rumit pak! Beayanya juga mahal! Untuk sekarang ini, system cloning baru pada tahap percobaan. Di perusahaan, kami sedang mengembangkan cloning terhadap Kerbau!” sambung Sri.
“Wah hebat! Bos besar pasti senang mendengar misi kalian!” puji Ingan.
“Beliau udah tahu pak! Bahkan saya diperintah supaya laboratoriumnya ditingkatkan untuk Risets!” potong Richard.
“Yah, beliau memang hebat dan suka tantangan! Baru-baru ini kita kerja sama dengan salah satu perusahaan Pakan Ternak untuk membangun Pabrik Bungkil Kedelei dan Jagung! Itu juga Ide Pak Direktur!” Balas Ingan memberi penjelasan.
“Sayang beliu belum berumah tangga!” celetuk Richard.
“Ya….kesusksesan ini, terasa hambar!” sambar Ingan.
“Jadi beliau bujang?” Sri makin penasaran.
“Yang bener pak Richard!” timpal Tina.
“Lhoo kalian belum tahu?”
“Mana sempat perhatiin! Siang malam kami dilab! Lagian pak Richard nggak pernah cerita” sahut Sri.
“Iya deeeh…sekarang udah tahu kan?”
“Eh…ngomong-ngomong udah waktunya makan malam! Tuuuu, pelayan restoran udah ngasih isyarat!” potong Ingan menunjuk ruang sebelah.
“Ayo! dari tadi aku emang udah laper!” sahut Richard.
Lalu beriringan karyawan lainnya masuk restoran. Restoran untuk sementara tertutup untuk umum. Roby sengaja memilih Hotel Grand Senyiur untuk Raker Perusahaannya, disamping karena strategis. Ia ingin memberi suasana lain kepada karyawan.
Di Pintu Gerbang Hotel terpasang puluhan Baliho ucapan selamat dari beberapa rekanan Roby termasuk  dari Pemerintah daerah terlebih depan Loby. Berderet juga baliho seukuran papan tulis berwarna-warni. Semua tanda pengakuan terhadap kesuksesan Roby.

Pukul 22.45,  Richard  dan Ingan sedang pimpin pra meeting saat Jeep wilis masuk Halaman Hotel dan berhenti di Front office. Roby melompat keluar! Dari pintu lain, Mansyah diikuti Yeni dan  Naryo.
Seorang Pegawai Hotel masuk ruang meeting dan membisikan sesuatu ke Ingan.
“Rombongan direktur sudah tiba! Harap saudara-saudara tetap ditempat, Pak Richard dan saya akan menyambut beliau!” berdiri dan beranjak kelantai satu.
Di Ruang tunggu, Roby sedang nikmati oreng’s hangat, ketika keduanya muncul disitu.
“Malam pak direktur!”
“Malam Ngan, Chard! Aku dengar kalian lagi meeting ya?”
“Iya pak! sedang shering!” sahut Ingan.
“duduklah! Oh ya, anggotamu udah lengkap Chard?”
“Belum semua pak!  Besok Pagi yang lain terbang dari Makasar!” jawab Richard segan, lalu duduk pas berhadapan Roby.
“Akomodasi?”
“Beres Semua pak!”
“Trimakasih! Minum!”
“Makasih pak!”
Roby mengeluarkan Zipo. Tinnng! Kretek JI SAM SU terbakar dibibir. Asap mengepul, menari-nari.
“Kalian langsung kekamar” perintah Roby ke rombongannya. “Aku sapa kawan-kawan kita dulu! Oh ya, nanti makan bareng ya?”
“Baik pak!” sahut Naryo.
Ingan menenteng  tas kerja Roby menuju lantai tiga terus masuk ruangan, Roby dan ingan menyusul.
“Malam saudara-saudara! Apa kabar?” sapa Roby ramah dari ambang pintu terus ke meja pimpinan  sambil melambai kekaryawan
Yang ada Serentak berdiri. “Malam pak direktur!” koor menggema.
Di Meja kanan deretan ke empat dari depan, Sri dan Tina terpanah melihat lelaki yang baru masuk itu. Serempak keduanya pura-pura sibuk menekuni Notebook, kawatir dikenali.  Ada seorang lagi yang tiba-tiba pucat pasi melihat kemunculannya. Duduknya gelisah, tubuhnya tiba-tiba bermandi keringat! Ruangan ber-ac itu terasa panas untuknya. Sherly di meja data.
Sementara itu, Roby duduk ditengah. Diapit kedua wakilnya. Memandang selintas seluruh karyawan.
“Bagaimana? Keluarga anda sehat semua?”
“Sehat pak!” koor lagi.
“Syukurlah kalau begitu. Oh ya….trimakasih anda sudah meluangkan waktu, meninggalkan keluarga demi perusahaan. Saya bahagia dan bangga terhadap anda semua. Semoga Rapat kerja ini membawa kemajuan perusahaan kita…” Roby berhenti sejenak. Suaranya tertelan tepuk tangan orang-orang dihadapnnya.
“Saya mohon maaf  nggak bisa menemani anda sampai selesei! Pak Richard dan Pak Ingan, silahkan dilanjutkan. Selamat malam saudara-saudara!” berdiri lalu melambai, seperti ketika masuk tadi.
Karyawannya memberi standing applause sampai Roby dan kedua wakilnya hilang dibalik pintu.
Di meja Data, Sherly terlihat lega! Meski wajahnya pucat. Hampir pingsan dia tadi, untung ada meja  jadi tumpuan. Untung semua orang terpusat perhatian pada Roby.
Perasaan takut, ngeri, tiba-tiba menghantuinya. Melihat Roby muncul disitu, teringat  Mataram.  Terbayang, perlakuan Paman dan keluarganya! Teringat juga kalimat yang dilontarkan pada Roby ketika itu. 
“Maaf mas! Selama ini, saya yang menghindar!”
”Jadi…kamu lebih memilih keputusan pamanmu?”
“Maafkan Lina mas!” 
“Ya….! Ya, aku sadar! Kamu dari keluarga kaya! Wajar kalau kamu campakkan aku!”
“Maafkan aku mas!”
“Lalu untuk apa selama ini…dua tahun kita menjalin kasih! Hanya karena pamanmu tak setuju….”
“Paman saya benar mas! Dua bulan ini, saya banyak berfikir! Hubungan kita memang timpang! Coba mas ingat-ingat! Tiap kali bepergian, atau mengenai kebutuhan mas, selalu aku yang ngongkosin! Maaf, Lina tidak bermaksud menyinggung Mas! Aku hanya berfikir realistis!”
Membayangkan semua itu, Sherly jadi ngeri sendiri!
“Keterlaluan aku!” sesal Sherly. Terbayang pula rumah tangganya yang berakhir di meja perceraian. Ternyata suami pilihan pamannya seorang penjudi dan penipu! Seluruh warisan pamannya ludes untuk taruhan. Saat semua habis, baru ketahuan suaminya telah berkeluarga sebelum menikahinya. Lalu ia dicampakkan begitu saja. Dalam pelariannya ke sulsel, ingin melupakan semuanya. Tak disangka, hari ini Ia ketemu Roby yang dulu dicampakkan dan sakitinya.
“sungguh malang nasibku!” guman Sherly pada diri sendiri. Teringat semua itu, air matanya jatuh, perasaannya goncang! Hatinya terpukul! Tiba-tiba semua gelap. Sherly terjatuh, pingsan.
Ruangan jadi geger! Tina, Sri berlari menghampiri.
“Cepat panggil tim medis!” teriak Tina sambil menghalau kerumunan.
“Bawa kekamarnya!”
“Kerumah sakit saja!” usul beberapa orang.
“Tolong jangan dikerubutin….supaya udaranya segar!” hardik Tina lagi.
“Yang lain kembali ketempat! Biar bu Sri dan bu Tina yang urus!”  suara Ingan muncul tiba-tiba.
“Bagaimana keadaanya?” Tanya Richard menyusul kesitu.
“Masih pingsan pak!” jawab Sri sambil menggosok-gosok minyak disekitar hidung Sherly.
“Mana orang medis?” teriak Tina kawatir.
“Kita bopong kekamarnya!” usul Sri.
Beberapa orang mengangkat kekamar, diikuti Tina dan Sri.
“Bu Sri…tolong ya?” pinta Richard.
Sri mengangguk.
Ambulance mengantar Sherly ke rumah sakit Pertamina ditemani Sri.
Mendengar ada karyawan pingsan, Roby segera nyusul ditemani Richard!
Sementara itu Sri gelisah. Sebentar berdiri. Sebentar duduk. Beberapa kali berusaha menelpon Tina, hanya Veronika yang jawab. Di kamar ICU,  Sherly belum sadar juga.
Seperti Tina dan Sherly, Sri  shock. Roby yang dikenal sebagai pelukis dan cerpenis, ternyata seorang direktur bahkan big bosnya diperusahaan. Teringat kawan-kawannya, terutama Charmelita, wajahnya berseri!
“Ini pasti gempar! Terutama si Charmel! lebih seru kalau mereka tahu sendiri! Emang cuman aku dan tina?” mendapat pikiran ini, Sri berusaha menelepon Tina.  
Dari lorong depan kamar ICU, tampak Richard dan Roby  menghampiri. Sri salah tingkah!
“Bu sri gimana keadaannya?” sapa Richard kawatir.
“E…belum sadar pak! Malam...pak direktur?” sahut Sri segan.
“Malam! Lhooo…mbak Sri?? Koq disini? Keluarga Sherly ya?” cerocos Roby heran lalu menyalami.
“Anu pak…Sherly kawan sekantor saya” Sri malu-malu.
“Ah..yang benar? Chard?”
“Benar pak! Bu Sri team Risets!”
“Waah…trimakasih ya! suatu kebanggaan mbak Sri ikut gabung! Apa kabar?”
“Ba…baik pak! Trimakasih! Tina juga disini pak!”
“Tina? Mana?” mencari-cari.
“sedang meeting! Pak!”
“Bapak udah kenal mereka?”
“Ya chard, beberapa waktu lalu! Eh…gimana Sherly?”
“Belum sadar pak! udah dibantu pake Oksigen, Bapak mau nengok? Sebentar pak!” Sri Ijin ke perawat yang lagi piket di ICU.  Kemudian Roby masuk.
Roby menyibak horden pembatas! Sherly terbaring, masker menghias wajahnya.
Roby Terperanjat! Wajah bermasker itu, sangat dikenalnya.
“Lina?..” Menatap, meneliti. “Kau?....” tapi yang ditanya tak bereaksi. 
“Apa yang terjadi??”  Tubuh itu kurus, tampak lebih tua dimatanya! “Hm…ternyata kau selama ini!” Terbayang suara merdu  tiap kali menelepon ke Sulsel! Roby terhenyak dikursi. 
“Lina apa yang terjadi? Kau banyak berubah!” bisiknya prihatin.
Ternyata sekretarisnya di Sulsel, mantan kekasih. Teringat Mataram, membayang saat-saat terakhir bersama Lina. Roby paham. Lina hanya menaati orang yang mengasuh dan membesarkannya.   Karena itu tidak terbesit dendam dihatinya.
Bahkan jauh dilubuk hati ada getaran-getaran halus! Ada nama Lina terpatri disitu. Tanpa sadar, Roby membelai dahi dan rambut Lina.
Menghela nafas “Cepat sembuh Lin!” Berbalik, terus keluar.
“Giliranmu Chard!”
Mengeluarkan Zippo dari saku Blue Jean’s. Tinnng, Zippo menyala.
“Maaf dilarang merokok!” cegah perawat tadi.
“lupa mbak..he-he..”
“Bang…eh pak direktur…”
“Sri! Panggil Abang boleh! Mau pak juga boleh! Terserah deeh, kita berteman bukan?”
“Eh…ya ba..eh pak!”
“Naah, serbah salah kan? Gini aja, kalau informal, Abang! Formalnya Pak gimana?”
“Makasih pa..eh bang!” grogi.
“Naa, gitu lebih familiar! Bentar ya, Sri?..” menghampiri perawat jaga.
“Suster, tolong rawat dengan fasilitas utama ya?”
“Iya pak! Kami siap melayani! Bapak tidak usah kuatir!” jawab suster jaga ramah.
“Trimakasih!”
“Richard muncul disitu, lalu ikutan duduk.
“Sejak kapan Sherly kerja diperushaan Chard?” sidik Roby.
“Sudah setahun lebih pak! Waktu bapak perintah membangun Laboratorium!”
“Hm……” mengangguk “Cukup lama ya? Berarti sudah selama itu aku nggak nengokin kalian ya?”
Kan sudah biasa pak! Lagian tidak ada yang terlalu prinsip untuk bapak tangani langsung!”
“Ya, ya! Trimakasih Chard! Aku andalin kamu!’’
“Yang berterimakasih harusnya saya pak!! Bimbingan Bapak membuat saya seperti sekarang!” puji Richard polos.
“Kamu terlalu merendah! Oh ya, gimana anak-anak dan Istrimu? Masih suka…..”
Perawat yang tadi masuk Icu lagi.
“Baik pak! Kami sekeluarga sehat. Soal…anu…e..yang Bapak maksud, udah jarang pak! He..he…” Richard nyengir. Sri menutup mulut, Ia tahu arah pertanyaan Roby.
“Kamu udah tahu ya Sri?”
“Rahasia perusahaan bang!” sahutnya lucu. Richard sempat melotot padanya.
“Oh…jadi Sulsel ada rahasia ya?” Roby pura-pura tak mengerti.
Richard nyegir lagi.
“Chard, mungkin itu membuat kamu hebat dimenegamen!” sambung Roby serius. “menurutku, keluargamu sangat bahagia, meski kalian sering bertengkar! Aku dengar dari beberapa orang, pertengkaran dalam keluarga, katanya bumbu penyedap! Iya nggak sri? Eh..keluargamu gimana?”
“Suami saya pegawai negri di Makassar. Anak-anak sehat, kami tinggal di perumahan Cow Boy!”
“Cow Boy? Perumahan dimana itu?”
“komplek perumahan karyawan pak!” jawab Sri.
“Dimana Chard?”
“Anu pak, perumahan di Masamba! Teman-teman menamai komplek Cow Boy! Maaf, saya lupa melapor!”
“Bagus, cukup keren! Ide siapa?”
“Anu..e…” Richard bingung mau bilang apa.
“Idenya, bu Sherly bang!” jelas Sri.
“Waah..setuju deeh!” sambut Roby senang. “tapi ngomong-ngomong…yang nungguin Sherly siapa?”
“Saya pak!” sahut Sri cepat.
“Trimakasih! Chard atur yang nunggu Sherly bisa gantian”
“Nanti saya jadwal pak!”
“Oh ya, aku nggak bisa lama-lama! Richard juga ditungguin Ingan! Kalau ada apa-apa,  hubungi aku” Lalu menyodorkan kartu nama berlapis emas.
“Koq beda sama yang dulu bang?” komentar Sri.
“Yang itu pelukis dan cerpenis he-he-he! Eh, kawan-kawanmu yang kocak itu pada dimana?”
“Mereka punya kesibukan masing-masing bang!” sahut Sri bohong.
“Hati-hati Sri. Kami pulang ya?”
“Selamat malam bang, pak icad!” sambut Sri meniru bi Lela, manggil Richard hanya icad saja.
“Malam!”

Di meeting room Tina gelisah. Belum ada kabar Sherly. Selama ini mereka akrab. Dalam segala hal Tina jadi curahan perasaan Sherly, termasuk masa lalu Sherly yang menyentuh hatinya. Tadi ingin mendampingi ke rumah sakit. Tapi Sri ngotot agar Tina tinggal untuk prosentase. Tas kerja sudah tiga kali diubek, tapi HP yang dicari tinggal di kamar. Mau keluar, segan. Untung rapat segera disudahi. Tina menghambur kekamar.
“Halo…Sri, gimana Sherly?....hah belum sadar juga? Oh….gitu! jadi kamu sempat ngobrol?....kamu cerita apa?...ho-oh…ho-oh! Aku setuju, hallo……hikhik…iya deh, hallo aku nyusul  ya? Udah….baru beberapa menit lalu! Daaa!” Tina senyum-senyum membayangkan muka Hermin, Ludya dan Charmelita kalau ketemu Roby besok!
Pintu diketok seseorang.
“Masuk!”
Terbuka, tampak salah satu staf bagian Risets.
Ada apa Novry?”
“Ibu di tunggu bapak dicaffe! Kata beliau penting!”
“Bapak? Bapak siapa?”
“Pak direktur bu!”
“Hah…direktur? Ada apa ya? Mati aku, jangan-jangan Sri ngomong sembarangan!” bisik Tina. “Novry! Aku ganti baju nanti nyusul! Makasih dek!”
“Sama-sama bu, selamat malam!”
“Malam!” pintu tertutup.
Tina kelantai satu, ke caffe. Beberapa karyawan sedang santai menikmati livemusik artis local.
“Tina!” suara lelaki terdengar dari kiri. Tina menengok mencari.
“Eh bapak! Malam pak direktur!”
“Malam! Ayo duduk, mau minum?”
“Eh…anu..iya pak!” lalu duduk.
“Apa kabar? Aku kaget denger cerita Sri kamu disini!” sambung Roby.
“E..e..” Tina menenangkan perasaan. “gila! Grogi nih!!” bisik pada diri sendiri.
“Ayolah Tin! Kita udah lama kenal, masak mau formal segala!” pinta Roby.
“Em ya..eh maaf Saya…Nggak nyangka …..”
“Sory…dulu nggak terus terang! Takut dikira sombong! Eh,  sekantor  Sherly ya? Jadi……. waktu ketemu di Bali, tugas perusahaan?”
“Iya! kami diperintah pak Richard ikut Pekan ternak Nasional!” Teringat Bali Tina jadi malu dan sungkan sendiri.
“Kenal Sherly dimana?”
“Bu Sherly duluan, saya belakangan. Kenal ya di perusahaan! Dia bagian PR saya di risets!”
“kenal baik?”
Tina menatap mengira-kira pertanyaan Big bos. “Bapak kenal dia?”
“Ya…dulu di Pulau Lombok kami berteman. Lalu pisah. Sekarang ketemu lagi! Sejauh mana kau mengenalnya?”
“Hm……” Tina menelan air liur.
“Minum dulu! Udah aku pesanin  oreng’s.  Sepertinya kehausan tuu!”
“Makasih pak!.......Di masamba kami akrab, saling terbuka sampai hal-hal yang sangat pribadi! Maaf…mengapa bapak ingin tahu?”
“Karena teman lama dan baru ketemu. Ya…sama seperti Kamu dan Sri!...” Roby ikutan minum. “Hmn….kamu tahu nggak? yang terbaring disana bukan Sherly yang dulu aku kenal! Maksudku…dia banyak berubah!”  
“Jadi,  dulu teman Bapak??”
“Ya!  Dan sekarang karyawanku! Jadi  harus di perhatiin! Kewajibanku bantuin dia!”
“Hm….Sherly baru saja cerai”
“Oh ya?....…trus?” kejar Roby.
”Rumah tangganya kandas. Dia bilang, suaminya penipu, penjudi dan suka main perempuan……. Tanpa seijinnya, diam-diam suaminya menggadaikan semua yang mereka miliki! Padahal, menurut Sherly…property itu adalah peninggalan Pamannya! Yang lebih menyakitkan hatinya,  ternyata suaminya pandai menyembunyikan identitas yang sesungguhnya “ Tina berhenti sejenak.
“Jauh sebelum menikahi Sherly dia sudah berkeluarga. Bahkan dengan licik, beberapa perkebunan atas nama Sherly tiba-tiba sudah jadi milik dan atas nama istri pertamanya…..Sudah beberapa kali  menggugat ke pengadilan, tapi selalu kalah! Sherly tidak punya bukti yang sah. Katanya surat-surat itu ditahan dan dibakar mantan suaminya……” Tina menarik nafas. “ Hanya itu yang saya tahu!”
Roby terpana. “pantas kamu kurus Lin! Selama ini kamu menderita batin!” bisik Roby, Mengangguk-angguk.
“Dari perkawinan itu, Sherly punya anak?!”
“Satu Perempuan kelas lima. Ada di Masamba! Sherly bilang, ia ke Sulsel karena ingin tenang! Dan  melupakan semua masa silamnya. Apa mungkin yaaa….?” Tina menatap Roby. Raut mukanya tampak serius.
Ada apa?” Roby heran ditatap seperti itu.
“Yaaa….” Tina menggguk. “Sherly terpukul gara-gara kemunculan Bapak yang tiba-tiba”
“Maksudmu?”
“Karena sebelum itu dia sehat dan semangat menerangkan data dan statistic devisi sulsel!”
“Ya? Trus?”
“Ketika bapak masuk ruangan hamper copot jantung saya tak terbayang sama sekali bahwa….”
“Aku pemilik perusahaan ini, begitu?” potong Roby.
Hanya anggukan kecil.
“Jadi…menurutmu aku nggak ada potongan jadi pengusaha?” hardik Roby pura-pura serius.
“E…bukan…bukan begitu maksudnya, maaf…maaf pak!”  
“Jadi…”
Berfikir sejenak “Aku ingat sekarang….”  Teriaknya berseri. “Beberapa bulan lalu, Sherly cuti. Rumahnya dititipin ke aku. Waktu bersih-bersih kamar buku hariannya nggak sengaja aku baca!”
“ya..kemudian?”.
Ada beberapa Potret yang ditempel. Kalau nggak salah semuanya gambar Bapak. Dalam foto itu meski bapak kurus dan gondrong! Sekarang jelas sekali!”
“Apa hubungannya?”
“Di Sulsel banyak karyawan belum kenal Bapak termasuk kami! Terlebih Sherly yang hamper tiap hari berkomunikasi dengan Bapak!”
“Ya??”
“Waktu mau berangkat kesini semua berpolemik. Pokoknya semua penasaran! Bapak paham maksud saya?”
“Ya-ya.  Trus kaitan dia pingsan?”
“Yaaaa, siapapun perempuan yang berada diposisinya, pasti terpukul! Tergoncang! Terlebih kondisi dan  perasaannya labil juga sensitive.” sambung Tina lagi.
Roby pejamkan mata. Tidak sangka seperti ini. Merogoh saku celana. Tinnnnnngg! Zippo membakar kretek. Asap menari-nari. Sunyi di meja itu. 
Tiba-tiba Tina melonjak dari tempat duduk, Roby ikuta melonjak. kaget! 
“Ngagetin aja! Kiraian ada apa!” komentar Roby setelah melihat Tina mencabut seluler dari saku.
“Maaf pak! Kerjaan Sri” Menempel HP di telinga, berbicara sendirian. Roby asyik mencandai kreteknya.
“Sherly udah siuman pak! Udah dipindain ke kamar” Lapor Tina.
“Syukur. Mudah-mudahan cepat pulih!”
“Saya minta ijin mau nyusul kesana pak!”                                                                                                       
“Dengan siapa? Emang udah tahu tempatnya?”
“Tadi pak Ingan bilang akan ada yang nganter!”
“Aku aja!” tawar Roby.
“E…sudah ada yang mau…”
“Kamu bilang pada Ingan…aku nganterin emang nggak boleh?”
“Bukan begitu pak….saya hanya…”
“Segan? Sana kamu siap-siap! Sekalian gantiin Sri! Tapi ingat,  Sherly nggak boleh tahu soal ini!”
“Baik pak! Saya kekamar dulu!”
“Ho-oh!”

Hari berikutnya sekitar pukul 13.00 sore. Roby memanggil kedua wakilnya.  Pagi tadi pkl. 10.00, Jemy dan Rosa tergesa-gesa menemuinya.
“Roby! Semalam Lilik menelpon dari Mojokerto! Mamamu masuk rumah sakit keadaanya gawat. Kalau kamu nggak repot,  kita pulang bersama!” Terang Rosa berharap.
“Sakit apa beliau?”
“Lilik nggak cerita! Dia lebih banyak nangis!”
“Okey….saya nyusul sore nanti! Anak-anak bagaimana?”
“Pulang! Anak-anak akrab dengan beliau. Kenapa tidak bersama saja?”
“Besok Raker Perusahaan ada beberapa kerjaan yang harus aku pertanggungjawqabkan pada atasanku!” Dustanya
“Roby, usah berpura-pura. Kami sudah tahu dari Yeni. Siapa atasanmu diperusahaan ini? PT. BETUE kan milikmu!” tandas Jemy.
“Ya setidak-tidaknya aku mesti menunjuk salah satu wakilku sebagai pengganti”
“Okey! Kami jalan duluan, sampai ketemu di Surabaya!”
“Surabya?”
“Mamamu dirawat di sana! Di Rumah Sakit William Boot!”
“Trimakasih! Tiket bagaimana?”
”Sudah conform! Sampai ketemu Rob!”
“Ya, selamat jalan!”
Waktu Ingan dan Richard mengetuk Pintu Suite Room Grand Senyiur, Roby sedang melipat beberapa helai pakian.
“Masuk!”
“Siang pak!”
“Duduk” Tiinnng! Ji Sam Su terbakar. “Ada hal mendadak yang harus di seleseikan ke Surabaya! Raker tanggung jawab kalian! Ingan tangani Keuangan dan asset. Richard masaalah Produksi dan Relasi” perintah Roby serius.
Kedua wakilnya tidak berani bertanya.
Ada masaalah?”
“Eh..tidak pak!”          
“Ini sambutan saya dan sampaikan permohonan maafku pada karyawan!” sodor Roby ke Richard! “Aku harap Raker ini menghasilkan hal positif. Kalau ada sinyalemen penyimpangan dicabang-cabang, libatkan Acuntan Publik Independent. Semoga ada ide brilian untuk perkembangan Perusahaan! Jangan lupa kesejahteraan  karyawan direncanakan dengan baik”
“Siap pak!”
Ada usul?”
“Maaf pak, berapa lama bapak di Surabaya?” Tanya Richard ragu.
“Aku tidak tahu Card! Mamaku semalam masuk rumah sakit!” sahut Roby pelan.
“Semoga cepat sembuh pak!” Doa Richard.
“Makasih! Jika ada sesuatu yang penting hubungi saya tiap saat baik via Email mupun Seluler. Sore saya berangkat. Kalau tidak ada pertanyaan lagi lanjutkan tugas kalian”
“Trimakasih kepercayaan bapak, kami permisi dan salam untuk keluarga di Surabaya!” sambung Ingan.
“Makasih Ngan! Ingat kalian tulang punggung Perusahaan, jadi urus baik-baik!”
“Trimakasih atas kepercayaan bapak!” timpal Richard.
Kedua wakil direktur itu berjalan ke pintu. Roby mengantar sampai keambang.
“Selamat siang pak!”    
“Selamat siang!” menutup pintu lalu memutar beberapa nomor ditelepon.
“Yen, Kamu kesini ya!”  meletakkan lagi. Kemudian melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
Beberapa menit setelah itu, pintu diketok. Roby membuka.
“Masuk Yen!”
“Lho, mas mau pergi ya?”.
“Ho-oh, ke Surabaya!”
“Koq mendadak?”
“Mamaku masuk rumah sakit!”
“Oooh, Yeni doain cepat sembuh udah booking tiket Mas?”
“Belum, tolongin ya?”
“Iya, Yeni usahain! Jangan lama-lama mas!”
Roby menoleh lalu tersenyum. “menghadapi orang sakit waktu nggak bisa ditentuin!” Lipatan terkhir dimasukkan kekopor.
“Yeni, kangen!”
“Lhooo tiap hari ketemu! Masak kangen terus?” gurau Roby.
“Mas laki-laki! Perasaan perempuan beda”
“Yeni, soal kangen bukan monopoli perempuan. Aku juga koq!” mendekati.
“Tapi mas janji akan…” ucapannya terpotong. Roby memagut bibirnya.
“Ini kangenku!” bisik Roby.

Sementara itu Charmelita disertai belasan 0rang baru saja turun dari pesawat Merpati. Tampak Ludya berseri-seri diantara rombongan itu.
“Duh yang liburan ketenggarong senengnya!” Goda Charmelitha.
“Iya dong! Kapan lagi bisa jalan bersama keluarga! Mumpung anak-anak libur” sahut Ludya sambil menggandeng Andi Harun dan Andi Mawar, anaknya. Suaminya sibuk ngurus bagasi.
“Jadi kalian nginap ditempat lain?”
“Iya! Daeng udah ngebooking kamar” sahut Ludya menyebut Suami dengan sapaan Daeng, panggilan khas suku Makassar.
“Kenapa nggak gabung! Dari pada bolak-balik entar!”
“Malu dong! Yang lain seorangan kita sekampung!”
“Iya deeh! Tuuh, jemputan sudah menunggu!” tunjuk Charmelitha ke bus yang parker tidak jauh dari situ.
“Sampai ketemu besok! Salam tante Charmel dong!” nasehat Ludya pada kedua anaknya.
“Daa!”
Di ruang konfrensi, Ingan, Richad beserta beberapa manager anak cabang  serius membahas materi raker.
“Bapak kesurabaya Ibunda beliau masuk rumah sakit. Meski begitu rapat kerja harus sukses sesuai rencana. Saudara-saudara di Cabang dan devisi harus siap degan seluruh laporan untuk di follow up” Tegas Richard, tenggorokannya kekeringan.
“Dalam Follow up besok dibagi dua kelompok. Bidang Keungan dan Asset dipimpin Pak Ingan. Produksi dan Relasi menjadi tanggung jawab saya! Ada tambahan pak?” toleh Richard ke Ingan.
“Untuk sementara belum”
Ada pertanyaan?” Sambung Richard sambil menatap seluruh peserta.
“Kalau tidak ada, sampai disini! Selamat Sore”
Sementara dibalik kaca lobi Tina memperhatikan Bus yang berhenti didepan front Office lantai dasar. Bergegas Tina masuk lift  turun menyambut Charmelita sahabat dan bosnya diperusahaan.
“Lhoo mana Ludya? Nggak ikut?”
“Dia nginap dihotel lain dengan keluarganya selesei raker nanti terus ke tenggarong. Mana Sri?”
“Sedang menjenguk Sherly kerumah sakit!”
“sherly sakit?”
“Ho-oh! Dia pingsan dua hari lalu Magnya kambuh!” bohong Tina.
“Kasihan bu Sherly!”
“Udah baikan koq! Besok sudah boleh keluar! Ayo aku antar kekamar. Kamu sekamar sekreteris pribadi direkture. Orangnya cantik lho!”
“Barang-barangku gimana?”
“Nanti ada yang urus, ayo!”
Yeni baru saja masuk kamar ketika Tina dan Charmelita muncul disitu.
“Hei! Mbak Tina, ayo masuk!”
“Yen, aku bawa teman. Ini Charmelitha sekamarmu”
“Oh bu Charmelitha yang mbak cerita kemaren? Selamat datang bu” Yeni menyalami.
“Trimaksih!” balas Charmel.
“Silahkan duduk bu. Mau juice orenge’s? mbak Tina juga?” sambung Yeni berusaha ramah.
“Trimakasih. Eh..nggak usah formal deh. Panggil saja Charmel!”
“Trimakasih. Karena ibu lebih tua bagaimana kalau mbak saja?” Yeni menuang juice oreng’s.
“Trimakasih dek!”
“Mbak-mbak yang cantik! Karena saya harus menyelesaikan urusan Bigbos, Saya tinggal mandi ya”
“Nggak apa-apa, silahkan dek!” sahut Tina.
“Siapa big bos?”
“Bapak direktur Mel! Teman-teman sejawat banyak nyebut begitu!” terang Tina. “Eh, tahu nggak? Big Bos kita masih seorangan lhoo!”
“Maksudmu?”
“Wah telmi nih...bujangan alias jomblo!” Tandas Tina.
“Ya apa hubungannya?”
“Banyak mel! Nanti kamu pasti tahu!”
“Maksudmu?”
“Pokoknya siapkan mental! Beliau dekat denganmu, meski jauh!” Tina berteka-teki.
“maksudmu?”   
“Nanti tahu sendiri kalau aku kasih tahu, nggak surprise dong!”
“Terserah kamu deeh!” sahut Charmel cuek sambil mengangkat gelas.
“Benar nggak pengin tahu?”
“Aku tahu banget isi tempurung kepalamu itu, sorry aja”
“Nggak penasaran?”
“Nggak!”
“Ya udah kalau begitu. Jangan salain ya?”
“Alaa kamu ama sri paling-paling ngerjain lagi!”
Pintu diketuk. Bergegas Tina membuka. Seorang porter mengangkat sebuah kopor.
“Taruh disini dek! Makasih ya!” sambar Charmel sambil menyodorkan lembar limaribuan.
“Ngomong-ngomong kamu udah pernah ketemu Direktur ya?”
“Justru itu yang dari tadi kita obrolin!”
“Maksudmu?”
“wah..maksudmu melulu!”
“Jadi?”
“Aku ngobrol dengan beliau! Makanya aku bilang kalau beliau dekat meskipun jauh!”
“‘Iya!!, yang itu apa maksudnya!”
“Nah mulai penasaran?”
Yeni muncul. “Bapak direktur sore ini ke Surabaya. Saya, Pak Richard ngantar ke Air port, ngobrol nanti aja ya mbak?”.
Yeni mengeluarkan tas kecil dari lemari.
“Koq mendadak Yen?” sahut Tina.
“Ibunda beliau masuk rumah sakit!”
“Raker gimana?”
Kan ada Pak Ingan dan Pak Richard! Oh ya….entar malam kalau mbesuk bu Sherly bareng ya?”
“Boleh, kami tunggu!”
“Trimakasih! Mbak-mbak…..Yeni pergi dulu ya? Selamat sore”
“Sore!”

Sekembali dari air port spinggan, Yeny segera masuk kamar.
“Sore mbak Charmel”
“Sore. Lho udah selesai urusannya?”
“Udah mbak”
“Bigbos emang orang Surabaya?”
“i…eh maaf mbak, saya juga kurang jelas!” jawab Yeny Ragu. Yeny memang belum tahu orang mana.
“Maksudmu?” Charmelitha menoleh.
“Eh…gimana ya mbak? terus terang saya belum tahu asal usul bigbos! Mengapa mbak Tanya?”
“Saya belum pernah bertemu beliau”
“Mbak Tina juga cerita begitu! Katanya jumpa beliau baru sekarang!”
“Ya…kita hanya karyawan biasa. Diterima bekerja diperusahaan ini sudah luarbiasa”
“Ah, mbak terlalu merendah! Padahal saya dengar, mbak penting diperusahaan!”
“Orang penting? Hikhikhik ada-ada saja. Pasti pak Richard ya?” tebak Charmel.
“Iya mbak. Kalau beliau bilang begitu ya begitu!”
“Saya hanya karyawan biasa dek!”
“Karyawan biasa? Kalau dengar cerita pak Ingan dan Pak Richard prosentase mbak paling ditunggu. Disamping itu, pengembangan ternak tergantung bidang yang mbak pimpin. Iya kan?”
“Itu kan cerita! Eh ngomong-ngomong udah berapa tahun kerja disini?”
“Baru tiga tahun! Mbak Chalmel?”
“duatahun lebih dikit, dek Yeny lebih senior dong hikhikhik!”
“Emang kuliah hihihihi….”
“Udah berkeluarga?”
“Belum! Mbak?”
“Sama dong, nggak laku-laku sih!” gurau Charmelita.
“Emang jualan hihihih….? Oh ya, dalam daftar acara Devisi Sulsel meninjau Tenggarong lho!”
“Wah asyik dong kebetulan aku pingin sekali kesana. Ada kenalanku, dia pelukis dan cerpenis. Tapi aku lupa alamatnya” Charmelitha teringat Roby.
“Tenggarong kecil mbak! Nggak susah nyari asal masih dikota”
“Oh ya? Orang bilang kotanya ramai!”
“Ya ramainya orang Kaltim kan beda ama ramainya orang sulsel, apalagi jawa. Relatif mbak!”
“Dengan Balikpapan?”
“Waah teropini Koran ya? Jauh dong! Tenggarong nggak ada apa-apanya! Nanti mbak tahu sendiri! Aku telpon mbak Tina dulu ya?”
“Ho-oh!”
Charmelitha menarik kopor kecil dan mengeluarkan Lap Top NEC seri 940 dan meletakkan diatas meja rias. Membuka, kemudian tangannya menari-nari diatas tuts. Yeny perhatikan wanita yang dipanggilnya mbak itu anggun dan cantik. Dari cara mengoperasikan benda didepannya, Yeny tahu Charmelitha sangat professional. Dibanding dirinya plus dengar cerita devisi Sulsel, Yeny merasa tidak ada apa-apanya.
“Dia seorang Master sementara aku hanya alumnus akademi sekretaris saja! Pantas pak Richard mengaguminya!” bisik Yeny.
“Hallo, cewek-cewek cantik!”
“Tina! Ngagetin saja!” tegur Charmelitha.
“Masuk mbak”
“Terlambat dek,  andai aku penjahat matilah kalian!”
“Yang datang sopan tahu?” sambar Charmel.
“He-he-he…..jadi nggak”
“Jadi dong!”
“Bentar ya! Lagi tanggung nich!” pinta Charmelitha.
“Okey bos! anak buah nurut saja”
“Mbak Tin entar sekalian shoping ya? Ada mobil!” Yeny menggoyang-goyang kontak.
“Pas sekali aku mau cari celana panjang untuk di Tenggarong! Nggak lucu kalau ngerok”
“Makanya kalau bepergian siap tempur!” komentar Charmelitha.
“Temanya Raker book yang kebawa ya pakaian dinas!”
“Naah beres!” Charmelitha meringkas peralatan lalu mengikat rambut sebahunya dengan karet gelang. “Bagaimana? Kita jalan?”
“Lha yang ditunggu kan kamu!” protes Tina.
“Aku lapor pak Richard ya? Nanti ketemu dilobi!”
Yeny kelantai atas Tina dan Charmelitha turun ke Loby. Sepuluh menit kemudian sebuah Jeep Willys biru metalik berhenti di depan front Office. Yeny melompat keluar terus naik anak tangga menuju Loby.
“Ayo mbak udah siap tuu!”
“Eh…ditunggu dari sana muncul disitu” sahut Charmelitha menunjuk lift.
“Sory aku lewat pintu karyawan. Dari situ dekat parkiran. Yook!”
“Lhoo ini mobil big bos” timpal Tina melihat jeep metalik itu.
“Iya mbak beliau nitip! Beliau pesan boleh dipakai asal tidak dijual hikhikhik”
“Huss, entar ada yang dengar!” bisik Charmelitha.
“Tenang Mel! Beliau nggak galak koq!”
“Ayo mbak! Terserah siapa didepan! Kalau sopir pasti depan!” canda Yeny sambil membuka pintu.
Beberapa saat kemudian Jeep Willys metalik biru itu meluncur keluar areal Hotel Grand Senyiur.

Dari Bandara Juanda, petang itu Roby langsung ke Rumah sakit William Boot Diponogoro Surabaya.
Sedari Sore Jemy berusaha menghubungi via seluler tapi Hp sahabatnya selalu tulalit. Jemy hanya mondar-mandir dari ruang tunggu pasien ke halaman parkir RS William Boot. Membuat Rosa dan  Lilik ikut-ikutan gelisah.
“Mas tenang dikit kenapa sih?” protes Rosa.
“Dia janji Sore ini datang…..saya telepon tidak diangkat!”
“Siapa mas?” Tanya Lilik dari samping Rosa.
“Kakakmu! Roby! Kami ketemu di Balikpapan” jelas Rosa pendek.
“Koq mbak nggak cerita?”
“Lhoo..gimana mau cerita! Kami baru tiba siang tadi. Itupun langsung kesini mana sempet!”
“Iya deh! Jadi Kak Roby datang?”
“Yaaaituuu yang membuat mas Gendutmu muter-muter dari tadi!”
“Dia janji nyusul kesini!” Timpal Jemy sibuk dengan Hpnya.
“Kakakmu jadi orang hebat lho!” puji Rosa
“Maksud mbak?”
“Naah udah nyambung nich!” sambar Jemy agak keras.
“Hallo! Dimana Rob?.......oh ya! Kami tunggu di rumah sakit ya? Mamamu?......ya masih koma!...oke…daa!”
“Dimana mas?” buru Rosa.
“Di Taxi, sedang menuju kesini! Aku kedepan ya?”
“Ikut mas!” pinta Lilik mengekori.
Sementara itu sebuah Taxi bandara memutari Diponogoro dari utara menuju gerbang Rs. William Boot!. Melihat ada taxi bandara masuk halaman Rs Jemy segera mendatangi.
“Hai sobat!” songsong Jemy.
“Hai juga! Bagaimana keadaan mama?”
“Beliau masih koma! Mirah dan Rosa menunggu didalam! Oh ya….coba tebak siapa gadis manis ini!” tantang Jemy.
Roby menatap meneliti sejenak!  Gadis ramping itu hitam manis dan tinggi semampai, wajah papanya lekat disana.
“Lilik!” Roby memekarkan lengan.
“Kakak!”
Jemy tersenyum, lalu mengangkat Tas kulit Roby.
“Maafkan kakak Ya!”
“Kami pikir kakak sudah….”
“Hussst….kak Roby masih ada koq!” potongnya sambil mencium kening adiknya.
“Maaf kak!” peluk Lilik manja.
“Lilik kamu bukan anak kecil lagi yang dulu minta digendong! Nanti kalau ada pacarmu cemburu dia!”
“Lilik kangen dulu waktu kakak pergi, aku nggak tidur semalaman nungguin kakak pulang!”
“Iya deeh..kakak minta maaf!”
“Kalian mau disini trus ya?” protes Jemy.
“Sorry sobat! Yook!” Roby menggaet bahu adiknya.
Baru beberapa langkah dikoridor penghubung Pavilium dan ruang ICU, Rosa berlari-lari kecil menyongsong.
Ada apa mbak?” Tanya lilik kuatir.
“Mama butuh transfusi darah 15 kantong. Kata suster stock yang ada tidak cocok dengan golongan darah beliau! Gimana mas? Eh udah tiba bos?” lirik Rosa ke Roby.
“Husst sembarangan! Eh……golongan darah apa beliau?” sahut Roby.
“O plus! Ayo cepatan dikit” Rosa mendahului.
“Aku golongan O! tapi plus - minusnya aku nggak tahu!” tukas Roby bergegas.
“Kalau gitu ikut aku!” Rosa berbelok kiri. “kalian temani Mirah ya?” sambungnya sambil menoleh ke suami dan Lilik.
“Apa sebenarnya penyakit mama Ros?”
“Lilik bilang mamamu sudah lama mengidap Tumor Getah Bening! Tapi karena selama ini tidak ada beaya, mama tidak pernah konsul beberapa hari lalu akhirnya dibawa kesini!”
“Seberapa parah?”
“Aku tidak tahu tapi melihat kondisi beliau seperti itu, sangat parah! Nanti tanya lagi ke Lilik atau Mirah! Nach, ini ruangan transfuse mudah-mudahan darahmu cocok!”
Rosa mengetuk pintu dan langsung membuka.
“Suster ini ada yang siap diambil darahnya!”
“Oh..syukurlah! berapa orang?”
“Baru satu anak pasien suster!”
“Harusnya 15 0rang. Masih bisa diupayakan?”
Rosa berpaling ke Roby!
“Apa nggak bisa dari saya saja suster?” harap Roby
“Nggak bisa pak! Bapak bisa sakit dan kekurangan darah! Mau menolong malah sakit! Cari orang lagi ya bu?!”
“Sebentar suster!” Roby menegeluarkan Nokia dari saku Blue Jin’s dan menekan beberapa nomor!  
“Hallo… Yanto ini Roby! Disini! Ya di Surabaya too! Ceritanya nanti saja! Ini penting! Tolong tanya karyawan siapa golongan darahnya O! Kau angkut semua kesini! Ya sekarang too!...sorry! Ke rumah sakit William Boot! Trimakasih..aku tunggu!....ya-ya!”
“Okey suster yang lain nanti nyusul! Sekarang saya duluan!”
“Syukur kalau begitu! Silahkan bapak berbaring, saya diperiksa HBnya mudah-mudahan bisa diambil!”
“Kalau boss angkat telepon semua beres!” Sindir Rosa.
Roby tersenyum.
“Aku temui mas Jemy nanti dijemput kesini siapa tahu bigbos nggak tahu jalan keruang perawatan!” sambung Rosa bercanda.
“Cerewet!” potong Roby.

Depan Ruang Isolasi, Mirah, Lilik dan Jemy membicarakan Roby.
“Jadi kak Roby ada disini? Wah..kalau mama tahu pasti beliau gembira! Beberapa tahun belakangan ini mama sering nanyain kak Roby” suara Mirah sedih campur gembira.
“Maksud mbak?” sahut Lilik
“Kak Roby diusir dari Rumah oleh almarhum Papa karena…..”
“Sudalah Mir! Semua sudah berlalu! Roby juga sudah melupakan! Yang penting sekarang mamamu cepat pulih. Roby juga sudah pulang” potong Jemy.
Mirah diam,  terbayang puluhan tahun lalu! Ketika itu, ia baru kelas satu SMP. Roby baru beberapa bulan kembali dari Jogyakarta. Siang itu Papa dan Roby bertengkar habis-habisan. Gara-gara mama mengadukan Roby yang tidak menghargainya sebagai orang tua dan sering mengajak temannya mabuk sampai pagi selama papa berada di Timor-timor. Pertengkaran itu berakhir setelah Roby pergi entah kemana! Dua tahun kemudian kakaknya sempat pulang tapi hanya beberapa hari, itupun nginap di rumah Mas Jemy. Lalu pergi lagi! Katanya ke Makasar. Enam tahun setelah itu Roby pulang ketika papa meninggal. Tapi dua hari setelah pemakaman, Mama dan Roby bertengkar. Mama menuduh Roby akan menguasai asset-asset peninggalan Papa. Padahal, Roby hanya minta Jam tangan Papa. Semenjak itu Kakaknya hilang.  
“Mama bersalah pada Roby tapi kita tidak tahu kakakmu dimana!” keluh Mama ketika mereka nyekar makam papa beberapa tahun lalu. “Mama salah! Seharusnya waktu pemakaman papa, mama tidak mengusirnya kaluar rumah. Waktu itu mama terlalu emosi! Mudah-mudahan kakakmu memaafkan mama!”
“Sudalah ma, kak Roby mungkin sudah melupakan kita! Dan kita juga tidak tahu kakak dimana sekarang” hibur Mirah saat  itu.
“Akhir-akhir ini kesehatan mama terganggu! Mama kuatir tidak akan bertemu Roby lagi. Ada yang harus mama sam……!”
“Mama!….kakak suatu waktu pasti pulang!”  mirah memeluk mamanya.
Teringat semua itu, Mirah jadi sedih.
“Mbak Mirah, kok melamun? Tuu ditanya mas Jemy!”
“Eh, apa mas?”
“Mas nanyain keadaan mama! Kan mbak selama ini mendapat penjelasan dokter!” jelas Lilik.
“Oh iya..eh anu mas! Dokter bilang harapan mama sembuh ti…pis….kalau toh sembuh…..akan lum……” sampai disitu suaranya ditelan isakan.
“Maksud mbak?......Aduh kasihan mamaku mas!”
“Ya, ya! Mas ngerti!” Jemy memeluk Lilik yang sesunggukkan.
Sementara itu dari ujung koridor bayangan Rosa mendatangi.
“Eh, apa yang terjadi?” sergap Rosa melihat situasi disitu.
“Sssssst….” Suaminya memberi isarat dikuti anggukan Rosa. Suasana jadi beku.
“Sudah cukup darahnya?”
“Baru satu kantong mas! Tadi Bigbos nelpon seseorang.  Katanya bantuan akan datang jadi tidak usah kuatir!”
“Syukur deh!”
“Bigbos? Siapa mbak?” Tanya Mirah, perasaannya mulai tenang.
“Siapa lagi? Kakakmu Mir, Roby!” sahut Jemy.
“Kog Bigbos?”
“Kakakmu sekarang bukan orang sembarang! Kami udah lihat perusahaannya. Makanya dipanggil Bigbos!” jelas Rosa! Teringat Yeny menyebut Roby Bigbos.
“Tapi..tadi biasa-biasa saja” sahut Lilik.
“Orangnya memang gitu! Pakaian seenaknya” sambung Rosa lagi
“Ya mbak! Lilik udah jumpa!”
“Aku nyusul kesana deh!”
“Nggak usah! Kakakmu sedang transfuse disini saja Mir!” cegah Rosa. “Setengah jam lagi pasti ketemu!”
“Aku akan menemuinya!”
“Aku ikut mbak!”
“Hei, jangan tinggalin mama!” sergah Rosa.
Kan ada Mas ama mbak!”
Kaduanya berlalu yang ditinggal saling menatap.
Sementara itu dari lorong rombongan seragam putih hitam menuju ruang transfuse.
Tanpa bosa-basi Lilik membuka pintu menghampiri Roby. Mirah mengekorinya.
“Kak…..!” setengah teriak Mirah menghampiri Roby dan menjatuhkan tubuh didada kakaknya.
“Mirah….!” Hanya itu suara Roby. Dibelai kepala adiknya dengan tangan kiri yang bebas.
Suster akan mencegah tapi Roby melarang lewat gelengan. Lilik mematung, matanya berkaca-kaca.
“Maaf Pak! Beberapa orang ingin menemui! Katanya mau donor. Yang namanya Yanto ingin bicara!”
“Oh..ya! Trimakasih, tolong disuruh masuk suster!?”
“Baik Pak!” lalu keluar. Tak lama seorang lelaki limahpuluhan menemui Roby penuh hormat.
“Yanto berapa orang?” Tanya Roby langsung.
“Sebelas pak! Yang lain golongannya beda!”
“Butuh berapa tadi suster?”
“15 kantong pak!”
“Yanto! Cari lagi ya? Ibuku sangat butuh yang ada biar diurus suster!”
“Siap pak! Kami cari lagi!”
“Lho kamu nunggu apa?” hardik Roby sopan!
“Eh maaf pak! Kami permisi!” kemudian keluar.
Mirah, Lilik, melihat adegan itu.
“pegawai kakak!” jelas Roby sambil bangun. “Suster tolong diurus semuanya ya? Dan trimakasih atas pertolongannya!”  Roby meranjak ke pintu dikuti kedua adiknya.
“Dimana kamar mama dirawat!”
“masih diruang ICU kak! Mama belum sadar!” sahut Mirah sedih.
“Ya…mudah-mudahan mama cepat sembuh dan pulih!” sahut Roby prihatin. Ketiganya menemui Rosa dan Jemy.
Melihat Lilik terus bergayut dilengan Roby, Rosa dan suaminya tersenyum.
“Takut kak Roby terbang lagi ya!” Goda Rosa.
“iih mbak Rosa!” protes Lilik.
“Boleh nengok mama nggak?” Tanya Roby.
“Boleh kak! Tapi bergilir! Kakak duluan ya!” Mirah mendahului ke ruang ICU.
Setelah mengenakkan pakaian khusus Roby masuk ruangan menemui perempuan baya kurus terbaring lemah. Selang oksigen dihidung lengan kiri selang infuse dan pada beberapa bagian tubuh terdapat alat-alat sensor yang terhubung pada monitor di atas kepala perempuan itu.
“Ibu! Oh…..”
Halus Roby menarik kursi plastic, duduk dekat pembaringan. Lalu berdoa disitu. Entah apa yang dirasakannya saat itu. Selama ini Roby memang Rajin ke gereja tapi belum pernah berdoa sekusuk ini. Tampak air bening mengalir pelahan membasahi jemari yang dikatup kewajahnya. Setelah berdoa, dipandangnya penuh kasih perempuan terbaring lemah dihadapnnya.
“Ibu…maafkan Roby!” bisiknya.
Terbayang senyum Papanya ketika minta persetujuan Roby menikahi perempuan ini. Roby tahu papanya sangat berbahagia ketika itu. Tapi, Ia rusak kebahagian itu lewat pemberontakan dan perlawanan pada papa. Teringat semua itu, Roby menjadi sedih dan menyesal. Ketika Papa sakit,  berhari-hari Perempuan ini menunggui dan merawat di rumah sakit. Waktu  papa meninggal, Roby baru muncul. Teringat itu Roby tenggelam dalam penyesalan, air matanya jatuh bertetesan.
“seharusnya dari dulu aku menemui ibu! Maafkan Roby bu!”  Tapi hanya Roby yang  mendengar sesal itu.
Roby mencium tangan ibunya berulang-ulang.

Sore kelima, gerimis membasahi tanah pekuburan Kristen Kembangkuning Surabaya. Di ujung selatan dibawah naungan sebuah Tenda, Roby memeluk Lilik di samping Mirah, Jemy sekeluarga, juga I Gusti Putu suami Mirah, beserta puluhan orang. Mereka baru saja memakamkan Jenasah Mama disamping Makam Papa. Kepergian Mama kemaren malam amat mengguncang perasaan Roby dan Lilik!  itulah sebabnya setelah jenasah mama diturunkan keliang lahat Lilik hysteris dan jatuh pingsan dipangkuan Roby.  Dengan susah payah Roby membopong adiknya menuju parkiran yang jaraknya hamper setengah kilometer. Dari kembangkuning Roby dan Mirah membawa lilik ke rumah sakit untuk memdapat pertolongan. Sementara itu Jemy dan keluarga terus pulang kerumah duka.
Di Rumah sakit Lilik mendapat bantuan pernafasan oksigen dan harus menginap semalam. Roby bersikeras menunggui dan menyuruh Mirah pulang menemui tamu yang terus berdatangan meski pemakaman sudah selesai.
Dirumah, Jemy dan Rosa menyambut beberapa orang. Rosa segera mengenali Yeny diantara tamu-tamu petang itu.
“Hai…dek Yeni! Ayo, mari masuk!” sambutnya sambil mengadu pipi kiri-kanan pada satu-satunya wanita diantara rombongahn kecil petang itu.
“Maaf mbak dan Mas, baru siang tadi kami tahu itupun setelah membaca Iklan Harian Jawa Pos! Maaf atas keterlambatan kami!” jelas Yeny. “Oh ya, mbak dan mas, kami semua staf Pak Roby!” Sambung Yeny.
“Pak Roby sedang dalam perjalanan! Tadi beliau kerumah sakit ngantar adik! Sebentar lagi beliau tiba silahkan duduk!” Jemy mendahului istri.
Sementara itu I Gusti Putu, Mirah memasuki pintu gerbang. Rosa kuatir karena Roby dan Lilik tak nampak. Segera menyongsong. 
“Lho? Mana kakakmu? Trus Lilik? Apa yang terjadi?” suaranya penuh kawatir.
“Lilik harus nginap semalam, Mas Roby nunggu disana!” sambar I Gusti.
“Lilik tidak apa-apa kan?”
“Ya…dia hanya istirahat memulihkan kondisi! Dokter bilang Lilik lebih tenang disana, besok juga udah pulang kok!” Jelas  I Gusti sambil membimbing istri.
“Syukur kalau begitu, Oh ya didalam ada tamu kakakmu. Mereka baru tiba dari Balikpapan. Temui ya, aku kebelakang dulu!”
“Iya mbak!”
Melihat ada bayangan masuk serempak mereka berdiri!
“Oh ya…bapak-bapak dan ibu, ini adek pak Roby!” Jemy mendekat ke Mirah. “..dan ini pak I Gusti Ketut suaminya!”
Mirah yang kusut  membalas uluran tangan orang-orang yang belum dikenalnya itu.
“Saya Ingan, ini Pak Richard, Pak Naryo, Pak Indra dan bu Yeny! Kami mewakili karyawan turut berdukacita sedalam-dalamnya atas berpulangnya Ibunda kekasih! Kiranya Tuhan Yang Maha Esa menerima disisiNya. Semoga Ibu dan Pak Roby diberiketabahan menghadapi kedukaan ini!”
“Ya..trimakasih…..trimakasih!” sahut Mirah sedih kemudian duduk disamping suaminya.
“Sekali lagi trimakasih! Bapak-bapak dan Ibu sudah meluangkan waktu hadir disini. Biarlah Tuhan yang membalas kebaikan ini!” lanjut Mirah.  “Mohon maaf! Kakak saya dirumah sakit menjaga adik yang dirawat! Kalau boleh tahu bapak-ibu dari mana?”
“Kami dari Kalimantan bu! Sekali lagi mohon maaf tidak bisa hadir dalam upacara pemakaman Almarhumah Ibunda tadi siang!” terang Ingan.
“Ya….kakak saya pasti mengerti!” sahut mirah.
Rosa ditemani seorang ibu menghidangkan minuman dan kue! Setelah itu Rosa duduk disamping suami.
“Saya telpon pak Roby,  silahkan dicicipi minuman dan kue ala kadarnya!” Jemy berdiri.
“E…nggak usah repot! Direktur pasti butuh istirahat! Besoklah kami bertemu beliau!” sambar Richard.
“Ya…setidak-tidaknya beliau tahu bapak-bapak dan ibu ada disini!” sahut Jemy tak mau kalah.
“Silahkan hidangannya dicicipi!” ajak Rosa.
“Ya, ya bu! Trimakasih!” sahut beberapa orang hamper bersamaan.
Rosa beringsut dekati Yeny yang duduk di ujung sofa.
“Apa kabar tante Yeny?” bisik Rosa menirukan gaya sikembar.
“baik mbak! Oh ya mana dewi-dewinya?”
“Tadi nyusul kerumah sakit!!”
“mbak…bigbos sebenarnya berapa bersaudara? Terus terang sebagian karyawan buta mengenai beliau” bisik Yeny menyidik.
“Ah..serius dek!” tatap Rosa.
Yeny balik menatap sambil mengangguk kecil!
Rosa akan menjelaskan tapi Jemy hadir keruangan.
“E…sebentar lagi pak Roby kesini! Beliau sementara dalam perjalanan!”
“Trimakasih pak!” sambut Ingan.
“mas siapa yang nunggu Lilik?” sambar mirah.
“Si kembar ada di sana!”
“Oh syukurlah! Lilik bagaimana mas?” sambung Mirah lagi.
“Masmu bilang Lilik udah siuman! Sekarang bertiga si kembar! Nggak usah terlalu risau!” yakin Jemy.
“Syukurlah mas! E….aku mandi dulu Mas dan mbak temenin tamu kita. Bapak-bapak dan Ibu….saya kebelakang, silahkan ngobrol dengan mas Jemy dan mbak Rosa. Ayo belih!”
“Ya..silahkan bu!” sahut Richard berdiri diikuti yang lain.
Setelah tamu-tamu kembali duduk Jemy mendekati Rosa dan berbisik pada istri.
“Mbak Yeny dan bapak-bapak sekalian maaf saya tinggal sebentar?” Rosa nyusul Mirah keruang tengah.
Dari Gerbang BMW Sporty biru metalik bergulir pelahan masuk halaman. Begitu kakinya menjejak tanah Roby menuju ruang tamu menemui Ingan cs yang  kaget, dan segera berdiri. Tapi dengan isarat Roby minta mereka duduk lalu mengeluarkan Ji Sam Su terus membakarnya. Asap mengepul keudara menutupi wajah yang kusut.
“Jam berapa kalian tiba? Bagaimana Raker?”
“E….maaf pak, kami baru tiba setengah jam lalu. Dan….Raker di…..” sahut Ingan ragu.
Melihat suasana dan nada bicara Roby, diam-diam Jemy beringsut ke belakang.
“Jelas thoooo!”
“E….maksudnya….kami…baca iklan Jawa Pos hari ini…ada….”
“Ya….aku tahu Chard! Trimakasih kalian sudah datang….” Roby melirik Yeny.  “Lalu yang lain bagaimana?”
“Tadi banyak staf akan ikut tapi karena hanya dapat lima tiket ya….”
“Tanpa kehadiran salah satu kalian disana siapa yang pimpin Rapat?” tegur Roby.
“Maaf pak…malam ini tidak ada kegiatan! Besok pagi peserta Raker ke-Tenggarong!”
“Tenggarong? Mau ngapain disana?”
“Anu pak!...e..raker dilan…” Kalimat Richard menggantung, melirik Ingan.
“Kamu seperti baru kenal aku, Chard!” potong Roby.
“Maksud pak Richard..e…Raker dilanjutkan di Tenggarong”
“Alasannya?”
“ada persoalan keuangan yang tidak bisa kami bahas dihotel! Dan…hanya bapak yang dapat menyelesaikannya!” jelas Ingan.
Roby diam sejenak, menikmari kretek Ji Sam Su.
“Ok…nanti kamu jelaskan! Trimakasih kalian sudah datang! Ada hal lain?”
“Begini pak….” Naryo angkat suara. “seluruh karyawan ikut berdukacita atas berpulangnya Ibunda Bapak, hm..kiranya arwah beliau diterima disisi Tuhan Yang Maha Esa dan..hm..Bapak beserta keluarga besar diberi kekuatan dan ketabahan!”
“ya, ya. Trimakasih!”
Hening.
Roby nikmati Ji Sam Su. Asap kembali menari-nari.
“Oh ya…kalian nginap dimana?”
Yang ditanya saling pandang.
Melihat itu, Roby melirik Yeni!
“Yeni, Kamu  bermalam disini dengan adik-adikku, kalian dihotel!” Roby berdiri dan melambai ke seseorang yang berada diluar.
“Yanto, tolong urus beberapa kamar untuk mereka!” perintah Roby sambil menunjuk rombongan Richard.
“Untuk berapa hari pak?”
“Malam ini, besok mereka pulang ke Kalimantan!”
“Baik pak, saya seleseikan”
“Trimakasih…kalau sudah kamu kembali!”
“Baik pak, saya mohon diri”
“Hotel sudah oke…sesudah makan malam kalian kesana!”
“trimakasih pak!” sambar Richard mewakili yang lain.
“Oh ya…saya akan mandi dulu nanti kalian ditemani adek saya..sudah kenal kan?”
“sudah pak!”
“Dia adek pertama, yang kedua sedang dirawat dirumah sakit, besok juga sudah pulang!”
“trimakasih pak!”

Malam ketujuh. Diruang tengah kediaman Jemy. Tampak sikembar mengapit Lilik disamping Mirah dan Rosa, para lelaki diseberang meja.  Selesei berdoa bersama Roby minta semua tetap ditempat masing-masing. Sebelum bicara Ia mengeluarkan Ji Sam su, lalu membakar.
“Saya meminta persetujuan kalian….!” Roby menatap satu-satu, berhenti pada Mirah kemudian Lilik!
“Saya minta restu kalian!” Lalu hening.
Lilik menatap Roby! Kemudian Mirah. Mirah juga begitu! Tatapan penuh Tanya. Jemy, Rosa hanya mengangguk dan menunggu kalimat berikutnya.
“Tegasnya, beberapa bulan lagi aku mau nikah!”  
“Hore! Kita akan punya tante baru!” teriak si kembar. 
“Hussst!” tegur Rosa sambil melotot.
“Calon saya sudah ada….kalian sudah kenal. Untuk itu saya minta Jemy dan Gusti ditemani istri masing-masing, melamar ke semarang!”
Mirah berdiri mendekati Roby dan menciumnya.
“Kalau boleh tahu siapa calon kakak?”
“Kamu udah tahu! Beberapa hari lalu kalian sempat nyekar ke makam Mama!” jelas Jemy.
“Mbak Yeny ya kak??”  tebak Lilik  sudah menduga.  
“Benar kak?” Tanya Mirah mempereratnya.
Roby tersenyum.
“Kalau dia, aku setuju banget” sambar Lilik ikut memeluk.
“Kami pikir kakak tidak akan nikah!” Sambung  Mirah gembira.
“Husst…kalian senang kalau aku membujang terus ya?”.
 “Kami semua bahagia untukmu!” timpal Jemy.
“Trimakasih Jem!”
“Lalu kapan kami ke Semarang?” Tanya Rosa.
“ya…..kapan kak?” sambung Lilik.
“ikut ma!” sambar si kembar
“Hussst…ini urasan orang tua! Anak-anak tidak boleh ikut!” tegur Rosa.
“Mama selalu gitu deeh! Sebentar-sebentar ini urusan orang tua!” sahut Tatik.
“Ya..tuuuu, alasan mama selalu itu!” dukung Tutik.
“Mama kalian memang tidak pandai membuat alasan!” jelas Jemi geli mendapati si kembar protes seperti itu.
“iya deeh, nanti mama cari alasan lain!” Sahut Rosa ikutan geli disambung tawa yang lain.
“Dengar tuu….om Roby mau bicara!” sambung Rosa.
“Malam ini kita makan diluar! Bagaimana kalau ke Pizza Restorant??”
“Waah asyik om!” sambar Tatik lagi.
“Om Roby pinter milih yang asyik ya! Trimakasih om!” sambung Tutik.
“kalian….kalau soal makan pasti muji selangit. Sini….om peluk!”
“Trimaksih om!”
 
Hari kesepuluh, Roby terbang ke Balikpapan terus ke Tenggarong.
Richard, Ingan, dan beberapa staf sedang menyusun hasil Raker di Balikpapan ketika Roby muncul di kantor. Kehadiran tiba-tiba itu  mengejutkan semua orang di Tenggarong. Termasuk Yeny.
Sejak pulang dari Surabaya tiada henti ia berfikir mendapati sikap Roby biasa-biasa saja, di sana. Padahal ia mengharap Roby memperkenalkan dirinya sebagai calon istri pada keluarga besarnya, tapi Roby memperlakukannya sebagai karyawan biasa saja. Padahal sejak Roby mengungkap perasaan, Cintanya menggelembung, kerinduannya melalar, hatinya bergemuruh bagai ombak. Karena itu saat Ia mendengar seluruh karyawan memberi salam, hatinya bergelora. Rasa ingin terbang kepelukan  Roby. Tapi Yeny hanya membuka pintu dan berdiri disitu menunggu. Ternyata Roby tidak menuju kantor tapi ke ruangan Ingan.
Kecewa, Yeny menutup pintu dan menghadapi computer.
Tok! Tok! Tok!
“masuk” perintah Yeni.
“Maaf bu! Ibu diminta ke kantor pak Ingan!” terang seorang ob.
“Trimakasih, saya segera kesana” merapikan diri lalu keluar.
Roby sedang serius menyimak penjelasan Ingan saat Yeny diam-diam masuk duduk disamping Richard. Melihat itu, Roby berpaling dan mengangkat tangan sebagai isyarat agar Ingan menghentikan kalimatnya.
“Yeny, hubungi pengacara, saya butuh mereka nanti sore! Tolong siapkan daftar semua karyawan taruh dimeja saya! Trimakasih Yen!” setelah itu Roby mengangguk dan menyimak ucapan-ucapan Ingan.
Diam-diam Yeni keluar menuju kantornya.

Roby sudah tak ingat lagi ada berapa kantor cabang di Kalimantan karena pembukaan kantor cabang diurus Ingan. Yang membuatnya pusing siang itu karena laporan dihadapannya mengindikasikan terjadi penyelewengan di beberapa kantor cabang. Ingan memberi laporan untuk diteliti dan memohon segera di tidaklanjuti.
"menurutmu bagaimana Ngan?"
"dibawah ke pengadilan aja bos, kerugian kita sangat besar, hampir 22 milyard rupiah"
Bisu.
"kau panggil saja kepala-kepala cabang itu, saya tunggu besok di kantor" perintah Roby berlalu.

Sambil menenteng Tas kulit coklat belel, Ia lewati lorong lebar 2 meter dan deretan pintu-pintu staf yang para penghuninya berjejer menyambut Roby.
"Selamat siang pak direktur" koor staf serentak.
Roby hanya mengangguk pelan sambil menebar senyum. Sesampai di hadapan Yeny, Roby berhenti sejenak, menatap tajam. Yang ditatap hanya menunduk tapi getaran didada bagai gemuruh ombak.
"keruanganku ya"
"baik pak".
Yeny mengekor, kemudian menutup pintu.
"Duduk Yen. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan" membuka jendela lalu duduk berseberangan.
"Bulan depan kamu saya pecat, urus pesangonmu"
Mendengar itu Yeny angkat kepala dan menatap tak percaya.
"Tenagamu sudah tidak dibutuhkan lagi" sambar Roby, sambil meraih map dari meja kerjanya.
"Seleseikan semua tugas-tugasmu dan ini tugas terakhir yang harus kamu seleseikan" menyambar JI SAM SU. Ting, asap mengepul.
Mematung.
"Lho…koq membisu?"
"Ee….e apa salah saya pak?"
Roby hanya menghembus asap.
"tenagamu tidak dibutuhkan lagi" ulang Roby tegas.
"tapi pak…"
"Ha..ha..ha…." derai Roby melihat mahkluk dihadapannya pucat pasi.
Yeny menatap tak mengerti.
Yang ditatap hanya nyengir.
Cerita dalam ruang mereka yang tahu.
Aku diusir keluar. 

Pestapernikahan Roby dan Yeny dibuat s....

BERSAMBUNG............


RWM.BOONG BETHONY