01/01/09

Tajuk UU Anti Porno Grafi

Sekitar UU Antipornografi.
Sebuah Tajuk

Awalnya banyak ahli dan pengamat (pekerja seni, agamawan/rohaniawan, budayawan) menolak UU antipornografi, ketika undang-undang ini masih menjadi sebuah RUU. Dengan argumen-argumen yang cukup kuat disertai data dan pandangan yang sangat argumentatif. Akan tetapi kepentingan POLITIK dan keinginan 'Golongan Tertentu' untuk menjadikan RUU itu menjadi UU jauh lebih kuat dari pada suara-suara penolakan yang muncul hampir dari seluruh wilayah Indonesia, bahkan ada yang mengancam akan keluar dari NKRI bila RUU ini menjadi UU.
Sebaliknya 'Penghuni Gudung Senayan Peninggalan ORDE LAMA' menganggap bahwa dalam masyarakat seperti Indonesia UU Anti Porno Grafi tersebut sangat diperlukan.
Mungkin dalam beberapa kasus UU ini memang di perlukan tapi itu sangat konteks dan tidak bisa menjadi 'Generalisasi' dalam wilyah masyarakat Indonesia yang mata mejemuk ini.
Tulisan ini saya buat sebagai refleksi akhir tahun menyikapi pengesahan UU Porno Grafi, disertai beberapa catatan yang saya anggap penting seperti dihalaman berikut.
UU Porno Grafi yang sekarang, menurut saya tidak memenuhi syarat minimum kompetensi yang harus dituntut.
Pertama, UU ini tidak membedakan antara porno dan indecent (tak sopan) dan bahkan mencampur aduk dua-duanya dengan erotis. Porno adalah segala apa yangmerendahkan manusia menjadi objek nafsu seksual saja. Tetapi dalam sebuah UU pengertian filosofis ini harus diterjemahkan ke dalam definisi yang operasional yang dapat dipertanggung jawabkan. Paham indecent malah tidak muncul di UU ini.
Istilah yang dipa-kai, "bagian tubuh tertentu yang sensual", menunjukkan inkompetensi para konseptor UU ini.
Yang dimaksud (penjelasan pasal4) adalah "antara lain alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya."Dan itu semuanya porno? Astaga!
Bedanya porno dan indecent adalah bahwa porno di mana pun tidak diperbolehkan, sedangkan indecent tergantung situasi.
Alat-alat kelamin primer memang di masyarakat mana pun ditutup.
Tetapi bagian tengah tubuh perempuan di India misalnya tidak ditutup, tak ada pornonya sedikit pun (dan perut bagian tengah terbuka pada anak perempuan sekarang barangkali tak sopan tetapi jelas bukan porno).
Lalu, "bagian payudara perempuan" mulai di mana? Paha di kolam renang tidak jadi masalah, tetapi orang dengan pakaian renang masuk di jalan biasa bahkan didenda di St Tropez.
Yang harus dilarang adalah yang porno, sedangkan tentang indecency tak perlu ada undang-undang, tetapi tentu boleh ada peraturan-peraturan(misalnya di sekolah, dan bisa berbeda di Kuta dan di Padang).
Sedangkan "erotis" bukan porno sama sekali. Erotis itu istilah bahasa kesadaran. Apakah sesuatu itu erotis lies in the eyes of thebeholder (tergantung yang memandang)! Bagi orang yang sudah biasa, perempuan dalam pakaian renang di sekitar kolam renang tidak erotis dan tidak lebih merangsang daripada perempuan berpakaian penuh dilain tempat. Tetapi perempuan elegan, berpakaian gaun panjang, kalau naik tangga lalu mengangkat rok sehingga 10 cm terbawah betisnya jadi kelihatan, bisa amat erotis. Tarian erotis mau dilarang? Tetapi apakah ada tarian yang tidak erotis? Seni tari justru salah satu cara (hampir) semua budaya didunia mengangkat kenyataan bahwa manusia adalah seksual secara erotis dan sekaligus sopan. Jadi erotis juga tidak berarti tak sopan.
Hal erotis seharusnya sama sekali tidak menjadi objek sebuah undang-undang. UU ini seharusnya tidak bicara tentang "gerakerotis", "goyang erotis". Yang harus dilarang adalah tarian porno. Karena itu porno harus didefinisikan secara jelas, tidak dengan mengacu pada "sensual"atau "merangsang" atau "mengeksploitasi" .
Menurut paham saya definisi porno menyangkut (1) alat kelamin, payudara perempuan (itu pun ada kekecualian, jadi tidak mutlak; apalagi tak perlu embel-embel "bagian"), dan, kalau mau, pantat;
dan(2) melakukan hubungan seks untuk ditonton orang lain.
Kedua, dan itu serius: Moralitas pribadi bukan urusan negara. Menurut agama saya memang semua pencarian nikmat seksual di luar perkawinan sah adalah dosa. Jadi kalau saya sendirian melihat-lihat gambar porno, itu dosa. Tetapi apakah negara berhak melarangnya? Bidang negara adalah apa yang terjadi di depan umum. Kalau orang dewasa mau berdosa di kamar sendiri, itu bukan urusan negara. Begitu pula, apabila saya beli barang porno untuk saya sendiri, itu tanda buruk bagi moralitas saya, tetapi bukan urusan negara (tetapi tawaran barang porno tentu boleh dilarang).
Yang perlu dikriminalkan adalah segala urusan seksual dengan orang di bawah umur. Menjual, memiliki, men-download gambar, apalagi terlibat dalam aktivitas, yang menyangkut ketelanjangan, atau hubungan seks, dengan anak harus dilarang dan dihukum keras.
Semoga catatan sederhana ini membantu untuk lebih kritis menyikapi undang-undang pornografi yang sudah menjadi bagian dari perundang-undangan negara kita.

Another Human Being Like You.
RWM.BOONG BETHONY