20/08/08

Seko Dataran Tinggi Ekosisten Hutan Tropika Humida!

RWM.BOONG BETHONY
Pengelolan Hutan Berbasis Masyarakat Adat Di Ekosistem Seko
Rob Colection

Sumber : http://www.alamsulawesi.net/
Andi Ahmad Effendy

Di edit RWM Boong Bethony.

Untuk mendorong pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang berbasis masyarakat adat di ekosistem dataran tinggi Sulawesi maka perlu di perkuat Lembaga dan posisi tawar Masyarakat Adat Seko. Sehingga dapat berhadap-hadapan dengan pengelolaan dari luar yang tidak ekologis dan tidak berpihak kepada masyarakat adat setempat. Agar pemanfaatan berkelanjutan sumber daya alam (Hutan) yang berbasis Masyarakat Adat di Seko, dapat bersinergis sebagai upaya mengurangi kemiskinan masyarakat disekitar hutan.

Pengelolan Hutan Berbasis Masyarakat Adat Di Ekosistem Seko.

Kawasan hutan masyarakat adat Seko merupakan salah satu kawasan yang kaya raya keanekaragaman hayati yang tidak kalah pentingnya dengan beberapa daerah lain di Indonesia bahkan diberbagai belahan dunia manapun. Dalam kawasan tersebut ekosistem hutan tropika humida pegunungan masih utuh di sebagian besar wilayah Hutannya.

Jenis floranya meliputi tumbuhan yang dimanfaatkan kayunya seperti Fragerae elliptical, Aghatis (Damar), Elmerilla Sp, Palaguium Sp, Casuarina Sp, Magivera indica, Ficus Sp. Sedangkan ditinjau dari familia (suku), terdapat antara lain; Loganiaceae, Araucariaceae, Magnoliaceae, Sapotaceae, Casuarinaceae dan Moraceae, dll. Sedangkan dalam bahasa local, terdapat kayu Uru, kayu gaharu, Kalapi, Damar, Ulin, Kayu Besi, Tahi, Kadingnge’, Tarian, Bitti, Hulante. Dari Jenis tumbuhan non kayu (rotan) itu sendiri terdapat 12 jenis (dalam bahasa lokal) antara lain; Rotan Kodo, Tuhosumahu, Manoko, Tariang, Kuratung, Pubakiang, Karuku, Madun Karuku, Tariang, Sikuntaa, dll. Sementara jenis tumbuhan lainnya terdapat anggrek, bambu, durian, langsat, enau, berbagai jenis palem dll.
Jenis fauna yang ada antara lain merupakan satwa khas Sulawesi seperti; monyet Sulawesi, elang sulawesi, anoa, lintah, tawon/lebah, ular, babi hutan, biawak, tangkasi, kus-kus, burung tekukur, rangkong, burung hantu, kakak tua putih, pipit, ayam hutan, kupu-kupu, wallet, kelelawar, maleo.
Pentingnya Kawasan Masyarakat Adat Seko ditinjau dari segi hidrologis .
Dari segi hidrologis Kawasan Masyarakat Adat Seko berperan sebagai penyangga air yang sangat penting dan berguna sebagai sumber irigasi persawahan yang mengairi lahan pertanian/persawahan.

Fungsi hidrologis tersebut telah mencakup 7 Kabupaten yang tersebar pada tiga Propinsi yakni Propinsi Sulawesi Selatan sendiri, Propinsi Sulawesi Barat dan Propinsi Sulawesi Tengah yaitu Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Majene, Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Donggala. Adapun sungai-sungai penting tersebut adalah; Sungai Lariang yang terpanjang di Sulawesi yang mengalir sampai ke Donggala- Sulawesi Tengah.
Posisi Seko pada sungai tersebut berada pada posisi paling hulu yang berbatasan dengan wilayah Rampi. Sungai Budong-Budong dan Sungai Uro yang mengalir ke wilayah Kabupaten Mamuju, Majene dan Toraja. Sungai Benuang dan Sungai Rongkong yang mengalir ke Masamba, Sabbang dan Lamasi. Hasil pengamatan pada beberapa sungai terpenting dari Kawasan Seko yang bermuara di Kab. Luwu dan Luwu Utara, Mamuju dan Majene, Tana Toraja, serta Sulawesi Tengah pada musim hujan memberikan dampak terutama rusaknya lahan-lahan pertanian seperti Perkampungan, Sawah dan kebun-kebun rakyat sedangkan pada musim kemarau airnya berkurang. Hal ini disebabkan oleh semakin rusaknya hutan sehingga banjir mudah terjadi. Melihat kondisi hidrologi di kawasan Masyarakat Adat Seko merupakan penentu bagi keberlangsungan bagi ratusan ribu hektar persawahan, perlu dipertahankan, selain itu dengan semakin terancamnya keanekaragaman hayati terutama, kayu maupun non kayu (rotan), secara langsung akan memberikan dampak dan pengaruh terhadap Kawasan Masyarakat Adat Seko.
Kondisi Sosial Masyarakat Adat Seko Secara Geografis.

Masyarakat Adat Seko adalah termasuk wilayah Pemerintahan Kecamatan Seko Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan yang terbagi dalam 3 (tiga) wilayah besar yaitu Seko Padang, Seko Tengah dan Seko Lemo yang terdiri atas 9 (sembilan) wilayah berdasarkan Pemangku Adat dan 12 (Dua Belas) wilayah Pemerintahan Desa. Dari data yang di peroleh dari Kantor Camat Seko, bahwa penduduk Masyarakat Adat Seko sebanyak 5.620 KK, 17.053 jiwa adalah 99,5 % hidup sebagai petani. Daerah ini berada pada posisi ketinggian yang dikenal dengan Dataran Tinggi Sulawesi “To Kalekaju” yang berbatasan dengan sebelah Utara Propinsi Sulawesi Tengah, Sebelah Barat Propinsi Sulawesi Barat -Kabupaten Mamuju, dan Majene, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kab. Tana Toraja. Daerah ini memilki luas wilayah secara keseluruhan sekitar 500.000 Ha dengan perimbangan luas 65 % adalah Hutan sedangkan selebihnya adalah lahan-lahan persawahan, perkebunan, Padang Savana sebagai lahan peternakan masyarakat (kerbau, kuda, sapi) serta perburuan secara tradisional. Daerah ini memiliki bukit-bukit, lembah dan padang savana yang cukup luas sekaligus dimanfaatkan oleh Masyarakat Adat Seko sebagai lahan peternakan.

Seko juga adalah salah satu daerah yang kaya dengan variditas padi lokal ada 23 jenis.
Sejak nenek moyang masyarakat adat seko hingga tahun 1980-an masyarakat Seko masih memproduksi kain dari kulit kayu (ani’, sassang) bahasa lokalnya. Daerah ini sejak tahun 1987 – 1995 dapat ditempuh dengan naik pesawat kapasitas 5 orang penumpang! Kemudian tahun 2000 - pertengan thn 2007 pesawat Dass kapasitas 16 penumpang! Sampai tulisan ini diperbaharui penerbangan ke seko masih belum lancar!. Untuk sekarang kita dapat jangkau dengan naik motor selama 1 hari (10 - 14 jam) perjalanan dan naik kuda dengan 2-3 hari perjalanan. Pada Jaman Kolonial Belanda wilayah ini terjangkau dengan kendaraan beroda empat terutama pada hari-hari tertentu yang telah disepakati dengan masyarakat terutama waktu penimbangan getah Damar. Masyarakat Adat Seko umumnya memanfaatakan sumber daya alam dengan cara bertani/sawah, berladang/berkebun, beternak dengan pengelolaanya secara tradisonal. Potensi Kawasan hutan di Seko yang luasnya sekitar 370.000 Ha sangatlah memungkinkan untuk melanjutkan hajat hidup mereka.

Yang menjadi persoalan adalah semakin lemahnya posisi tawar mereka yang mengakibatkan pengusaha-pengusaha leluasa mengambil kekayaan sumberdaya alam mereka, semakin lemahnya fungsi hukum adat dalam mempertahankan dan melindunginya.

Persoalan yang sama adalah tidak adanya sumberdaya manusia yang mampu melakukan upaya-upaya pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Bahkan peningkatan skill masyarakat adat Seko dalam pengelolaan sumberdaya alam tersebut baik yang dilakukan oleh pemerintah, pengusaha maupun NGO belum ada sama sekali. Sementara upaya tersebut sangatlah dibutuhkan untuk meningkatkan pendapatan asli masyarakat dan mengimbangi ketergantungan pada penjualan kayu, rotan yang semakin mengancam punahnya komoditi andalan masyarakat adat Seko tersebut.

Mengingat Kawasan Ekosistem Seko tersebut sangat penting terhadap keberlanjutan hidup Masyarakat Adat Seko dan wilayah disekitarnya maka untuk menjaga keseimbangan ekosistem baik diwilayah Seko sendiri maupun wilayah-wilayah lain, maka Yayasan Bumi Sawerigading bekerja sama dengan Masyarakat ada Seko, memandang perlu untuk mengadakan kegiatan “Promosi Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan yang berbasis Masyarakat Adat Di Seko Kab. Luwu Utara – Sul Sel” sebagai realisasi kepedulian dalam hal pelestarian sumberdaya alam/lingkungan.
Pentingnya kearifan lokal dalam melestarikan kawasan Seko Kearifan lokal memiliki nilai-nilai yang penting dan bermakna bagi upaya melestarikan hutan tropika misalnya : Memfungsikan hutan sebagai bagian dari harga diri dan roh kehidupan masyarakat adat Seko yang harus dijaga dan dilestarikan.
Memfungsikan hutan untuk keperluan rumah tangga saja dan tidak terkait kepentingan komersial.
Masyarakat Adat Seko secara turun temurun telah melakukan praktek-praktek tebang pilih secara terkendali, mempraktekkan siklus pertanian secara konsisten, menetapkan kawasan tertentu untuk dilindungi; masyarakat memiliki tata ruang yang mengandung nilai-nilai konservasi. Masyarakat memiliki kebiasaan-kebiasaan untuk melakukan penanaman kembali (durian, langsat) setelah melakukan pembukaan lahan.

Masalah yang dihadapi masyarakat Seko adalah tekanan terhadap lahan dan sumber daya alam hutan, disamping belum berkembangnya pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana.
Dari akar permasalahan sebagai berikut sistem alokasi dan pengelolaan sumber daya alam yang terpusat (sentralistik) di tangan pemerintah (government-based resources alocation and management) telah menyebabkan tidak terhiraukannya faktor-faktor sosial ekonomi masyarakat adat.

Kenyataannya, selama Pemerintahan Orde Baru, kebijakan pembangunan nasional sama sekali belum mengakomodasikan adat, sistem pengetahuan lokal dan metode-metode pengelolaan yang arif dalam pengelolaan sumberdaya alam di Kawasan Masyarakat Adat Seko yang bisa menjamin keberlangsungan sumber daya alam dan mengurangi kemiskinan. Pendekatan pengelolaan yang didasarkan pada pengelolaan administrasi Pemerintah Daerah telah menyebabkan pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara parsial dan tumpang tindih sehingga strategi yang digunakan untuk ekosistem yang sama dilakukan dengan pendekatan yang berbeda, akibatnya adalah terjadinya degradasi lingkungan karena saling tunjuk hidung dalam penyelamatan keanekaragaman hayati.
Reformasi telah bergulir, merupakan momentum yang sangat tepat untuk merubah paradigma pendekatan, metode dan strategi pengelolaan sumber daya alam hutan yang tidak adil, demokratis dan lestari. Masyarakat telah dikucilkan dari seluruh proses pembangunan. Secara nasional tuntutan perubahan dari masyarakat semakin keras bahwa rakyat harus menjadi pelaku utama terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (hutan). Tuntutan perubahan ini bahkan telah diwarnai oleh berbagai tindakan-tindakan perlawanan dan kekerasan. Situasi yang sangat kritis ini harus di “kelola” dengan serba kehati-hatian sehingga transisi berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan keberlanjutan/kelestarian. Untuk mendorong pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang berbasis masyarakat adat di ekosistem dataran tinggi Sulawesi maka dapat memperkuat Lembaga dan posisi tawar Masyarakat Adat Seko sehingga dapat menghadapi pengelolaan dari luar yang tidak ekologis dan tidak berpihak kepada masyarakat adat setempat. Dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya alam (rotan, kayu) yang berbasis Masyarakat Adat di Seko sebagai upaya mengurangi kemiskinan masyarakat disekitar hutan.

Sehingga hasil yang bisa diharapkan adalah Lembaga dan posisi tawar Masyarakat Adat Seko kuat dan mampu menghadapi dan menyelesaikan permasalahan pengelolaan sumber daya alam yang tidak ekologis dan tidak berpihak kepada Masyarakat Adat Di Ekosistem Seko. Menyelamatkan keaneka ragaman hayati hutan pegunungan di Sulawesi yang sudah hampir punah. Keaneka ragaman hayati (rotan) selamat dari kepunahan melalui program yang berbasis Masyarakat Adat Di Ekosistem Seko. Terjadinya peningkatan ekonomi yang ekologis bagi masyarakat setempat sehingga kemiskinan masyarakat disekitar hutan semakin berkurang.
PRINSIP DAN PENDEKATAN PELAKSANAAN PROGRAM. Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan maka pendekatan yang akan digunakan adalah dengan mengkombinasikan 4 (empat) pendekatan dalam perencanaan wilayah dan pengelolaan sumberdaya alam (hutan) yang secara keilmuan paling berkembang pesat diseluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir ini, yaitu :

1. Pendekatan “natural resource-based” yang memanfaatkan sumberdaya alam sebagai kesatuan yang akan menghasilkan berbagai jenis hasil bumi yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat adat dan pendapatan regional bagi masyarakat adat Seko. Pendekatan ini disamping peningkatan ekonomi masyarakat setempat, maka keadilan bagi masyarakat adat pun akan bisa ditegakan apabila hak-hak adat mereka dihargai dan dilindungi.
Sedangkan pelestarian fungsi ekologi dan keberlanjutan sumberdaya alam (hutan) akan bisa terjamin dengan rasionalisasi menuju perimbangan tekanan ekstraksi/eksploitasi diantara berbagai jenis hasil bumi yang berbeda sesuai dengan potensinya.
2.Pendekatan “ecosystem” yang mengintegrasikan faktor kesamaan karakteristik ekologi di kawasan Hutan Masyarakat Adat Seko dalam system alokasi dan pengelolaan sumberdaya alam (hutan). Pendekatan “ecosystem” di wilayah masyarakat adat Seko ini juga menjadi relevan karena kawasan tersebut secara turun temurun, dihuni, dikuasai, dan dikelola oleh Masyarakat Adat Seko yang memilki cultural dan histories.
3.Pendekatan “socio-cultural” yang menempatkan sistem kekerabatan, kesamaan sejarah dan budaya sebagai perekat sosial dalam penerapan pendekatan ekosistem.
4.Pendekatan “community-based” yang menempatkan masyarakat adat sebagai pemegang kedaulatan atas penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam.
Pendekatan-pendekatan ini dianggap paling sesuai dengan wilayah masyarakat adat Seko karena sebagaian besar masyarakatnya masih menganut prinsip-prinsip kearifan tradisional, antara lain :

1)Masih hidup selaras dengan mentaati mekanisme alam dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga kesimbangannya.

2)Bahwa suatu kawasan hutan tertentu masih bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (communal property resource) yang dikenal sebagai wilayah adat sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan dari pihak luar.

3)Sistem pengetahuan dan struktur pemerintahan adat memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan.

4)Sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dan penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas.

5)Mekanisme pemerataan distribusi hasil “panen” sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial ditengah masyarakat.

Dengan alternatif baru berbasis masyarakat adat ini maka kemungkinan besar pengelolaan sumberdaya alam di kawasan Masyarakat Adat Seko akan lebih fleksibel dalam mengakomodasikan kepentingan masyarakat, efisien dari segi biaya dan efektif dalam pengambilan keputusan. Pendekatan ini pula, kontribusi ilmu pengetahuan akademisi akan memperkaya pranata adat, system pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal yang sudah ada.

Andi Ahmad Effendy

Rongkong-SEKO pada Harian Umum 1945

RWM.BOONG BETHONY

SECUPLET CATATAN RONGKONG - SEKO PADA "HARIAN UMUM 1954"

Wakil Perdana Menteri I wongsonegoro memberi jawaban atas pertanyaan anggota Parlemen Mr.Thambunan mengenai orang-orang Kristen yang teraniaya di Sulawesi Selatan sebagai berikut:1. Pemerintah memang menerima laporan tentang kejadian itu dan duduknya perkara adalah demikian:a. pada tanggal 28 Juli 1953 J.Sangka, pendeta di distrik Rongkong Atas, Masambea, Kabupaten Luwu bersama beberapa pemuka Kristen lainnya diambil oleh gero,bolan bersenjata diantaranya yang dikenal nama Djoha yang berasal dari kampung Welawi (Iwara Palopo, sertaterus di bawa ke kampung Malangke (Amassangan) melalui Tarue. Orang-orang yang diambil tersebut; J.Sungkan (pendeta di Rongkong Atas), Ratte dari kampung Sallutalang, Njila (penghantar jemaat Limbong), Moso (guru sekolah Manganan), Ambo Aseng (juru tulis kampung Manganan), Semba (penghantar jemaat Uri), Pango (guru sekolah Uri), Ledo (penghantar jemaat Kenandede), Djima (kepala kampung Pontattu), Sodu (penghantar jemaat Tanete), Njulue (kepala sekolah Limbong), dan Sialana dari kampung Limbong. b. Pada tanggal 28 Agustus 1953 oleh gerombolan bersenjata diambil pula dari distrik Seko pemuka-pemuka gereja beserta 80 orang pengikutnya. Rombongan singgah di Rongkong Atas dan gerombolan mengambil lagi beberapa pemuka gereja; Rupa (guru indjil), Batu (Wakil Kepala Distrik Seko), Galeon (kepala kampung Kariang), Kepala kampung Baroppa, Karipang (guru sekolah, penghantar jemaat Amballong) dan orang-orang dari Rongkong Atas; Sumbawa (guru Indjil), Ambo Ena (penghantar jemaat Sallutalang), Pabeta (eks kepala kampung Ponglegen), Pemandang, Mappe Ngamma (eks kepala kampung Uri), Bome (guru pembantu sekolah Ponattu). Mereka dibawa ke Jurusan Melangke oleh gerombolan. c. Karena kejadian-kejadian tersebut dilakukan di daerah yang tidak aman dan dikuasai oleh gerombolan-gerombolan bersenjata, polisi baru mengetahuinya pada tanggal 24 September 1953. Menurut keterangan, maksud dari penculikan itu adalah bahwa orang-orang yang bersangkutan akan dijadikan saksi dalam perkara Sangkala, dimana Kepala Distrik rongkong Atas telah menggabungkan diri kepada grombolan.d. Kemudian pada tanggal 25 September Polisi dapat keterangan, bahwa dalam bulan Agustus 1953 orang-orang yang disebut di atas telah dibunuh oleh gerombolan di kampung Patimang distrik Malangku. 2. Setelah mendapat keterangan tersebut di atas, Polisi segera melakukan pengusustan akan tetapi oleh karena peristiwa itu terjadi di daerah dikuasai oleh gerombolan, pengusutan belum dapat membuahkan hasil. Sudah tentu pemeriksaan ini akan dapat diperluas sejalan dengan operasi-operasi tentara dan polisi yang kini sedang direncanakan.3. Tindakan-tindakan Pemerintah dalam rangkaian penyelesaian soal keamanan di Sulawesi Selatan adalah antara lain bermaksud untuk melindungi rakyat pada umumnya dan umat Kristen khusunya.
(Harian Umum, 9 Februari 1954)

Buruk Pendekatan, Rakyar Di Salahkan!

Potret Tnll : Buruk Pendekatan, Rakyat Disalahkan
Sumber http://unclimatechangeconverence.blogspot.com

Oleh Anto Sangaji

Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) memiliki status hukum sebagai taman nasional sejak dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 593/Kpts-II/93, tertanggal 5 Oktober 1993. Sebelumnya, dari tahun 1982, TNLL masih berstatus sebagai calon taman nasional, setelah dideklarasikan pada Kongres Taman Nasional Sedunia di Bali, melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No.736/Mentan/X/1982.

Sebelum itu, dasar hukum Lore Lindu tercakup dalam status Suaka Margasatwa Lore Kalamanta, Suaka Margasatwa Sungai Sopu dan Gumbasa, serta Hutan Wisata dan Hutan Lindung Danau Lindu. Ketiga kawasan lindung ini ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian masing-masing ; No.522/Kpts/Um/10/1973, No.1012/Kpts/Um/12/1981, dan No.46/Kpts/Um/1978.

Luas TNLL 229.000 hektar, sekitar 3 % dari luas Propinsi Sulawesi Tengah, dan merupakan kawasan konservasi paling luas di propinsi ini. Secara administratif TNLL berada di dua kabupaten, yakni Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala. Di Kabupaten Poso, TNLL merupakan bagian dari Kecamatan Lore Utara dan Kecamatan Lore Selatan. Di Kabupaten Donggala, TNLL merupakan bagian dari Kecamatan Kulawi, Kecamatan Biromaru, dan Kecamatan Palolo. Terdapat 67 desa berhubungan langsung dengan TNLL. TNLL terletak diantara 1'8' sampai dengan 1'30' lintang selatan (LS) dan 119'58' sampai dengan 120'16' bujur timur (BT).

TNLL memiliki kenaekaragaman hayati yang tinggi. Beberapa fauna khas Sulawesi terdapat di kawasan ini, seperti anoa (bubalus quarlessi dan bubalus depricornis), kus-kus (phalanger celebensis dan phalanger ursinus), tarsius (tarsius spectrum), monyet (macaca tonkeana), musang cokelat Sulawesi (macrogalidia musschenbrock), dan lain-lain.

TNLL memiliki dua tipe vegetasi, yakni hutan hujan dataran rendah (200-1000 meter di atas permukaan laut) dan hutan hujan pegunungan (1000-2500 meter di atas permukaan laut). Komposisi flora hutan hujan dataran rendah agak berfariasi ditandai jenis yang dikenal dengan mussaendopsis beccariana, ficus sp, myristica sp,pterospermum, canangium odoratum, arenga pinatta, arenga sp, dan lain-lain. Hutan hujan pegunungan yang merupakan 90 % dari luas seluruh areal TNLL didominasi jenis vegetasi seperti castanopsis asgentea, lithocarpus sp. Juga terdapat beberapa jenis yang agak kurang seperti podocorpus, elacorpus, adinandra,listea, callohyllun, eucaliptus deglupta dan lain-lain (Lihat Wirawan, 1981:12-18).

Penduduk yang bermukim di dalam, enklaf, dan sekitar TNLL terdiri atas penduduk asli dan pendatang. Penduduk asli antara lain To Lindu, To Kulawi, To Gimpu, To Behoa, To Pekurehua, dan To Bada. Penduduk pendatang terdiri atas migrasi spontan dari Sulawesi Selatan (Bugis dan Toraja), migrasi karena pergolakan DI/TII (Suku Rampi dan Suku Seko), migrasi melalui proyek transmigrasi (Jawa, Bali, Lombok), dan proyek pemukiman kembali masyarakat terasing (PKMT) (Topo Da'a).

Kontek Pengelolaan Kawasan Konservasi : Pengetahuan Konservasi
Pengetahuan tentang konservasi di Indonesia sangat kuat dipengaruhi oleh faham konservasi alam klasik (classic nature conservation). Faham ini menekankan solusi terhadap penghancuran hutan hujan tropis adalah dengan penetapan kawasan-kawasan yang dilindungi, di mana setiap orang dilarang masuk, guna melindungi spesies-spesies yang terancam punah (Gray, 1991:56). Faham ini sejalan dengan faham ekofasis yang menganggap konservasi lingkungan sebagai jauh lebih penting dari kehidupan rakyat, khususnya rakyat miskin.Mereka menganggap bahwa memang tidak dapat dielakkan kalau rakyat harus dipindahkan dari daerah-daerah yang terancam rusak, apakah itu hutan-hutan tropis, kawasan lindung untuk berburu, atau zona-zona peresapan air (Dietz,1998:22).

Dalam pegalaman TNLL, dasar-dasar penerapan faham konservasi alam klasik dan ekofasis dapat dilihat dari sejumlah laporan studi. Laporan Watling & Mulyana (1981), dan Blower,J Wind,Amir (1977), didasarkan pada pengetahuan ekologi tumbuhan dan binatang, dan tidak memberikan perhatian pada realitas sosial kehidupan masyarakat di sekitarnya. Akibatnya, laporan-laporan itu menekankan pentingnya perlindungan kawasan itu di satu pihak, dan melihat ancaman terhadap kawasan itu dari beberapa komunitas, seperti Katu dan Dodolo. Rekomendasi mengenai pemindahan penduduk dan kontrol yang ketat terhadap penduduk setempat, memperlihatkan bahwa basis pengetahuan ekologi yang mendasari pembentukan TNLL bersifat restriktif.

Basis pengetahuan yang mendasari konsep mengenai taman nasional memang bukan sesuatu yang khas Indonesia. Tahun 1969 International Union for Conservation of Nature and natural Resources (IUCN) memberikan batasan mengenai taman nasional, yakni : (1) kawasan yang cukup luas bagi pembangunan satu atau lebih ekosistem dan yang praktis tidak banyak dijamah manusia. Dalam kawasan ini, berkembang jenis tanaman, binatang, dan lain-lain. Habitat yang memiliki nilai ilmiah dan pendidikan besar ; (2) karena kepentingannya yang begitu khas bagi ilmu dan pendidikan, maka pengelolaannya berada di tangan pemerintah yang bertugas melestarikan ekosistem yang tersedia ; (3) karena memiliki unsur pendidikan, ilmiah dan daya tarik alamiah, maka kawasan itu dapat dikunjungi dan dikelola bagi manfaat manusia, tanpa mengubah ciri-ciri ekosistemnya. IUCN (1994) mengkategorikan taman nasional sebagai bahagian dari kawasan yang dilindungi, di samping daerah reserve alam ketat, mounumen alam, daerah konservasi habitat dan margasatwa, lansekap yang dilindungi, dan area perlindungan sumber daya. Konsep taman nasional (national park) mulai berkembang di negara-negara barat, ketika Yellow Stone ditetapkan sebagai taman nasional di Amerika sejak 1872.

Konsep taman nasional diterapkan di Indonesia, ketika pada 1980, bertepatan dengan pengumuman Strategi Pelestarian Dunia (World Conservation Strategy), Menteri Pertanian mengeluarkan Pernyataan pada tanggal 6 Maret 1980 mengenai penetapan lima kawasan suaka alam sebagai taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser, TN Ujung Kulon, TN gunung Gede-Pangrango, TN Baluran, dan TN Komodo (LATIN, 1992).

Komitmen Global
Konservasi bertaut dengan proses globalisasi. Menguatnya komitmen internasional dimulai sejak 1970-an, dimulai dengan Deklarasi Stockholm tentang lingkungan hidup (1972), Konvensi mengenai Perlindungan Terhadap Kebudayaan Dunia dan Warisan Alam (1972) dan Konvensi tentang Perdagangan Internasional Spesies Langka Fauna dan Flora Liar (1973). Pada 1990-an, tumbuh kesadaran kuat mengenai perlindungan lingkungan, yang secara monumental ditandai dengan penyelenggaraan United Nation Conference on Environment and Development (UNCED) atau dikenal dengan "pertemuan bumi" (Earth Summit), yang dihadiri sekitar 100 pemimpin pemerintahan yang mewakili 170 negara, Juni 1992 di Rio de Janeiro.

Setelah pertemuan Rio, di bawah PBB dibentuk Commission on Sustainable Development (CSD) . Hutan dan konservasi menjadi salah satu fokus penting CSD, seperti tertuang dalam Bab 11 Agenda 21, yang diberi judul ˜"Combatting Deforestation" dan suplemen mengenai "Forest Principles" (IAITPTF & IWGIA, p,45). Setelah pertemuan Rio, telah dikeluarkan the United Nations Convention on Biological Diversity dan United Nation Framework Convention on Climate Change.

Kuatnya agenda global mengenai konservasi juga terlihat dari pembentukan Global Environmental Facility (GEF) 1990, sebagai respon terhadap tidak adanya dana untuk proyek dan strategi konservasi. Tanggung jawab untuk implementasi GEF merupakan share antara Bank Dunia, United Nation Development Programme (UNDP), dan United Nations Environment Programme (UNEP). Sebelum itu, pada 1985, sebuah inisiatif dari World Bank (WB), UNDP, World Resources Institute (WRI), dan Food and Agriculture Organization (FAO) membentuk the Tropical Forest Action Program (TFAP), guna menyediakan kerangka mengenai tantangan dan kebutuhan yang berhubungan dengan konservasi dan pembangunan hutan tropis.

Perhatian terhadap perlindungan keanekaragaman hayati atau kawasan yang dilindungi menjadi komitmen lembaga-lembaga pembiayaan internasional, seperti WB dan Asian Development Bank (ADB). Banyak proyek konservasi di negara sedang berkembang yang dibiayai oleh lembaga multilateral development banks (MDBs) ini. Misalnya, proyek yang mengintegrasikan konservasi dan pembangunan seperti Integrated Conservation and Development Project (ICDP) di beberapa taman nasional Indonesia.

Proyek-proyek konservasi yang dibiayai MDBs tentu saja sangat kontras dengan perilaku lembaga-lembaga tersebut dalam penghancuran keanekaragaman hayati. Bank Dunia misalnya telah membiayai penghancuran karagaman genetik di dunia ketiga selama lebih dari 40 tahun. Bank Dunia juga membiayai revolusi hijau yang menggantikan sistem pertanian asli yang beragam di dunia ketiga dengan pertanian monokultur yang seragam serta rapuh secara gentis (Shiva, 1993:9).

Selain MDBs, proyek-proyek konservasi juga didukung oleh beberapa LSM internasional seperti World Wide Fund for Nature (WWF), ,em>Conservation International (CI), dan The Nature Conservation (TNC) (Barber,Suraya,Agus,1997). Lembaga-lembaga ini melakukan berbagai kegiatan riset ekologi, management plan, dan proyek-proyek peningkatan pedapatan masyarakat di kawasan-kawasan konservasi.

Dalam kasus TNLL, komitmen global terhadapnya ditandai dengan dideklarasikannya sebagai taman nasional pada waktu Kongres Taman Nasional se-Dunia yang diselenggarakan di Bali 1982. Jauh sebelum itu, lembaga internasional seperti FAO dan WWF, bekerja sama dengan pemerintah Indonesia, telah mengeluarkan sejumlah dokumen mengenai kawasan konservasi Lore Lindu (lihat Blower,J Wind,Amir :1977, Watling & Mulyana:1981). Sebuah LSM asal Amerika The Nature Conservation, sejak awal 1990-an telah mengembangkan sejumlah program konservasi di Lore Lindu diantaranya budi daya lebah madu dan ternak kupu-kupu, dan saat ini menyiapkan usulan zonasi TNLL. Sejak 1997, ADB memberikan loan sebesar US$ 32 juta kepada pemerintah Indonesia dalam proyek CSIADCP (Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservation Project) di kawasan sekitar Lore Lindu (ADB, 1997).

Kuatnya komitmen global (baca, negara-negara Utara dan lembaga-lembaga internasional di bawah kendali negara-negara itu) terhadap kawasan konservasi terpaut dengan realitas obyektif kayanya sumber daya hayati di negara-negara selatan. Bersama Brazil, Columbia, Mexico, Zaire, dan Tanzania, Indonesia adalah salah satu negara megadiversity. Sebaliknya, negara-negara Utara miskin sumber daya hayati. Dari sekitar 100 tumbuhan pangan bernilai ekonomi penting di dunia, hanya 16 jenis yang berasal dari Amerika, Kanada, dan negara-negara Utara lainnya (Muhtaman, Arif, Sandra, 1999).

Kebijakan Negara
Di Indonesia, kebijakan negara tentang konservasi dapat dilacak sejak masa kolonial Belanda. 1932, pemerintah kolonial Belanda telah mengeluarkan 'Ordonansi Cagar-cagar Alam dan Suaka-suaka Margasatwa' (Natuurmonumnten en Wildreservatenordonnantie 1932) Staatsblad 1932, No.17. Ordonansi ini kemudian digantikan dengan 'Ordonansi Perlindungan Alam 1941' (Natuurbeschermingsordonnantie 1941) Staatsblad 1941, No.167 (lihat Danusaputro, 1985).

Sejak kemerdekaan 1945, kebijakan pemerintah setingkat undang-undang yang secara langsung terkait dengan konservasi adalah UU No.5 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, UU No.5 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 24 1992 tentang Penataan Ruang, dan UU No.5 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Keanakaragaman Hayati, dan UU No.23 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Diantara UU itu, maka UU No 5 1990 yang paling lengkap merumuskan tentang kawasan konservasi.

Berkaitan dengan taman nasional, UU No.5 1990 memberikan pengertian yang jelas dan lengkap. Pasal 1 ayat 14 UU ini menyatakan bahwa taman nasional sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

Kebijakan negara di bidang konservasi, terutama berkaitan dengan taman nasional, memiliki sejumlah masalah yang sangat mendasar. Pertama, tidak adanya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat setempat (masyarakat adat atau migran) atas tanah dan sumber daya alam lain yang dikuasai secara tradisional, jika wilayah itu ditetapkan sebagai bahagian dari taman nasional. Kawasan yang ditetapkan sebagai taman nasional dianggap sebagai kawasan tidak bertuan, sehingga negara (pemerintah) dapat menetapkannya secara sepihak.

Dengan demikian, dari segi kepentingan masyarakat asli, UU No 5/1990 tentang KSDAHE sangat tertinggal dibanding Ordonansi Perlindungan Alam 1941 (Natuurbeschermingsordonnantie 1941). Pasal 2 angka 3 ordonansi tersebut menyebutkan bahwa pernyataan sebagai Suaka Margsatwa atau Cagar Alam dapat dilakukan terhadap daerah-daerah, atas nama dikuasai pihak ketiga, akan tetapi hanya setelah mendapat persetujuan dari yang berkepentingan!. Selanjutnya, dalam pasal 13 angka 3 ditegaskan, "pada saat berlangsung ordonansi ini, pihak ketiga yang telah menjalankan haknya di dalam Suaka Margasatwa yang ada, tidak diadakan perubahan, kecuali setelah dilakukan permufakatan dengan yang berkepentingan" (lihat Danusaputro, 1985 : 57-62).

Tidak adanya pengakuan membawa implikasi yang sangat kompleks, khususnya berhubungan dengan sistem pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Di satu pihak melucuti hak masyarakat atas sumber daya alam, dan di pihak lain menyediakan ruang bagi praktik bioprospeksi dan biopirasi dibalik kedok riset ilmu pengetahuan. Praktik-praktik ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak kepemilikan intelektual masyarakat pemilik sumber daya alam.

Kedua, pengelolaan taman nasional terlampau menekankan pada kepentingan ekologi, dan sama sekali mengabaikan kepentingan masyarakat di sekitarnya. Hal ini terutama telihat pada ketentuan mengenai sistem zonasi. Pasal 32 Undang-undang No 5/1990 menyebutkan bahwa kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. Penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan zona inti adalah bagian dari kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata. Zona lain adalah zona di luar kedua zona tersebut karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi, dan sebagainya.

Peraturan Pemerintah (PP) 68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Pasal 31 point 1 menyatakan bahwa penunjukan suatu kawasan sebagai taman nasional, apabila telah memenuhi kriteria-kriteria ; (a) kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami ; (b) memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami ; (c) memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh ; (d) memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam ; (e) merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

Kecenderungan yang menyisihkan kepentingan masyarakat terlihat pada kriteria-kriteria yang digunakan untuk penetapan zonasi. PP 68/1998 pasal 31 poin 2 menyatakan bahwa penetapan sebagai zona inti, apabila memenuhi kriteria :
(a) mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
(b) mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya;
(c) mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau belum diganggu manusia;
(d) mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami;
(e) mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi;
(f) mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau keberadaannya terancam punah.

Pasal 31 poin 3 menyatakan bahwa penetapan sebagai zona pemanfaatan, apabila memenuhi kriteria ;
(a) mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik ;
(b) mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam;
(c) kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam

Pasal 31 poin 4 menyatakan bahwa penetapan sebagai zona rimba, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut ;
(a) kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi;
(b) memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan;
(c) merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.

Dengan menetapkan kriteria yang begitu ketat, maka pengelolaan taman nasional akan melihat masyarakat di sekitarnya sebagai ancaman. Metode-metode restriksi akan dipakai untuk menghalau masyarakat di sekitarnya.

TNLL : Kisah Marginalisasi Penduduk

1.Marginalisasi Tahap Kesatu
Ketika ditetapkan sebagai kawasan konservasi, kesalahan paling mendasar yang dilakukan oleh pemerintah adalah memperlakukan TNLL sebagai kawasan tidak bertuan. Fakta bahwa masyarakat di sekitar kawasan itu memiliki hubungan yang kuat dengan sumber daya alam di sekitarnya, seperti ketergantungan pada hasil hutan (kayu, rotan, bambu, tali, obat-obatan, binatang buruan), sungai, tanaman-tanaman budidaya pertanian (padi dan ubian-ubian), dan tanaman keras (kopi), tidak dilihat sebagai pemilik sah atas wilayah itu. Pemerintah telah bertindak sewenang-wenang ketika menetapkan sebagai kawasan konservasi, tanpa melalui prosedur konsultasi atau musyawarah dengan pemilik sah wilayah itu.

Tidak heran, sejak ditetapkan sebagai kawasan konservasi 1970-an, kisah TNLL sejatinya adalah kisah mengenai marginalisasi penduduk setempat. Di Lore Utara, misalnya, ketika masih berstatus Cagar Alam Lore Kalamanta dan hendak ditingkatkan menjadi taman nasional, pamongraja setempat sudah mengeluarkan larangan berburu semua jenis margasatwa di hutan suaka, dan pengawasan terhadap penebangan kayu oleh penduduk (Tempo, 13 Mei, 1978). Berbarengan dengan itu, usulan untuk recana pengelolaan Taman Nasional Lore Kalamanta sarat dengan berbagai bentuk larangan, seperti larangan memasuki taman nasional tanpa izin, melakukan penebangan kayu, perladangan, dan sebagainya (Blower,J Wind,Amir, 1977).

Bagi penduduk asli yang mendiami kawasan di dalam dan sekitar TNLL, seperti To Behoa, To Napu, To Bada, To Lindu, To Kulawi, berbagai larangan itu merupakan masalah. Karena kehidupan mereka sungguh tergantung pada sejumlah satwa buruan seperti anoa, babi rusa, babi hutan, dan rusa, di samping berbagai jenis kayu, bambu, rotan, dan tumbuhan obat-obatan. Tidak saja itu, di dalam wilayah hutan mereka terdapat tanaman kopi dalam jumlah tidak sedikit. Sehingga, seperti ditulis oleh Aditjondro (1979) memisahkan mereka dari hutan, sama saja dengan memaksa nelayan naik ke darat dan menggantung jalanya.

Tindakan paling keras dilakukan terhadap masyarakat yang kampungnya secara turun-temurun telah berada dalam kawasan yang kemudian ditetapkan sebagai areal konservasi itu. Misalnya, rencana memindahkan penduduk Desa Katu dan Desa Dodolo (Watling & Mulyana,1981). Tahun 1989, Desa Dodolo yang berbatasan dengan Desa Katu dipindahkan keluar dari TNLL ke Toe Jaya, sebuah tempat antara Desa Wanga dan Desa Kaduwaa di Kecamatan Lore Utara, yang masih berbatasan langsung dengan TNLL (Sangaji, 1999, Alam Azis, 1999). Mestinya, Desa Katu juga ikut dalam proyek pemindahan yang dilakukan oleh Departemen Sosial ini. Karena menolak dipindahkan, sehingga Desa Katu tetap berada dalam TNLL. Sejak pertengahan 1990-an, melalui proyek CSIADCP yang dibiayai melalui pinjaman ADB, Orang Katu dipaksa kembali pindah (ADB, 1997). Tetapi, kembali tidak terwujud karena ditolak keras oleh Orang Katu (Sangaji, 2000). Akan halnya penduduk Desa Dodolo, nasib mereka ternyata tidak membaik setelah dipindahkan, karena pal batas TNLL ditancapkan persis di belakang gereja dan sekolah dasar yang menghadap ke arah kampung. Mereka dilarang melintasi pal batas ini. Padahal satu-satunya hutan yang tersisa berada di TNLL.

Petugas kehutanan di lapangan, Polsus/Jagawana kerap harus bertindak keras, menyita rotan, kayu, dan satwa. Bahkan dalam beberapa kasus, menghancurkan tanaman cokelat dan kopi. Perseteruan antara Polsus/Jagawana dengan masyarakat nyaris merupakan pemandangan hari-hari di sekitar TNLL. Tidak saja itu, dalam beberapa kasus warga terpaksa berurusan dengan polisi, karena dianggap menjarah hutan TNLL. Malahan terpaksa dijebloskan ke penjara, seperti yang dialami oleh Pak Lili. Warga Desa Kadidia Kecamatan Palolo ini pernah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Maesa di Palu selama 4 bulan tanpa proses hukum.

Protes-protes selalu mewarnai pengelolaan TNLL yang dianggap merugikan penduduk. Keresahan masyarakat pernah mengundang keprihatinan pimpinan Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) di Poso, yang mengajukan masalah ini kepada Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) Emil Salim, tetapi juga tidak pernah selesai (Aditjondro, 1993). Tahun 1994, pemuka adat Besoa, G Sambaa menemui Gubernur Sulawesi Tengah H Abdul Azis Lamadjido untuk meminta pemindahan tapal batas TNLL, karena dianggap mengganggu kegiatan mereka (Mercusuar, 22/5/1994). Tetapi, permintaan ini sama sekali tidak pernah terwujud. Protes warga Desa Tongoa Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala di Balai TNLL berlangsung panas dan nyaris terjadi pertumpahan darah, menyusul penolakan TNLL atas klaim kebun-kebun oleh penduduk setempat (Koran Tempo, 4/7/2001). Menurut keterangan beberapa penduduk protes ini dilakukan meyusul tindakan beberapa petugas yang menebang kebun-kebun kopi dan cokelat dan membakar pondok warga di dalam TNLL. Setelah peristiwa ini, karena merasa terancam, petugas Jagawana mengosongkan pos penjagaan di Desa Tongoa. Pos penjagaan itu kini dipenuhi grafiti yang dilakukan warga, diantaranya tertulis 'Pos ini Dijual'.

Konflik paling keras terjadi di Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala. Forum Petani Merdeka (FPM), yakni organisasi petani gabungan Desa Kamarora, Desa Kadidia, dan Desa Rahmat melakukan pendudukan TNLL di Dongi-dongi di sisi ruas jalan yang menghubungkan Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala dengan Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso. Melalui pernyataan sikap 18 Juni 2001, FPM mendesak pemerintah untuk memberikan lahan garapan kepada petani tak bertanah di lokasi yang juga merupakan bekas areal konsesi HPH PT Kebun Sari itu. Mereka juga menuntut tanaman masyarakat di pinggiran dalam kawasan TNLL tetap menjadi milik masyarakat. 19 Juni 2001, lebih dari 1000 petani dari keempat desa tersebut melakukan unjuk rasa ke kantor Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dengan tuntutan yang sama (lihat Suara Pembaruan, 19 Juli, 2001). Ini merupakan aksi protes paling masif yang pernah terjadi dalam kasus Lore Lindu. Tetapi, tuntutan masyarakat sukar dipenuhi, karena sejak pagi-pagi Balai TNLL menganggap bahwa kegiatan masyarakat merupakan perambahan hutan. Karenanya, kesimpulan rapat penyelesaian kasus Dongi Dongi memutuskan bahwa masyarakat harus keluar dari kawasan itu . Gubernur Sulawesi Tengah melalui surat tertanggal 18 Agustus 2001 meminta Polda Sulteng untuk mengambil tindakan tegas terhadap ratusan KK itu. Bupati Donggala tidak mau kalah, melalui surat tertanggal 16 Agustus 2001 meminta Polda Sulawesi Tengah segera mengosongkan daerah Dongi-dongi dalam kurun 3 X 24 Jam terhitung sejak tanggal 20 Agustus 2001. Tidak tinggal diam, Kepala Balai TNLL, Ir Banjar Yulianto Laban,MM, menyurat Kapolda Sulteng untuk mengusut Yayasan Bantuan Hukum Rakyat (YBHR), ornop yang bekerja dengan masyarakat yang tergabung dalam forum Petani Merdeka (FPM). Wajah eco-facism benar-benar mau dioperasikan di TNLL.

Padahal petani dari ke-empat desa tersebut merupakan korban proyek pemindahan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah sejak pertengahan 1970-an. Semula mereka dijanjikan akan mendapatkan lahan seluas 2 hektar bagi setiap kepala keluarga. Faktanya, mereka hanya mendapatkan lahan antara 0,5 - 0,8 hektar. Sebuah survey di Desa Rahmat menunjukkan bahwa 80 dari 177 KK di dusun I sama sekali tidak punya tanah (lihat Li & Sangaji, 2000). Informasi lain menyebutkan bahwa jumlah penduduk yang tidak memiliki lahan di desa ini sebanyak 200 KK . Bagi para petani tidak ada pilihan lain, kecuali melirik areal TNLL sebagai alternatif lahan pertanian.

Hampir semua desa, dari 60-an desa di dalam, enklaf, dan sekitar memiliki masalah yang seragam, mulai dari soal tapal batas yang dekat kampung, kebun dalam TNLL, hingga petugas kehutanan yang sewenang-wenang. Mereka pada dasarnya mengajukan tuntutan yang sama, yakni pengakuan terhadap hak-hak mereka yang telah diambil oleh pemerintah di kawasan itu (YTM & Pemerintah Ngata Toro,2000)

2. Marginalisasi Tahap Kedua.
Penduduk di sekitar TNLL juga termarginalisasi menyusul hadirnya sejumlah proyek pembangunan seperti transmigrasi, perkebunan, dan sebagainya. Penempatan transmigrasi di Winowanga dan Kaduwaa Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso yang berbatasan langsung dengan TNLL telah menyiutkan luas lahan penduduk asli Pekurehua, baik yang bermukim di Desa Kaduwaa, Desa Wanga dan Desa Watutau.

Proses yang sama juga terjadi setelah pemerintah memberikan izin usaha perkebunan kepada swasta, koperasi dan perusahaan daerah. Tercatat di kawasan sekitar Lore Lindu terdapat perkebunan teh dan kopi PT Hasfarm di Napu Kecamatan Lore Utara (7740 hektar). Masyarakat Desa Watutau menganggap bahwa tidak kurang 600 hektar lahan yang merupakan lahan pengembalaan ternak mereka telah dicaplok sebagai bahagian dari areal PT Hasfarm (lihat Suluh Nasional, Minggu I-II, Juni 1995).

Pemerintah juga telah memberikan izin perusahaan perkebunan lain di sekitar TNLL. Diantaranya adalah di Kulawi PT Kebun Adi Dharma dengan komoditi kakao (99 Ha), PT Gimpu Jaya Coklat (coklat,100 ha), PT Gimpu Jaya Coklat (kopi arabika,5000 ha), PT Tangkolowi Makmur (kopi arabika,275 ha), KPN Adhyaksa Kejati (kopi arabika,125 hektar), PD Sulteng Kulawi (cengkeh,375 ha),PT Sintuvu Karya (kakao) di Palolo (99 ha).

3. Marginalisasi Tahap Ketiga.
Marginalisasi terhadap penduduk di sekitar TNLL juga terjadi karena adanya tuan-tuan tanah baru. Para tuan tanah baru ini teridentifikasi terdiri atas sejumlah bekas pejabat pemerintah, yang karena kekuasaannya di masa lalu dapat dengan mudah memperoleh lahan dalam jumlah puluhan bahkan ratusan hektar untuk usaha pertanian. Selain itu, para tuan tanah baru juga teridentifikasi sebagai petani/pedagang yang memperoleh tanah melalui mekanisme jual beli.

Tanah-tanah petani di sekitar TNLL terpaksa jatuh kepemilikannya melalui beberapa mekanisme. Pertama, mekanisme jual beli karena utang. Tanah-tanah petani terpaksa dijual karena sebelumnya berutang sejumlah uang atau barang dari para pedagang. Kedua, mekanisme hukum, di mana sejumlah petani terpaksa menjual tanahnya (kerap dengan harga murah), karena tidak adanya jaminan atau keamanan hukum atas tanah-tanah mereka. Di Dataran Gimpu, misalnya, sejumlah petani terpaksa menjual tanahnya, karena tanah-tanah yang tidak bersertifikat dan tanah yang belum ditanami tanaman keras (kopi atau coklat), dianggap sewaktu-waktu dapat diambil pemerintah.

Menyaksikan ketimpangan dalam pemilikan lahan di sekitar TNLL, maka tindakan Kepala Desa (sekarang Kepala Ngata) Toro patut dipuji. Pada 1999, Kepala Ngata Toro mengambil alih kepemilikan lahan seluas 6 hektar milik Alex Subala (bekas salah seorang pejabat di Kantor Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah), dan selanjutnya meredistribusi lahan itu kepada petani-petani tak bertanah di Ngata Toro, masing-masing seluas 0,5 hektar.

TNLL : Wajah yang bopeng

1.Proyek-proyek yang merusak
TNLL memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, karenanya menyimpan potensi sumber daya alam yang bernilai sangat ekonomis. Karenanya, menjadi perhatian dan rebutan banyak pihak, untuk berbagai tujuan. Perusakan atau potensi perusakan terhadap TNLL karenanya tidak bisa dielakkan.

Perusakan terhadap TNLL sebenarnya banyak dipicu oleh proyek-proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Pada 1991, ketika pemerintah menempatkan transmigrasi di Kaduwaa Lembah Napu Kecamatan Lore Utara, yang berbatasan langsung dengan TNLL, maka menurut masyarakat setempat, burung-burung rangkong tidak dapat lagi terbang bebas, karena habitatnya telah rusak, ketika dilakukan pembukaan hutan (Mercusuar, 8 Oktober 1991). Ketika pembangunan ruas jalan Palolo - Napu yang membelah TNLL sejak awal 1990-an, di sisi kiri dan kanan banyak ditemukan tumpukan kayu yang siap diangkut keluar dari kawasan itu. Tahun 1996, Dinas Pekerjaan Umum (PU) Sulawesi Tengah melaksanakan pembangunan jalan ruas Gimpu-Gintu melintasi TNLL. Proyek ini terpaksa dihentikan oleh Menteri Kehutanan, karena diprotes sejumlah Ornop dan ahli kehutanan Dr Nengah Wirawan. Penghentian ini sempat dipersoalkan oleh Wakil Ketua DPRD Tingkat I Sulawesi Tengah H Azwar Syam (Surya, 12 Desember 1996). Kol (Mar) Azwar Syam adalah juga bekas Ketua DPD Golkar Tingkat I Sulawesi Tengah, dan setelah berhenti dari keanggotaannya di DPRD Tkt I Sulteng, mendirikan Yayasan Liberty, sebuah LSM untuk kemudian mengkampanyekan pembangunan PLTA Lore Lindu dari tahun 1999 hingga tahun 2000 (Sangaji, 2000).

Pada 1999, ketika pemerintah melalui proyek peningkatan pemukiman perambah hutan melalui dana reboisasi (P4HDR) menyiapkan pemukiman di Baleura Besoa Kecamatan Lore Utara, pelaksana proyek tersebut CV Bina Baru telah membabat areal TNLL. Oleh Balai TNLL, kasus ini telah diadukan kepada Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah, tetapi sama sekali tidak terdengar tindakan hukum. Berbeda dengan To Behoa di Desa Lempe Kecamatan Lore Utara, yang segera meberi denda adat kepada perusahaan tersebut, karena menganggap telah terjadi pelanggaran di wilayah adat mereka.

PT Artha Palu memperoleh izin dari Dinas Kehutanan Kabupaten Donggala untuk mengolah limbah kayu pakanangi di Desa Tongoa Kecamatan Palolo. Tetapi, kenyataannya melakukan penebangan baru, justru di areal TNLL di kaki Gunung Nokilalaki. Sejauh ini, sama sekali tidak ada reaksi dari pemerintah, termasuk Balai TNLL, kecuali protes dari Forum Petani Merdeka (FPM) dan ED WALHI Sulteng .

TNLL bakal menghadapi ancaman serius, karena sejak 1998 diterbitkan kontrak karya pertambangan (emas) antara pemerintah Indonesia dengan PT Mandar Uli Mineral, perusahaan di bawah bendera Rio Tinto Ltd. PT Mandar Uli Mineral telah melakukan survei umum (general survey) di wilayah konsesi seluas 590.000 hektar di empat wilayah Kabupaten, masing-masing Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Luwu (Sulawesi Selatan) dan Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala (Propinsi Sulawesi Tengah). Di wilayah Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala, wilayah konsesi ini mencakup sebahagian wilayah TNLL di sekitar Gimpu (Kecamatan Kulawi) dan Kecamatan Lore Selatan (Anonimous,2000).

Sejak 1980-an, pemerintah merencanakan pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Palu-3 atau yang lazim dikenal PLTA Lore Lindu. Pembangunan yang sedianya akan membendung out let Danau Lindu ini juga diperkirakan akan memerlukan areal seluas 10.000 hektar untuk sarana fisik dan jalan masuk yang melintasi TNLL (lihat Wirawan,1994). Tentu saja, proyek ini mengancam kawasan konservasi itu. Berkat resistensi kuat To Lindu yang didukung aktivis Ornop, mahasiswa, dan pecinta alam, sehingga nasib proyek ini menjadi tidak menentu (Sangaji, 2000).

2. Penjarahan TNLL : Maling Teriak Maling.,
Harian Suara Pembaruan (2 November, 1995) melaporkan bahwa setiap hari tidak kurang dari 15 truk hasil hutan terdiri dari kayu, rotan, serta hasil hutan lain lolos dari TNLL. Dalam kasus semacam ini kerap masyarakat di sekitar TNLL dijadikan kambing hitam, bukan mata rantai para pemodal, yang sebenarnya sangat mudah dibekuk.

Pos pejagaan angkutan hasil hutan yang dipasang berlapis-lapis di sekitar TNLL mestinya menjadi penghalang ekstraksi hasil hutan TNLL. Sayangnya, sudah menjadi pembicaraan umum bahwa praktik pencurian hasil hutan di kawasan itu sering melibatkan petugas. Suatu ketika, Camat Lore Utara Drs Herry S Kabi menangkap dua truk rotan tanpa dokumen, dan menyerahkannya kepada petugas polisi khusus (polsus) kehutanan di Wuasa. Ternyata, rotan curian itu tidak diproses lebih lanjut, tetapi justru diloloskan (lihat Suara Pembaruan, 2 November 1995). Wakil demonstran dari desa Rahmat, Kadidia, Kamarora A, Kamarora B yang berdialog dengan wakil Gubernur Sulteng Rully Lamadjido, SH pada 19 Juli 20001 menyatakan bahwa petugas-petugas jagawana justru terlibat dalam pencurian hasil hutan di TNLL.

Kecuali petugas kehutanan sendiri, pencurian hasil hutan di TNLL juga melibatkan petugas kepolisian. Misalnya, 13 Mei 2000, Polhut yang melakukan penjagaan di Pos Resort Pakuli menangkap kayu kurang lebih 14 m3 tanpa dokumen. Setelah diperiksa, yang mengaku sebagai pemilik kayu tersebut adalah Lettu (pol) Sahidin, anggota Polri di Polda Sulteng. Soal ini oleh Kepala Balai TNLL kemudian diadukan kepada Kapolda Sulteng. Balai TNLL juga melaporkan bahwa tanggal 9 Juli 2001 telah menyita kayu sebanyak 6 m3 yang diangkut seorang anggota TNI AD dengan mobil bernomor polisi 688-VII milik Komando Resort Militer (Korem) 132 Tadulako.

Masyarakat dan Konservasi
Suku-suku asli yang menghuni kawasan di sekitar TNLL antara lain To Lindu, To Kulawi, To Gimpu, To Behoa (Besoa), To Napu, To Bada. Sukar dilacak asal-muasal suku-suku ini mendiami kawasan dataran tinggi di lembah-lembah pegunungan itu. Buku Kaudern (1923) memberikan gambaran mengenai kemungkinan proses migrasi penduduk ke kawasan itu dimulai dari Malili di Teluk Bone. Yang pasti adalah bahwa peradaban di kawasan itu telah berlangsung ribuan tahun, ditandai dengan banyaknya batuan megalit yang tersebar di Bada, Behoa, Napu, Kulawi, dan Lindu. Batuan megalit itu diantaranya berbentuk patung manusia lengkap dengan ukiran kemaluan, dan kalamba, seperti tempayan ukuran besar, yang dihiasi pahatan wajah manusia dan binatang (Kaudern, 1938).
Suku-suku asli di kawasan itu juga memiliki keanekaragaman budaya yang sangat tinggi, seperti tercermin pada perbedaan bahasa dan arsitektur. To Lindu menggunakan bahasa tado, To Behoa menggunakan bahasa Behoa, To Napu menggunakan bahasa Napu, dan To Kulawi menggunakan bahasa Kulawi. Meskipun arsitektur-arsitektur "kayu", suku-suku asli di kawasan itu terancam punah oleh serbuan arsitektur "semen", tetapi arsitektur asli To Behoa dapat dibedakan dari arsitektur asli To Lindu, To Bada, To Kulawi, dan begitu juga perbedaan diantara yang lainnya (lihat Kaudern,1925).
Suku-suku asli itu juga memiliki sistem pengetahuan yang sangat kaya dalam pengelolaan sumber daya alam. Ditandai dengan pengetahuan yang mendalam mengenai pertanian, perburuan, pengobatan yang berbasiskan sumber daya alam di sekitarnya. Sistem pengetahuan ini juga mencakup berbagai aturan main mengenai pemilikan dan penguasaan atas sumber daya alam itu.
Berhubungan dengan konservasi, maka patut melihat dua pelajaran penting suku-suku asli di kawasan itu. Pertama, bagaimana pola pengelolaan sumber daya alam suku-suku itu, dan : kedua, bagaimana suku-suku itu melakukan tindakan yang berhubungan dengan perlindungan keanekaragaman hayati.

1. Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam
Banyak pola pengelolaan sumber daya alam masyarakat adat di sekitar TNLL yang memperlihatkan bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri. Pola ini juga menunjukkan bagaimana sumber daya alam dikelola dengan prinsip-prinsip keadilan dan berkelanjutan.

To Behoa di Desa Katu Kecamatan Lore Utara memiliki pola-pola penggunaan tanah dan hutan (Sangaji, 2000). Bagi Orang Katu, pemilikan atas tanah dimulai ketika seseorang membuka hutan (pandulu) untuk dijadikan ladang (hinoe). Pembuka pertama hutan untuk ladang akan menjadi pemilik atas lahan itu. Hutan yang belum diolah dipersepsikan sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan pada suatu ketika, karenanya semua Orang Katu memiliki hak dan akses yang sama untuk mengolahnya.

Karena membuka hutan merupakan dasar dari pemilikan atas tanah, maka sangat penting untuk memahami bagaimana Orang Katu mengelompokkan hutan. Pertama, mereka menyebutkan pandulu yakni hutan primer, yang belum pernah ada kegiatan manusia untuk mengolahnya menjadi ladang. Vegetasi utama di pandulu adalah kayu berbagai jenis dan rotan. Pandulu akan dimanfaatkan pada suatu masa jika diperlukan.

Kedua, mereka menyebutkan "lA'po", untuk jenis hutan sekunder atau pandulu yang pernah dimanfaatkan. "LA'po" adalah jenis hutan yang pernah dimanfaatkan menjadi hinoe. Ada dua jenis "lÃ'po", yakni "lôpo" ntua dan lôpo" lehe. Lôpo" ntua, yakni hutan yang sudah ditumbuhi pepohonan besar. Vegetasi penting di lopo ntua adalah kayu berbagai jenis dan rotan. Umumnya pada "lôpo" ntua adalah lokasi di mana mereka pernah membuka kebun lebih dari 20 tahun. Malahan, seperti di Kompo dan Boto, "lôpo" ntua setara dengan usia kehadiran Orang Katu di sana.

Batas-batas kepemilikan "lôpo"ntua kerap kabur. Pada lopo ntua yang lebih muda, kepemilikan individu atau keluarga tertentu sangat jelas. Pemiliknya dapat leluasa mengolahnya kembali untuk dijadikan sebagai hinoe atau membiarkan orang lain mengolah atas izinnya. Berbeda dengan "lôp" ntua yang lebih tua usianya, praktik pemanfaatannya lebih terbuka untuk semua Orang Katu. Siapa pun dapat memanfaatkannya. Siapa yang akan mengkonversinya menjadi hinoe, maka dialah pemilik atas lokasi itu.

Orang Katu menyebutkan "lôpo" lehe untuk jenis hutan yang lebih muda, dengan usia antara 2 hingga belasan tahun. Pada lôpo" lehe yang usianya lebih tua sudah ditumbuhi pepohonan, sementara pada "lôpo" lehe yang lebih muda, masih didominasi oleh hutan belukar. Vegetasi utama di "Lôpo" lehe adalah kayu dalam ukuran dan jenis yang kurang serta rerumputan yang sebahagian merupakan tumbuhan obat-obatan. "Lôpo"lehe adalah milik orang yang membuka hinoe sebelumnya.

Ketiga, jenis hutan berikutnya adalah hôlu, yakni jenis hutan yang didominasi rerumputan/jerami. Hôlu merupakan bekas hinoe yang baru ditinggalkan hingga dua tahun. Vegetasi utama hôlu adalah rumput dan sisa tanaman seperti tebu, pisang, dan ubi.Hôlu dimiliki oleh pemilik hinoe sebelumnya.

Saat ini, kegiatan membuka hutan (pandulu) untuk dijadikan hinoe sudah jarang terjadi. Pada umumnya mereka kembali memanfaatkan lôpo ntua atau lôpo lehe untuk dijadikan hinoe. Dengan demikian, perolehan hak atas tanah berdasarkan pembukaan hutan primer kurang terjadi.

Selama kurang lebih 100 tahun terahir, Orang Katu hanya menggunakan areal sekitar 1.178 hektar untuk berladang secara bergilir, persawahan, memanfaatkan hasil hutan lain (kayu, rotan, bambu,dll), dan membangun perkampungan. Aktivitas itu sama sekali tidak menghancurkan tanah dan hutan yang merupakan sumber penghidupan mereka.

Dalam pola yang hampir sama, To Kulawi di Ngata Toro mengelompokan hutan berdasarkan peruntukannya (lihat Lahigi, 2001). Pertama, wanangkiki yakni hutan di sekitar puncak pegunungan. Tidak ada aktivitas manusia di kawasan sekitar 2.300 hektat ini. Kedua, wana yakni kawasan hutan primer, yang belum pernah dikonversi menjadi kebun. Wana hanya dimanfaatkan untuk pengambilan rotan, damar, wewangian, dan obat-obatan. Luas wana mencapai 11.290 hektar. Ketiga, pangale, yakni hutan sekunder karena pernah dimanfaatkan menjadi kebun. Dari pangale juga dimanfaatkan kayu, rotan, pandan hutan, obat-obatan, dan wewangian. Luas pangale saat ini sekitar 2.950 hektar. Keempat, oma, yakni hutan bekas kebun yang sudah sering diolah, terutama untuk tanaman kopi dan tanaman tahunan lainnya. Luas oma sekitar 1.820 hektar. Kelima, balingkea, yakni bekas kebun palawija yang baru diistirahatkan.

Di Dataran Lindu, To Lindu menyebutkan wilayah tradisionalnya sebagai suaka ngata, dengan peruntukan yang berbeda-beda (Laudjeng,1994). Pertama, mereka menyebutkan suaka ntodea, untuk wilayah pemanfaatan yang dapat dikonversi menjadi sawah (atau lahan pertanian) dan perkampungan. Kedua, suaka nu madika atau lambara yakni tempat perburuan dan melepaskan hewan ternak. Ketiga, suaka nu viata, yakni wilayah yang diproteksi sama sekali dari aktivitas apapun.

2. Pelindung Keanekaragaman Hayati
Tuduhan sering dialamatkan kepada masyarakat di sekitar TNLL sebagai perusak hutan dan sumber ancaman keanekaragaman hayati. Perladangan Orang Katu dilihat sebagai ancaman terhadap TNLL, karenanya sejak awal mereka dipaksakan pindah dari wilayah tradisonalnya.

Tuduhan-tuduhan itu sama sekali tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Pola-pola pemanfaatan sumber daya alam justru memperlihatkan perlakuan yang protektif. Misalnya, dalam kegiatan perladangan Orang Katu, terdapat banyaknya jenis lokal, baik padi (pare), ubi kayu (wikau), talas (kadue), maupun jagung (goa'). Sekurangnya terdapat 35 (tiga puluh lima) jenis padi yang disebutkan secara lokal dalam perladangan Orang Katu. Terdapat 8 (delapan) jenis ubi jalar (uwi), 8 (delapan) jenis jagung, dan 8 (delapan) jenis ubi kayu (wikau) dalam perladangan (Masyarakat Adat Katu, 1998).

Di Bonde (sawah), Orang Katu menanam berbagai jenis padi, seperti cimandi, IR 90, dan sebagainya. Tetapi, Orang Katu juga menanam padi jenis lokal terutama kamba, dan beberapa jenis lokal seperti lamale, tobada, banahu, menturo, dan pindaloko. Kecuali kamba, jenis-jenis ini juga ditanam di ladang.

Sebuah survey yang dilakukan oleh Yayasan Jambata terhadap beberapa komunitas asli di sekitar TNLL juga memperlihatkan tingginya keanekaragaman tanaman pangan varietas lokal. Menurut masyarakat, sebahagian kecil diantara tanaman pangan itu masih tetap dibudidayakan, tetapi sebahagian diantaranya sudah punah. Masuknya jenis padi hasil persilangan dianggap sebagai penyebab utama kepunahan itu (Yayasan Jambata, 2000).

Selain tanaman pangan, masyarakat di sekitar TNLL adalah pelindung beragam jenis hasil hutan, diantaranya kayu dan rotan. Mereka memanfaatkan sebatas untuk keperluan domestik, seperti untuk ramuan rumah, pagar, jembatan, kayu bakar, perabot rumah (kursi, meja, wadah penyimpan padi, tempat tidur dan sebagainya).

Dalam pengalaman Orang Katu, misalnya, mereka memanfaatkan jenis-jenis kayu yang secara lokal disebut tawiri, kalise, uru, koronia, pogegea, potengkea, mpoawu, betau, andolia, kumo, lalari, palio, angulu, meapo, maiti, patingka, bono, bentunu, palili, pehepe, kanino, poiho, dopi, dupa, lekatu, leda (Masyarakat Adat Katu,1998). Untuk bahan ramuan rumah, Orang Katu memanfaatkan kayu dari pandulu atau lopo ntua. Biasanya mereka menebang kayu di tempat-tempat yang mudah untuk dipindahkan ke kampung. Misalnya, pada lokasi yang berdekatan dengan pemukiman atau dekat dengan Sungai Katu atau Sungai Piri.

Rotan sangat penting untuk keperluan domestik Orang Katu. Mereka memanfaatkan rotan, baik untuk tali pengikat (popetaka), bahan pembuatan keranjang (karandi), bakul (bingka), sisiru (wara), pengangkut hasil pertanian (rota tala), gagang tawalla (duruka), tempat penangkap belut (wuwu), dan sebagainya. Orang Katu membedakan rotan ke dalam beberapa jenis, seperti pai, lambang, tohiti, hilako, pute, paloe, himanda, noko, botol, mpoworo, ndanga, dan batang (Masyarakat Adat Katu,1998).

Meskipun tergantung dengan hasil hutan, kegiatan pemanfaatannya sama sekali tidak merusak. Laporan hasil inventarisasi sumber daya alam dan pengetahuan asli Orang Katu menunjukkan bahwa kekayaan hasil hutan mereka sangat terjaga. Pada areal seluas 94 ha di lokasi Bulu Ngkanino, terlihat populasi rotan, di mana Orang Katu sangat tergantung padanya, masih sangat baik

3.Pengakuan Balai TNLL dan Implikasi yang Ditimbulkannya
Meskipun sejarah TNLL adalah sejarah â€Å“kucing-kucingan” antara pemerintah dan masyarakat di sekitarnya, tetapi menyusul perubahan-perubahan politik yang terjadi sejak 1998, telah tersedia ruang untuk inisiatif baru mengenai pengelolaan TNLL. Meskipun instrumen hukum mengenai pengelolaan TNLL masih anti masyarakat, tetapi Ir Banjar Yulianto Laban, MM, Kepala Balai TNLL telah melakukan "ijtihad" hukum yang membanggakan. Kepala Balai TNLL ini telah membuat surat pengakuan mengenai wilayah-wilayah tradisional 3 (tiga) desa di sekitar TNLL, masing-masing Desa Katu dan Desa Doda di Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso, dan Desa Toro di Kecamatan Kulawi Kabupaten Donggala. Wilayah-wilayah tradisional yang diakui terutama yang terletak di dalam kawasan TNLL.

Pengakuan Kepala Balai TNLL tersebut patut dilihat dari tiga segi. Pertama, kuatnya resistensi masyarakat terhadap kebijakan pengelolaan TNLL yang berlangsung sangat panjang sejak tahun 1970-an. Tanpa resistensi masyarakat, terutama seperti yang dilakukan oleh Orang Katu melalui pengiriman utusan, surat protes dan aksi massa, Ir Banjar Yulianto Laban MM mungkin tidak memberi pengakuan.

Kedua, kuatnya obsesi Ir Banjar Yulianto Laban untuk mendorong penerapan pengelolaan TNLL yang berbasiskan masyarakat. Obsesi itu terlihat dari sejumlah pernyataannya diberbagai kesempatan mengenai pentingnya co-management pengelolaan TNLL, sebagai perwujudan dari penerapan faham eko-populisme (lihat Kompas, 2000). Pandangan-pandangan Banjar Y Laban ini memang sangat progresif. Berbeda dengan pejabat-pejabat sebelumnya yang memiliki pandangan kaku mengenai pengelolaan TNLL.

Ketiga, telah tersedianya sejumlah informasi mengenai ketiga desa tersebut, khususnya informasi mengenai penggunaan tanah (land use) secara tradisional. Difasilitasi oleh Ornop, masyarakat di ketiga desa itu telah mewujudkan informasi ruang mereka dalam bentuk peta dan dokumen tertulis. Pengakuan Balai TNLL sepenuhnya merujuk kepada dokumen-dokumen tersebut.

Pengakuan Balai TNLL sekurang-kurang telah memberikan perlindungan hak masyarakat di ketiga desa tersebut. Orang Katu, misalnya, tidak lagi diusik untuk dipindahkan, setelah lebih dari 20 tahun hidup di bawah teror rencana pemindahan. Masyarakat di ketiga desa itu dapat memungut hasil hutan untuk keperluan domestik. Lebih dari itu, Orang Katu dapat memungut rotan dari wilayah hutan mereka dan menjualnya secara bebas, tanpa perlu dikejar-kejar oleh petugas Jagawana/Polsus, seperti masa-masa sebelum itu.

Pengakuan Balai TNLL juga telah membangkitkan kembali tanggung jawab masyarakat untuk mengontrol wilayah tradisional mereka secara ketat. Di Toro, pemerintahan desa dan lembaga adat bekerja sama untuk mengontrol wilayah dengan menetapkan ketentuan yang ketat dari kemungkinan ekstraksi hasil hutan. Pemerintah desa dan lembaga adat setempat menyita hasil hutan yang diambil oleh penduduk dari luar kampung. Di Katu, satu-satunya desa di sekitar TNLL yang tidak pernah mempraktikan jual beli tanah, mempersenjatai diri dengan sejumlah larangan bagi masuknya migran, di samping larangan terhadap pengambilan hasil hutan oleh penduduk dari desa lain.

Meskipun begitu, pengakuan Balai TNLL mengundang sejumlah pertanyaan. Pertama, bagaimana implikasi kebijakan pengakuan tersebut dilihat dari segi hukum konservasi (UU No.5/1990) ?. Harus diakui, sukar menjelaskan sandaran hukum pengakuan Balai TNLL dari segi UU No 5/1990. Karena, memang tidak ada satu ketentuanpun dalam UU tersebut yang memungkinkan adanya pengakuan. Pengakuan Kepala Balai TNLL dapat dibenarkan dan patut didukung, bukan karena sejalan dengan semangat UU No.5/1990, tetapi karena sesuai dengan fakta-fakta obyektif kehidupan sosio historis masyarakat setempat dalam pengelolaan sumber daya alam di kawasan itu. Pengakuan ini sekaligus mengisyaratkan betapa pentingnya untuk mempertanyakan kembali UU No.5/1990 dan kebutuhan untuk merumuskan sebuah undang-undang konservasi baru yang berbasiskan masyarakat di sekitar kawasan-kawasan konservasi.

Kedua, bagaimana perlakuan terhadap 64 desa lain di sekitar TNLL ?. Sejauh ini, pemakaian cara-cara lama dalam pengelolaan TNLL masih diberlakukan terhadap desa-desa itu. Konflik-konflik terbuka seperti yang terjadi di Dongi-dongi harus dilihat dari sisi ini. Situasi ini jika terus-menerus dipertahankan akan menunjukkan bahwa pemerintah (Balai TNLL) bertindak diskriminatif dalam pengelolaan TNLL.

Moratorium Pengelolaan Konservasi : Jalan Keluar
Pemerintah sesungguhnya telah gagal dalam pengelolaan TNLL. Kegagalan ditandai dengan fakta-fakta ; pertama, pengetahuan, kebijakan, dan metode pengelolaan TNLL yang restriktif dan anti masyarakat ; kedua, inkonsistensi pemerintah dalam pengelolaan kawasan itu, di satu pihak memproteksi kawasan secara habis-habisan, tetapi di lain pihak mengintroduksi praktik pembangunan yang merusak. Fakta ini diperparah dengan perilaku buruk petugas-petugas yang terlibat dalam pencurian hasil hutan di kawasan itu ; ketiga, pemerintah sendiri tidak memiliki konsep dan kebijakan mengenai alokasi sumber daya alam secara adil dan lestari di kawasan itu. TNLL dan kawasan sekitarnya adalah contoh konkrit mengenai alokasi penggunaan sumber daya alam yang kontradiktif. Sebuah kawasan konservasi ditumpang tindihkan dengan proyek pemindahan penduduk (transmigrasi dan PKMT), perkebunan besar, pertambangan, dan bendungan.

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka jalan keluar yang patut didesakkan adalah moratorium terhadap pengelolaan kawasan konservasi Lore Lindu. Di sini moratorium bermakna sebagai ; pertama, mengembalikan TNLL kepada status semula sebelum ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan yang dilindungi. Klaim tradisional komunitas-komunitas asli atau komunitas lain yang mendiami kawasan itu sebelum penetapannya sebagai TNLL harus diakui. SK Menteri Kehutanan yang menunjuk kawasan itu sebagai TNLL dinyatakan tidak berlaku.

Mengingat manfaat kawasan itu sebagai kawasan konservasi, maka dalam masa yang sama, pemerintah (dalam kasus ini Balai TNLL) mengambil prakarsa untuk melakukan perundingan meja bundar dengan masyarakat di sekitar kawasan itu, dengan metode-metode partisipatif dan transparan untuk membicarakan kembali mengenai masa depan pengelolaan kawasan ini. Sebuah panel yang terdiri atas pemerintah dan wakil-wakil masyarakat yang representatif di kawasan itu dapat dibentuk merundingkan soal ini. Panel ini merumuskan model pengelolaan kawasan konservasi yang berbasiskan masyarakat setempat. Pengalaman Katu, Toro, dan Doda dapat dijadikan sebagai pelajaran untuk membangun model semacam ini.

Mengingat aturan perundangan mengenai konservasi saat ini tidak memihak kepentingan masyarakat setempat, dan UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah menyatakan konservasi masih merupakan kewenangan pemerintah pusat (pasal 7 ayat 2), maka dengan merujuk pada spirit desentralisasi, Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah dapat mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) yang memuat aturan main mengenai pengelolaan kawasan konservasi berbasiskan masyarakat setempat, dengan sepenuhnya mengacu pada model yang dihasilkan oleh panel Lore Lindu.

Kedua, menghindari kemungkinan terjadinya ekstraksi sumber daya alam di kawasan itu menyusul pengembalian status TNLL di atas, maka semua bentuk izin pemanfaatan hasil hutan yang telah dikeluarkan pemerintah di kawasan sekitar/di luar TNLL harus dicabut. Implikasinya, semua praktik angkutan hasil hutan yang melintasi ruas Napu-Palu, Gimpu-Palu, Napu-Poso, dianggap sebagai tindakan ilegal.

Selama masa moratorium tindakan-tindakan restriktif dilakukan terhadap praktik-praktik ekstraksi hasil hutan. Panel moratorium diberikan kewenangan luas menyepakati aturan main untuk perlindungan kawasan ini.

Ketiga, penataan ulang pemilikan dan penguasaan tanah di kawasan itu. Sasaran kegiatan ini adalah pembagian tanah kepada petani-petani miskin (buruh tani). Tanah-tanah itu diambil dari petani-petani berdasi yang menguasai ribuan hektar tanah, baik atas nama individu atau perusahaan di kawasan itu. Tindakan ini didahului dengan pembekuan semua bentuk perizinan dan pencabutan hak atas tanah yang telah mengakibatkan ketimpangan dalam pemilikan dan penguasaan tanah di wilayah itu.

Berkeley, 25 Agustus 2001

Anto Sangaji adalah Direktur Yayasan Tanah Merdeka, Ornop di kota Palu.

Bacaan
Aditjondro, GJ, 1979, Angin Pantai di Lembah Pegunungan: Adakah yang Bakal Terbang ?, Prisma, No,2, Februari.
---------------,1993, Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berdimensi Ekologis, Suara Pembaruan, 8 Januari.
Anonimous, 2000, Indonesian Minerals Exploration and Mining Drectory 1999/2000, AJM,Masindo,GoldGroup,Directorate-General of Mines,AusTrade, Jakarta.
Barber, Charles Victor, Suraya Afif, Agus Purnomo, 1997, Meluruskan Arah Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan di Indonesia, Yayasan Obor, Jakarta.
Blower JH, Jan Wind, Harry Amir, 1977, Proposed Lore Kalamanta National Park, Manajement Plan 1978-1980, FAO/UNDP, Bogor.
Budianti, Setia & Yurianto, 2000, Bioprospeksi, Antara Peningkatan Kualitas Hidup dan Potensi Pencurian Sumber Daya Genetika, RMI,Bioforum, Searice, Bogor.
Dietz, Ton, 1998, Hak Atas Sumber Daya Alam, Remdec, Insist Press, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Gray, Andrew,1991, Between The Spice of Live and the Melting Pot : Biodiversity Conservation and its Impact on Indigenous Peoples, IWGIA Document 70, Copenhagen.
Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 593/Kpts-II/93 Tentang Perubahan Fungsi Hutan Wisata/Hutan Lindung Danau Lindu, Suaka Margasatwa Lore Kalamanta, dan Suaka Margasatwa Sungai Sopu menjadi Taman Nasional Lore Lindu.
Lahigi, Silas, 2001, Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Inisiatif Pemerintahan Masyarakat Adat Ngata/Desa Toro, Makalah dipresentasikan pada 'Dialog Kebijakan Masyarakat Adat dan Pengelolaan Sumber Daya Alam', Palu, 20 Januari.
Laudjeng, Hedar, 1994, Kearifan Masyarakat Adat Lindu, dalam Arianto Sangadji (penyunting), Bendungan Rakyat dan Lingkungan, Catatan Kritis Rencana Pembangunan PLTA Lore Lindu, WALHI, Jakarta.
Li, Tania & Arianto Sangaji, 2000, Akses Rakyat terhadap Sumber Daya Alam di Dataran Tinggi Sulawesi Tengah, Bahan presentasi pada seminar hasil survey di Yayasan Tanah Merdeka, Palu.
LPA AWAM Green, 2000, Laporan Penelitian Pengembangan dan Pemanfaatan Potensi Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Lokal di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu, Palu.
Sangaji, Arianto, 2000a, PLTA Lore Lindu : Orang Lindu Menolak Pindah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
-----------------, 2000b, Orang Katu di Behoa Kakau, Naskah Buku yang akan diterbitkan.
Shiva, Vandana, dkk, 1993, Perspektif Sosial dan Ekologi Keragaman Hayati, Konphalindo, Jakarta.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Undang-undang No5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati.
Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Watling, Dick & Yaya Mulyana, 1981, Lore Lindu National Park, Management Plan, 1981-1986, WWF, Bogor.
Wirawan, Nengah, 1981, Ecological Survey of the Proposed Lore Lindu National Park, Central Sulawesi, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
________________, 1994, Dampak Pembangunan PLTA Danau Lindu terhadap Kawasan Konservasi Taman Nasional Lore Lindu, dalam Arianto Sangaji, penyunting, Bendungan, Rakyat, dan Lingkungan : Catatan Kritis Rencana Pembangunan PLTA Lore Lindu, WALHI & Yayasan Tanah Merdeka, Jakarta.
YTM & Pemerintah Ngata Toro, 2000, Laporan Prosiding Pertemuan Konsultasi Masyarakat di sekitar TNLL, Toro, 27 – 30 September.
Yayasan Jambata, 2000, Studi Potensi Tanaman Pangan Varietas Lokal di Beberapa Desa Buffer Zone Taman Nasional Lore Lindu, Yayasan Jambata, bekerja sama dengan Yayasan Tanah Merdeka dan NRM-EPIQ, Palu.

RWM.BOONG BETHONY