12/04/08

RWM.BOONG BETHONY

......Gadis Kecil Berambut Panjang........

Selamat pagi! Papa, Mama
Erna berangkat sekolah!
Ya anakku!
Ya sayang! Hati-hati di jalan!

Tralili...tralala...
Senandung Erna kecil membuka pagar rumah.
Tralili...tralala....
Rambut sepoi tertiup angin pagi

Seperempat jam
Rumah Papa diketuk tergesa
Mama tergopoh membuka pintu.

Erna kecil tergolek berurai
Roda pagi menjemput
Sejak itu Erna tak pernah muncul disekolah!


Untuk Mengenang Ernaku sayang, Ernaku kecil....RIP 14 January 2002
Roda Jalanan merenggut!


Cupled Kecil Untuk Anakku

Tahukah anakku
terlahir engkau
karena birahi cinta
yang takkan pernah pupus
antara aku dan mamamu.
Mengertilah buah cintaku
Kehadiranmu oleh sebab
api asmara yang takkan pudar
antara kami.

Berusahalah kebanggaanku
dapatkan hidup penuh asmara
sarat birahi yang membuat perjalanan ini penuh bahagia.

Dulu Aku dan dia
perempuan penanggung beban
sembilan purnama
yang tiap pagi, siang, malam
kau habiskan waktunya
adalah pahlawanmu

bukan, bukan aku
tapi dia
perempuan
penanggung beban
sembilan purnama

selalu menyajikan aroma sedap
yang membuatmu lahap

Dia, dia pahlawanmu.

Dulu aku, dia
meski tertatih
meski merangkak
tapi lenganku selalu diraihnya.

disuruhnya aku
tegap
membusung
dan membuka mata serta telinga dia,
Dia pahlawanku
pahlawan kita.

Ya...ibumu.

kelak jangan cari perempuan seperti Dia
sebab tak lagi ada.

Ibumu, hanya istriku!
Cintaku!
Hidupku.

By Roberth WM
Pantai Kute-Bali 1993


..Nukilan kecil
(dari pinggir kampung jawa)

Supinah senyum bangga
hari pagi bakul telah kosong
Sepede jengki ikut gembira dan melaju diatas pematang
dari teras
melambai wajah Giyo bertanya
bakul kosong melonjak-lonjak atas sadel
Supinah dan jengki tua bersandar
pada hari
Kita ketiban rezeki!
Kangkung dan bunga turi
tak lagi membuat Giyo sibuk
Ia pun bersandar pada hari
Kita ketiban rezeki!
Supinah membongkok
tidak seperti hari-hari kemaren
lengannya selalu extra sibuk
ringan sekali diangkatnya
riang benar melangkah
lambaian wajah Giyo terlantar
Supinah melangkah raut ringan
rupa bebas
Matahari milik kita
Celetuk Supina
Udara punya kita
Sambung supina
Tapi kamu
hanya milikkulirihnya
Giyo melambai
wajah dalam nanap
Biar ku rasakan sembab matamu
tutur Giyo
Hari itu
Aku pulang ke desaaku
Cinta Supina pada Giyo
tak dapat kuukur
Ia memandikan, membajui, membasuh pantat!
Mencari, menyuap
Tanpa keluh

Kisah seorang SUPINAH, Wanita Perkasa dari Desa MALUHU, Tenggarong.
Ia Menjadi Kepala Rumah Tangga, semenjak Suaminya invalid, karena ke-2 (dua) Kaki direnggut Dumtruck, saat bekerja di Hutan.


Surat terbuka Untuk sahabatku!

Ya...dulu aku juga sempat merasai betapa indah bermain diatas pematang pada hamparan sawah menguning emas padi!
Menerima tegur sapa dari siapa saja yang kita temui di Desa pun dusun.
Seramah hasil keringat yang selalu membawa sukacita mereka tiap kali panen.
Tapi Pelebaran kota, merenggut semua.
Tangan-tangan kuasa dan pemilik modal, mengubah keramahan menjadi kematian.

Gundul sahabatku....entah kemana keluh ini hendak kucurahkan.
Tulisanmu membuatku marah tapi tak berdaya.
Dusun kita yang dulu riuh tiap purnama,
kini lenyap ditelan roda-roda besi.

Kemana Siti? teman kita yang cengeng itu, yang selalu merenget minta ditemani pulang sebab rumah lewat pekuburan.
Kemana Bambang? Sahabat kita yang jago main engrang?
Atau Heru? Yang sering mengajak mencari ikan mujair dibelakang langgar.
Kemana Pak De Budi? yang terus menerus marah pada kita karena suka melempar mangganya.
Atau, Mira? Gadis remaja yang dulu kita perebutkan.

Gundul temanku.
Meski aku di Megapetropolitan
Tapi kerinduan memanjat jeruk pak Desa seperti dulu, masih ku angan-angan.
Masih ingatkah kau teman, saat kita berkelahi gara-gara berebut belut putih di belakang rumahmu?
Kau bilang, semua hilang!
Semua lenyap!

Gundul temanku!
Masih adakah senyum tulus?
Atau seperti yang kau katakan
"bersama garing sapan menjadi bualan keseharian? berbau pesing dalam penciuman yang tajam!"
Jadi benar?
Desa
Dusun
Hilang lenyap di telan roda-roda besi.
Ach....negeriku berubah!


Kampung Sawah, Jakarta 2002
Trimakasih suratmu, menghidupkan desa dan dusun kita, meski hanya di Pelupuk.

.................WAJAH-WAJAH...............

Bertaut pada tumpukan kertas
Mengeja diatas lembaran
Asa itu
Karsa ini
Ku pagut
Yaah....
Dari tatapmu aku tahu
pada setiap gerak ku mengerti
Pada tinta pada pena
pada meja
pada kata dan kalimat
makna bercerita
Hoi pujangga
Hai penyair
Hei empu

Biarkan!
Ya, biarkan
Ia bertutur
bercerita
berkisah
Dari ruas ke ruas
Dari bilik ke bilik
Pada ruang

Biarkan!
Ya, biarkan
ia mengukir
memahat
melukis
dari kisi-kisi
dari relung
dari sanubari

Biarkan!
Ya, biarkan ia
Melalar
Merenda
Meruntut

Ingat
Suatu waktu kelak
Awan strato menyatu mendung
Sungai menyatu lautan
Langit menyatu bumi

Biarkan!
Ya, biarkan ia
menemui
mendapati
Kerinduannya.

Siang itu
Para pujangga bercerita,
tentang derita yang tak pernah usai
Hari itu
Para penyair bertutur,
soal sengsara tiada henti
Waktu ini
Para empu berkisah
mengenai ashab yang terus melanda

Ach
Resah episode ini
Lakmus tanpa pesona.

Padang, 23 September 2007


....catatan harian Bedjo kali Code..............

Yaa..anaku.
ketika muda kami
Terjajah imperialis
Lalu ku panggul tombak
Kusandang Kariben dan mortir
Ku hunus keris
Darah imperialis berceceran
Tunggang langgang.
Merdeka!

Ya Anaku!
Itu dulu!
Aku di puja
Di buat sejarah
Sumber ilmu
Dipelajari di SD, SMP sampai sekolah tinggi
Semua bangga!

Tapi sekarang anakku!
Sesal diri tak habis
Semua tak berarti lagi
Tiada mimpi jadi nyata
Yang kutuai pahit
yang kulihat duka.

Aku tertipu!
Kawan-kawanku berkalang tanah
bermandi darah di Tugoe, di lempuyangan
di alun-alun, malioboro, jembatan solo
yang menimbun di kali code
Tertipu!
Nyata perjuangan itu bukan untuk rakyat
bukan bagi negeriku
Bukan bagi bunda pertiwi

Kini kusesali
Kenapa pelor belanda hanya menyisakan bekas luka dipunggung
Mengapa tidak menembus dada atau meremukkan jatungku!
Supaya tak kudapati
Anak-anak negeri memuja mimpi
Agar tak kulihat sikaya memainkan hidup orang banyak.
atau si kuasa mengacungkan telunjuk
memusnakan dusun
melenyapkan desa
atau si imperialis kembali membenamkan tongkat membangun tembok-tembok pembunuh
mendirikan roda-roda menggilas

Oooh anakku!
Tak tertahankan air mataku jatuh
Dulu pantang terjadi di perjuangan!
Kini, ia mengalir, deras!
Mungkin karena itu yang tersisa
Hanya ini yang mampu kuberikan.

Anakku
Skarang tak sanggup aku baca koran
Tak mampu melihat TV
Aku takut
Aku gentar
Sebab semua bercerita tentang Penjajahan
Semua memutar perbudakan
Ibumu
Ibu kita
Bunda pertiwi
Skarang bukan Indonesia
yang dulu ku bela
yang dulu merenggut sobat-sobatku
yang dulu.


Catan ini, untuk mengenang seorang pejuang bernama "BEDJO" Pemegang/dianugerahi Bintang Mahaputra oleh bung KARNO....meninggal Maret 1996 di pondok tua kali code Jogyakarta, tanpa sanak saudara. Pada masa perang kemerdekaan anak-istri gugur ditembus pelor belanda di Klaten. Ia tidak pernah menikah lagi, dan bekerja sebagai penambal Ban disamping Jembatan Solo jogyakarta sampai akhir hayatnya.