19/12/08

PAHAM HARMONI KETIGAAN DALAM BATAK TOBA.

Ditulis pada Nopember 13, 2007 oleh SAHAT.

Tulisan ini pernah dimuat di Harian SIB Online pada tahun 2000 penulisnya adalah Amanta Norton G Manullang, dituliskan kembali pada blog Habinsaran semata-mata untuk bertujuan untuk menambah pehaman kita pada Paham Harmoni Ketigaan dan Gondang Sabagunan semoga berguna.,

Paham harmoni ketigaan yang penulis maksudkan ialah pemahaman masyarakat Batak Toba mengenai bilangan tiga. Bilangan tiga mengambil peranan sentral dalam pandangan hidup kebatakan, karena menyangkut keyakinan dan kepercayaan mereka. (Rudolf Pasaribu, 1988; 122; bdk. Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M Siahaan, 1987 : 64-66). Paham harmoni ketigaan demikian juga terkait erat dengan penyajian musik tradisional Batak Toba, gondang sabangunan. Namun sebelum paham ketigaan dalam masyarakat Batak Toba dipaparkan, penulis akan lebih dahulu menguraikan pemahanan dan keyakinan masyarakat Batak Toba mengenai makna bilangan ganjil dan bilangan genap. Dalam hal ini bilangan ganjillah yang lebih disukai oleh orang Batak Toba, karena bilangan tersebut melambangkan kehidupan dan kerap diasosiasikan dengan hal-hal yang tidak kelihatan (na so niida). Maka tidaklah mengherankan bahwa bilangan ganjil mempengaruhi kehidupan harian dan budaya kebatakan.
Untuk mengerti bilangan ganjil sebagai bilangan yang paling disukai oleh masyarakat Batak Toba dalam hidup harian dan budayanya, bilangan genap juga mesti diketahui. Alasannya ialah masyarakat Batak Toba telah mengamati bahwa dalam diri semua makhluk hidup pada umumnya dan manusia dan hewan pada khususnya ditemukan bilangan genap.
Manusia mempunyai dua tangan, dua telinga, dua mata, dua kaki, dua lobang hidung dan seterusnya.
Hewan-hewan pun mempunyai organ-organ tubuh yang berjumlah genap.
Lagi, semua makhluk hidup yang memakai bilangan genap tersebut hidupnya susah, sakit, menderita dan mati.
Oleh karena itu, mereka menarik kesimpulan bahwa bilangan genap berarti selalu terasosiasi dengan penderitaan dan kematian. Maka, sedapat mungkin masyarakat Batak Toba dalam praktek hidup hariannya, atau dalam adat dan budayanya berusaha menghindari bilangan genap.

Namun demikian tidak semua jenis bilangan ganjil menjadi bilangan na marhadohoan (yang punya makna khusus) dalam hidup orang Batak Toba. Hanya bilangan-bilangan tertentu saja yang mempunyai makna simbolik dan sering dipakai. Bilangan-bilangan tersebut ialah bilangan tiga, lima, dan tujuh. Pemakaian bilangan ganjil ini tampak juga pada jumlah tangga rumah, jumlah warna, jumlah dunia (banua), aturan-aturan ni panortoran dan lain-lain.

Bilangan tiga mempunyai arti yang sangat khusus bagi orang Batak Toba.
Itulah sebabnya bilangan ini mempengaruhi kehidupan dan cara berpikir masyarakat Batak Toba. Hal ini dapat diamati dalam mite kosmologi, antropogoni, kosmogoni dan etika hidup Batak Toba. Paham ketigaan juga tampak dalam upacara gondang sabangunan, sistem kemasyarakat Dalihan Na Tolu dan Debata Na Tolu. Untuk memahami bilangan tiga dalam fenomena ketigaan tersebut konsep yang tidak boleh tidak harus ada ialah konsep totalitas dan representasi (Ph. L. Tobing, 1965; 20-22).

Fenomena Ketigaan Dalam Masyarakat Batak Toba

Bilangan tiga seperti telah dikatakan di atas mempunyai makna yang sangat penting dan khusus bagi masyarakat Batak Toba bahari. Implikasinya pun mempengaruhi kehidupan dan cara berpikir orang Batak Toba seperti keyakinan tentang Debata Na Tolu (Debata Batara Guru, Debata Balasori, Debata Mangalabulan), Banua Na Tolu (Banua Ginjang, Banua Tonga, dan Banua Toru) dan Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru). Dalam paham kebangsaan, fenomena ketigaan juga ditemukan yakni Bangso Batak, Adat Batak (Patik dohot Uhum) dan Habatahon.
Hal yang sama terdapat pada adat tarombo yang terdiri dari tiga bagian, yakni : Adat Pusaka Arta atau Barang, Adat Patik dan Adat Uhum.
Simbol bendera Batak juga berwarna tiga yaitu : warna hitam di bagian depan, warna putih di sebelah kanan dan warna merah di sebelah kiri.
Adat Batak Toba juga mengenal hadebataon (keilahian), hajolmaon (kemanusiaan) dan habatahon (kebatakan) (Raja Patik Tampubolon, 2002; 111-112).
Sedemikian melekatnya paham harmoni ketigaan dengan hidup orang Batak Toba hingga paham tersebut juga dikenakan pada eksistensi manusia. Agar manusia dapat hidup, dalam dirinya harus ada tiga unsur yakni hosa (nyawa), mudar (darah), dan sibuk (daging). Sementara untuk dapat bertahan hidup di bumi kepada manusia juga diberikan kekuatan oleh Mulajadi Na Bolon, yakni tondi (roh), saudara (kemuliaan) dan sahala (wibawa). Dengan demikian fenomena ketigaan merasuki seluruh sendi kehidupan masyarakat Batak Toba, baik hidup sekular maupun hidup religiusnya.
Fenomena ketigaan di atas menurut pandangan orang Batak Toba mesti dipahami baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif (“isi” yang hendak dikomunikasikan kuantitas bilangan itu). Pemahaman semacam ini biasanya bersifat totalistis, bukan parsialistis. Pemahaman ini tampak dengan jelas melalui ungkapan “Sitolu sada ihot songon pat ni langgatan….Ndang boi hurang sian tolu, jala dang boi lobi sian tolu, ingkon pas do sitolu sada songon pat ni langgatan” (triade seikatan seperti kaki altar…tidak boleh kurang dari tiga, dan tidak boleh lebih dari tiga. Jumlahnya harus tiga seikat laksana kaki altar (Ibid).
Sitolu sada ihot berarti bahwa yang satu tidak bisa terlepas dari yang lain. Meskipun ketiga tiang langgatan berbeda dan berdiri sendiri, namun ketiganya merupakan satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan.
Hal ini terjadi karena cara berpikir orang-orang Batak Toba bahari-sama seperti bangsa-bangsa sederhana yang lain-bersifat sintetis, bukan analitis. Konsekuensi cara berpikir sintetis ialah bahwa segala hal; kosmos, komunitas, individu, dan lain-lain dialami sebagai totalitas. Eliminasi terhadap salah satu dari ketigaan berarti annihilasi ketiganya.

Oleh karena itu, adanya yang satu terjadi karena adanya yang lain, dan masing-masing mewujudkan diri ke dalam satu kesatuan yang utuh. Adaan yang satu mengandaikan adaan yang lain. Debata Batara Guru tidak dapat berdiri sendiri tanpa Debata Balasori dan Mangalabulan. Meskipun Hula-hula mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, tetapi kedudukan tersebut harus didukung oleh Dongan Tubu dan Boru. Demikian juga ketigaan yang lain. Totalitas ketiganya merupakan keseimbangan yang bersifat mutlak. Harmoni dan kesatuan dalam keterpisahan dan keberbedaan, entah itu dalam konteks mikrokosmos atau makrokosmos, tercapai apabila keseimbangan ketiga unsurnya terjamin. Artinya, sesuai dengan pandangan Ph L Tobing, keterpisahan dan keberbedaannya hanya dapat dipahami sejauh berkaitan dengan mentalitas sintetis yang tercermin di dalam keyakinan totalitas ketiga unsur yang berbeda.

Debata na tolu dan gondang sabangunan

Mulajadi Na Bolon ialah pencipta segala yang ada. Dia digelari sebagai “Allah yang tidak berawal, yang datang dari yang tak berawal, yang tidak berakhir”. Dialah awal dan yang menciptakan dan menjadikan langit dan tanah, air dan segala isinya. Menurut mite penciptaan, Dialah yang menciptakan alam semesta termasuk Debata Na Tolu dan manusia. Debata Na Tolu diciptakan oleh-Nya melalui Manukmanuk Hulambujati dari tiga butir telur raksasa. Ketiga makhluk itu dinamai oleh Mulajadi Na Bolon sebagai “manusia”, meskipun dalam diri mereka ada keilahian. Mereka bukanlah manusia biasa. Karena keilahian itu juga mereka disebut Debata Na Tolu yakni Debata Batara Guru, Debata Balasori dan Debata Mangalabulan.
Totalitas Debata Na Tolu ialah Debata Mulajadi Na Bolon. Pada-Nya harmoni Debata Na Tolu, penguasa Banua Na Tolu, mewujud. Dengan kata lain, Debata Na Tolu menjadi representasi Mulajadi Na Bolon di Banua Na Tolu.
Totalitas tersebut tercermin dalam ungkapan Batak Toba; Debata Na Tolu, sitolu suhu sitolu harajaon (Ilah yang tiga, yang tiga jenis tiga kerajaan).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Debata Na Tolu merupakan penguasa yang menciptakan dan mengatur ketertiban makrokosmos (Banua Na tolu). Ketertiban itu termanifestasi secara nyata dalam diri manusia sebagai mikrokosmos (Dalihan Na Tolu).
Oleh karena itu, memanggil dan memuja Debata Na Tolu dalam setiap upacara adat atau upacara religius-magis identik dengan memanggil dan memuja Debata Mulajadi Na Bolon itu sendiri.
Struktur umum penyajian gondang sabangunan terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama ialah apa yang disebut gondang mula-mula, bagian kedua ialah gondang pinta parsaoran dan bagian terakhir yaitu gondang panutup. Korelasi gondang sabangunan dengan Debata Na Tolu secara jelas dapat dipahami melalui bagian gondang pembukaan, karena di dalamnya dikisahkan korelasi antara manusia dengan Mulajadi Na Bolon atau Debata Na Tolu. Jenis lagu gondang yang secara khusus diperuntukkan bagi Debata Na Tolu ialah Gondang mula-mula dan gondang somba-somba.

Gondang somba-somba dimaksudkan sebagai sembah sujud kepada Mulajadi Na Bolon atau Debata Na Tolu yang telah menciptakan dan memelihara hidup manusia. Sikap menyembah tersebut secara etis hendak mengungkapkan bahwa Yang Ilahi, Sang Penyelenggara hidup manusia itu pantas disembah-sujudi. Tujuan gondang ini ialah agar upacara pesta atau upacara gondang yang hendak dilaksanakan kiranya direstui oleh Debata Na Tolu, sehingga suhut yang mengadakan pesta memperoleh pasu-pasu yakni anak na marsangap dohot boru na martua. Maka, melalui gondang sabangunan ditampilkan totalitas Debata Na Tolu yang mengayomi Banua Na Tolu dan termanifestasikan secara representatif dalam diri Dalihan Na Tolu.

Banua Na Tolu dan gondang sabangunan

Dalam mitologi penciptaan dunia kebatakan terbagi atas tiga bagian, yakni dunia atas (Banua Ginjang), dunia tengah (Banua Tonga) dan dunia bawah (Banua Toru). Banua Na Tolu dalam pandangan orang Batak Toba tidak dalam arti spasial-temporal, melainkan ruang kosmik yang dialami sebagai totalitas Banua Ginjang, Banua Tonga dan Banua Toru. Banua Tonga memiliki peran sentral dalam menjaga keseimbangan dan harmoni eksistensi Banua Na Tolu (Paul B Pedersen, 1975; 19-20). Banua Ginjang adalah banua yang pertama kali diciptakan oleh Mulajadi Na Bolon sebagai tempat kediaman Debata Na Tolu, para parhalado-Nya (pelayan-Nya) dan para sombaon. Banua Tonga ialah bagian dari totalitas kosmos yang berfungsi mengatur kerjasama antara Banua Ginjang dan Banua Toru. Bila kerja sama ketiganya tercipta dengan baik maka harmoni dalam jagad raya akan tercipta. Banua Tonga diciptakan oleh Mulajadi Na Bolon sebagai tempat kediaman manusia dan segala makhluk hidup untuk beraktivitas (A. B. Sinaga, 1981; 11). Banua Toru adalah tempat tinggal begu dan orang-orang yang telah meninggal dunia. Banua Na Tolu dihuni oleh masing-masing Debata Na Tolu; Debata Bataraguru mengayomi Banua Ginjang, Debata Balasori mengayomi Banua Tonga dan Debata Balabulan mengayomi Banua Toru. Untuk menjaga relasi yang harmonis dengan penghuni Banua Na Tolu, masyarakat Batak Toba bahari kerap mengadakan ritual dengan menyertakan gondang sabangunan. Alat musik tradisionil itu membantu komunikasi manusia dengan penghuni Banua Na Tolu. Selain itu, gondang sabangunan pun tetap terkait secara tidak langsung dengan Banua Na Tolu melalui wujud simboliknya.

Dalihan Na tolu dan gondang sabangunan.

Dalihan Na Tolu merupakan landasan dan dasar kehidupan masyarakat Batak Toba. Istilah Dalihan Na Tolu yang terdiri dari Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru menyatakan unitas dan totalitas hubungan kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba. Unsur unitas dan totalitas menjadi ciri khas yang menonjol karena Dalihan Na Tolu tidak dapat dipandang atau dipahami secara parsial. Ketiganya harus utuh dan harmonis sehingga hidup sejahtera dalam kekerabatan masyarakat Batak Toba terwujud.
Pemahaman atas Dalihan Na Tolu tidak terlepas dari konsep unitas, totalitas dan representasi sebagaimana telah diuraikan di atas. Sudah sejak jaman dahulu hingga sekarang orang Batak Toba menyakini bahwa Dalihan Na Tolu bertautan erat dengan Mulajadi Na Bolon, Debata Na Tolu dan Banua Na Tolu. Apabila Dalihan Na Tolu dilepaskan dari Mulajadi Na Bolon, Debata Na Tolu dan Banua Na Tolu maka Dalihan Na Tolu tidak mempunyai makna dan nilai apa pun. Ketidakbernilaian ini terjadi karena Dalihan Na Tolu merupakan wujud pancaran kuasa Mulajadi Na Bolon secara konkrit-nyata dalam kehidupan manusia di Banua Tonga (Dj Gultom Radjamarpodang, 1992;55). Dalihan Na Tolu merupakan representasi dari Debata Na Tolu yang berkuasa atas Banua Na Tolu. Hal ini tampak melalui kehadiran debata Batara Guru dalam diri Hula-hula, Balasori dalam diri Dongan Tubu dan Balabulan dalam diri Boru. Dalam Debata Na Tolu, kuasa kemisterian, kuasa kesucian, dan kuasa kekuatan dari Mulajadi Na Bolon termanifestasikan. Ketiga kuasa ini secara sempurna menata kesejahteraan kehidupan manusia di bumi (Raja Patik Tampubolon, 2002;54-55). Melalui Dalihan Na Tolu, Mulajadi Na Bolon dan Debata Na Tolu berkarya di Banua Tonga.

Karena Dalihan Na Tolu merupakan refleksi kuasa Debata Na Tolu-dengan demikian juga menjadi wujud pancaran kuasa Mulajadi Na Bolon-maka segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan orang Batak Toba akan terlaksana dengan baik apabila upacara atau kegiatan adat itu sesuai dengan prinsip Dalihan Na Tolu (Ibid). Dalam konteks ini segala aktivitas seremonial baik yang bersifat religius maupun non religius yang disertai dengan musik gondang sabangunan juga akan membawa pasu-pasu bagi suhut apabila pelaksanaannya sesuai dengan prinsip Dalihan Na Tolu. Bentuk pelaksanaan itu tampak pada saat adanya kesepahaman, kebulatan pendapat dan relasi yang harmonis di antara Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru untuk margondang.
Aspek lain yang mempertautkan gondang sabangunan dengan Dalihan Na Tolu ialah bahwa perangkat alat-alat musik gondang sabangunan itu sendiri merupakan simbolisasi dari Dalihan Na Tolu. Taganing melambangkan Dongan Tubu, ogung melambangkan Boru dan sarune melambangkan Hula-hula. Selain itu, pada Dalihan Na Tolu perlu juga ditambah satu unsur lagi, yakni sihal-sihal, dan itu dihubungkan dengan hesek sebagai simbolisasi Dongan Huta. Jadi, perangkat alat musik gondang sabangunan sarat dengan makna simbolik. Gondang Sabangunan mempunyai kaitan dengan keyakinan orang Batak Toba akan Debata Na Tolu dan konsep kekerabatan Dalihan Na Tolu. Sesuai dengan paham ketigaan dalam teogoni Batak Toba, alat musik gondang sabangunan dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu : sarune, ogung dan taganing.
Dalam permainan gondang sabangunan, taganing-lah yang pertama berbunyi lalu diikuti secara berurutan oleh ogung oloan dan ogung ihutan. Ogung panggora juga langsung mengikuti sebagai pengatur derap ritme dan kemudian disusul oleh ogung doal serta hesek untuk meramaikan suasana. Ketika semua alat musik telah berbunyi dengan baik dan pas pada posisi masing-masing sesuai aturannya ditiuplah sarune.
Pada gondang dalihan na tolu, suhut dan kerabatnya meminta gondang struktur tiga serangkai, yakni gondang mula-mula, gondang pasu-pasuan atau pinta parsaoran dan gondang hasahatan/sitiotio kepada pargonsi agar hasuhutan dan kaum kerabatnya manortor. Dalam acara manortor, Hula-hula memberi pasu-pasu kepada Boru-nya dengan menumpangkan tangan di atas kepala pihak Boru, sedangkan Boru menerima pasu-pasu itu dengan cara maniuk (menyentuh dengan tangan terbungkus ulos) dagu dari Hula-hula-nya. Tujuan gondang kekerabatan atau gondang dalihan na tolu ialah untuk mengekspresikan solidaritas kekerabatan dan mempererat hubungan kekeluargaan. (Penulis adalah peminat budaya Batak Toba, redaktur majalah “Menjemaat”, Medan/z2)

ANOTHER HUMAN BEING LIKE YOU.
RWM.BOONG BETHONY

08/12/08

UU PORNOGRAFI EFORIA????


LAGI SOAL UU PORNOGRAFI.



Kemaren, 31 Oktober DPR mensyahkan Randangan UU Pornografi menjadi UU. Pengesahan itu banyak menuai Kritik dari masyarakat Indonesia, bahkan pake ancaman segala untuk keluar dari NKRI.....sebelum disyahkan menjadi UU...Persoalan UU Pornografi memang sejak awal di rancang sudah banyak di bicarakan oleh rakyat Indonesia. Baik mereka yang Kontra pun yang Pro. Persoalan/substansi mereka yang kontra dan Pro UU tersebut terletak pada Interpretasi masing-masing pihak terhadap beberapa pasal yang dianggap bisa membatasi Kreatifitas Pegiat Seni di Tanah air, dan juga menyangkut persoalan Budaya beberapa Suku anak bangsa di Indonesia, sebut saja BALI, PAPUA dan Sub Etnis Daya yang memang secara budaya/tradisi cara berpakaian mereka (maaf) setengah telanjang. Diakuatirkan oleh kelompok yang Kontra, bahwa UU Pornografi bisa disalah gunakan untuk memberangus beberapa Kegiatan Seni (tarian jawa atau Bali, atau tarian Bugis-Makassar, Tari Dayak, Irian/Papua yang dalam busana berkesenian memang seperti itu), Belum lagi hasil-hasil seni rupa yang kerap kali menampilkan abstraksi yang sifatnya Imaginatif (terkadang abstraksi itu berupa manusia telanjang).
Ada juga kekuatiran bahwa mereka yang suka pakain serba Mini, bisa dikenai sangsi melalui pasal-pasal tertentu yang sifatnya meng-justice langsung ditempat dengan denda Rp.500.000 - 1.500.000 tanpa lewat pengadilan.
Dan banyak lagi pendapat mereka yang Kontra pada UU Pornografi tersebut.
Sebaliknya kelompok yang Pro, mensyukuri bahwa UU tersebut akhirnya dapat disyahkan. Pendapat mereka bahwa dengan adanya UU ini, maka bangsa Indonesia akan terlihat santun dimana-mana. Bahwa UU ini dapat dijadikan acuan untuk menegur - men-justice - mengatur kehidupan Publik yang katanya meniru-niru gaya hidup orang sono. Ditambahkan pula, bahwa Negara Indonesia ini negara yang sopan dan santun dalam segala hal. Karena itu cara berpakaian, bergaul, berkesenian (mencipta lagu, melukis, menari, membuat Film, Teater, membuat Patung, dst) harus di awasi supaya tidak ada lagi yang namanya Porno, Vulgar dst.
Bahwa UU ini, akan menjadi Polisi Moral yang dapat mengikat perilaku seluruh rakyat Indonesia.
Naaahhhh.....bagaimana pendapat temen-temen soal itu... .Bagiamana pun, apapun - keberatan atau mendukung...UU nya sudah disyahkan....Tinggal kita pandai-pandai melihat dan menyesuaikan keadaan dimana kita berada.
Bagi mereka yang hoby renang....siapkan busana khusus. Yang Hoby Volley...siapkan juga ........Sudalah kita tunggu saja...dan kita jalankan saja...kan itu udah menjadi UU.



RWM.BOONG BETHONY -Another Human Being Like You.




Beberapa Kekeliruan RUU Pornografi sebuah TAJUK

BEBERAPA KEKELIRUAN RUU PORNOGRAFI SEBUAH TAJUK

Seusai Ramadhan ini, DPR akan membicarakan kembali RUU Pornografi yang kontroversial. Ada harapan,RUU ini bisa disahkan menjadi UU sebelum akhir tahun. Kritik terhadap draft RUU yang beredar sudah banyak terdengar. Sebagian kritik bahkan sampai pada tahap “Hanya satu kata – Lawan!”. Sembari mengakui bahwa RU tersebut masih mengandung beberapa hal yang perlu diperebatkan, saya merasa salah satu persoalan yang mendasari ketajaman kontroversi adalah adanya kekeliruan mendasar dalam mempersepsikan dan menilai RUU ini. Saya ingin berbagi pandangan tentang apa yang saya lihat sebagai 10 kekeliruan mendasar dalam kritik terhadap RUU. Laporan lebih lengkap tentang RUU Pornografi ini sendiri akan dimuat dalam Majalah Madina edisi Oktober ini.

Rangkaian kekeliruan cara pandang tersebut adalah:

1. RUU Pornografi ini bertentangan dengan hak asasi manusia karena masuk ke ranah moral pribadi yang seharusnya tidak diintervensi negara.

Argumen ini memiliki kelemahan karena isu pornografi bukanlah sekadar masalah moral. Di berbagai belahan dunia, perang terhadap pornografi dilancarkan karena masalah-masalah sosial yang ditimbulkannya. Pornografi diakui – bahkan oleh masyarakat akademik—sebagai hal yang berkorelasi dengan berbagai masalah sosial.
Kebebasan yang dinikmati para pembuat media pornografis adalah sesuatu yang baru berlangsung sekitar 30-40 tahun terakhir. Sebelumnya untuk waktu yang lama, masyarakat demokratis di berbagai belahan dunia memandang pornografi sebagai “anak haram” yang bukan hanya mengganggu etika kaum beradab tapi juga dipercaya membawa banyak masalah kemasyarakatan.

Saat ini pun, industri pornografi yang tumbuh pesat dalam beberapa dekade terakhir dipercaya mendorong perilaku seks bebas dan tidak sehat yang pada gilirannya menyumbang beragam persoalan kemasyarakatan: kehamilan remaja, penyebaran penyakit menular melalui seks, kekerasan seksual, keruntuhan nilai-nilai keluarga, aborsi, serta bahkan pedophilia dan pelecehan perempuan. Sebagian feminis bahkan menyebut pornogafi sebagai “kejahatan terhadap perempuan”.

Karena rangkaian masalah ini, plus pertimbangan agama, tak ada negara di dunia ini yang membebaskan penyebaran pornografi di wilayahnya. Bentuk pengaturannya memang tak harus dalam format UU Pornografi, namun dalam satu dan lain cara, negara-negara paling demokratis sekali pun mengatur soal pornografi.

Di sisi lain, argumen bahwa soal “moral” seharusnya tidak diatur negara juga memiliki kelemahan mendasar. Deklarasi Univeral Hak-hak Asas Manusia (ayat 29), misalnya, secara tegas menyatakan bahwa pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dapat dilakukan atas dasar, antara lain, pertimbangan moral dalam masyarakat demokratis. Hal yang sama tertuang dalam amandemen Pasal 28J UUD 1945. Dengan begitu, kalaupun RUU ini menggunakan pendekatan moral pun sebenarnya tetap konstitusional.

2. RUU ini memiliki agenda penegakan syariah.

Tuduhan ini sulit diterima karena RUU ini jelas memberi pengakuan hukum terhadap sejumlah bentuk pornografi. RUU ini menyatakan bahwa yang dilarang sama sekali, hanyalah: adegan persenggamaan, ketelanjangan, masturbasi, alat vital dan kekerasan seksual. Pornografi yang tidak termasuk dalam lima kategori itu akan diatur oleh peraturan lebih lanjut.

Dengan kata lain, RUU ini sebenarnya justru mengikuti logika pengaturan distribusi pornografi yang diterapkan di banyak negara Barat. Mengingat ajaran Islam menolak semua bentuk pornografi, bila memang ada agenda Syariah, RUU ini seharusnya mengharamkan semua bentuk pornografi tanpa kecuali.

Dengan RUU ini, justru majalah pria dewasa seperti Popular, FHM, ME, Playboy (Indonesia) akan memperoleh kepastian hukum. Mereka diizinkan ada, tapi pendistribusiannya akan diatur melalui peraturan lebih lanjut.

Memang benar bahwa kelompok-kelompok yang pertama berinsiatif melahirkan RUU ini, sejak 1999, adalah kelompok-kelompok Islam. Begitu juga dalam prosesnya, dukungan terhadap RUU ini di dalam maupun di luar parlemen, lazimnya datang dari komunitas muslim. Dalam perkembangan terakhir, bahkan pembelahannya nampak jelas: Konnferensi Waligereja Indonesia dan Persatuan Gereja Indonesia meminta agar RUU tidak disahkan; Majelis Ulama Indonesia mendukung RUU.

Namun kalau dilihat isi RUU, agak sulit untuk menemukan nuansa syariah di dalamnya. Ini yang menyebabkan Hizbut Tahrir Indonesia secara terbuka mengeluarkan kritik terhadap RUU yang dianggap mereka sebagai membuka jalan bagi sebagian pornografi. Bagaimanapun, HTI juga secara terbuka menyatakan dukungan atas pengesahannya dengan alasan “lebih baik tetap ada aturan daripada tidak ada sama sekali”.

3. RUU ini merupakan bentuk kriminalisasi perempuan.

Tuduhan ini sering diulang-ulang sebagian feminis Indonesia. Tapi, sulit untuk menerima tuduhan ini mengingat justru yang berpotensi terkena ancaman pidana adalah kaum lelaki. RUU ini mengancam dengan keras mereka yang mendanai, membuat, menawarkan, menjual, menyebarkan dan memiliki pornografi. Mengingat industri pornografi adalah industri yang dibuat dan ditujukan kepada (terutama) pria, yang paling terancam tentu saja adalah kaum pria.

RUU ini memang juga mengancam para model yang terlibat dalam pembuatan pornografi. Namun ditambahkan di situ bahwa hanya mereka yang menjadi model dengan kesadaran sendiri yang akan dikenakan hukuman. Dengan begitu, RUU ini akan melindungi para perempuan yang misalnya menjadi “model” porno karena ditipu, dipaksa, atau yang gambarnya diambil melalui rekaman tersembunyi (hidden camera).

Para pejuang hak perempuan juga lazim berargumen bahwa RUU ini membahayakan kaum perempuan karena banyak model yang terjun ke dalam bisnis pornografi karena alasan keterhimpitan ekonomi. Sayangnya, kalau dilihat muatan pornografi yang berkembang di Indonesia, argumen itu nampak tidak berdasar. Para model pornografi itu tidak bisa disamakan dengan para pekerja seks komersial kelas bawah yang tertindas. Para model itu mengeruk keuntungan finansial yang besar dan sulit untuk membayangkan mereka melakukannya karena keterhimpitan dalam struktur gender yang timpang.

4. Definisi pornografi dalam RUU sangat tidak jelas.

Secara ringkas, definisi pornografi di dalam RUU ini adalah: ““materi seksualitas melalui media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”.

Para pengeritik RUU menganggap, definisi ini kabur karena penerapannya melibatkan tafsiran subjektiif mengenai apa yang dimaksudkan dengan “membangkitkan hasrat seksual” dan “melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”. Karena kelemahan itu, para pengeritik menganggap RUU sebaiknya ditunda atau dibatalkan pengesahannya.

Kritik semacam ini tidak berdasar karena definisi soal pornografi yang lazim berlaku di seluruh dunia – kurang lebih – seperti yang dirumuskan dalam RUU itu. Ensiklopedi Encarta 2008, misalnya menulis pornografi adalah film, majalah, tulisan, fotografi dan materi lainnya yang eksplisit secara seksual dan bertujuan untuk membangkitkan hasrat seksual. English Learner’s Dictionary (1986-2008) mendefinisikan pornografi sebagai literatur, gambar film, dan sebagainya yang tidak sopan (indecent) secara seksual.

Di banyak negara, pengaturan soal pornografi memang lazim berada dalam wilayah multi-tafsir ini. Karena itu, pembatasan tentang pornografi bisa berbeda-beda dari tahun ke tahun dan di berbagai daerah dengan budaya berbeda. Sebagai contoh, pada tahun 1960an, akan sulit ditemukan film AS yang menampilkan adegan wanita bertelanjang dada, sementara pada abad 21 ini, bagian semacam itu lazim tersaji di filmfilm yang diperuntukkan pada penonton 17 tahun ke atas. Itu terjadi karena batasan “tidak pantas” memang terus berubah.

Soal ketidakpastian definisi ini juga sebenarnya lazim ditemukan di berbagai UU lain. Dalam KUHP saja misalnya, definisi tegas “mencemarkan nama baik” atau “melanggar kesusilaan” tidak ditemukan. Yang menentukan, pada akhirnya, adalah sidang pengadilan. Ini lazim berlaku dalam hukum mengingat ada kepercayaan pada kemampuan akal sehat manusia untuk mendefinisikannya sesuai dengan konteks ruang dan waktu.

5. RUU ini mengancam kebhinekaan

Cara pandang keliru ini nampaknya bisa terjadi karena salah baca. Dalam draft RUU yang dikeluarkan pada 2006, memang ada pasal-pasal yang dapat ditafsirkan sebagai tidak menghargai keberagaman budaya. Misalnya saja, aturan yang memerintahkan masyarakat untuk tidak mengenakan pakaian yang memperlihatkan bagian tubuh yang sensual seperti payudara, paha, pusar, baik secara keseluruhan ataupun sebagian.

Ini memang bermasalah karena itu mengkriminalkan berbagai cara berpakaian yang lazim di berbagai daerah. Tak usah di wilayah yang dihuni masyarakat non-muslim; di wilayah mayoritas muslim pun, seperti Jawa Barat, kebaya dengan dada rendah adalah lazim. Hanya saja, pasal-pasal itu seharusnya sudah tidak lagi menjadi masalah karena sudah dicoret dari RUU yang baru.

Begitu juga dengan kesenian tradisional yang lazim menampilkan gerak tubuh yang sensual, seperti jaipongan. Dalam RUU yang baru, tak ada satupun pasal yang menyebabkan kesenian semacam itu akan dilarang. RUU ini bahkan menambahkan klausul yang menyatakan bahwa pelarangan terhadap pornografi kelas berat (misalnya mengandung ketelanjangan) akan dianulir kalau itu memiliki nilai seni-budaya.

6. RUU ini akan mengatur cara berpakaian.

Sebagian pengeritik menakut-nakuti masyarakat bahwa bila RUU ini disahkan, perempuan tak boleh lagi mengenakan rok mini atau celana pendek di luar rumah. Ini peringatan yang menyesatkan. Tak satupun ada pasal dalam RUU ini yang berbicara soal cara berpakaian masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

7.RUU ini berpotensi mendorong lahirnya aksi-aksi anarkis masyarakat.

Para pengecam menuduh bahwa RUU ini akan membuka peluang bagi tindak anarkisme masyarakat, mengingat adanya pasal 21 yang berbunyi: “Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.”

Tuduhan ini agak mencari-cari, karena dalam pasal berikutnya, RUU menyatakan bahwa “peran serta” masyarakat itu hanya terbatas pada: melaporkan pelanggaran UU, menggugat ke pengadilan, melakukan sosialisasi peraturan, dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat.
Dengan kata lain, justru RUU ini memberi batasan yang tegas terhadap kelompok-kelompok yang senang main hakim sendiri bahwa dalam alam demokratis, peran serta itu tak boleh ditafsirkan semena-mena.

8. RUU ini tidak perlu karena sudah ada perangkat hukum yang lain untuk mengerem pornografi.

Para pengeritik lazim menganggap RUU ini sebagai tak diperlukan karena sudah ada KUHP yang bila ditegakkan akan bisa digunakan untuk mengatur pornografi.
Argumen ini lemah karena sejumlah hal. Pertama, KUHP melarang penyebaran hal-hal yang melanggar kesusilaan yang definisinya jauh lebih luas daripada pornografi. KUHP pun menyamaratakan semua bentuk pornografi. Selama sesuatu dianggap “melanggar kesusilaan”, benda itu menjadi barang haram yang harus dienyahkan dari Indonesia. Dengan demikian, KUHP justru tidak membedakan antara sebuah novel yang di dalamnya mengandung muatan seks beberapa halaman dengan film porno yang selama dua jam menghadirkan adegan seks. Dua-duanya dianggap melanggar KUHP.

RUU ini, sebaliknya, membedakan kedua ragam pornografi itu. Media yang menyajikan adegan pornografis kelas berat memang dilarang, tapi yang menyajikan muatan pornografis ringan akan diatur pendistribusiannya.

Lebih jauh lagi, sebagai produk di masa awal kemerdekaan, KUHP memang nampak ketinggalan jaman. Terhadap mereka yang membuat dan menyebarkan hal-hal yang melanggar kesusilaan, KUHP hanya memberi ancaman pidana penjara maksimal 18 bulan dan denda maksimal empat ribu lima ratus rupiah! KUHP juga tidak membedakan perlakuan terhadap pornografi biasa dan pornografi anak.

9. RUU Pornografi tidak perlu, yang diperlukan adalah mendidik masyarakat.

Para pengecam menganggap bahwa sebuah pornografi tidak diperlukan karena untuk mencegah efek negatif pornografi yang lebih penting adalah memperkuat kemampuan masyarakat untuk menolak dan menseleksi sendiri pornografi. Jadi yang diperlukan adalah pendidikan melek media dan bukan Undang-undang.

Argumen ini lemah karena bahkan para pendukung mekanisme pasar bebas pun, lazim mempercayai arti penting aturan. Bila pornografi memang dipercaya mengandung muatan yang negatif (misalnya mendorong perilaku seks bebas, melecehkan perempuan, mendorong kekerasan seks, dan sebagainya), maka negara lazim diberi kewenangan untuk melindungi masyarakat dengan antara lain mengeluarkan peraturan perundangan yang ketat.

Di Amerika Serikat, sebagai contoh sebuah negara yang demokratis, terdapat aturan yang ketat terhadap pornografi yang dianggap masuk dalam kategori cabul (obscene). Di sana pun, masyarakat tak diberi kewenangan untuk menentukan sendiri apakah mereka mau atau tidak mau menonton film cabul, karena begitu sebuah materi pornografis dianggap ‘cabul’, itu akan langsung dianggap melanggar hukum.
Pendidikan untuk meningkatkan daya kritis masyarakat tetap penting. Namun membayangkan itu akan cukup untuk mencegah efek negatif pornografi, sementara gencaran rangsangan pornografi berlangsung secara bebas di tengah masyarakat, mugnkin adalah harapan berlebihan.

10. RUU ini mengancam para seniman.

Tuduhan bahwa RUU ini akan mengekang kebebasan para seniman juga mencerminkan kemiskinan informasi para pengecam tersebut. RUU ini justru memberi penghormatan khusus pada wilayah kesenian dan kebudayaan, dengan memasukkan pasal yang menyatakan bahwa pasal-pasal pelarangan pornografi akan dikecualikan pada karya-karya yang diangap memiliki nilai seni dan budaya


RWM.BOONG BETHONY