17/07/08

Beberapa Foto To Seko

Rob Colection
BUSANA KHAS WANITA TO PADANG
Rob Colection
Dapur To Seko Padang.
Rob Colektion

Rob Colection
Jembatan Sae, Desa AMBALLONG
Rob Colection
Penduduk Kariango
RWM.BOONG BETHONY
Posted by Picasa

Album To Seko Padang

Tokoh Masyarakat Lodang : To BARA', Pendeta dan Imam Desa

TO BARA' BENGKE


RWM.BOONG BETHONY

Posted by Picasa

11/07/08

Album orang Seko!

Dear Kanda R.W.M Boong-Bethony dan Keluarga Besar Seko,

Saya memberi apresiasi yang sangat tinggi atas semua tanggapan dan refleksi yang berhubungan dengan perluasan partisipasi politik masyarakat adat Seko yang selama ini kita dorong dan perkuat. Ada beberapa alasan kenapa saya memutuskan untuk maju dan ikut bertarung dalam Pemilu 2009 sebagai Calon DPD – RI:

1. Sudah saatnya masyarakat adat Seko memperkuat posisi tawarnya dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan politik mengingat berbagai perjuangan kita sudah banyak lakukan mulai dari penguatan-penguatan di level kampung (lipu, tondok), sektor pendidikan, ekonomi, pembangunan infrastruktur, loby dan negosiasi hingga kita berjuang untuk mendapatkan sebuah pengakuan secara de yure (lihat SK Bupati Nomor 300/2004 tentang pangakuan masyarakat adat seko). Dengan demikian sejarah yang panjang dengan perjuangan yang Orang Seko sudah lakukan ini, seharusnya sudah bisa menjadi BUILDING BLOK.

Untuk itu, saya berharap ada keputusan politik dari masyarakat adat seko melalui mekanisme pengambilan demokratisasi tertinggi lewat musyawarah adat yang namanya beragam (Mukobu di Seko Padang, Mukobo di Seko Tengah, Ma’bua Kalebu di Seko Lemo, Mogombo di Singkalong, dll) demikian halnya dengan keputusan organisasi/Yayasan yang dibentuk oleh Orang Seko misalnya Yayasan INA Seko, Kerukunan Keluarga Seko (KKS) yang tersebar dibeberapa wilayah/daerah baik yang ada di Sulawesi Selatan ataupun diluar Sulawesi Selatan. Dengan dukungan keputusan tersebut diatas berarti status saya adalah MANDATORY dan akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kepentingan-kepentingan yang akan diperjuangkan oleh Masyarakat Adat Seko kedalam peran dan fungsi sebagai DPD – RI.

2. Dalam konteks gerakan masyarakat adat nusantara, saya didorong untuk maju menjadi calon DPD RI dari Sul-Sel sehingga hingga saat ini sudah ada beberapa yang menjadi lembaga penjamin yaitu:
a. Alinasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
b. Perkumpulan Bumi Saweriganing
c. Perkumpulan TELAPAK Indonesia
d. Perkumpulan JURNAL CELEBES
e. Yayasan Sahabat Masyarakat Sulawesi
f. Sulawesi Channel
g. Perkumpulan WALLACEA

Hingga saat ini masih banyak lembaga atau organisasi masyarakat yang akan bergabung baik yang basisnya di Nasional, Provinsi maupun daerah bahkan dilevel kampung/masyarakat adat. Demikian halnya dengan tokoh-tokoh nasional, provinsi dan daerah yang sudah berkomitmen memberi dukungan.

Khusus mengenai dukungan pendanaan, memang ini adalah tantangan yang paling berat dan sudah saya rasakan selama mempersiapkan persyaratan-persayaratan dan kelengkapan sebagai Calon DPD RI. Untuk itu semua masukan dan saran dari keluarga dan kawan2 semuanya akan sangat membantu saya dalam menggerakkan dan memperkuat semua infrastruktur pemenangan yang sudah dan akan dibentuk.

Sebagai informasi awal, apabila kita lulus dan ditetapkan sebagai Daftar Calon Tetap (DCT) pada awal Oktober 2008 nanti, akan ada kegiatan Lounching yang isinya antara lain:
1. Memberi masukan dan input terhadap strategi pemenangan termasuk visi, misi dan agenda-agenda aksi yang akan ditawarkan ke publik
2. Memfinalkan alat-alat kampanye
3. Memperkuat infrastruktur pemenangan
4. Dll

Informasi berikut bahwa tanggal 21 Juli 2008 ada informasi dari KPU Makassar bahwa saya Lulus Administrasi sehingga kita bisa menunggu langkah selanjutnya yaitu Verfikasi Faktual dan akan diumumkan pada pertengahan bulan Agustus 2008.

Demikian dulu tanggan dari saya dengan senang hati saya menunggu masukan dan tanggapan dari keluarga besar Seko.

Salama’

Mahir Takaka

ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN)
"Berdaulat Secara Politik - Mandiri Secara Ekonomi - Bermartabat Secara Budaya"

Aula Osis SMA Negri Seko, sekaligus ruang belajar kelas III

Siswa/i SMA Negri Seko.

Tahun ajaran 2006-2007 100% lulus Ujian Nasional
Tahun ajaran 2007-2008 100% lulus Ujian Nasional
Selama 2006 - 2008 SMA Negri di Kabupaten Luwu Utara meluluskan siswa/i 100% Ujian Nasional.
Selamat untuk SMA Negeri Seko.

Guru-guru SMA Negri I Seko.
Lokasi SMA Negri I Seko.

Mengarak Pengantin di Desa Eno - Padang Balua.

Masyarakat Desa ENO-Padang Balua

Masyarakat Desa Busak - Padang Raya.

Masyarakat Lodang - Padang Raya.

Membakar Ikan di Kolam Padang Balua

Penduduk Kariango-Seko Lemo

RWM.BOONG BETHONY

10/07/08

DIALEKTIKA TO SEKO

RWM.BOONG BETHONY

Suatu Permenungan

Menarik bahwa jejaring komunikasi To Seko di Perantauan mulai menggeliat dalam informasi dan pemikiran-pemikiran tentang masa depan Tondok/Lipu Seko.
Saya sungguh bersyukur dan berterima kasih atas semua usaha ini, terutama pada Yayasan Ina Seko dan beberapa teman-teman yang aktif di berbagai LSM/NGO yang selama ini intens memperhatikan To Seko.
Menyimak beberapa tulisan di WWW.geocities.com/inazeko, juga di http://toseko.blogspot.com/ dan beberapa mailing list Kanda pak. Dion atas surat-surat yang dikirim kealamat beliau, juga dari dinda Mahir Takaka.
Sungguh sebuah Ironi, bahwa ditengah peradapan Pasca modern ini kita To Seko masih harus berkutet soal-soal kebutuhan membangun sarana dan prasarana perkembangan Tondok/Lipu/ kampung kita. Saya tidak tahu, mengapa wilayah yang bernama Seko, dimana kita lahir, besar dan berjuang menggapai harapan, harus berlaku seperti itu?! Saya juga tidak berani menuduh atau melempar pada siapa tentang mengapa tercipta ‘situasi dan kondisi’ seperti ini.Yang jelas bahwa ini realitas kita, To Seko.
Bukan untuk dipersoalkan, bukan untuk dicari-cari akar terciptanya situasi dan kondisi itu! Tapi bagaimana mengubah situasi ini, menantang ketidak mungkinan manjadi mungkin. Mewujudkan mimpi dalam nyata!
Kita memang sangat tertinggal! Tiap kali saya pulang ke SEKO, tiap itu pula jalan yang sama saya lalui. Berliku-liku, kubangan lumpur, berbatu-batu. Saat hujan jalanan menjadi sungai kecil dan selalu membuatnya licin bukan saja untuk pejalan kaki juga bagi pengojek-pengojek yang merupakan “sarana tranportasi pilihan utama’ To Seko.
Saat-saat seperti itu, dibenak saya adalah…Apakah Seko juga merupakan wilayah NKRI yang sudah merdeka 63 tahun?
Kerabat yang kukasihi, saya yakin perasaan dan pemikiran seperti ini, juga kerabat miliki! Pertanyaan kemudian, apa yang bisa kita lakukan? Dalam Refleksi Perenungan ini, saya coba melihat dalam beberapa sisi.

Sosial Kultural To Seko!


Menarik tulisan Dinda Mahir. Bahwa To Seko memiliki kearifan lokal yang mesti dicermati sekaligus di pertahankan. Musyawarah Adat/Kerapatan Adat/Mufakat Adat. Memang bukan hanya ciri khas To Seko, sebab hampir semua suku-suku di Indonesia kaya tradisi ini. Persoalannya adalah, “mensitir” ungkapan Dinda Mahir, bahwa Musyawarah Adat/Kerapatan Adat/Mufakat Adat sudah lama hilang dari komunitas To Seko! Padahal ini merupakan Basic budaya To seko!

Belajar dari Sejarah!


Dalam Penelitian dan Tulisan Kanda Zakaria Ngelow di Inazeko website, ketika orang-orang Seko terpaksa diaspora oleh Gerakan DI/TII. Basic Musyawarah Adat (sangat terlihat) jadi wahana (yang mengikat) orang-orang Seko Mengungsi/Diaspora dalam membangun dan membentuk suatu “komunitas ekskluif” dalam pendirian kampung-kampung dimana mereka mengungsi ketika itu. Demikian juga, ketika “operasi Pungholoi” merebut Seko kembali, atau disaat “mengembalikan pengungsi” ke Tanah airnya. Situasi ketika itu sangat “didominasi oleh Perasaan sebagai TO SEKO” hingga fungsi-fungsi Musyawarah Adat sangat efektif menggerakkan To Seko, bahu membahu, untuk pemulihan Kedaulatan To Seko. Demikian juga masa-masa ‘recorvery’ phsykies/mental dan pisik akhir thn 60-an sampai awal 80-an dimana pembentukan dan pembangunan perkampungan dilakukan atas Musyawarah Adat! Bahkan sampai pada hal-hal Pertanian pun diatur bersama. Seperti, musim menanam padi, berkebun/berhuma, Hutan mana boleh dibuka/digarap dan yang tidak boleh. Atau menentukan syukur tahunan atas panen segala hasil pertanian tanpa melihat latar belakang Agama.
Ada kurang lebih 15.000 – 20.000 jiwa (bahkan mungkin lebih) To seko Diaspora, tersebar di Donggala, Palu, Omu, Poso, Malili, Soroako, Wasuponda, Bone, Kampung Baru, Masamba, Sabbang, Palopo, Tanah Toraja, Makassar, Kalimantan, Jawa, Sumatra, Bali – Lombok, Irian, termasuk di Luar Negeri.

Sekarang Tanah Seko dikuasai oleh “MUSUH” Keterpencilan dan Keterbelakangan Pembangunan.
Sangat dibutuhkan suatu kesadaran dalam bentuk Kerapatan/Musyawarah Adat To Seko Diaspora untuk menghalau “MUSUH” Keterpencilan dan Ketertinggalan Pembangunan di Kampung kita! Bahkan lebih berat seperti ketika merebut Seko dari Tangan DI/TII Kahar Muzakar.
Dapatkah kita To Seko diaspora mengulang kembali ‘betapa dashyat’ akibat dari Kesatuan berbasis Kerapatan/Musyawarah adat itu? Bahwa Kerapatan/Musyawarah adat To SEKO Diaspora pernah membawa Pencerahan yang amat berarti untuk TO SEKO pada Masa DI/TII Kahar Muzakar!
Kalau Masa itu, To Seko Diaspora bahu-membahu memanggul senjata demi kemerdekaan “KAMPUNG-LIPU-TONDOK” masak sekarang tidak bisa?
Kalau zaman itu Pendahulu kita memanggul Senjata! Generasi sekarang memanggul Pena dalam bentuk pemikiran yang konstruktif, dalam bentuk ide yang Edukatif, Elegan dan membangun.
Persoalannya kemudian bahwa kita To Seko tidak lagi (maaf) menghargai dan belajar dari sejarah kita To Seko! Kerinduan melihat secara bersama-sama Kampung halaman dalam kungkungan “Musuh Ketertinggalan Pembangunan dan Keterpencilan” itu sepertinya bukan kebutuhan “kita bersama”. Kita sangat terpesona (mohon maaf lagi) dengan pencapaian dan target-target pribadi juga keluarga! Dengan membangun “citra” diri/keluarga atau “larut” pada Romantisme sejarah keluarga di masa lalu. Lalu bentuk target dan pencitraan itu seolah-olah menjadi bagian dari kemajuan To Seko!
Dan bila ada perhatian ke kampung halaman, itu juga dalam rangka target dan pencitraan yang dimaksud diatas (sungguh-sungguh saya minta maaf).

Pertanyaan penting di sikapi To Seko Diaspora, adalah : “Bagaimana Membuat Kampung-Tondok-Lipu To Seko dapat melepas rantai-rantai Isolasi yang membuatnya Terpencil sekaligus memutus rantai itu agar berlari mengejar ketertinggalan seperti bagian lain dari negeri ini!

Dalam catatan saya, Komunitas Masyarakat Seko diaspora yang tersebar dimana-mana itu, masing-masing memiliki Persatuan (kalau tidak mau disebut Musyawarah Adat/Kerapatan Adat Seko) sesuai latar belakang kampung para pengungsi dan daerah asal masing-masing. Seperti Persatuan Keluarga To Lemo, Persatuan Keluarga To Padang , Persatuan Keluarga to Seko Tengah. Belum lagi, Persatuan Pelajar – Mahasiswa – Pemuda Seko, dst-dst. Dimana Persatuan atau kerukunan itu menjadi suatu musyawarah/kerapatan adat bagi To Seko Diaspora.
Bahkan jauh sebelum itu, Musyawarah Adat merupakan Roh dan Etika bermasyarakat To Seko. Isitilah-istilah “TO BARA’”, “TO MAKAKA” adalah symbol-symbol Kerapatan Adat/Musyawarah Adat yang dibungkus kemasan “MUKOBU – MUKOBO - MA’BUA KALEBU”. To Bara’ - To Makaka merupakan Symbol Identitas Adat! Lambang Masyarakat Adat Seko. To Bara’ dan To Makaka lahir dalam ‘Mokubu – Mukobo - Ma’bua Kalebu”. Karena To Bara’ - To Makaka merupakan symbol Adat, maka dia tidak berdiri sendiri! Apalagi otonom! To Bara’ - To Makaka terikat pada nilai-nilai Mukobu – Mukobo - Ma’bua Kalebu ditengah Masyarakat SEKO.
Pada Zaman Prakemerdekaan To Bara’ - To Makaka, adalah Pemimpin dan “To Barani”, secara khusus menghadapi musuh-musuh dari luar Seko. Sebagai To Bara’ – To Makaka, ia akan terjun dalam medan perang dan memimpin langsung pertempuran menghalau musuh. Tapi pada masa normal, To Bara’ – To Makaka kembali hidup seperti biasa. Terjun kesawah, berladang, berburu, hidupnya jadi panutan/teladan! Ia mendorong, memberi semangat dalam bidang apapun termasuk menyeleseikan berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat. Dan bila ada persoalan/kasus yang tidak dapat diseleseikan, To Bara’ – To Makaka menghimpun masyarakat - Mukobu – Mukobo – Ma’bua Kalebu mencari jalan keluar terhadap persoalan/kasus tersebut.
To Bara’ – To Makaka sekaligus juga symbol kemandirian dan otonomisasi To Seko atas Daerah dan wilayah adat To Seko, tanpa dipengaruhi, terlebih dianggap sebagai bawahan (atau dalam kekuasaan) Daerah lain. Dari beberapa Goresan sejarah Lokal To Seko, dalam bentuk tulisan tangan para pendahulu juga catatan-catatan resmi Karya Ilmiah, termasuk kisah-kisah yang sering kita dengar dari orang-orang Tua To Seko, memberi “sinyal” bahwa To Seko sejak jaman dahulu kala adalah Daerah Merdeka, Otonom tanpa campur tangan kekuasaan dari daerah lain. Sampai pada zaman kemerdekaan seperti sekarang.
To Seko memang memiliki Daerah dan wilayah yang merupakan hak Ulayat, Hak adat, dan Hak kepemilikan. Termasuk Hak untuk mengelola, menikmati dan membangun daerahnya. Hak-hak itu dilindungi oleh Undang-undang!
Karena itu ia harus diberi ruang gerak oleh Pemerintah (daerah dan juga pusat) berdasar pada Undang-undang NKRI. Persoalan Hak ini menjadi serius kita sikapi demi otonomisasi dan hak hidup To Seko atas Tanah dan Wilayah Ulayatnya! Dalam kaitan dengan itu, Fungsi-fungsi To Bara’ – To Makaka yang akhir-akhir ini cukup ramei dibicarakan (diperebutkan??) To Seko di Kampung Halaman, mestinya juga memahami dengan sungguh dan benar! Bahwa kehadiran mereka bukan saja sebagai symbol adat To Seko, tetapi juga suatu pernyataan pada dunia luar bahwa Daerah dan Wilayah To Seko adalah daerah dan wilayah yang bertuan. Daerah dan Wilayah yang tidak boleh “dieksploitasi” dengan alasan apapun tanpa seijin Pemilik dan Tuan atas Daerah dan Wilayah tersebut. Terlebih dimiliki oleh “orang lain”.
Bukan hanya Para To Bara’ – To Makaka, tokoh-tokoh Agama dan Tokoh-tokoh masyarakat To Seko juga musti tahu! Musti Ikut memikir lalu menuangkan pemikiran itu dalam bentuk pragmatis dialogis di tengah komunitas To seko! Saya tahu, bahwa To Seko tidak pernah kehilangan Pemikir, tetapi dalam tatanan pragmatis dialogis para pemikir-pemikir itu amat lemah. Yang ini juga suatu persoalan kita To Seko.

Kalau zaman pra kemerdekaan To Bara’ – To Makaka menjadi To BARANI menghadapi musuh dari luar Tanah Seko, maka zaman sekarang, ia juga musti “berani” mempertahankan wilayah dan daerah To Seko dari berbagai “musuh” yang hendak “menggarong – mengeksploitasi” kekayaan alam To Seko. Sebab itu para To Bara’ – To Makaka harus didukung oleh seluruh Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat termasuk elemen-elemen yang ada didalam maupun di luar Tondok – Kampung – Lipu Seko untuk mempertahankan kerapatan/musyawarah adat To Seko dalam bungkus “MUKOBU – MUKOBO - MA’BUA KALEBU” untuk menjaga, memakai, membangun dan memelihara Daerah dan Wilayah To Seko. Hanya dengan cara seperti itu, Hak Ulayat, Hak Adat/budaya dan Hak kepemilikan atas daerah dan wilayah To Seko dapat dipertahankan. Persatuan dan Kesatuan sebagai To Seko yang terikat dalam Adat istiadat dan budaya yang sama, seharusnya menjadi Spirit kebersamaan yang mampu merantai seluruh To Seko diaspora maupun yang tinggal di Tondok – Kampung – Lipu. Tapi soal ini juga jadi masaalah bagi kita!.

Masa Modern (Pasca Modern?) dan Jaringan Telepon Celuler di Seko?

Tidak ada satu bangsa di dunia ini yang mampu menghalau, mencegah, dampak dari perkembangan modernisasi. Bahkan Negara sehebat USA dan Jepang pun menjadi salah satu korban dampak buruk dari akibat modernisasi ini! Tetapi tidak semua hasil modernisasi buruk, sebab nyata bahwa spirit dibalik modernisasi adalah memudahkan Manusia dalam segala hal.
Modernisasi adalah suatu keadaan dimana terjadi “pemaksaan” sarana dan prasarana terhadap suatu daerah/wilayah/negara tanpa ada kesempatan untuk memilih terlebih menolaknya. Demikian juga di kampung halaman kita, Tondok – Kampung – Lipu Seko. Modernisasi, lambat atau cepat pasti merambat kesana.
Yang mestinya kita Kritisi bersama, bila perlu kita duduk bersama, adalah bagaimana menyuarakan persoalan-persoalan yang amat di butuhkan, bukan yang diinginkan oleh orang lain, termasuk oleh Pemerintah terhadap Masyarakat Seko, Kampung kita!
Sering kali Pemerintah kita terjebak pada rasa “sok tahu” bahwa program-program Pembangunan “terlalu sering” diyakini merupakan Kebutuhan Masyarakat. Termasuk rencana PEMKAB LUWU UTARA soal membangunan Tower Celuler di Seko.
Sebagai Putra Seko yang sudah merasakan dan memanfaatkan “Mobile Phone” tentu itu kita sambut gembira. Tapi ada yang dilupakan, bahwa membangun komunikasi mestinya dari dasar dulu. Dasar atas perkembangan kumonikasi antar/intra komunitas satu dan komunitas yang lain. Yaitu Komunikasi dalam bentuk interaksi! Interaksi satu daerah dan daerah yang lain. Dan Komunikasi seperti itu belum dirasakan, apalagi dinikmati oleh Komunitas Masyarakat Seko. Interaksi seperti ini, amat dibutuhkan oleh Masyarakat seko. Sebab interaksi yang demikian adalah dasar-dasar perkembangan Komunikasi. Dan dasar-dasar komunikasi adalah tersedianya sarana interaksi intra/antar Komunitas, yaitu tersedianya sarana jalan yang representatif!

Beberapa Titik Ruas Jalan menuju Seko.

(Sumber : berangberang.picture.colection)

Coba Kerabat renungkan, bagaimana mungkin suatu daerah terpencil seperti Seko akan mampu berkomunikasi (dalam arti luas) terhadap daerah lain hanya dengan Pengadaan dan Pembangunan Tower Telpon Celuler? Harus saya akui bahwa Pembangunan jaringan itu akan memperpendek jarak dan waktu kita bercakap-cakap dengan sanak saudara! Tapi apakah itu kebutuhan utama To Seko? Apakah itu dapat membangun Interaksi yang intens To Seko dengan Komunitas diluar sana ? Apakah itu dapat berakibat pada peningkatan “income” To Seko? Atau mampu meningkatkan Sumber Daya Insani To Seko sehingga memiliki bergaining kuat terhadap orang lain? Dst-dst! Saya pikir, Tidak!
Inilah salah satu dampak negatif dari modernisasi! Serba Instan, serba mudah! Dan sering kali “menghilangkan” yang hakiki! Yang hakekat! Seolah-olah dengan pembangunan jaringan Tower celuler di daerah-daerah terpencil, maka masaalah komunikasi selesei, daerah terpencil seperti Seko segera terbuka! Solusi instan dan sangat tidak bertanggung jawab.
Saya berfikir tidak segampang itu! Pemerintah Kab. Luwu Utara, terlalu intans memahami Instruksi dan program MENGKOINFO. Juga terlalu instan dan gampang menunda-nunda pembangunan Jalan Raya menuju Seko! Saya mengerti, saya memahami betapa rakyat seko, membutuhkan seluruh akses Komunikasi, termasuk jaringan telepon celuler. Tetapi To seko bukan masyarakat mobile! Bukan pula masyarakat yang sudah membutuhkan komunikasi telepon tiap waktu!
Rencana itu, akal-akalan! Bukan menjawab kebutuhan Masyarakat!

Lalu Bagaimana dong?
Menerima kenyataan bahwa Pemkab Luwu Utara membatalkan Pembangunan Jalan menuju Seko dan berencana untuk Membangun Jaringan Telepon celuler di Seko perlu pemikiran yang konstruktif dan elegan dari setiap Tokoh-tokoh To Seko. Baik To Seko Diaspora maupun To Seko di Kampung Halaman. Pemikiran-pemikiran itu perlu disatukan, lalu disuarakan! Dinyatakan kepada Pemerintah! Sebab kalau To Seko hanya berdiam diri atau hanya terpekur dalam pemikiran saja, Musuh “Keterpencilan dan Ketertinggalan Pembangunan” di Kampung Halaman akan terus menjadi “Raja” atas Daerah dan Wilayah To Seko.
To Seko tidak perlu malu-malu (padahal butuh) menyuarakan kebutuhannya secara Politis dengan memproteksi daerah dan wilayahnya terhadap “eksploitasi” atas To Seko dari pihak manapun! Termasuk dari Pemerintah yang sering kali menjual “jamu” pada To Seko tiap kali “berkunjung” ke Daerah dan Wilayah To Seko.
Sebagai Daerah dan Wilayah NKRI, To Seko memiliki Hak untuk diperlakukan sejajar dengan saudara-saudaranya di daerah lain. Dan itu merupakan hak yang harus dituntut kepada pemerintah daerah maupun pusat. Persoalan berikut kemudian adalah, Apakah To Seko mampu bersuara Lantang, Kritis dan konstruktif untuk memperjuangkan Hak-hak itu?

Untuk itu perlu perenungan ini! Namanya saja Perenungan! Yang dihasilkan tentu saja sebuah perenungan! Perenungan atas persoalan-persoalan yang ada diseputar kehidupan kita To Seko.

Lembaran Puisi.

RWM.BOONG BETHONY



................Dimana Tuhan?

Dimana Tuhan?
Dalam dendang dan sujud insani
Tuhan dimana?
Pada setiap mereka yang menderita

Dia kemana?
Bersama insan tahajud
Kemana Dia?
Mencari mereka yang ingkar.

Tapi Tuhan selalu
Bagi siapa pun

Ia mematikan tapi juga menghidupkan
Ia meremukkan sekaligus menyembuhkan.

Tuhan tak pernah kemana
Meski ada dimana-mana.

Masamba, Mei 2008!