19/12/08

PAHAM HARMONI KETIGAAN DALAM BATAK TOBA.

Ditulis pada Nopember 13, 2007 oleh SAHAT.

Tulisan ini pernah dimuat di Harian SIB Online pada tahun 2000 penulisnya adalah Amanta Norton G Manullang, dituliskan kembali pada blog Habinsaran semata-mata untuk bertujuan untuk menambah pehaman kita pada Paham Harmoni Ketigaan dan Gondang Sabagunan semoga berguna.,

Paham harmoni ketigaan yang penulis maksudkan ialah pemahaman masyarakat Batak Toba mengenai bilangan tiga. Bilangan tiga mengambil peranan sentral dalam pandangan hidup kebatakan, karena menyangkut keyakinan dan kepercayaan mereka. (Rudolf Pasaribu, 1988; 122; bdk. Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M Siahaan, 1987 : 64-66). Paham harmoni ketigaan demikian juga terkait erat dengan penyajian musik tradisional Batak Toba, gondang sabangunan. Namun sebelum paham ketigaan dalam masyarakat Batak Toba dipaparkan, penulis akan lebih dahulu menguraikan pemahanan dan keyakinan masyarakat Batak Toba mengenai makna bilangan ganjil dan bilangan genap. Dalam hal ini bilangan ganjillah yang lebih disukai oleh orang Batak Toba, karena bilangan tersebut melambangkan kehidupan dan kerap diasosiasikan dengan hal-hal yang tidak kelihatan (na so niida). Maka tidaklah mengherankan bahwa bilangan ganjil mempengaruhi kehidupan harian dan budaya kebatakan.
Untuk mengerti bilangan ganjil sebagai bilangan yang paling disukai oleh masyarakat Batak Toba dalam hidup harian dan budayanya, bilangan genap juga mesti diketahui. Alasannya ialah masyarakat Batak Toba telah mengamati bahwa dalam diri semua makhluk hidup pada umumnya dan manusia dan hewan pada khususnya ditemukan bilangan genap.
Manusia mempunyai dua tangan, dua telinga, dua mata, dua kaki, dua lobang hidung dan seterusnya.
Hewan-hewan pun mempunyai organ-organ tubuh yang berjumlah genap.
Lagi, semua makhluk hidup yang memakai bilangan genap tersebut hidupnya susah, sakit, menderita dan mati.
Oleh karena itu, mereka menarik kesimpulan bahwa bilangan genap berarti selalu terasosiasi dengan penderitaan dan kematian. Maka, sedapat mungkin masyarakat Batak Toba dalam praktek hidup hariannya, atau dalam adat dan budayanya berusaha menghindari bilangan genap.

Namun demikian tidak semua jenis bilangan ganjil menjadi bilangan na marhadohoan (yang punya makna khusus) dalam hidup orang Batak Toba. Hanya bilangan-bilangan tertentu saja yang mempunyai makna simbolik dan sering dipakai. Bilangan-bilangan tersebut ialah bilangan tiga, lima, dan tujuh. Pemakaian bilangan ganjil ini tampak juga pada jumlah tangga rumah, jumlah warna, jumlah dunia (banua), aturan-aturan ni panortoran dan lain-lain.

Bilangan tiga mempunyai arti yang sangat khusus bagi orang Batak Toba.
Itulah sebabnya bilangan ini mempengaruhi kehidupan dan cara berpikir masyarakat Batak Toba. Hal ini dapat diamati dalam mite kosmologi, antropogoni, kosmogoni dan etika hidup Batak Toba. Paham ketigaan juga tampak dalam upacara gondang sabangunan, sistem kemasyarakat Dalihan Na Tolu dan Debata Na Tolu. Untuk memahami bilangan tiga dalam fenomena ketigaan tersebut konsep yang tidak boleh tidak harus ada ialah konsep totalitas dan representasi (Ph. L. Tobing, 1965; 20-22).

Fenomena Ketigaan Dalam Masyarakat Batak Toba

Bilangan tiga seperti telah dikatakan di atas mempunyai makna yang sangat penting dan khusus bagi masyarakat Batak Toba bahari. Implikasinya pun mempengaruhi kehidupan dan cara berpikir orang Batak Toba seperti keyakinan tentang Debata Na Tolu (Debata Batara Guru, Debata Balasori, Debata Mangalabulan), Banua Na Tolu (Banua Ginjang, Banua Tonga, dan Banua Toru) dan Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru). Dalam paham kebangsaan, fenomena ketigaan juga ditemukan yakni Bangso Batak, Adat Batak (Patik dohot Uhum) dan Habatahon.
Hal yang sama terdapat pada adat tarombo yang terdiri dari tiga bagian, yakni : Adat Pusaka Arta atau Barang, Adat Patik dan Adat Uhum.
Simbol bendera Batak juga berwarna tiga yaitu : warna hitam di bagian depan, warna putih di sebelah kanan dan warna merah di sebelah kiri.
Adat Batak Toba juga mengenal hadebataon (keilahian), hajolmaon (kemanusiaan) dan habatahon (kebatakan) (Raja Patik Tampubolon, 2002; 111-112).
Sedemikian melekatnya paham harmoni ketigaan dengan hidup orang Batak Toba hingga paham tersebut juga dikenakan pada eksistensi manusia. Agar manusia dapat hidup, dalam dirinya harus ada tiga unsur yakni hosa (nyawa), mudar (darah), dan sibuk (daging). Sementara untuk dapat bertahan hidup di bumi kepada manusia juga diberikan kekuatan oleh Mulajadi Na Bolon, yakni tondi (roh), saudara (kemuliaan) dan sahala (wibawa). Dengan demikian fenomena ketigaan merasuki seluruh sendi kehidupan masyarakat Batak Toba, baik hidup sekular maupun hidup religiusnya.
Fenomena ketigaan di atas menurut pandangan orang Batak Toba mesti dipahami baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif (“isi” yang hendak dikomunikasikan kuantitas bilangan itu). Pemahaman semacam ini biasanya bersifat totalistis, bukan parsialistis. Pemahaman ini tampak dengan jelas melalui ungkapan “Sitolu sada ihot songon pat ni langgatan….Ndang boi hurang sian tolu, jala dang boi lobi sian tolu, ingkon pas do sitolu sada songon pat ni langgatan” (triade seikatan seperti kaki altar…tidak boleh kurang dari tiga, dan tidak boleh lebih dari tiga. Jumlahnya harus tiga seikat laksana kaki altar (Ibid).
Sitolu sada ihot berarti bahwa yang satu tidak bisa terlepas dari yang lain. Meskipun ketiga tiang langgatan berbeda dan berdiri sendiri, namun ketiganya merupakan satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan.
Hal ini terjadi karena cara berpikir orang-orang Batak Toba bahari-sama seperti bangsa-bangsa sederhana yang lain-bersifat sintetis, bukan analitis. Konsekuensi cara berpikir sintetis ialah bahwa segala hal; kosmos, komunitas, individu, dan lain-lain dialami sebagai totalitas. Eliminasi terhadap salah satu dari ketigaan berarti annihilasi ketiganya.

Oleh karena itu, adanya yang satu terjadi karena adanya yang lain, dan masing-masing mewujudkan diri ke dalam satu kesatuan yang utuh. Adaan yang satu mengandaikan adaan yang lain. Debata Batara Guru tidak dapat berdiri sendiri tanpa Debata Balasori dan Mangalabulan. Meskipun Hula-hula mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, tetapi kedudukan tersebut harus didukung oleh Dongan Tubu dan Boru. Demikian juga ketigaan yang lain. Totalitas ketiganya merupakan keseimbangan yang bersifat mutlak. Harmoni dan kesatuan dalam keterpisahan dan keberbedaan, entah itu dalam konteks mikrokosmos atau makrokosmos, tercapai apabila keseimbangan ketiga unsurnya terjamin. Artinya, sesuai dengan pandangan Ph L Tobing, keterpisahan dan keberbedaannya hanya dapat dipahami sejauh berkaitan dengan mentalitas sintetis yang tercermin di dalam keyakinan totalitas ketiga unsur yang berbeda.

Debata na tolu dan gondang sabangunan

Mulajadi Na Bolon ialah pencipta segala yang ada. Dia digelari sebagai “Allah yang tidak berawal, yang datang dari yang tak berawal, yang tidak berakhir”. Dialah awal dan yang menciptakan dan menjadikan langit dan tanah, air dan segala isinya. Menurut mite penciptaan, Dialah yang menciptakan alam semesta termasuk Debata Na Tolu dan manusia. Debata Na Tolu diciptakan oleh-Nya melalui Manukmanuk Hulambujati dari tiga butir telur raksasa. Ketiga makhluk itu dinamai oleh Mulajadi Na Bolon sebagai “manusia”, meskipun dalam diri mereka ada keilahian. Mereka bukanlah manusia biasa. Karena keilahian itu juga mereka disebut Debata Na Tolu yakni Debata Batara Guru, Debata Balasori dan Debata Mangalabulan.
Totalitas Debata Na Tolu ialah Debata Mulajadi Na Bolon. Pada-Nya harmoni Debata Na Tolu, penguasa Banua Na Tolu, mewujud. Dengan kata lain, Debata Na Tolu menjadi representasi Mulajadi Na Bolon di Banua Na Tolu.
Totalitas tersebut tercermin dalam ungkapan Batak Toba; Debata Na Tolu, sitolu suhu sitolu harajaon (Ilah yang tiga, yang tiga jenis tiga kerajaan).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Debata Na Tolu merupakan penguasa yang menciptakan dan mengatur ketertiban makrokosmos (Banua Na tolu). Ketertiban itu termanifestasi secara nyata dalam diri manusia sebagai mikrokosmos (Dalihan Na Tolu).
Oleh karena itu, memanggil dan memuja Debata Na Tolu dalam setiap upacara adat atau upacara religius-magis identik dengan memanggil dan memuja Debata Mulajadi Na Bolon itu sendiri.
Struktur umum penyajian gondang sabangunan terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama ialah apa yang disebut gondang mula-mula, bagian kedua ialah gondang pinta parsaoran dan bagian terakhir yaitu gondang panutup. Korelasi gondang sabangunan dengan Debata Na Tolu secara jelas dapat dipahami melalui bagian gondang pembukaan, karena di dalamnya dikisahkan korelasi antara manusia dengan Mulajadi Na Bolon atau Debata Na Tolu. Jenis lagu gondang yang secara khusus diperuntukkan bagi Debata Na Tolu ialah Gondang mula-mula dan gondang somba-somba.

Gondang somba-somba dimaksudkan sebagai sembah sujud kepada Mulajadi Na Bolon atau Debata Na Tolu yang telah menciptakan dan memelihara hidup manusia. Sikap menyembah tersebut secara etis hendak mengungkapkan bahwa Yang Ilahi, Sang Penyelenggara hidup manusia itu pantas disembah-sujudi. Tujuan gondang ini ialah agar upacara pesta atau upacara gondang yang hendak dilaksanakan kiranya direstui oleh Debata Na Tolu, sehingga suhut yang mengadakan pesta memperoleh pasu-pasu yakni anak na marsangap dohot boru na martua. Maka, melalui gondang sabangunan ditampilkan totalitas Debata Na Tolu yang mengayomi Banua Na Tolu dan termanifestasikan secara representatif dalam diri Dalihan Na Tolu.

Banua Na Tolu dan gondang sabangunan

Dalam mitologi penciptaan dunia kebatakan terbagi atas tiga bagian, yakni dunia atas (Banua Ginjang), dunia tengah (Banua Tonga) dan dunia bawah (Banua Toru). Banua Na Tolu dalam pandangan orang Batak Toba tidak dalam arti spasial-temporal, melainkan ruang kosmik yang dialami sebagai totalitas Banua Ginjang, Banua Tonga dan Banua Toru. Banua Tonga memiliki peran sentral dalam menjaga keseimbangan dan harmoni eksistensi Banua Na Tolu (Paul B Pedersen, 1975; 19-20). Banua Ginjang adalah banua yang pertama kali diciptakan oleh Mulajadi Na Bolon sebagai tempat kediaman Debata Na Tolu, para parhalado-Nya (pelayan-Nya) dan para sombaon. Banua Tonga ialah bagian dari totalitas kosmos yang berfungsi mengatur kerjasama antara Banua Ginjang dan Banua Toru. Bila kerja sama ketiganya tercipta dengan baik maka harmoni dalam jagad raya akan tercipta. Banua Tonga diciptakan oleh Mulajadi Na Bolon sebagai tempat kediaman manusia dan segala makhluk hidup untuk beraktivitas (A. B. Sinaga, 1981; 11). Banua Toru adalah tempat tinggal begu dan orang-orang yang telah meninggal dunia. Banua Na Tolu dihuni oleh masing-masing Debata Na Tolu; Debata Bataraguru mengayomi Banua Ginjang, Debata Balasori mengayomi Banua Tonga dan Debata Balabulan mengayomi Banua Toru. Untuk menjaga relasi yang harmonis dengan penghuni Banua Na Tolu, masyarakat Batak Toba bahari kerap mengadakan ritual dengan menyertakan gondang sabangunan. Alat musik tradisionil itu membantu komunikasi manusia dengan penghuni Banua Na Tolu. Selain itu, gondang sabangunan pun tetap terkait secara tidak langsung dengan Banua Na Tolu melalui wujud simboliknya.

Dalihan Na tolu dan gondang sabangunan.

Dalihan Na Tolu merupakan landasan dan dasar kehidupan masyarakat Batak Toba. Istilah Dalihan Na Tolu yang terdiri dari Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru menyatakan unitas dan totalitas hubungan kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba. Unsur unitas dan totalitas menjadi ciri khas yang menonjol karena Dalihan Na Tolu tidak dapat dipandang atau dipahami secara parsial. Ketiganya harus utuh dan harmonis sehingga hidup sejahtera dalam kekerabatan masyarakat Batak Toba terwujud.
Pemahaman atas Dalihan Na Tolu tidak terlepas dari konsep unitas, totalitas dan representasi sebagaimana telah diuraikan di atas. Sudah sejak jaman dahulu hingga sekarang orang Batak Toba menyakini bahwa Dalihan Na Tolu bertautan erat dengan Mulajadi Na Bolon, Debata Na Tolu dan Banua Na Tolu. Apabila Dalihan Na Tolu dilepaskan dari Mulajadi Na Bolon, Debata Na Tolu dan Banua Na Tolu maka Dalihan Na Tolu tidak mempunyai makna dan nilai apa pun. Ketidakbernilaian ini terjadi karena Dalihan Na Tolu merupakan wujud pancaran kuasa Mulajadi Na Bolon secara konkrit-nyata dalam kehidupan manusia di Banua Tonga (Dj Gultom Radjamarpodang, 1992;55). Dalihan Na Tolu merupakan representasi dari Debata Na Tolu yang berkuasa atas Banua Na Tolu. Hal ini tampak melalui kehadiran debata Batara Guru dalam diri Hula-hula, Balasori dalam diri Dongan Tubu dan Balabulan dalam diri Boru. Dalam Debata Na Tolu, kuasa kemisterian, kuasa kesucian, dan kuasa kekuatan dari Mulajadi Na Bolon termanifestasikan. Ketiga kuasa ini secara sempurna menata kesejahteraan kehidupan manusia di bumi (Raja Patik Tampubolon, 2002;54-55). Melalui Dalihan Na Tolu, Mulajadi Na Bolon dan Debata Na Tolu berkarya di Banua Tonga.

Karena Dalihan Na Tolu merupakan refleksi kuasa Debata Na Tolu-dengan demikian juga menjadi wujud pancaran kuasa Mulajadi Na Bolon-maka segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan orang Batak Toba akan terlaksana dengan baik apabila upacara atau kegiatan adat itu sesuai dengan prinsip Dalihan Na Tolu (Ibid). Dalam konteks ini segala aktivitas seremonial baik yang bersifat religius maupun non religius yang disertai dengan musik gondang sabangunan juga akan membawa pasu-pasu bagi suhut apabila pelaksanaannya sesuai dengan prinsip Dalihan Na Tolu. Bentuk pelaksanaan itu tampak pada saat adanya kesepahaman, kebulatan pendapat dan relasi yang harmonis di antara Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru untuk margondang.
Aspek lain yang mempertautkan gondang sabangunan dengan Dalihan Na Tolu ialah bahwa perangkat alat-alat musik gondang sabangunan itu sendiri merupakan simbolisasi dari Dalihan Na Tolu. Taganing melambangkan Dongan Tubu, ogung melambangkan Boru dan sarune melambangkan Hula-hula. Selain itu, pada Dalihan Na Tolu perlu juga ditambah satu unsur lagi, yakni sihal-sihal, dan itu dihubungkan dengan hesek sebagai simbolisasi Dongan Huta. Jadi, perangkat alat musik gondang sabangunan sarat dengan makna simbolik. Gondang Sabangunan mempunyai kaitan dengan keyakinan orang Batak Toba akan Debata Na Tolu dan konsep kekerabatan Dalihan Na Tolu. Sesuai dengan paham ketigaan dalam teogoni Batak Toba, alat musik gondang sabangunan dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu : sarune, ogung dan taganing.
Dalam permainan gondang sabangunan, taganing-lah yang pertama berbunyi lalu diikuti secara berurutan oleh ogung oloan dan ogung ihutan. Ogung panggora juga langsung mengikuti sebagai pengatur derap ritme dan kemudian disusul oleh ogung doal serta hesek untuk meramaikan suasana. Ketika semua alat musik telah berbunyi dengan baik dan pas pada posisi masing-masing sesuai aturannya ditiuplah sarune.
Pada gondang dalihan na tolu, suhut dan kerabatnya meminta gondang struktur tiga serangkai, yakni gondang mula-mula, gondang pasu-pasuan atau pinta parsaoran dan gondang hasahatan/sitiotio kepada pargonsi agar hasuhutan dan kaum kerabatnya manortor. Dalam acara manortor, Hula-hula memberi pasu-pasu kepada Boru-nya dengan menumpangkan tangan di atas kepala pihak Boru, sedangkan Boru menerima pasu-pasu itu dengan cara maniuk (menyentuh dengan tangan terbungkus ulos) dagu dari Hula-hula-nya. Tujuan gondang kekerabatan atau gondang dalihan na tolu ialah untuk mengekspresikan solidaritas kekerabatan dan mempererat hubungan kekeluargaan. (Penulis adalah peminat budaya Batak Toba, redaktur majalah “Menjemaat”, Medan/z2)

ANOTHER HUMAN BEING LIKE YOU.
RWM.BOONG BETHONY

08/12/08

UU PORNOGRAFI EFORIA????


LAGI SOAL UU PORNOGRAFI.



Kemaren, 31 Oktober DPR mensyahkan Randangan UU Pornografi menjadi UU. Pengesahan itu banyak menuai Kritik dari masyarakat Indonesia, bahkan pake ancaman segala untuk keluar dari NKRI.....sebelum disyahkan menjadi UU...Persoalan UU Pornografi memang sejak awal di rancang sudah banyak di bicarakan oleh rakyat Indonesia. Baik mereka yang Kontra pun yang Pro. Persoalan/substansi mereka yang kontra dan Pro UU tersebut terletak pada Interpretasi masing-masing pihak terhadap beberapa pasal yang dianggap bisa membatasi Kreatifitas Pegiat Seni di Tanah air, dan juga menyangkut persoalan Budaya beberapa Suku anak bangsa di Indonesia, sebut saja BALI, PAPUA dan Sub Etnis Daya yang memang secara budaya/tradisi cara berpakaian mereka (maaf) setengah telanjang. Diakuatirkan oleh kelompok yang Kontra, bahwa UU Pornografi bisa disalah gunakan untuk memberangus beberapa Kegiatan Seni (tarian jawa atau Bali, atau tarian Bugis-Makassar, Tari Dayak, Irian/Papua yang dalam busana berkesenian memang seperti itu), Belum lagi hasil-hasil seni rupa yang kerap kali menampilkan abstraksi yang sifatnya Imaginatif (terkadang abstraksi itu berupa manusia telanjang).
Ada juga kekuatiran bahwa mereka yang suka pakain serba Mini, bisa dikenai sangsi melalui pasal-pasal tertentu yang sifatnya meng-justice langsung ditempat dengan denda Rp.500.000 - 1.500.000 tanpa lewat pengadilan.
Dan banyak lagi pendapat mereka yang Kontra pada UU Pornografi tersebut.
Sebaliknya kelompok yang Pro, mensyukuri bahwa UU tersebut akhirnya dapat disyahkan. Pendapat mereka bahwa dengan adanya UU ini, maka bangsa Indonesia akan terlihat santun dimana-mana. Bahwa UU ini dapat dijadikan acuan untuk menegur - men-justice - mengatur kehidupan Publik yang katanya meniru-niru gaya hidup orang sono. Ditambahkan pula, bahwa Negara Indonesia ini negara yang sopan dan santun dalam segala hal. Karena itu cara berpakaian, bergaul, berkesenian (mencipta lagu, melukis, menari, membuat Film, Teater, membuat Patung, dst) harus di awasi supaya tidak ada lagi yang namanya Porno, Vulgar dst.
Bahwa UU ini, akan menjadi Polisi Moral yang dapat mengikat perilaku seluruh rakyat Indonesia.
Naaahhhh.....bagaimana pendapat temen-temen soal itu... .Bagiamana pun, apapun - keberatan atau mendukung...UU nya sudah disyahkan....Tinggal kita pandai-pandai melihat dan menyesuaikan keadaan dimana kita berada.
Bagi mereka yang hoby renang....siapkan busana khusus. Yang Hoby Volley...siapkan juga ........Sudalah kita tunggu saja...dan kita jalankan saja...kan itu udah menjadi UU.



RWM.BOONG BETHONY -Another Human Being Like You.




Beberapa Kekeliruan RUU Pornografi sebuah TAJUK

BEBERAPA KEKELIRUAN RUU PORNOGRAFI SEBUAH TAJUK

Seusai Ramadhan ini, DPR akan membicarakan kembali RUU Pornografi yang kontroversial. Ada harapan,RUU ini bisa disahkan menjadi UU sebelum akhir tahun. Kritik terhadap draft RUU yang beredar sudah banyak terdengar. Sebagian kritik bahkan sampai pada tahap “Hanya satu kata – Lawan!”. Sembari mengakui bahwa RU tersebut masih mengandung beberapa hal yang perlu diperebatkan, saya merasa salah satu persoalan yang mendasari ketajaman kontroversi adalah adanya kekeliruan mendasar dalam mempersepsikan dan menilai RUU ini. Saya ingin berbagi pandangan tentang apa yang saya lihat sebagai 10 kekeliruan mendasar dalam kritik terhadap RUU. Laporan lebih lengkap tentang RUU Pornografi ini sendiri akan dimuat dalam Majalah Madina edisi Oktober ini.

Rangkaian kekeliruan cara pandang tersebut adalah:

1. RUU Pornografi ini bertentangan dengan hak asasi manusia karena masuk ke ranah moral pribadi yang seharusnya tidak diintervensi negara.

Argumen ini memiliki kelemahan karena isu pornografi bukanlah sekadar masalah moral. Di berbagai belahan dunia, perang terhadap pornografi dilancarkan karena masalah-masalah sosial yang ditimbulkannya. Pornografi diakui – bahkan oleh masyarakat akademik—sebagai hal yang berkorelasi dengan berbagai masalah sosial.
Kebebasan yang dinikmati para pembuat media pornografis adalah sesuatu yang baru berlangsung sekitar 30-40 tahun terakhir. Sebelumnya untuk waktu yang lama, masyarakat demokratis di berbagai belahan dunia memandang pornografi sebagai “anak haram” yang bukan hanya mengganggu etika kaum beradab tapi juga dipercaya membawa banyak masalah kemasyarakatan.

Saat ini pun, industri pornografi yang tumbuh pesat dalam beberapa dekade terakhir dipercaya mendorong perilaku seks bebas dan tidak sehat yang pada gilirannya menyumbang beragam persoalan kemasyarakatan: kehamilan remaja, penyebaran penyakit menular melalui seks, kekerasan seksual, keruntuhan nilai-nilai keluarga, aborsi, serta bahkan pedophilia dan pelecehan perempuan. Sebagian feminis bahkan menyebut pornogafi sebagai “kejahatan terhadap perempuan”.

Karena rangkaian masalah ini, plus pertimbangan agama, tak ada negara di dunia ini yang membebaskan penyebaran pornografi di wilayahnya. Bentuk pengaturannya memang tak harus dalam format UU Pornografi, namun dalam satu dan lain cara, negara-negara paling demokratis sekali pun mengatur soal pornografi.

Di sisi lain, argumen bahwa soal “moral” seharusnya tidak diatur negara juga memiliki kelemahan mendasar. Deklarasi Univeral Hak-hak Asas Manusia (ayat 29), misalnya, secara tegas menyatakan bahwa pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dapat dilakukan atas dasar, antara lain, pertimbangan moral dalam masyarakat demokratis. Hal yang sama tertuang dalam amandemen Pasal 28J UUD 1945. Dengan begitu, kalaupun RUU ini menggunakan pendekatan moral pun sebenarnya tetap konstitusional.

2. RUU ini memiliki agenda penegakan syariah.

Tuduhan ini sulit diterima karena RUU ini jelas memberi pengakuan hukum terhadap sejumlah bentuk pornografi. RUU ini menyatakan bahwa yang dilarang sama sekali, hanyalah: adegan persenggamaan, ketelanjangan, masturbasi, alat vital dan kekerasan seksual. Pornografi yang tidak termasuk dalam lima kategori itu akan diatur oleh peraturan lebih lanjut.

Dengan kata lain, RUU ini sebenarnya justru mengikuti logika pengaturan distribusi pornografi yang diterapkan di banyak negara Barat. Mengingat ajaran Islam menolak semua bentuk pornografi, bila memang ada agenda Syariah, RUU ini seharusnya mengharamkan semua bentuk pornografi tanpa kecuali.

Dengan RUU ini, justru majalah pria dewasa seperti Popular, FHM, ME, Playboy (Indonesia) akan memperoleh kepastian hukum. Mereka diizinkan ada, tapi pendistribusiannya akan diatur melalui peraturan lebih lanjut.

Memang benar bahwa kelompok-kelompok yang pertama berinsiatif melahirkan RUU ini, sejak 1999, adalah kelompok-kelompok Islam. Begitu juga dalam prosesnya, dukungan terhadap RUU ini di dalam maupun di luar parlemen, lazimnya datang dari komunitas muslim. Dalam perkembangan terakhir, bahkan pembelahannya nampak jelas: Konnferensi Waligereja Indonesia dan Persatuan Gereja Indonesia meminta agar RUU tidak disahkan; Majelis Ulama Indonesia mendukung RUU.

Namun kalau dilihat isi RUU, agak sulit untuk menemukan nuansa syariah di dalamnya. Ini yang menyebabkan Hizbut Tahrir Indonesia secara terbuka mengeluarkan kritik terhadap RUU yang dianggap mereka sebagai membuka jalan bagi sebagian pornografi. Bagaimanapun, HTI juga secara terbuka menyatakan dukungan atas pengesahannya dengan alasan “lebih baik tetap ada aturan daripada tidak ada sama sekali”.

3. RUU ini merupakan bentuk kriminalisasi perempuan.

Tuduhan ini sering diulang-ulang sebagian feminis Indonesia. Tapi, sulit untuk menerima tuduhan ini mengingat justru yang berpotensi terkena ancaman pidana adalah kaum lelaki. RUU ini mengancam dengan keras mereka yang mendanai, membuat, menawarkan, menjual, menyebarkan dan memiliki pornografi. Mengingat industri pornografi adalah industri yang dibuat dan ditujukan kepada (terutama) pria, yang paling terancam tentu saja adalah kaum pria.

RUU ini memang juga mengancam para model yang terlibat dalam pembuatan pornografi. Namun ditambahkan di situ bahwa hanya mereka yang menjadi model dengan kesadaran sendiri yang akan dikenakan hukuman. Dengan begitu, RUU ini akan melindungi para perempuan yang misalnya menjadi “model” porno karena ditipu, dipaksa, atau yang gambarnya diambil melalui rekaman tersembunyi (hidden camera).

Para pejuang hak perempuan juga lazim berargumen bahwa RUU ini membahayakan kaum perempuan karena banyak model yang terjun ke dalam bisnis pornografi karena alasan keterhimpitan ekonomi. Sayangnya, kalau dilihat muatan pornografi yang berkembang di Indonesia, argumen itu nampak tidak berdasar. Para model pornografi itu tidak bisa disamakan dengan para pekerja seks komersial kelas bawah yang tertindas. Para model itu mengeruk keuntungan finansial yang besar dan sulit untuk membayangkan mereka melakukannya karena keterhimpitan dalam struktur gender yang timpang.

4. Definisi pornografi dalam RUU sangat tidak jelas.

Secara ringkas, definisi pornografi di dalam RUU ini adalah: ““materi seksualitas melalui media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”.

Para pengeritik RUU menganggap, definisi ini kabur karena penerapannya melibatkan tafsiran subjektiif mengenai apa yang dimaksudkan dengan “membangkitkan hasrat seksual” dan “melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”. Karena kelemahan itu, para pengeritik menganggap RUU sebaiknya ditunda atau dibatalkan pengesahannya.

Kritik semacam ini tidak berdasar karena definisi soal pornografi yang lazim berlaku di seluruh dunia – kurang lebih – seperti yang dirumuskan dalam RUU itu. Ensiklopedi Encarta 2008, misalnya menulis pornografi adalah film, majalah, tulisan, fotografi dan materi lainnya yang eksplisit secara seksual dan bertujuan untuk membangkitkan hasrat seksual. English Learner’s Dictionary (1986-2008) mendefinisikan pornografi sebagai literatur, gambar film, dan sebagainya yang tidak sopan (indecent) secara seksual.

Di banyak negara, pengaturan soal pornografi memang lazim berada dalam wilayah multi-tafsir ini. Karena itu, pembatasan tentang pornografi bisa berbeda-beda dari tahun ke tahun dan di berbagai daerah dengan budaya berbeda. Sebagai contoh, pada tahun 1960an, akan sulit ditemukan film AS yang menampilkan adegan wanita bertelanjang dada, sementara pada abad 21 ini, bagian semacam itu lazim tersaji di filmfilm yang diperuntukkan pada penonton 17 tahun ke atas. Itu terjadi karena batasan “tidak pantas” memang terus berubah.

Soal ketidakpastian definisi ini juga sebenarnya lazim ditemukan di berbagai UU lain. Dalam KUHP saja misalnya, definisi tegas “mencemarkan nama baik” atau “melanggar kesusilaan” tidak ditemukan. Yang menentukan, pada akhirnya, adalah sidang pengadilan. Ini lazim berlaku dalam hukum mengingat ada kepercayaan pada kemampuan akal sehat manusia untuk mendefinisikannya sesuai dengan konteks ruang dan waktu.

5. RUU ini mengancam kebhinekaan

Cara pandang keliru ini nampaknya bisa terjadi karena salah baca. Dalam draft RUU yang dikeluarkan pada 2006, memang ada pasal-pasal yang dapat ditafsirkan sebagai tidak menghargai keberagaman budaya. Misalnya saja, aturan yang memerintahkan masyarakat untuk tidak mengenakan pakaian yang memperlihatkan bagian tubuh yang sensual seperti payudara, paha, pusar, baik secara keseluruhan ataupun sebagian.

Ini memang bermasalah karena itu mengkriminalkan berbagai cara berpakaian yang lazim di berbagai daerah. Tak usah di wilayah yang dihuni masyarakat non-muslim; di wilayah mayoritas muslim pun, seperti Jawa Barat, kebaya dengan dada rendah adalah lazim. Hanya saja, pasal-pasal itu seharusnya sudah tidak lagi menjadi masalah karena sudah dicoret dari RUU yang baru.

Begitu juga dengan kesenian tradisional yang lazim menampilkan gerak tubuh yang sensual, seperti jaipongan. Dalam RUU yang baru, tak ada satupun pasal yang menyebabkan kesenian semacam itu akan dilarang. RUU ini bahkan menambahkan klausul yang menyatakan bahwa pelarangan terhadap pornografi kelas berat (misalnya mengandung ketelanjangan) akan dianulir kalau itu memiliki nilai seni-budaya.

6. RUU ini akan mengatur cara berpakaian.

Sebagian pengeritik menakut-nakuti masyarakat bahwa bila RUU ini disahkan, perempuan tak boleh lagi mengenakan rok mini atau celana pendek di luar rumah. Ini peringatan yang menyesatkan. Tak satupun ada pasal dalam RUU ini yang berbicara soal cara berpakaian masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

7.RUU ini berpotensi mendorong lahirnya aksi-aksi anarkis masyarakat.

Para pengecam menuduh bahwa RUU ini akan membuka peluang bagi tindak anarkisme masyarakat, mengingat adanya pasal 21 yang berbunyi: “Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.”

Tuduhan ini agak mencari-cari, karena dalam pasal berikutnya, RUU menyatakan bahwa “peran serta” masyarakat itu hanya terbatas pada: melaporkan pelanggaran UU, menggugat ke pengadilan, melakukan sosialisasi peraturan, dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat.
Dengan kata lain, justru RUU ini memberi batasan yang tegas terhadap kelompok-kelompok yang senang main hakim sendiri bahwa dalam alam demokratis, peran serta itu tak boleh ditafsirkan semena-mena.

8. RUU ini tidak perlu karena sudah ada perangkat hukum yang lain untuk mengerem pornografi.

Para pengeritik lazim menganggap RUU ini sebagai tak diperlukan karena sudah ada KUHP yang bila ditegakkan akan bisa digunakan untuk mengatur pornografi.
Argumen ini lemah karena sejumlah hal. Pertama, KUHP melarang penyebaran hal-hal yang melanggar kesusilaan yang definisinya jauh lebih luas daripada pornografi. KUHP pun menyamaratakan semua bentuk pornografi. Selama sesuatu dianggap “melanggar kesusilaan”, benda itu menjadi barang haram yang harus dienyahkan dari Indonesia. Dengan demikian, KUHP justru tidak membedakan antara sebuah novel yang di dalamnya mengandung muatan seks beberapa halaman dengan film porno yang selama dua jam menghadirkan adegan seks. Dua-duanya dianggap melanggar KUHP.

RUU ini, sebaliknya, membedakan kedua ragam pornografi itu. Media yang menyajikan adegan pornografis kelas berat memang dilarang, tapi yang menyajikan muatan pornografis ringan akan diatur pendistribusiannya.

Lebih jauh lagi, sebagai produk di masa awal kemerdekaan, KUHP memang nampak ketinggalan jaman. Terhadap mereka yang membuat dan menyebarkan hal-hal yang melanggar kesusilaan, KUHP hanya memberi ancaman pidana penjara maksimal 18 bulan dan denda maksimal empat ribu lima ratus rupiah! KUHP juga tidak membedakan perlakuan terhadap pornografi biasa dan pornografi anak.

9. RUU Pornografi tidak perlu, yang diperlukan adalah mendidik masyarakat.

Para pengecam menganggap bahwa sebuah pornografi tidak diperlukan karena untuk mencegah efek negatif pornografi yang lebih penting adalah memperkuat kemampuan masyarakat untuk menolak dan menseleksi sendiri pornografi. Jadi yang diperlukan adalah pendidikan melek media dan bukan Undang-undang.

Argumen ini lemah karena bahkan para pendukung mekanisme pasar bebas pun, lazim mempercayai arti penting aturan. Bila pornografi memang dipercaya mengandung muatan yang negatif (misalnya mendorong perilaku seks bebas, melecehkan perempuan, mendorong kekerasan seks, dan sebagainya), maka negara lazim diberi kewenangan untuk melindungi masyarakat dengan antara lain mengeluarkan peraturan perundangan yang ketat.

Di Amerika Serikat, sebagai contoh sebuah negara yang demokratis, terdapat aturan yang ketat terhadap pornografi yang dianggap masuk dalam kategori cabul (obscene). Di sana pun, masyarakat tak diberi kewenangan untuk menentukan sendiri apakah mereka mau atau tidak mau menonton film cabul, karena begitu sebuah materi pornografis dianggap ‘cabul’, itu akan langsung dianggap melanggar hukum.
Pendidikan untuk meningkatkan daya kritis masyarakat tetap penting. Namun membayangkan itu akan cukup untuk mencegah efek negatif pornografi, sementara gencaran rangsangan pornografi berlangsung secara bebas di tengah masyarakat, mugnkin adalah harapan berlebihan.

10. RUU ini mengancam para seniman.

Tuduhan bahwa RUU ini akan mengekang kebebasan para seniman juga mencerminkan kemiskinan informasi para pengecam tersebut. RUU ini justru memberi penghormatan khusus pada wilayah kesenian dan kebudayaan, dengan memasukkan pasal yang menyatakan bahwa pasal-pasal pelarangan pornografi akan dikecualikan pada karya-karya yang diangap memiliki nilai seni dan budaya


RWM.BOONG BETHONY

29/10/08

I HAVE A DREAM


I HAVE A DREAM'S
Romo Ma Ro Wl

I have a dream!
That one day our society - in seleruh Indonesia, truly fair and prosperous, peace; No group has felt in unfair treatment; no one felt less prosperous; nobody feels no peaceful life.

I Have A Dream!
That everyone is free to make a living lawfully, freely search for a bite of rice - perhaps above suitable land and at designated for them - without fearing for evicted at any time and should be running around here all the time.

I have a dream!
That once a person appointed or not appointed at a particular position is not particularly taking into account the tribe, religion or other social backgrounds, but solely because of competence, achievement and personal integrity.

I Have A Dream!
That in this beloved country of all communities are recognized and respected role, functions and konstribusinya for society as a whole; that they are accepted as full citizens, with equal rights and obligations; that no single group of people feel they are treated as second class citizens, whose existence only because of tolerance and mercy of other community groups.

I have a dream!
That every citizen is free to practice their constitutional rights, without feeling it as a gift or consideration of others.

I had a dream!
That a group of citizens, not only recognized freedom of religion, but also free to worship; and freedom of worship is allowed to manifest in a specific time and space and not just an abstract in the clouds.

I Have A Dream!
That the leaders in this great country, is willing to be unpopular to defend truth and justice, for the sake of the welfare of all citizens, including the weak, the poor, the marginalized and do not have a voice.

I had a dream!
That this rich country leaders, act fairly in delivering aid to all parties; especially if everything is indeed eligible for the assistance.

I have a dream!
That the leaders of this nation want to educate people who behave and act wrongly; do not go with the flow wrong or silent, for fear of losing popularity or facilities.

I Have A Dream!
State leaders that national unity is more emphasis on universal values, which is appreciated and cherished by all parties, and instead put the values ​​which is only recognized by a class of people alone, although this class of large groups.

I have a dream!
That citizens become conscious and wondering: "What can I do for this ?? Nation", and not "What do I get from this Nation! '

I Have A Dream!
That in the country and the nation that this Pluralist there is a group of citizens who feel in isolate or a sense of power over another.

I have a dream!
that my blood pressure is no longer rising repeatedly to find the criminals always escape from the bondage of the Law, or the people become victims pergusuran without considering humanity.

I have a dream!
That once is enough separation between the nation's children while they lived in this world just this mortal; Do not be continued-fill in nature there.

I Have A Dream!
That once all religious groups only need to have a regular building permit as appropriate for the construction of synagogues; without the need for signature-a signature of all sorts.

I have a dream!
That building to worship GOD is no more difficult than building a steam bath, karaoke, massage parlors or discotheque.

I Have A Dream! That in the future one day, all domestic child can live in peace, mutual help and mutual cooperation in all facets of life, unhindered by barriers of religion, race, origin or social background.

I have a dream!
I'm Dreaming!

Romo Ma Ro Wl
The priest Culture and Protestant observers
Staying in Samarinda - East Kalimantan.


I HAVE A DREAM'S

Saya Punya Mimpi! Bahwa suatu ketika masyarakat kita - di seleruh Indonesia, sungguh-sungguh adil dan makmur, damai sejahtera; tidak ada kelompok yang merasa di perlakukan tidak adil; tidak ada yang merasa kurang sejahtera; tidak ada yang merasa tidak tentram hidupnya.

I Have A dream! Bahwa setiap orang bebas mencari nafkah secara halal, leluasa mencari sesuap nasi - mungkin di atas lahan yang cocok dan di peruntukkan untuk mereka - tanpa kuatir untuk di gusur sewaktu-waktu dan harus berlarian kesana ke mari setiap saat.

Saya Punya Mimpi! Bahwa suatu ketika seseorang diangkat atau tidak diangkat pada suatu jabatan tertentu bukan terutama dengan mempertimbangkan sukunya, agamanya atau latar belakang sosial yang lain, tetapi melulu karena kompetensi, prestasi dan integritas pribadinya.

I Have A dream! Bahwa di Tanah Air Tercinta ini semua kelompok masyarakat diakui dan dihormati peranan, fungsi dan konstribusinya bagi masyarakat secara keseluruhan; bahwa mereka diterima sebagai warga penuh, dengan hak dan kewajiban yang sama; bahwa tidak ada satu pun kelompok masyarakat merasa diperlakukan sebagai warga kelas dua, yang keberadaannya hanya karena toleransi dan belaskasihan dari kelompok masyarakat lain.

Saya Punya Mimpi! Bahwa setiap warga masyarakat bebas menjalankan hak-hak konstitusionalnya, tanpa harus merasa hal itu sebagai sekedar hadiah atau tenggang rasa pihak lain. Saya bermimpi bahwa sekelompok warganegara, bukan hanya diakui bebas beragama, tetapi juga bebas beribadah ; dan kebebasan beribadah ini boleh terwujud dalam ruang dan waktu tertentu dan bukan hanya abstrak di awang-awang.

I Have A Dream! Bahwa para pemimpin di negara besar ini, bersedia untuk tidak populer demi membela kebenaran dan keadilan, demi memperjuangkan kesejahteraan seluruh warga, termasuk yang lemah, miskin, tersingkir dan tak punya suara. Saya bermimpi bahwa pemimpin negara kaya ini, bertindak adil dalam membagikan bantuan kepada semua pihak; apalagi kalau semuanya memang berhak atas bantuan itu.

Saya Punya Mimpi! Bahwa para pemimpin bangsa ini mau mendidik rakyatnya yang bersikap dan bertindak keliru; tidak ikut arus yang salah atau diam saja, karena takut kehilangan popularitas atau fasilitas.

I Have A Dream! Bahwa pemimpin Negara Bhineka Tunggal Ika ini lebih menekankan nilai-nilai universal, yang dihargai dan di junjung tinggi oleh semua pihak, dan bukan mendahulukan nilai-nilai yang hanya diakui oleh segolongan masyarakat saja, kendatipun golongan ini golongan besar.

Saya Punya Mimpi! Bahwa setiap warga negara menjadi sadar dan bertanya-tanya: "Apa yang dapat aku lakukan untuk Bangsa dan Negara ini??", dan bukan "Apa yang aku dapat dari Bangsa dan Negara ini!'

I Have A Dream! Bahwa di negara dan Bangsa yang Pluralis ini ada sekelompok warga negara yang merasa di kucilkan atau merasa berkuasa atas yang lain.Saya Punya Mimpi! bahwa tensi darah saya tidak lagi berulang kali naik mendapati para koruptor selalu luput dari jeratan Hukum, atau rakyat menjadi korban pergusuran tanpa mempertimbangkan kemanusian.

Saya Punya Mimpi! Bahwa suatu ketika keterpisahan antar anak bangsa cukuplah selagi masih hidup di dunia ini yang fana ini saja; jangan dilanjut-lanjutkan di alam sana.

I Have A Dream! Bahwa suatu ketika semua kelompok beragama hanya perlu memiliki IMB sebagaimana layak bangunan biasa untuk pembangunan rumah ibadatnya; tanpa perlu tandatangan-tandatangan segala macam.

Saya Punya Mimpi! Bahwa bangunan tempat untuk menyembah ALLAH tidak lebih sulit daripada membangun tempat mandi uap, karaoke, panti pijat atau diskotik.

I Have A Dream! Bahwa di masa depan kelak, semua anak negeri bisa hidup berdampingan secara damai, tolong-menolong dan saling bekerjasama dalam segala segi kehidupan, tanpa terhalang oleh sekat-sekat agama, suku, asal-usul atau latar belakang sosial lainnya.

Saya Punya Mimpi!

Saya Bermimpi!

-------------Another Human Being Like You.

Roberth W. M Van Boong Bethony

16/09/08

KEBERAGAMAAN SEBAGAI POTENSI





KEBERAGAMAAN SEBAGAI POTENSI DISINTEGRASI BANGSA

Nama “Indonesia” dicipta oleh seorang antropolog berkebangsaan Inggeris yang bernama James Richardson Logan, yang tinggal dan bekerja di Singapura, pada tahun 1850. Indonesia adalah Masyarakat yang memiliki kebudayaan-kebudayaan yang terbentang luas antara benua Asia dan Australia serta antara lautan Hindia dan lautan Teduh (Pasifik).
Awal dekade 1900 Pemuda-pemuda dalam komunitas masyarakat yang tersebut diatas mulai memperjuangkan kesatuan masyarakat dari penduduk di kepulauan yang luas tersebut dengan memakai nama INDONESIA! Yaitu mengambil-alih nama Indonesia, sehingga tidak lagi sebagai nama yang digunakan dalam lingkungan ilmuwan, melainkan menjadi nama dari suatu kesatuan sosial-politik yang baru, suatu bangsa yang baru. Pada tahun 1928, pemuda-pemuda itu berikrar sebagai satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia, satu Tanah Air, Tanah Air Indonesia, dan satu bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri, Indonesia terdiri dari berbagai ras yang berbeda (baik asli, dari luar, maupun campuran); suku bangsa yang berbeda (bangsa Jawa, bangsa Bugis, bangsa Melayu, bangsa Batak, dsb.); berbagai agama yang berbeda, berasal dari banyak negara pribumi (kerajaan Majapahit, kerajaan Sriwijaya, kerajaan Aceh, kerajaan Bugis, kerajaan Makassar, dll.); dan bercorak-ragam kebudayaan yang berbeda. Karena itu, semua keaneka-ragaman yang saling berbeda itu harus diterima sebagai kenyataan bangsa Indonesia.
Kita menjadi satu bangsa, bukan karena kita hanya satu ras yang sama, atau satu suku bangsa yang sama, atau satu agama yang sama, atau berasal dari satu negara pribumi yang sama, atau satu corak kebudayaan yang sama. Kita menjadi bangsa adalah tercipta dari perasaan pengorbanan yang telah kita buat dan alami di masa lampau secara bersama-sama dan secara bersama-sama kita melalui dan mengalami masa sekarang dengan kesepakatan-kesepakatan yang kita buat secara bersama-sama, dan selanjutnya, secara bersama-sama pula kita mau melewati masa depan untuk terus hidup bersama-sama. Pancasila di dalam simbol burung Garuda yang kedua kakinya mencengkram dengan kuat pernyataan Bhinneka Tunggal Ika merupakan puncak kesepakatan kita sebagai satu bangsa. Semua keaneka-ragaman dan perbedaan-perbedaan kita, kita cantolkan bersama-sama pada setiap sila dari Pancasila. Kita adalah bangsa majemuk yang menyatakan diri sebagai satu bangsa di tengah bangsa-bangsa yang lain.
Gerakan melawan Pancasila di masa lalu yang gagal adalah pengalaman kita sebagai bangsa. Pengalaman itu adalah bahwa sentralisme kekuasaan pada pemerintah pusat akan merongrong Pancasila. Seiring dengan itu, keberagamaan yang terbatas pada tataran skriptual, simbolik, ekslusif, dan sarat dengan klaim-klaim kebenaran, berkecenderungan untuk mengabaikan Pancasila.
Perjuangan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa adalah perjuangan besar. Itu kita raih karena kita semua (tanpa kecuali) berjiwa besar. Dengan jiwa besar itu pula kita menerima Pancasila. Jiwa arogansi, intoleransi, individualistis, materialistis tidak sejalan dengan jiwa besar kita sebagai bangsa.
Dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa, kita menjadi bangsa Indonesia dari “bangsa” Bugis, “bangsa” Makassar, “bangsa” Ambon, “bangsa” Jawa, “bangsa” Sunda, “bangsa” Batak, dan “bangsa-bangsa” lainnya. Dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa, kita menjadi bangsa Indonesia sekaligus sebagai orang dari ras pribumi, orang keturunan ras Arab, ras Tionghoa, ras India, dan ras-ras lainnya. Dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa, kita menjadi bangsa Indonesia dengan tetap pada agama masing-masing yang berbeda. Dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa, kita menjadi bangsa Indonesia dengan melakoni aneka ragam corak budaya yang berbeda-beda. Semua kepelbagaian itu kita lalui di dalam sejarah dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa. Dominasi atas kepelbagaian / kebhinnekaan / kemajemukan, apalagi jika diperoleh dengan cara kekerasan, pemaksaan, penyeragaman, dan ketidakadilan, terbukti telah menjadi ancaman keutuhan bangsa kita. Agama pun menjadi potensi disintegrasi bangsa ketika ia berwajah kekerasan, pemaksaan, penyeragaman, dan ketidakadilan. Agama berwajah kekerasan dengan semangat pemaksaan, penyeragaman, dan ketidakadilan telah mewujudnyata dalam kehidupan keagamaan kini di Indonesia, dan dengan kasat mata kita semua bisa melihat pihak-pihak yang menjadi korbannya (Jemaat Ahmadiyah, rumah ibadah umat Nasrani, budaya/tradisi lokal, herarchi hukum dan perundangan negara, dan lain-lain).
Ironis, lembaga keagamaan, dan juga negara (aparatnya: menteri agama, aparat keamanan dan hukum), yang menjadi tumpuan tempat berlindung bagi segenap warga bangsa (khususnya umat beragama), seringkali memberi angin dan membiarkan sikap keberagamaan berwajah kekerasan, pemaksaan, penyeragaman, dan ketidakadilan tersebut. Agama dengan wajah demikian, selanjutnya bermain di wilayah politik. Agama sering diusung ke gedung parlemen, kantor gubernur, dan menjadi tema pilkada. Akibatnya, agama menjadi barang mainan politisi. Keluhuran agama yang akarnya seharusnya tumbuh dari bawah di tengah-tengah rakyat, tiba-tiba melebarkan daunnya pada negara.
Seminar ini juga mencermati agama sebagai potensi disintegrasi bangsa. Untuk itu, disarankan pikiran-pikiran dan sebuah pertanyaan berikut:

1. Umat beragama atas bimbingan para pemimpinnya lebih memokuskan perhatian kepada kitab suci masing-masing, seraya mencoba memahami kitab suci yang lain dan berbagai corak pemahaman/sikap keberagamaan umat yang lain.
2. Toleransi tidak cukup dinyatakan dan dihimbaukan, melainkan mesti disikapi dan diberi contohnya.

3. Mencermati kemungkinan egosentrisme keagamaan sedang menimpa diri kita, seraya menumbuhkan terus kesadaran bahwa kita sedang berada di zaman kita sendiri, bukan zaman umat beragama di masa yang sudah silam.

4. Mari dengan tulus dan semampu kita mendorong dan memulihkan citra dan wibawa pemerintah agar seluruh aparatnya berfungsi sungguh-sungguh di dalam mengayomi segenap rakyat yang majemuk ini.
5. Mari memulihkan dan menyegarkan kembali rasa kebangsaaan kita yang mencakup semua unsur dan kelompok yang berbeda-beda, seraya membenahi dan memperbaiki pendidikan kita masing-masing yang diharapkan daripadanya lahir generasi yang memiliki kesadaran kebangsaan yang lebih baik.
6. Bangun pendidikan, di mana agama dikaji dan lebih concern kepada kesulitan dan tantangan social yang dialami oleh warga bangsa kita.

7. Pertanyaan yang mesti kita renungkan jawabannya ialah: apakah agama yang kita anut memang memiliki kemampuan untuk bersanding dengan agama-agama yang berbeda dan, atau, benarkah agama yang kita anut mampu mengindonesia yang nyata-nyata sebagai bangsa yang mejemuk, atau, Indonesia adalah ruang yang tidak terlalu tepat untuk agama kita?

Seminar Kebangsaan dan Ke-Bhineka Tunggal Ika-an, Jakarta, Oktober 2007.



RWM.BOONG BETHONY

20/08/08

Seko Dataran Tinggi Ekosisten Hutan Tropika Humida!

RWM.BOONG BETHONY
Pengelolan Hutan Berbasis Masyarakat Adat Di Ekosistem Seko
Rob Colection

Sumber : http://www.alamsulawesi.net/
Andi Ahmad Effendy

Di edit RWM Boong Bethony.

Untuk mendorong pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang berbasis masyarakat adat di ekosistem dataran tinggi Sulawesi maka perlu di perkuat Lembaga dan posisi tawar Masyarakat Adat Seko. Sehingga dapat berhadap-hadapan dengan pengelolaan dari luar yang tidak ekologis dan tidak berpihak kepada masyarakat adat setempat. Agar pemanfaatan berkelanjutan sumber daya alam (Hutan) yang berbasis Masyarakat Adat di Seko, dapat bersinergis sebagai upaya mengurangi kemiskinan masyarakat disekitar hutan.

Pengelolan Hutan Berbasis Masyarakat Adat Di Ekosistem Seko.

Kawasan hutan masyarakat adat Seko merupakan salah satu kawasan yang kaya raya keanekaragaman hayati yang tidak kalah pentingnya dengan beberapa daerah lain di Indonesia bahkan diberbagai belahan dunia manapun. Dalam kawasan tersebut ekosistem hutan tropika humida pegunungan masih utuh di sebagian besar wilayah Hutannya.

Jenis floranya meliputi tumbuhan yang dimanfaatkan kayunya seperti Fragerae elliptical, Aghatis (Damar), Elmerilla Sp, Palaguium Sp, Casuarina Sp, Magivera indica, Ficus Sp. Sedangkan ditinjau dari familia (suku), terdapat antara lain; Loganiaceae, Araucariaceae, Magnoliaceae, Sapotaceae, Casuarinaceae dan Moraceae, dll. Sedangkan dalam bahasa local, terdapat kayu Uru, kayu gaharu, Kalapi, Damar, Ulin, Kayu Besi, Tahi, Kadingnge’, Tarian, Bitti, Hulante. Dari Jenis tumbuhan non kayu (rotan) itu sendiri terdapat 12 jenis (dalam bahasa lokal) antara lain; Rotan Kodo, Tuhosumahu, Manoko, Tariang, Kuratung, Pubakiang, Karuku, Madun Karuku, Tariang, Sikuntaa, dll. Sementara jenis tumbuhan lainnya terdapat anggrek, bambu, durian, langsat, enau, berbagai jenis palem dll.
Jenis fauna yang ada antara lain merupakan satwa khas Sulawesi seperti; monyet Sulawesi, elang sulawesi, anoa, lintah, tawon/lebah, ular, babi hutan, biawak, tangkasi, kus-kus, burung tekukur, rangkong, burung hantu, kakak tua putih, pipit, ayam hutan, kupu-kupu, wallet, kelelawar, maleo.
Pentingnya Kawasan Masyarakat Adat Seko ditinjau dari segi hidrologis .
Dari segi hidrologis Kawasan Masyarakat Adat Seko berperan sebagai penyangga air yang sangat penting dan berguna sebagai sumber irigasi persawahan yang mengairi lahan pertanian/persawahan.

Fungsi hidrologis tersebut telah mencakup 7 Kabupaten yang tersebar pada tiga Propinsi yakni Propinsi Sulawesi Selatan sendiri, Propinsi Sulawesi Barat dan Propinsi Sulawesi Tengah yaitu Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Majene, Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Donggala. Adapun sungai-sungai penting tersebut adalah; Sungai Lariang yang terpanjang di Sulawesi yang mengalir sampai ke Donggala- Sulawesi Tengah.
Posisi Seko pada sungai tersebut berada pada posisi paling hulu yang berbatasan dengan wilayah Rampi. Sungai Budong-Budong dan Sungai Uro yang mengalir ke wilayah Kabupaten Mamuju, Majene dan Toraja. Sungai Benuang dan Sungai Rongkong yang mengalir ke Masamba, Sabbang dan Lamasi. Hasil pengamatan pada beberapa sungai terpenting dari Kawasan Seko yang bermuara di Kab. Luwu dan Luwu Utara, Mamuju dan Majene, Tana Toraja, serta Sulawesi Tengah pada musim hujan memberikan dampak terutama rusaknya lahan-lahan pertanian seperti Perkampungan, Sawah dan kebun-kebun rakyat sedangkan pada musim kemarau airnya berkurang. Hal ini disebabkan oleh semakin rusaknya hutan sehingga banjir mudah terjadi. Melihat kondisi hidrologi di kawasan Masyarakat Adat Seko merupakan penentu bagi keberlangsungan bagi ratusan ribu hektar persawahan, perlu dipertahankan, selain itu dengan semakin terancamnya keanekaragaman hayati terutama, kayu maupun non kayu (rotan), secara langsung akan memberikan dampak dan pengaruh terhadap Kawasan Masyarakat Adat Seko.
Kondisi Sosial Masyarakat Adat Seko Secara Geografis.

Masyarakat Adat Seko adalah termasuk wilayah Pemerintahan Kecamatan Seko Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan yang terbagi dalam 3 (tiga) wilayah besar yaitu Seko Padang, Seko Tengah dan Seko Lemo yang terdiri atas 9 (sembilan) wilayah berdasarkan Pemangku Adat dan 12 (Dua Belas) wilayah Pemerintahan Desa. Dari data yang di peroleh dari Kantor Camat Seko, bahwa penduduk Masyarakat Adat Seko sebanyak 5.620 KK, 17.053 jiwa adalah 99,5 % hidup sebagai petani. Daerah ini berada pada posisi ketinggian yang dikenal dengan Dataran Tinggi Sulawesi “To Kalekaju” yang berbatasan dengan sebelah Utara Propinsi Sulawesi Tengah, Sebelah Barat Propinsi Sulawesi Barat -Kabupaten Mamuju, dan Majene, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kab. Tana Toraja. Daerah ini memilki luas wilayah secara keseluruhan sekitar 500.000 Ha dengan perimbangan luas 65 % adalah Hutan sedangkan selebihnya adalah lahan-lahan persawahan, perkebunan, Padang Savana sebagai lahan peternakan masyarakat (kerbau, kuda, sapi) serta perburuan secara tradisional. Daerah ini memiliki bukit-bukit, lembah dan padang savana yang cukup luas sekaligus dimanfaatkan oleh Masyarakat Adat Seko sebagai lahan peternakan.

Seko juga adalah salah satu daerah yang kaya dengan variditas padi lokal ada 23 jenis.
Sejak nenek moyang masyarakat adat seko hingga tahun 1980-an masyarakat Seko masih memproduksi kain dari kulit kayu (ani’, sassang) bahasa lokalnya. Daerah ini sejak tahun 1987 – 1995 dapat ditempuh dengan naik pesawat kapasitas 5 orang penumpang! Kemudian tahun 2000 - pertengan thn 2007 pesawat Dass kapasitas 16 penumpang! Sampai tulisan ini diperbaharui penerbangan ke seko masih belum lancar!. Untuk sekarang kita dapat jangkau dengan naik motor selama 1 hari (10 - 14 jam) perjalanan dan naik kuda dengan 2-3 hari perjalanan. Pada Jaman Kolonial Belanda wilayah ini terjangkau dengan kendaraan beroda empat terutama pada hari-hari tertentu yang telah disepakati dengan masyarakat terutama waktu penimbangan getah Damar. Masyarakat Adat Seko umumnya memanfaatakan sumber daya alam dengan cara bertani/sawah, berladang/berkebun, beternak dengan pengelolaanya secara tradisonal. Potensi Kawasan hutan di Seko yang luasnya sekitar 370.000 Ha sangatlah memungkinkan untuk melanjutkan hajat hidup mereka.

Yang menjadi persoalan adalah semakin lemahnya posisi tawar mereka yang mengakibatkan pengusaha-pengusaha leluasa mengambil kekayaan sumberdaya alam mereka, semakin lemahnya fungsi hukum adat dalam mempertahankan dan melindunginya.

Persoalan yang sama adalah tidak adanya sumberdaya manusia yang mampu melakukan upaya-upaya pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Bahkan peningkatan skill masyarakat adat Seko dalam pengelolaan sumberdaya alam tersebut baik yang dilakukan oleh pemerintah, pengusaha maupun NGO belum ada sama sekali. Sementara upaya tersebut sangatlah dibutuhkan untuk meningkatkan pendapatan asli masyarakat dan mengimbangi ketergantungan pada penjualan kayu, rotan yang semakin mengancam punahnya komoditi andalan masyarakat adat Seko tersebut.

Mengingat Kawasan Ekosistem Seko tersebut sangat penting terhadap keberlanjutan hidup Masyarakat Adat Seko dan wilayah disekitarnya maka untuk menjaga keseimbangan ekosistem baik diwilayah Seko sendiri maupun wilayah-wilayah lain, maka Yayasan Bumi Sawerigading bekerja sama dengan Masyarakat ada Seko, memandang perlu untuk mengadakan kegiatan “Promosi Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan yang berbasis Masyarakat Adat Di Seko Kab. Luwu Utara – Sul Sel” sebagai realisasi kepedulian dalam hal pelestarian sumberdaya alam/lingkungan.
Pentingnya kearifan lokal dalam melestarikan kawasan Seko Kearifan lokal memiliki nilai-nilai yang penting dan bermakna bagi upaya melestarikan hutan tropika misalnya : Memfungsikan hutan sebagai bagian dari harga diri dan roh kehidupan masyarakat adat Seko yang harus dijaga dan dilestarikan.
Memfungsikan hutan untuk keperluan rumah tangga saja dan tidak terkait kepentingan komersial.
Masyarakat Adat Seko secara turun temurun telah melakukan praktek-praktek tebang pilih secara terkendali, mempraktekkan siklus pertanian secara konsisten, menetapkan kawasan tertentu untuk dilindungi; masyarakat memiliki tata ruang yang mengandung nilai-nilai konservasi. Masyarakat memiliki kebiasaan-kebiasaan untuk melakukan penanaman kembali (durian, langsat) setelah melakukan pembukaan lahan.

Masalah yang dihadapi masyarakat Seko adalah tekanan terhadap lahan dan sumber daya alam hutan, disamping belum berkembangnya pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana.
Dari akar permasalahan sebagai berikut sistem alokasi dan pengelolaan sumber daya alam yang terpusat (sentralistik) di tangan pemerintah (government-based resources alocation and management) telah menyebabkan tidak terhiraukannya faktor-faktor sosial ekonomi masyarakat adat.

Kenyataannya, selama Pemerintahan Orde Baru, kebijakan pembangunan nasional sama sekali belum mengakomodasikan adat, sistem pengetahuan lokal dan metode-metode pengelolaan yang arif dalam pengelolaan sumberdaya alam di Kawasan Masyarakat Adat Seko yang bisa menjamin keberlangsungan sumber daya alam dan mengurangi kemiskinan. Pendekatan pengelolaan yang didasarkan pada pengelolaan administrasi Pemerintah Daerah telah menyebabkan pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara parsial dan tumpang tindih sehingga strategi yang digunakan untuk ekosistem yang sama dilakukan dengan pendekatan yang berbeda, akibatnya adalah terjadinya degradasi lingkungan karena saling tunjuk hidung dalam penyelamatan keanekaragaman hayati.
Reformasi telah bergulir, merupakan momentum yang sangat tepat untuk merubah paradigma pendekatan, metode dan strategi pengelolaan sumber daya alam hutan yang tidak adil, demokratis dan lestari. Masyarakat telah dikucilkan dari seluruh proses pembangunan. Secara nasional tuntutan perubahan dari masyarakat semakin keras bahwa rakyat harus menjadi pelaku utama terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (hutan). Tuntutan perubahan ini bahkan telah diwarnai oleh berbagai tindakan-tindakan perlawanan dan kekerasan. Situasi yang sangat kritis ini harus di “kelola” dengan serba kehati-hatian sehingga transisi berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan keberlanjutan/kelestarian. Untuk mendorong pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang berbasis masyarakat adat di ekosistem dataran tinggi Sulawesi maka dapat memperkuat Lembaga dan posisi tawar Masyarakat Adat Seko sehingga dapat menghadapi pengelolaan dari luar yang tidak ekologis dan tidak berpihak kepada masyarakat adat setempat. Dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya alam (rotan, kayu) yang berbasis Masyarakat Adat di Seko sebagai upaya mengurangi kemiskinan masyarakat disekitar hutan.

Sehingga hasil yang bisa diharapkan adalah Lembaga dan posisi tawar Masyarakat Adat Seko kuat dan mampu menghadapi dan menyelesaikan permasalahan pengelolaan sumber daya alam yang tidak ekologis dan tidak berpihak kepada Masyarakat Adat Di Ekosistem Seko. Menyelamatkan keaneka ragaman hayati hutan pegunungan di Sulawesi yang sudah hampir punah. Keaneka ragaman hayati (rotan) selamat dari kepunahan melalui program yang berbasis Masyarakat Adat Di Ekosistem Seko. Terjadinya peningkatan ekonomi yang ekologis bagi masyarakat setempat sehingga kemiskinan masyarakat disekitar hutan semakin berkurang.
PRINSIP DAN PENDEKATAN PELAKSANAAN PROGRAM. Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan maka pendekatan yang akan digunakan adalah dengan mengkombinasikan 4 (empat) pendekatan dalam perencanaan wilayah dan pengelolaan sumberdaya alam (hutan) yang secara keilmuan paling berkembang pesat diseluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir ini, yaitu :

1. Pendekatan “natural resource-based” yang memanfaatkan sumberdaya alam sebagai kesatuan yang akan menghasilkan berbagai jenis hasil bumi yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat adat dan pendapatan regional bagi masyarakat adat Seko. Pendekatan ini disamping peningkatan ekonomi masyarakat setempat, maka keadilan bagi masyarakat adat pun akan bisa ditegakan apabila hak-hak adat mereka dihargai dan dilindungi.
Sedangkan pelestarian fungsi ekologi dan keberlanjutan sumberdaya alam (hutan) akan bisa terjamin dengan rasionalisasi menuju perimbangan tekanan ekstraksi/eksploitasi diantara berbagai jenis hasil bumi yang berbeda sesuai dengan potensinya.
2.Pendekatan “ecosystem” yang mengintegrasikan faktor kesamaan karakteristik ekologi di kawasan Hutan Masyarakat Adat Seko dalam system alokasi dan pengelolaan sumberdaya alam (hutan). Pendekatan “ecosystem” di wilayah masyarakat adat Seko ini juga menjadi relevan karena kawasan tersebut secara turun temurun, dihuni, dikuasai, dan dikelola oleh Masyarakat Adat Seko yang memilki cultural dan histories.
3.Pendekatan “socio-cultural” yang menempatkan sistem kekerabatan, kesamaan sejarah dan budaya sebagai perekat sosial dalam penerapan pendekatan ekosistem.
4.Pendekatan “community-based” yang menempatkan masyarakat adat sebagai pemegang kedaulatan atas penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam.
Pendekatan-pendekatan ini dianggap paling sesuai dengan wilayah masyarakat adat Seko karena sebagaian besar masyarakatnya masih menganut prinsip-prinsip kearifan tradisional, antara lain :

1)Masih hidup selaras dengan mentaati mekanisme alam dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga kesimbangannya.

2)Bahwa suatu kawasan hutan tertentu masih bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (communal property resource) yang dikenal sebagai wilayah adat sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan dari pihak luar.

3)Sistem pengetahuan dan struktur pemerintahan adat memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan.

4)Sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dan penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas.

5)Mekanisme pemerataan distribusi hasil “panen” sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial ditengah masyarakat.

Dengan alternatif baru berbasis masyarakat adat ini maka kemungkinan besar pengelolaan sumberdaya alam di kawasan Masyarakat Adat Seko akan lebih fleksibel dalam mengakomodasikan kepentingan masyarakat, efisien dari segi biaya dan efektif dalam pengambilan keputusan. Pendekatan ini pula, kontribusi ilmu pengetahuan akademisi akan memperkaya pranata adat, system pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal yang sudah ada.

Andi Ahmad Effendy

Rongkong-SEKO pada Harian Umum 1945

RWM.BOONG BETHONY

SECUPLET CATATAN RONGKONG - SEKO PADA "HARIAN UMUM 1954"

Wakil Perdana Menteri I wongsonegoro memberi jawaban atas pertanyaan anggota Parlemen Mr.Thambunan mengenai orang-orang Kristen yang teraniaya di Sulawesi Selatan sebagai berikut:1. Pemerintah memang menerima laporan tentang kejadian itu dan duduknya perkara adalah demikian:a. pada tanggal 28 Juli 1953 J.Sangka, pendeta di distrik Rongkong Atas, Masambea, Kabupaten Luwu bersama beberapa pemuka Kristen lainnya diambil oleh gero,bolan bersenjata diantaranya yang dikenal nama Djoha yang berasal dari kampung Welawi (Iwara Palopo, sertaterus di bawa ke kampung Malangke (Amassangan) melalui Tarue. Orang-orang yang diambil tersebut; J.Sungkan (pendeta di Rongkong Atas), Ratte dari kampung Sallutalang, Njila (penghantar jemaat Limbong), Moso (guru sekolah Manganan), Ambo Aseng (juru tulis kampung Manganan), Semba (penghantar jemaat Uri), Pango (guru sekolah Uri), Ledo (penghantar jemaat Kenandede), Djima (kepala kampung Pontattu), Sodu (penghantar jemaat Tanete), Njulue (kepala sekolah Limbong), dan Sialana dari kampung Limbong. b. Pada tanggal 28 Agustus 1953 oleh gerombolan bersenjata diambil pula dari distrik Seko pemuka-pemuka gereja beserta 80 orang pengikutnya. Rombongan singgah di Rongkong Atas dan gerombolan mengambil lagi beberapa pemuka gereja; Rupa (guru indjil), Batu (Wakil Kepala Distrik Seko), Galeon (kepala kampung Kariang), Kepala kampung Baroppa, Karipang (guru sekolah, penghantar jemaat Amballong) dan orang-orang dari Rongkong Atas; Sumbawa (guru Indjil), Ambo Ena (penghantar jemaat Sallutalang), Pabeta (eks kepala kampung Ponglegen), Pemandang, Mappe Ngamma (eks kepala kampung Uri), Bome (guru pembantu sekolah Ponattu). Mereka dibawa ke Jurusan Melangke oleh gerombolan. c. Karena kejadian-kejadian tersebut dilakukan di daerah yang tidak aman dan dikuasai oleh gerombolan-gerombolan bersenjata, polisi baru mengetahuinya pada tanggal 24 September 1953. Menurut keterangan, maksud dari penculikan itu adalah bahwa orang-orang yang bersangkutan akan dijadikan saksi dalam perkara Sangkala, dimana Kepala Distrik rongkong Atas telah menggabungkan diri kepada grombolan.d. Kemudian pada tanggal 25 September Polisi dapat keterangan, bahwa dalam bulan Agustus 1953 orang-orang yang disebut di atas telah dibunuh oleh gerombolan di kampung Patimang distrik Malangku. 2. Setelah mendapat keterangan tersebut di atas, Polisi segera melakukan pengusustan akan tetapi oleh karena peristiwa itu terjadi di daerah dikuasai oleh gerombolan, pengusutan belum dapat membuahkan hasil. Sudah tentu pemeriksaan ini akan dapat diperluas sejalan dengan operasi-operasi tentara dan polisi yang kini sedang direncanakan.3. Tindakan-tindakan Pemerintah dalam rangkaian penyelesaian soal keamanan di Sulawesi Selatan adalah antara lain bermaksud untuk melindungi rakyat pada umumnya dan umat Kristen khusunya.
(Harian Umum, 9 Februari 1954)

Buruk Pendekatan, Rakyar Di Salahkan!

Potret Tnll : Buruk Pendekatan, Rakyat Disalahkan
Sumber http://unclimatechangeconverence.blogspot.com

Oleh Anto Sangaji

Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) memiliki status hukum sebagai taman nasional sejak dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 593/Kpts-II/93, tertanggal 5 Oktober 1993. Sebelumnya, dari tahun 1982, TNLL masih berstatus sebagai calon taman nasional, setelah dideklarasikan pada Kongres Taman Nasional Sedunia di Bali, melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No.736/Mentan/X/1982.

Sebelum itu, dasar hukum Lore Lindu tercakup dalam status Suaka Margasatwa Lore Kalamanta, Suaka Margasatwa Sungai Sopu dan Gumbasa, serta Hutan Wisata dan Hutan Lindung Danau Lindu. Ketiga kawasan lindung ini ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian masing-masing ; No.522/Kpts/Um/10/1973, No.1012/Kpts/Um/12/1981, dan No.46/Kpts/Um/1978.

Luas TNLL 229.000 hektar, sekitar 3 % dari luas Propinsi Sulawesi Tengah, dan merupakan kawasan konservasi paling luas di propinsi ini. Secara administratif TNLL berada di dua kabupaten, yakni Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala. Di Kabupaten Poso, TNLL merupakan bagian dari Kecamatan Lore Utara dan Kecamatan Lore Selatan. Di Kabupaten Donggala, TNLL merupakan bagian dari Kecamatan Kulawi, Kecamatan Biromaru, dan Kecamatan Palolo. Terdapat 67 desa berhubungan langsung dengan TNLL. TNLL terletak diantara 1'8' sampai dengan 1'30' lintang selatan (LS) dan 119'58' sampai dengan 120'16' bujur timur (BT).

TNLL memiliki kenaekaragaman hayati yang tinggi. Beberapa fauna khas Sulawesi terdapat di kawasan ini, seperti anoa (bubalus quarlessi dan bubalus depricornis), kus-kus (phalanger celebensis dan phalanger ursinus), tarsius (tarsius spectrum), monyet (macaca tonkeana), musang cokelat Sulawesi (macrogalidia musschenbrock), dan lain-lain.

TNLL memiliki dua tipe vegetasi, yakni hutan hujan dataran rendah (200-1000 meter di atas permukaan laut) dan hutan hujan pegunungan (1000-2500 meter di atas permukaan laut). Komposisi flora hutan hujan dataran rendah agak berfariasi ditandai jenis yang dikenal dengan mussaendopsis beccariana, ficus sp, myristica sp,pterospermum, canangium odoratum, arenga pinatta, arenga sp, dan lain-lain. Hutan hujan pegunungan yang merupakan 90 % dari luas seluruh areal TNLL didominasi jenis vegetasi seperti castanopsis asgentea, lithocarpus sp. Juga terdapat beberapa jenis yang agak kurang seperti podocorpus, elacorpus, adinandra,listea, callohyllun, eucaliptus deglupta dan lain-lain (Lihat Wirawan, 1981:12-18).

Penduduk yang bermukim di dalam, enklaf, dan sekitar TNLL terdiri atas penduduk asli dan pendatang. Penduduk asli antara lain To Lindu, To Kulawi, To Gimpu, To Behoa, To Pekurehua, dan To Bada. Penduduk pendatang terdiri atas migrasi spontan dari Sulawesi Selatan (Bugis dan Toraja), migrasi karena pergolakan DI/TII (Suku Rampi dan Suku Seko), migrasi melalui proyek transmigrasi (Jawa, Bali, Lombok), dan proyek pemukiman kembali masyarakat terasing (PKMT) (Topo Da'a).

Kontek Pengelolaan Kawasan Konservasi : Pengetahuan Konservasi
Pengetahuan tentang konservasi di Indonesia sangat kuat dipengaruhi oleh faham konservasi alam klasik (classic nature conservation). Faham ini menekankan solusi terhadap penghancuran hutan hujan tropis adalah dengan penetapan kawasan-kawasan yang dilindungi, di mana setiap orang dilarang masuk, guna melindungi spesies-spesies yang terancam punah (Gray, 1991:56). Faham ini sejalan dengan faham ekofasis yang menganggap konservasi lingkungan sebagai jauh lebih penting dari kehidupan rakyat, khususnya rakyat miskin.Mereka menganggap bahwa memang tidak dapat dielakkan kalau rakyat harus dipindahkan dari daerah-daerah yang terancam rusak, apakah itu hutan-hutan tropis, kawasan lindung untuk berburu, atau zona-zona peresapan air (Dietz,1998:22).

Dalam pegalaman TNLL, dasar-dasar penerapan faham konservasi alam klasik dan ekofasis dapat dilihat dari sejumlah laporan studi. Laporan Watling & Mulyana (1981), dan Blower,J Wind,Amir (1977), didasarkan pada pengetahuan ekologi tumbuhan dan binatang, dan tidak memberikan perhatian pada realitas sosial kehidupan masyarakat di sekitarnya. Akibatnya, laporan-laporan itu menekankan pentingnya perlindungan kawasan itu di satu pihak, dan melihat ancaman terhadap kawasan itu dari beberapa komunitas, seperti Katu dan Dodolo. Rekomendasi mengenai pemindahan penduduk dan kontrol yang ketat terhadap penduduk setempat, memperlihatkan bahwa basis pengetahuan ekologi yang mendasari pembentukan TNLL bersifat restriktif.

Basis pengetahuan yang mendasari konsep mengenai taman nasional memang bukan sesuatu yang khas Indonesia. Tahun 1969 International Union for Conservation of Nature and natural Resources (IUCN) memberikan batasan mengenai taman nasional, yakni : (1) kawasan yang cukup luas bagi pembangunan satu atau lebih ekosistem dan yang praktis tidak banyak dijamah manusia. Dalam kawasan ini, berkembang jenis tanaman, binatang, dan lain-lain. Habitat yang memiliki nilai ilmiah dan pendidikan besar ; (2) karena kepentingannya yang begitu khas bagi ilmu dan pendidikan, maka pengelolaannya berada di tangan pemerintah yang bertugas melestarikan ekosistem yang tersedia ; (3) karena memiliki unsur pendidikan, ilmiah dan daya tarik alamiah, maka kawasan itu dapat dikunjungi dan dikelola bagi manfaat manusia, tanpa mengubah ciri-ciri ekosistemnya. IUCN (1994) mengkategorikan taman nasional sebagai bahagian dari kawasan yang dilindungi, di samping daerah reserve alam ketat, mounumen alam, daerah konservasi habitat dan margasatwa, lansekap yang dilindungi, dan area perlindungan sumber daya. Konsep taman nasional (national park) mulai berkembang di negara-negara barat, ketika Yellow Stone ditetapkan sebagai taman nasional di Amerika sejak 1872.

Konsep taman nasional diterapkan di Indonesia, ketika pada 1980, bertepatan dengan pengumuman Strategi Pelestarian Dunia (World Conservation Strategy), Menteri Pertanian mengeluarkan Pernyataan pada tanggal 6 Maret 1980 mengenai penetapan lima kawasan suaka alam sebagai taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser, TN Ujung Kulon, TN gunung Gede-Pangrango, TN Baluran, dan TN Komodo (LATIN, 1992).

Komitmen Global
Konservasi bertaut dengan proses globalisasi. Menguatnya komitmen internasional dimulai sejak 1970-an, dimulai dengan Deklarasi Stockholm tentang lingkungan hidup (1972), Konvensi mengenai Perlindungan Terhadap Kebudayaan Dunia dan Warisan Alam (1972) dan Konvensi tentang Perdagangan Internasional Spesies Langka Fauna dan Flora Liar (1973). Pada 1990-an, tumbuh kesadaran kuat mengenai perlindungan lingkungan, yang secara monumental ditandai dengan penyelenggaraan United Nation Conference on Environment and Development (UNCED) atau dikenal dengan "pertemuan bumi" (Earth Summit), yang dihadiri sekitar 100 pemimpin pemerintahan yang mewakili 170 negara, Juni 1992 di Rio de Janeiro.

Setelah pertemuan Rio, di bawah PBB dibentuk Commission on Sustainable Development (CSD) . Hutan dan konservasi menjadi salah satu fokus penting CSD, seperti tertuang dalam Bab 11 Agenda 21, yang diberi judul ˜"Combatting Deforestation" dan suplemen mengenai "Forest Principles" (IAITPTF & IWGIA, p,45). Setelah pertemuan Rio, telah dikeluarkan the United Nations Convention on Biological Diversity dan United Nation Framework Convention on Climate Change.

Kuatnya agenda global mengenai konservasi juga terlihat dari pembentukan Global Environmental Facility (GEF) 1990, sebagai respon terhadap tidak adanya dana untuk proyek dan strategi konservasi. Tanggung jawab untuk implementasi GEF merupakan share antara Bank Dunia, United Nation Development Programme (UNDP), dan United Nations Environment Programme (UNEP). Sebelum itu, pada 1985, sebuah inisiatif dari World Bank (WB), UNDP, World Resources Institute (WRI), dan Food and Agriculture Organization (FAO) membentuk the Tropical Forest Action Program (TFAP), guna menyediakan kerangka mengenai tantangan dan kebutuhan yang berhubungan dengan konservasi dan pembangunan hutan tropis.

Perhatian terhadap perlindungan keanekaragaman hayati atau kawasan yang dilindungi menjadi komitmen lembaga-lembaga pembiayaan internasional, seperti WB dan Asian Development Bank (ADB). Banyak proyek konservasi di negara sedang berkembang yang dibiayai oleh lembaga multilateral development banks (MDBs) ini. Misalnya, proyek yang mengintegrasikan konservasi dan pembangunan seperti Integrated Conservation and Development Project (ICDP) di beberapa taman nasional Indonesia.

Proyek-proyek konservasi yang dibiayai MDBs tentu saja sangat kontras dengan perilaku lembaga-lembaga tersebut dalam penghancuran keanekaragaman hayati. Bank Dunia misalnya telah membiayai penghancuran karagaman genetik di dunia ketiga selama lebih dari 40 tahun. Bank Dunia juga membiayai revolusi hijau yang menggantikan sistem pertanian asli yang beragam di dunia ketiga dengan pertanian monokultur yang seragam serta rapuh secara gentis (Shiva, 1993:9).

Selain MDBs, proyek-proyek konservasi juga didukung oleh beberapa LSM internasional seperti World Wide Fund for Nature (WWF), ,em>Conservation International (CI), dan The Nature Conservation (TNC) (Barber,Suraya,Agus,1997). Lembaga-lembaga ini melakukan berbagai kegiatan riset ekologi, management plan, dan proyek-proyek peningkatan pedapatan masyarakat di kawasan-kawasan konservasi.

Dalam kasus TNLL, komitmen global terhadapnya ditandai dengan dideklarasikannya sebagai taman nasional pada waktu Kongres Taman Nasional se-Dunia yang diselenggarakan di Bali 1982. Jauh sebelum itu, lembaga internasional seperti FAO dan WWF, bekerja sama dengan pemerintah Indonesia, telah mengeluarkan sejumlah dokumen mengenai kawasan konservasi Lore Lindu (lihat Blower,J Wind,Amir :1977, Watling & Mulyana:1981). Sebuah LSM asal Amerika The Nature Conservation, sejak awal 1990-an telah mengembangkan sejumlah program konservasi di Lore Lindu diantaranya budi daya lebah madu dan ternak kupu-kupu, dan saat ini menyiapkan usulan zonasi TNLL. Sejak 1997, ADB memberikan loan sebesar US$ 32 juta kepada pemerintah Indonesia dalam proyek CSIADCP (Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservation Project) di kawasan sekitar Lore Lindu (ADB, 1997).

Kuatnya komitmen global (baca, negara-negara Utara dan lembaga-lembaga internasional di bawah kendali negara-negara itu) terhadap kawasan konservasi terpaut dengan realitas obyektif kayanya sumber daya hayati di negara-negara selatan. Bersama Brazil, Columbia, Mexico, Zaire, dan Tanzania, Indonesia adalah salah satu negara megadiversity. Sebaliknya, negara-negara Utara miskin sumber daya hayati. Dari sekitar 100 tumbuhan pangan bernilai ekonomi penting di dunia, hanya 16 jenis yang berasal dari Amerika, Kanada, dan negara-negara Utara lainnya (Muhtaman, Arif, Sandra, 1999).

Kebijakan Negara
Di Indonesia, kebijakan negara tentang konservasi dapat dilacak sejak masa kolonial Belanda. 1932, pemerintah kolonial Belanda telah mengeluarkan 'Ordonansi Cagar-cagar Alam dan Suaka-suaka Margasatwa' (Natuurmonumnten en Wildreservatenordonnantie 1932) Staatsblad 1932, No.17. Ordonansi ini kemudian digantikan dengan 'Ordonansi Perlindungan Alam 1941' (Natuurbeschermingsordonnantie 1941) Staatsblad 1941, No.167 (lihat Danusaputro, 1985).

Sejak kemerdekaan 1945, kebijakan pemerintah setingkat undang-undang yang secara langsung terkait dengan konservasi adalah UU No.5 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, UU No.5 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 24 1992 tentang Penataan Ruang, dan UU No.5 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Keanakaragaman Hayati, dan UU No.23 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Diantara UU itu, maka UU No 5 1990 yang paling lengkap merumuskan tentang kawasan konservasi.

Berkaitan dengan taman nasional, UU No.5 1990 memberikan pengertian yang jelas dan lengkap. Pasal 1 ayat 14 UU ini menyatakan bahwa taman nasional sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

Kebijakan negara di bidang konservasi, terutama berkaitan dengan taman nasional, memiliki sejumlah masalah yang sangat mendasar. Pertama, tidak adanya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat setempat (masyarakat adat atau migran) atas tanah dan sumber daya alam lain yang dikuasai secara tradisional, jika wilayah itu ditetapkan sebagai bahagian dari taman nasional. Kawasan yang ditetapkan sebagai taman nasional dianggap sebagai kawasan tidak bertuan, sehingga negara (pemerintah) dapat menetapkannya secara sepihak.

Dengan demikian, dari segi kepentingan masyarakat asli, UU No 5/1990 tentang KSDAHE sangat tertinggal dibanding Ordonansi Perlindungan Alam 1941 (Natuurbeschermingsordonnantie 1941). Pasal 2 angka 3 ordonansi tersebut menyebutkan bahwa pernyataan sebagai Suaka Margsatwa atau Cagar Alam dapat dilakukan terhadap daerah-daerah, atas nama dikuasai pihak ketiga, akan tetapi hanya setelah mendapat persetujuan dari yang berkepentingan!. Selanjutnya, dalam pasal 13 angka 3 ditegaskan, "pada saat berlangsung ordonansi ini, pihak ketiga yang telah menjalankan haknya di dalam Suaka Margasatwa yang ada, tidak diadakan perubahan, kecuali setelah dilakukan permufakatan dengan yang berkepentingan" (lihat Danusaputro, 1985 : 57-62).

Tidak adanya pengakuan membawa implikasi yang sangat kompleks, khususnya berhubungan dengan sistem pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Di satu pihak melucuti hak masyarakat atas sumber daya alam, dan di pihak lain menyediakan ruang bagi praktik bioprospeksi dan biopirasi dibalik kedok riset ilmu pengetahuan. Praktik-praktik ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak kepemilikan intelektual masyarakat pemilik sumber daya alam.

Kedua, pengelolaan taman nasional terlampau menekankan pada kepentingan ekologi, dan sama sekali mengabaikan kepentingan masyarakat di sekitarnya. Hal ini terutama telihat pada ketentuan mengenai sistem zonasi. Pasal 32 Undang-undang No 5/1990 menyebutkan bahwa kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. Penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan zona inti adalah bagian dari kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata. Zona lain adalah zona di luar kedua zona tersebut karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi, dan sebagainya.

Peraturan Pemerintah (PP) 68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Pasal 31 point 1 menyatakan bahwa penunjukan suatu kawasan sebagai taman nasional, apabila telah memenuhi kriteria-kriteria ; (a) kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami ; (b) memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami ; (c) memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh ; (d) memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam ; (e) merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

Kecenderungan yang menyisihkan kepentingan masyarakat terlihat pada kriteria-kriteria yang digunakan untuk penetapan zonasi. PP 68/1998 pasal 31 poin 2 menyatakan bahwa penetapan sebagai zona inti, apabila memenuhi kriteria :
(a) mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
(b) mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya;
(c) mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau belum diganggu manusia;
(d) mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami;
(e) mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi;
(f) mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau keberadaannya terancam punah.

Pasal 31 poin 3 menyatakan bahwa penetapan sebagai zona pemanfaatan, apabila memenuhi kriteria ;
(a) mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik ;
(b) mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam;
(c) kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam

Pasal 31 poin 4 menyatakan bahwa penetapan sebagai zona rimba, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut ;
(a) kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi;
(b) memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan;
(c) merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.

Dengan menetapkan kriteria yang begitu ketat, maka pengelolaan taman nasional akan melihat masyarakat di sekitarnya sebagai ancaman. Metode-metode restriksi akan dipakai untuk menghalau masyarakat di sekitarnya.

TNLL : Kisah Marginalisasi Penduduk

1.Marginalisasi Tahap Kesatu
Ketika ditetapkan sebagai kawasan konservasi, kesalahan paling mendasar yang dilakukan oleh pemerintah adalah memperlakukan TNLL sebagai kawasan tidak bertuan. Fakta bahwa masyarakat di sekitar kawasan itu memiliki hubungan yang kuat dengan sumber daya alam di sekitarnya, seperti ketergantungan pada hasil hutan (kayu, rotan, bambu, tali, obat-obatan, binatang buruan), sungai, tanaman-tanaman budidaya pertanian (padi dan ubian-ubian), dan tanaman keras (kopi), tidak dilihat sebagai pemilik sah atas wilayah itu. Pemerintah telah bertindak sewenang-wenang ketika menetapkan sebagai kawasan konservasi, tanpa melalui prosedur konsultasi atau musyawarah dengan pemilik sah wilayah itu.

Tidak heran, sejak ditetapkan sebagai kawasan konservasi 1970-an, kisah TNLL sejatinya adalah kisah mengenai marginalisasi penduduk setempat. Di Lore Utara, misalnya, ketika masih berstatus Cagar Alam Lore Kalamanta dan hendak ditingkatkan menjadi taman nasional, pamongraja setempat sudah mengeluarkan larangan berburu semua jenis margasatwa di hutan suaka, dan pengawasan terhadap penebangan kayu oleh penduduk (Tempo, 13 Mei, 1978). Berbarengan dengan itu, usulan untuk recana pengelolaan Taman Nasional Lore Kalamanta sarat dengan berbagai bentuk larangan, seperti larangan memasuki taman nasional tanpa izin, melakukan penebangan kayu, perladangan, dan sebagainya (Blower,J Wind,Amir, 1977).

Bagi penduduk asli yang mendiami kawasan di dalam dan sekitar TNLL, seperti To Behoa, To Napu, To Bada, To Lindu, To Kulawi, berbagai larangan itu merupakan masalah. Karena kehidupan mereka sungguh tergantung pada sejumlah satwa buruan seperti anoa, babi rusa, babi hutan, dan rusa, di samping berbagai jenis kayu, bambu, rotan, dan tumbuhan obat-obatan. Tidak saja itu, di dalam wilayah hutan mereka terdapat tanaman kopi dalam jumlah tidak sedikit. Sehingga, seperti ditulis oleh Aditjondro (1979) memisahkan mereka dari hutan, sama saja dengan memaksa nelayan naik ke darat dan menggantung jalanya.

Tindakan paling keras dilakukan terhadap masyarakat yang kampungnya secara turun-temurun telah berada dalam kawasan yang kemudian ditetapkan sebagai areal konservasi itu. Misalnya, rencana memindahkan penduduk Desa Katu dan Desa Dodolo (Watling & Mulyana,1981). Tahun 1989, Desa Dodolo yang berbatasan dengan Desa Katu dipindahkan keluar dari TNLL ke Toe Jaya, sebuah tempat antara Desa Wanga dan Desa Kaduwaa di Kecamatan Lore Utara, yang masih berbatasan langsung dengan TNLL (Sangaji, 1999, Alam Azis, 1999). Mestinya, Desa Katu juga ikut dalam proyek pemindahan yang dilakukan oleh Departemen Sosial ini. Karena menolak dipindahkan, sehingga Desa Katu tetap berada dalam TNLL. Sejak pertengahan 1990-an, melalui proyek CSIADCP yang dibiayai melalui pinjaman ADB, Orang Katu dipaksa kembali pindah (ADB, 1997). Tetapi, kembali tidak terwujud karena ditolak keras oleh Orang Katu (Sangaji, 2000). Akan halnya penduduk Desa Dodolo, nasib mereka ternyata tidak membaik setelah dipindahkan, karena pal batas TNLL ditancapkan persis di belakang gereja dan sekolah dasar yang menghadap ke arah kampung. Mereka dilarang melintasi pal batas ini. Padahal satu-satunya hutan yang tersisa berada di TNLL.

Petugas kehutanan di lapangan, Polsus/Jagawana kerap harus bertindak keras, menyita rotan, kayu, dan satwa. Bahkan dalam beberapa kasus, menghancurkan tanaman cokelat dan kopi. Perseteruan antara Polsus/Jagawana dengan masyarakat nyaris merupakan pemandangan hari-hari di sekitar TNLL. Tidak saja itu, dalam beberapa kasus warga terpaksa berurusan dengan polisi, karena dianggap menjarah hutan TNLL. Malahan terpaksa dijebloskan ke penjara, seperti yang dialami oleh Pak Lili. Warga Desa Kadidia Kecamatan Palolo ini pernah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Maesa di Palu selama 4 bulan tanpa proses hukum.

Protes-protes selalu mewarnai pengelolaan TNLL yang dianggap merugikan penduduk. Keresahan masyarakat pernah mengundang keprihatinan pimpinan Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) di Poso, yang mengajukan masalah ini kepada Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) Emil Salim, tetapi juga tidak pernah selesai (Aditjondro, 1993). Tahun 1994, pemuka adat Besoa, G Sambaa menemui Gubernur Sulawesi Tengah H Abdul Azis Lamadjido untuk meminta pemindahan tapal batas TNLL, karena dianggap mengganggu kegiatan mereka (Mercusuar, 22/5/1994). Tetapi, permintaan ini sama sekali tidak pernah terwujud. Protes warga Desa Tongoa Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala di Balai TNLL berlangsung panas dan nyaris terjadi pertumpahan darah, menyusul penolakan TNLL atas klaim kebun-kebun oleh penduduk setempat (Koran Tempo, 4/7/2001). Menurut keterangan beberapa penduduk protes ini dilakukan meyusul tindakan beberapa petugas yang menebang kebun-kebun kopi dan cokelat dan membakar pondok warga di dalam TNLL. Setelah peristiwa ini, karena merasa terancam, petugas Jagawana mengosongkan pos penjagaan di Desa Tongoa. Pos penjagaan itu kini dipenuhi grafiti yang dilakukan warga, diantaranya tertulis 'Pos ini Dijual'.

Konflik paling keras terjadi di Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala. Forum Petani Merdeka (FPM), yakni organisasi petani gabungan Desa Kamarora, Desa Kadidia, dan Desa Rahmat melakukan pendudukan TNLL di Dongi-dongi di sisi ruas jalan yang menghubungkan Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala dengan Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso. Melalui pernyataan sikap 18 Juni 2001, FPM mendesak pemerintah untuk memberikan lahan garapan kepada petani tak bertanah di lokasi yang juga merupakan bekas areal konsesi HPH PT Kebun Sari itu. Mereka juga menuntut tanaman masyarakat di pinggiran dalam kawasan TNLL tetap menjadi milik masyarakat. 19 Juni 2001, lebih dari 1000 petani dari keempat desa tersebut melakukan unjuk rasa ke kantor Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dengan tuntutan yang sama (lihat Suara Pembaruan, 19 Juli, 2001). Ini merupakan aksi protes paling masif yang pernah terjadi dalam kasus Lore Lindu. Tetapi, tuntutan masyarakat sukar dipenuhi, karena sejak pagi-pagi Balai TNLL menganggap bahwa kegiatan masyarakat merupakan perambahan hutan. Karenanya, kesimpulan rapat penyelesaian kasus Dongi Dongi memutuskan bahwa masyarakat harus keluar dari kawasan itu . Gubernur Sulawesi Tengah melalui surat tertanggal 18 Agustus 2001 meminta Polda Sulteng untuk mengambil tindakan tegas terhadap ratusan KK itu. Bupati Donggala tidak mau kalah, melalui surat tertanggal 16 Agustus 2001 meminta Polda Sulawesi Tengah segera mengosongkan daerah Dongi-dongi dalam kurun 3 X 24 Jam terhitung sejak tanggal 20 Agustus 2001. Tidak tinggal diam, Kepala Balai TNLL, Ir Banjar Yulianto Laban,MM, menyurat Kapolda Sulteng untuk mengusut Yayasan Bantuan Hukum Rakyat (YBHR), ornop yang bekerja dengan masyarakat yang tergabung dalam forum Petani Merdeka (FPM). Wajah eco-facism benar-benar mau dioperasikan di TNLL.

Padahal petani dari ke-empat desa tersebut merupakan korban proyek pemindahan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah sejak pertengahan 1970-an. Semula mereka dijanjikan akan mendapatkan lahan seluas 2 hektar bagi setiap kepala keluarga. Faktanya, mereka hanya mendapatkan lahan antara 0,5 - 0,8 hektar. Sebuah survey di Desa Rahmat menunjukkan bahwa 80 dari 177 KK di dusun I sama sekali tidak punya tanah (lihat Li & Sangaji, 2000). Informasi lain menyebutkan bahwa jumlah penduduk yang tidak memiliki lahan di desa ini sebanyak 200 KK . Bagi para petani tidak ada pilihan lain, kecuali melirik areal TNLL sebagai alternatif lahan pertanian.

Hampir semua desa, dari 60-an desa di dalam, enklaf, dan sekitar memiliki masalah yang seragam, mulai dari soal tapal batas yang dekat kampung, kebun dalam TNLL, hingga petugas kehutanan yang sewenang-wenang. Mereka pada dasarnya mengajukan tuntutan yang sama, yakni pengakuan terhadap hak-hak mereka yang telah diambil oleh pemerintah di kawasan itu (YTM & Pemerintah Ngata Toro,2000)

2. Marginalisasi Tahap Kedua.
Penduduk di sekitar TNLL juga termarginalisasi menyusul hadirnya sejumlah proyek pembangunan seperti transmigrasi, perkebunan, dan sebagainya. Penempatan transmigrasi di Winowanga dan Kaduwaa Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso yang berbatasan langsung dengan TNLL telah menyiutkan luas lahan penduduk asli Pekurehua, baik yang bermukim di Desa Kaduwaa, Desa Wanga dan Desa Watutau.

Proses yang sama juga terjadi setelah pemerintah memberikan izin usaha perkebunan kepada swasta, koperasi dan perusahaan daerah. Tercatat di kawasan sekitar Lore Lindu terdapat perkebunan teh dan kopi PT Hasfarm di Napu Kecamatan Lore Utara (7740 hektar). Masyarakat Desa Watutau menganggap bahwa tidak kurang 600 hektar lahan yang merupakan lahan pengembalaan ternak mereka telah dicaplok sebagai bahagian dari areal PT Hasfarm (lihat Suluh Nasional, Minggu I-II, Juni 1995).

Pemerintah juga telah memberikan izin perusahaan perkebunan lain di sekitar TNLL. Diantaranya adalah di Kulawi PT Kebun Adi Dharma dengan komoditi kakao (99 Ha), PT Gimpu Jaya Coklat (coklat,100 ha), PT Gimpu Jaya Coklat (kopi arabika,5000 ha), PT Tangkolowi Makmur (kopi arabika,275 ha), KPN Adhyaksa Kejati (kopi arabika,125 hektar), PD Sulteng Kulawi (cengkeh,375 ha),PT Sintuvu Karya (kakao) di Palolo (99 ha).

3. Marginalisasi Tahap Ketiga.
Marginalisasi terhadap penduduk di sekitar TNLL juga terjadi karena adanya tuan-tuan tanah baru. Para tuan tanah baru ini teridentifikasi terdiri atas sejumlah bekas pejabat pemerintah, yang karena kekuasaannya di masa lalu dapat dengan mudah memperoleh lahan dalam jumlah puluhan bahkan ratusan hektar untuk usaha pertanian. Selain itu, para tuan tanah baru juga teridentifikasi sebagai petani/pedagang yang memperoleh tanah melalui mekanisme jual beli.

Tanah-tanah petani di sekitar TNLL terpaksa jatuh kepemilikannya melalui beberapa mekanisme. Pertama, mekanisme jual beli karena utang. Tanah-tanah petani terpaksa dijual karena sebelumnya berutang sejumlah uang atau barang dari para pedagang. Kedua, mekanisme hukum, di mana sejumlah petani terpaksa menjual tanahnya (kerap dengan harga murah), karena tidak adanya jaminan atau keamanan hukum atas tanah-tanah mereka. Di Dataran Gimpu, misalnya, sejumlah petani terpaksa menjual tanahnya, karena tanah-tanah yang tidak bersertifikat dan tanah yang belum ditanami tanaman keras (kopi atau coklat), dianggap sewaktu-waktu dapat diambil pemerintah.

Menyaksikan ketimpangan dalam pemilikan lahan di sekitar TNLL, maka tindakan Kepala Desa (sekarang Kepala Ngata) Toro patut dipuji. Pada 1999, Kepala Ngata Toro mengambil alih kepemilikan lahan seluas 6 hektar milik Alex Subala (bekas salah seorang pejabat di Kantor Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah), dan selanjutnya meredistribusi lahan itu kepada petani-petani tak bertanah di Ngata Toro, masing-masing seluas 0,5 hektar.

TNLL : Wajah yang bopeng

1.Proyek-proyek yang merusak
TNLL memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, karenanya menyimpan potensi sumber daya alam yang bernilai sangat ekonomis. Karenanya, menjadi perhatian dan rebutan banyak pihak, untuk berbagai tujuan. Perusakan atau potensi perusakan terhadap TNLL karenanya tidak bisa dielakkan.

Perusakan terhadap TNLL sebenarnya banyak dipicu oleh proyek-proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Pada 1991, ketika pemerintah menempatkan transmigrasi di Kaduwaa Lembah Napu Kecamatan Lore Utara, yang berbatasan langsung dengan TNLL, maka menurut masyarakat setempat, burung-burung rangkong tidak dapat lagi terbang bebas, karena habitatnya telah rusak, ketika dilakukan pembukaan hutan (Mercusuar, 8 Oktober 1991). Ketika pembangunan ruas jalan Palolo - Napu yang membelah TNLL sejak awal 1990-an, di sisi kiri dan kanan banyak ditemukan tumpukan kayu yang siap diangkut keluar dari kawasan itu. Tahun 1996, Dinas Pekerjaan Umum (PU) Sulawesi Tengah melaksanakan pembangunan jalan ruas Gimpu-Gintu melintasi TNLL. Proyek ini terpaksa dihentikan oleh Menteri Kehutanan, karena diprotes sejumlah Ornop dan ahli kehutanan Dr Nengah Wirawan. Penghentian ini sempat dipersoalkan oleh Wakil Ketua DPRD Tingkat I Sulawesi Tengah H Azwar Syam (Surya, 12 Desember 1996). Kol (Mar) Azwar Syam adalah juga bekas Ketua DPD Golkar Tingkat I Sulawesi Tengah, dan setelah berhenti dari keanggotaannya di DPRD Tkt I Sulteng, mendirikan Yayasan Liberty, sebuah LSM untuk kemudian mengkampanyekan pembangunan PLTA Lore Lindu dari tahun 1999 hingga tahun 2000 (Sangaji, 2000).

Pada 1999, ketika pemerintah melalui proyek peningkatan pemukiman perambah hutan melalui dana reboisasi (P4HDR) menyiapkan pemukiman di Baleura Besoa Kecamatan Lore Utara, pelaksana proyek tersebut CV Bina Baru telah membabat areal TNLL. Oleh Balai TNLL, kasus ini telah diadukan kepada Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah, tetapi sama sekali tidak terdengar tindakan hukum. Berbeda dengan To Behoa di Desa Lempe Kecamatan Lore Utara, yang segera meberi denda adat kepada perusahaan tersebut, karena menganggap telah terjadi pelanggaran di wilayah adat mereka.

PT Artha Palu memperoleh izin dari Dinas Kehutanan Kabupaten Donggala untuk mengolah limbah kayu pakanangi di Desa Tongoa Kecamatan Palolo. Tetapi, kenyataannya melakukan penebangan baru, justru di areal TNLL di kaki Gunung Nokilalaki. Sejauh ini, sama sekali tidak ada reaksi dari pemerintah, termasuk Balai TNLL, kecuali protes dari Forum Petani Merdeka (FPM) dan ED WALHI Sulteng .

TNLL bakal menghadapi ancaman serius, karena sejak 1998 diterbitkan kontrak karya pertambangan (emas) antara pemerintah Indonesia dengan PT Mandar Uli Mineral, perusahaan di bawah bendera Rio Tinto Ltd. PT Mandar Uli Mineral telah melakukan survei umum (general survey) di wilayah konsesi seluas 590.000 hektar di empat wilayah Kabupaten, masing-masing Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Luwu (Sulawesi Selatan) dan Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala (Propinsi Sulawesi Tengah). Di wilayah Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala, wilayah konsesi ini mencakup sebahagian wilayah TNLL di sekitar Gimpu (Kecamatan Kulawi) dan Kecamatan Lore Selatan (Anonimous,2000).

Sejak 1980-an, pemerintah merencanakan pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Palu-3 atau yang lazim dikenal PLTA Lore Lindu. Pembangunan yang sedianya akan membendung out let Danau Lindu ini juga diperkirakan akan memerlukan areal seluas 10.000 hektar untuk sarana fisik dan jalan masuk yang melintasi TNLL (lihat Wirawan,1994). Tentu saja, proyek ini mengancam kawasan konservasi itu. Berkat resistensi kuat To Lindu yang didukung aktivis Ornop, mahasiswa, dan pecinta alam, sehingga nasib proyek ini menjadi tidak menentu (Sangaji, 2000).

2. Penjarahan TNLL : Maling Teriak Maling.,
Harian Suara Pembaruan (2 November, 1995) melaporkan bahwa setiap hari tidak kurang dari 15 truk hasil hutan terdiri dari kayu, rotan, serta hasil hutan lain lolos dari TNLL. Dalam kasus semacam ini kerap masyarakat di sekitar TNLL dijadikan kambing hitam, bukan mata rantai para pemodal, yang sebenarnya sangat mudah dibekuk.

Pos pejagaan angkutan hasil hutan yang dipasang berlapis-lapis di sekitar TNLL mestinya menjadi penghalang ekstraksi hasil hutan TNLL. Sayangnya, sudah menjadi pembicaraan umum bahwa praktik pencurian hasil hutan di kawasan itu sering melibatkan petugas. Suatu ketika, Camat Lore Utara Drs Herry S Kabi menangkap dua truk rotan tanpa dokumen, dan menyerahkannya kepada petugas polisi khusus (polsus) kehutanan di Wuasa. Ternyata, rotan curian itu tidak diproses lebih lanjut, tetapi justru diloloskan (lihat Suara Pembaruan, 2 November 1995). Wakil demonstran dari desa Rahmat, Kadidia, Kamarora A, Kamarora B yang berdialog dengan wakil Gubernur Sulteng Rully Lamadjido, SH pada 19 Juli 20001 menyatakan bahwa petugas-petugas jagawana justru terlibat dalam pencurian hasil hutan di TNLL.

Kecuali petugas kehutanan sendiri, pencurian hasil hutan di TNLL juga melibatkan petugas kepolisian. Misalnya, 13 Mei 2000, Polhut yang melakukan penjagaan di Pos Resort Pakuli menangkap kayu kurang lebih 14 m3 tanpa dokumen. Setelah diperiksa, yang mengaku sebagai pemilik kayu tersebut adalah Lettu (pol) Sahidin, anggota Polri di Polda Sulteng. Soal ini oleh Kepala Balai TNLL kemudian diadukan kepada Kapolda Sulteng. Balai TNLL juga melaporkan bahwa tanggal 9 Juli 2001 telah menyita kayu sebanyak 6 m3 yang diangkut seorang anggota TNI AD dengan mobil bernomor polisi 688-VII milik Komando Resort Militer (Korem) 132 Tadulako.

Masyarakat dan Konservasi
Suku-suku asli yang menghuni kawasan di sekitar TNLL antara lain To Lindu, To Kulawi, To Gimpu, To Behoa (Besoa), To Napu, To Bada. Sukar dilacak asal-muasal suku-suku ini mendiami kawasan dataran tinggi di lembah-lembah pegunungan itu. Buku Kaudern (1923) memberikan gambaran mengenai kemungkinan proses migrasi penduduk ke kawasan itu dimulai dari Malili di Teluk Bone. Yang pasti adalah bahwa peradaban di kawasan itu telah berlangsung ribuan tahun, ditandai dengan banyaknya batuan megalit yang tersebar di Bada, Behoa, Napu, Kulawi, dan Lindu. Batuan megalit itu diantaranya berbentuk patung manusia lengkap dengan ukiran kemaluan, dan kalamba, seperti tempayan ukuran besar, yang dihiasi pahatan wajah manusia dan binatang (Kaudern, 1938).
Suku-suku asli di kawasan itu juga memiliki keanekaragaman budaya yang sangat tinggi, seperti tercermin pada perbedaan bahasa dan arsitektur. To Lindu menggunakan bahasa tado, To Behoa menggunakan bahasa Behoa, To Napu menggunakan bahasa Napu, dan To Kulawi menggunakan bahasa Kulawi. Meskipun arsitektur-arsitektur "kayu", suku-suku asli di kawasan itu terancam punah oleh serbuan arsitektur "semen", tetapi arsitektur asli To Behoa dapat dibedakan dari arsitektur asli To Lindu, To Bada, To Kulawi, dan begitu juga perbedaan diantara yang lainnya (lihat Kaudern,1925).
Suku-suku asli itu juga memiliki sistem pengetahuan yang sangat kaya dalam pengelolaan sumber daya alam. Ditandai dengan pengetahuan yang mendalam mengenai pertanian, perburuan, pengobatan yang berbasiskan sumber daya alam di sekitarnya. Sistem pengetahuan ini juga mencakup berbagai aturan main mengenai pemilikan dan penguasaan atas sumber daya alam itu.
Berhubungan dengan konservasi, maka patut melihat dua pelajaran penting suku-suku asli di kawasan itu. Pertama, bagaimana pola pengelolaan sumber daya alam suku-suku itu, dan : kedua, bagaimana suku-suku itu melakukan tindakan yang berhubungan dengan perlindungan keanekaragaman hayati.

1. Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam
Banyak pola pengelolaan sumber daya alam masyarakat adat di sekitar TNLL yang memperlihatkan bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri. Pola ini juga menunjukkan bagaimana sumber daya alam dikelola dengan prinsip-prinsip keadilan dan berkelanjutan.

To Behoa di Desa Katu Kecamatan Lore Utara memiliki pola-pola penggunaan tanah dan hutan (Sangaji, 2000). Bagi Orang Katu, pemilikan atas tanah dimulai ketika seseorang membuka hutan (pandulu) untuk dijadikan ladang (hinoe). Pembuka pertama hutan untuk ladang akan menjadi pemilik atas lahan itu. Hutan yang belum diolah dipersepsikan sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan pada suatu ketika, karenanya semua Orang Katu memiliki hak dan akses yang sama untuk mengolahnya.

Karena membuka hutan merupakan dasar dari pemilikan atas tanah, maka sangat penting untuk memahami bagaimana Orang Katu mengelompokkan hutan. Pertama, mereka menyebutkan pandulu yakni hutan primer, yang belum pernah ada kegiatan manusia untuk mengolahnya menjadi ladang. Vegetasi utama di pandulu adalah kayu berbagai jenis dan rotan. Pandulu akan dimanfaatkan pada suatu masa jika diperlukan.

Kedua, mereka menyebutkan "lA'po", untuk jenis hutan sekunder atau pandulu yang pernah dimanfaatkan. "LA'po" adalah jenis hutan yang pernah dimanfaatkan menjadi hinoe. Ada dua jenis "lÃ'po", yakni "lôpo" ntua dan lôpo" lehe. Lôpo" ntua, yakni hutan yang sudah ditumbuhi pepohonan besar. Vegetasi penting di lopo ntua adalah kayu berbagai jenis dan rotan. Umumnya pada "lôpo" ntua adalah lokasi di mana mereka pernah membuka kebun lebih dari 20 tahun. Malahan, seperti di Kompo dan Boto, "lôpo" ntua setara dengan usia kehadiran Orang Katu di sana.

Batas-batas kepemilikan "lôpo"ntua kerap kabur. Pada lopo ntua yang lebih muda, kepemilikan individu atau keluarga tertentu sangat jelas. Pemiliknya dapat leluasa mengolahnya kembali untuk dijadikan sebagai hinoe atau membiarkan orang lain mengolah atas izinnya. Berbeda dengan "lôp" ntua yang lebih tua usianya, praktik pemanfaatannya lebih terbuka untuk semua Orang Katu. Siapa pun dapat memanfaatkannya. Siapa yang akan mengkonversinya menjadi hinoe, maka dialah pemilik atas lokasi itu.

Orang Katu menyebutkan "lôpo" lehe untuk jenis hutan yang lebih muda, dengan usia antara 2 hingga belasan tahun. Pada lôpo" lehe yang usianya lebih tua sudah ditumbuhi pepohonan, sementara pada "lôpo" lehe yang lebih muda, masih didominasi oleh hutan belukar. Vegetasi utama di "Lôpo" lehe adalah kayu dalam ukuran dan jenis yang kurang serta rerumputan yang sebahagian merupakan tumbuhan obat-obatan. "Lôpo"lehe adalah milik orang yang membuka hinoe sebelumnya.

Ketiga, jenis hutan berikutnya adalah hôlu, yakni jenis hutan yang didominasi rerumputan/jerami. Hôlu merupakan bekas hinoe yang baru ditinggalkan hingga dua tahun. Vegetasi utama hôlu adalah rumput dan sisa tanaman seperti tebu, pisang, dan ubi.Hôlu dimiliki oleh pemilik hinoe sebelumnya.

Saat ini, kegiatan membuka hutan (pandulu) untuk dijadikan hinoe sudah jarang terjadi. Pada umumnya mereka kembali memanfaatkan lôpo ntua atau lôpo lehe untuk dijadikan hinoe. Dengan demikian, perolehan hak atas tanah berdasarkan pembukaan hutan primer kurang terjadi.

Selama kurang lebih 100 tahun terahir, Orang Katu hanya menggunakan areal sekitar 1.178 hektar untuk berladang secara bergilir, persawahan, memanfaatkan hasil hutan lain (kayu, rotan, bambu,dll), dan membangun perkampungan. Aktivitas itu sama sekali tidak menghancurkan tanah dan hutan yang merupakan sumber penghidupan mereka.

Dalam pola yang hampir sama, To Kulawi di Ngata Toro mengelompokan hutan berdasarkan peruntukannya (lihat Lahigi, 2001). Pertama, wanangkiki yakni hutan di sekitar puncak pegunungan. Tidak ada aktivitas manusia di kawasan sekitar 2.300 hektat ini. Kedua, wana yakni kawasan hutan primer, yang belum pernah dikonversi menjadi kebun. Wana hanya dimanfaatkan untuk pengambilan rotan, damar, wewangian, dan obat-obatan. Luas wana mencapai 11.290 hektar. Ketiga, pangale, yakni hutan sekunder karena pernah dimanfaatkan menjadi kebun. Dari pangale juga dimanfaatkan kayu, rotan, pandan hutan, obat-obatan, dan wewangian. Luas pangale saat ini sekitar 2.950 hektar. Keempat, oma, yakni hutan bekas kebun yang sudah sering diolah, terutama untuk tanaman kopi dan tanaman tahunan lainnya. Luas oma sekitar 1.820 hektar. Kelima, balingkea, yakni bekas kebun palawija yang baru diistirahatkan.

Di Dataran Lindu, To Lindu menyebutkan wilayah tradisionalnya sebagai suaka ngata, dengan peruntukan yang berbeda-beda (Laudjeng,1994). Pertama, mereka menyebutkan suaka ntodea, untuk wilayah pemanfaatan yang dapat dikonversi menjadi sawah (atau lahan pertanian) dan perkampungan. Kedua, suaka nu madika atau lambara yakni tempat perburuan dan melepaskan hewan ternak. Ketiga, suaka nu viata, yakni wilayah yang diproteksi sama sekali dari aktivitas apapun.

2. Pelindung Keanekaragaman Hayati
Tuduhan sering dialamatkan kepada masyarakat di sekitar TNLL sebagai perusak hutan dan sumber ancaman keanekaragaman hayati. Perladangan Orang Katu dilihat sebagai ancaman terhadap TNLL, karenanya sejak awal mereka dipaksakan pindah dari wilayah tradisonalnya.

Tuduhan-tuduhan itu sama sekali tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Pola-pola pemanfaatan sumber daya alam justru memperlihatkan perlakuan yang protektif. Misalnya, dalam kegiatan perladangan Orang Katu, terdapat banyaknya jenis lokal, baik padi (pare), ubi kayu (wikau), talas (kadue), maupun jagung (goa'). Sekurangnya terdapat 35 (tiga puluh lima) jenis padi yang disebutkan secara lokal dalam perladangan Orang Katu. Terdapat 8 (delapan) jenis ubi jalar (uwi), 8 (delapan) jenis jagung, dan 8 (delapan) jenis ubi kayu (wikau) dalam perladangan (Masyarakat Adat Katu, 1998).

Di Bonde (sawah), Orang Katu menanam berbagai jenis padi, seperti cimandi, IR 90, dan sebagainya. Tetapi, Orang Katu juga menanam padi jenis lokal terutama kamba, dan beberapa jenis lokal seperti lamale, tobada, banahu, menturo, dan pindaloko. Kecuali kamba, jenis-jenis ini juga ditanam di ladang.

Sebuah survey yang dilakukan oleh Yayasan Jambata terhadap beberapa komunitas asli di sekitar TNLL juga memperlihatkan tingginya keanekaragaman tanaman pangan varietas lokal. Menurut masyarakat, sebahagian kecil diantara tanaman pangan itu masih tetap dibudidayakan, tetapi sebahagian diantaranya sudah punah. Masuknya jenis padi hasil persilangan dianggap sebagai penyebab utama kepunahan itu (Yayasan Jambata, 2000).

Selain tanaman pangan, masyarakat di sekitar TNLL adalah pelindung beragam jenis hasil hutan, diantaranya kayu dan rotan. Mereka memanfaatkan sebatas untuk keperluan domestik, seperti untuk ramuan rumah, pagar, jembatan, kayu bakar, perabot rumah (kursi, meja, wadah penyimpan padi, tempat tidur dan sebagainya).

Dalam pengalaman Orang Katu, misalnya, mereka memanfaatkan jenis-jenis kayu yang secara lokal disebut tawiri, kalise, uru, koronia, pogegea, potengkea, mpoawu, betau, andolia, kumo, lalari, palio, angulu, meapo, maiti, patingka, bono, bentunu, palili, pehepe, kanino, poiho, dopi, dupa, lekatu, leda (Masyarakat Adat Katu,1998). Untuk bahan ramuan rumah, Orang Katu memanfaatkan kayu dari pandulu atau lopo ntua. Biasanya mereka menebang kayu di tempat-tempat yang mudah untuk dipindahkan ke kampung. Misalnya, pada lokasi yang berdekatan dengan pemukiman atau dekat dengan Sungai Katu atau Sungai Piri.

Rotan sangat penting untuk keperluan domestik Orang Katu. Mereka memanfaatkan rotan, baik untuk tali pengikat (popetaka), bahan pembuatan keranjang (karandi), bakul (bingka), sisiru (wara), pengangkut hasil pertanian (rota tala), gagang tawalla (duruka), tempat penangkap belut (wuwu), dan sebagainya. Orang Katu membedakan rotan ke dalam beberapa jenis, seperti pai, lambang, tohiti, hilako, pute, paloe, himanda, noko, botol, mpoworo, ndanga, dan batang (Masyarakat Adat Katu,1998).

Meskipun tergantung dengan hasil hutan, kegiatan pemanfaatannya sama sekali tidak merusak. Laporan hasil inventarisasi sumber daya alam dan pengetahuan asli Orang Katu menunjukkan bahwa kekayaan hasil hutan mereka sangat terjaga. Pada areal seluas 94 ha di lokasi Bulu Ngkanino, terlihat populasi rotan, di mana Orang Katu sangat tergantung padanya, masih sangat baik

3.Pengakuan Balai TNLL dan Implikasi yang Ditimbulkannya
Meskipun sejarah TNLL adalah sejarah â€Å“kucing-kucingan” antara pemerintah dan masyarakat di sekitarnya, tetapi menyusul perubahan-perubahan politik yang terjadi sejak 1998, telah tersedia ruang untuk inisiatif baru mengenai pengelolaan TNLL. Meskipun instrumen hukum mengenai pengelolaan TNLL masih anti masyarakat, tetapi Ir Banjar Yulianto Laban, MM, Kepala Balai TNLL telah melakukan "ijtihad" hukum yang membanggakan. Kepala Balai TNLL ini telah membuat surat pengakuan mengenai wilayah-wilayah tradisional 3 (tiga) desa di sekitar TNLL, masing-masing Desa Katu dan Desa Doda di Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso, dan Desa Toro di Kecamatan Kulawi Kabupaten Donggala. Wilayah-wilayah tradisional yang diakui terutama yang terletak di dalam kawasan TNLL.

Pengakuan Kepala Balai TNLL tersebut patut dilihat dari tiga segi. Pertama, kuatnya resistensi masyarakat terhadap kebijakan pengelolaan TNLL yang berlangsung sangat panjang sejak tahun 1970-an. Tanpa resistensi masyarakat, terutama seperti yang dilakukan oleh Orang Katu melalui pengiriman utusan, surat protes dan aksi massa, Ir Banjar Yulianto Laban MM mungkin tidak memberi pengakuan.

Kedua, kuatnya obsesi Ir Banjar Yulianto Laban untuk mendorong penerapan pengelolaan TNLL yang berbasiskan masyarakat. Obsesi itu terlihat dari sejumlah pernyataannya diberbagai kesempatan mengenai pentingnya co-management pengelolaan TNLL, sebagai perwujudan dari penerapan faham eko-populisme (lihat Kompas, 2000). Pandangan-pandangan Banjar Y Laban ini memang sangat progresif. Berbeda dengan pejabat-pejabat sebelumnya yang memiliki pandangan kaku mengenai pengelolaan TNLL.

Ketiga, telah tersedianya sejumlah informasi mengenai ketiga desa tersebut, khususnya informasi mengenai penggunaan tanah (land use) secara tradisional. Difasilitasi oleh Ornop, masyarakat di ketiga desa itu telah mewujudkan informasi ruang mereka dalam bentuk peta dan dokumen tertulis. Pengakuan Balai TNLL sepenuhnya merujuk kepada dokumen-dokumen tersebut.

Pengakuan Balai TNLL sekurang-kurang telah memberikan perlindungan hak masyarakat di ketiga desa tersebut. Orang Katu, misalnya, tidak lagi diusik untuk dipindahkan, setelah lebih dari 20 tahun hidup di bawah teror rencana pemindahan. Masyarakat di ketiga desa itu dapat memungut hasil hutan untuk keperluan domestik. Lebih dari itu, Orang Katu dapat memungut rotan dari wilayah hutan mereka dan menjualnya secara bebas, tanpa perlu dikejar-kejar oleh petugas Jagawana/Polsus, seperti masa-masa sebelum itu.

Pengakuan Balai TNLL juga telah membangkitkan kembali tanggung jawab masyarakat untuk mengontrol wilayah tradisional mereka secara ketat. Di Toro, pemerintahan desa dan lembaga adat bekerja sama untuk mengontrol wilayah dengan menetapkan ketentuan yang ketat dari kemungkinan ekstraksi hasil hutan. Pemerintah desa dan lembaga adat setempat menyita hasil hutan yang diambil oleh penduduk dari luar kampung. Di Katu, satu-satunya desa di sekitar TNLL yang tidak pernah mempraktikan jual beli tanah, mempersenjatai diri dengan sejumlah larangan bagi masuknya migran, di samping larangan terhadap pengambilan hasil hutan oleh penduduk dari desa lain.

Meskipun begitu, pengakuan Balai TNLL mengundang sejumlah pertanyaan. Pertama, bagaimana implikasi kebijakan pengakuan tersebut dilihat dari segi hukum konservasi (UU No.5/1990) ?. Harus diakui, sukar menjelaskan sandaran hukum pengakuan Balai TNLL dari segi UU No 5/1990. Karena, memang tidak ada satu ketentuanpun dalam UU tersebut yang memungkinkan adanya pengakuan. Pengakuan Kepala Balai TNLL dapat dibenarkan dan patut didukung, bukan karena sejalan dengan semangat UU No.5/1990, tetapi karena sesuai dengan fakta-fakta obyektif kehidupan sosio historis masyarakat setempat dalam pengelolaan sumber daya alam di kawasan itu. Pengakuan ini sekaligus mengisyaratkan betapa pentingnya untuk mempertanyakan kembali UU No.5/1990 dan kebutuhan untuk merumuskan sebuah undang-undang konservasi baru yang berbasiskan masyarakat di sekitar kawasan-kawasan konservasi.

Kedua, bagaimana perlakuan terhadap 64 desa lain di sekitar TNLL ?. Sejauh ini, pemakaian cara-cara lama dalam pengelolaan TNLL masih diberlakukan terhadap desa-desa itu. Konflik-konflik terbuka seperti yang terjadi di Dongi-dongi harus dilihat dari sisi ini. Situasi ini jika terus-menerus dipertahankan akan menunjukkan bahwa pemerintah (Balai TNLL) bertindak diskriminatif dalam pengelolaan TNLL.

Moratorium Pengelolaan Konservasi : Jalan Keluar
Pemerintah sesungguhnya telah gagal dalam pengelolaan TNLL. Kegagalan ditandai dengan fakta-fakta ; pertama, pengetahuan, kebijakan, dan metode pengelolaan TNLL yang restriktif dan anti masyarakat ; kedua, inkonsistensi pemerintah dalam pengelolaan kawasan itu, di satu pihak memproteksi kawasan secara habis-habisan, tetapi di lain pihak mengintroduksi praktik pembangunan yang merusak. Fakta ini diperparah dengan perilaku buruk petugas-petugas yang terlibat dalam pencurian hasil hutan di kawasan itu ; ketiga, pemerintah sendiri tidak memiliki konsep dan kebijakan mengenai alokasi sumber daya alam secara adil dan lestari di kawasan itu. TNLL dan kawasan sekitarnya adalah contoh konkrit mengenai alokasi penggunaan sumber daya alam yang kontradiktif. Sebuah kawasan konservasi ditumpang tindihkan dengan proyek pemindahan penduduk (transmigrasi dan PKMT), perkebunan besar, pertambangan, dan bendungan.

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka jalan keluar yang patut didesakkan adalah moratorium terhadap pengelolaan kawasan konservasi Lore Lindu. Di sini moratorium bermakna sebagai ; pertama, mengembalikan TNLL kepada status semula sebelum ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan yang dilindungi. Klaim tradisional komunitas-komunitas asli atau komunitas lain yang mendiami kawasan itu sebelum penetapannya sebagai TNLL harus diakui. SK Menteri Kehutanan yang menunjuk kawasan itu sebagai TNLL dinyatakan tidak berlaku.

Mengingat manfaat kawasan itu sebagai kawasan konservasi, maka dalam masa yang sama, pemerintah (dalam kasus ini Balai TNLL) mengambil prakarsa untuk melakukan perundingan meja bundar dengan masyarakat di sekitar kawasan itu, dengan metode-metode partisipatif dan transparan untuk membicarakan kembali mengenai masa depan pengelolaan kawasan ini. Sebuah panel yang terdiri atas pemerintah dan wakil-wakil masyarakat yang representatif di kawasan itu dapat dibentuk merundingkan soal ini. Panel ini merumuskan model pengelolaan kawasan konservasi yang berbasiskan masyarakat setempat. Pengalaman Katu, Toro, dan Doda dapat dijadikan sebagai pelajaran untuk membangun model semacam ini.

Mengingat aturan perundangan mengenai konservasi saat ini tidak memihak kepentingan masyarakat setempat, dan UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah menyatakan konservasi masih merupakan kewenangan pemerintah pusat (pasal 7 ayat 2), maka dengan merujuk pada spirit desentralisasi, Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah dapat mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) yang memuat aturan main mengenai pengelolaan kawasan konservasi berbasiskan masyarakat setempat, dengan sepenuhnya mengacu pada model yang dihasilkan oleh panel Lore Lindu.

Kedua, menghindari kemungkinan terjadinya ekstraksi sumber daya alam di kawasan itu menyusul pengembalian status TNLL di atas, maka semua bentuk izin pemanfaatan hasil hutan yang telah dikeluarkan pemerintah di kawasan sekitar/di luar TNLL harus dicabut. Implikasinya, semua praktik angkutan hasil hutan yang melintasi ruas Napu-Palu, Gimpu-Palu, Napu-Poso, dianggap sebagai tindakan ilegal.

Selama masa moratorium tindakan-tindakan restriktif dilakukan terhadap praktik-praktik ekstraksi hasil hutan. Panel moratorium diberikan kewenangan luas menyepakati aturan main untuk perlindungan kawasan ini.

Ketiga, penataan ulang pemilikan dan penguasaan tanah di kawasan itu. Sasaran kegiatan ini adalah pembagian tanah kepada petani-petani miskin (buruh tani). Tanah-tanah itu diambil dari petani-petani berdasi yang menguasai ribuan hektar tanah, baik atas nama individu atau perusahaan di kawasan itu. Tindakan ini didahului dengan pembekuan semua bentuk perizinan dan pencabutan hak atas tanah yang telah mengakibatkan ketimpangan dalam pemilikan dan penguasaan tanah di wilayah itu.

Berkeley, 25 Agustus 2001

Anto Sangaji adalah Direktur Yayasan Tanah Merdeka, Ornop di kota Palu.

Bacaan
Aditjondro, GJ, 1979, Angin Pantai di Lembah Pegunungan: Adakah yang Bakal Terbang ?, Prisma, No,2, Februari.
---------------,1993, Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berdimensi Ekologis, Suara Pembaruan, 8 Januari.
Anonimous, 2000, Indonesian Minerals Exploration and Mining Drectory 1999/2000, AJM,Masindo,GoldGroup,Directorate-General of Mines,AusTrade, Jakarta.
Barber, Charles Victor, Suraya Afif, Agus Purnomo, 1997, Meluruskan Arah Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan di Indonesia, Yayasan Obor, Jakarta.
Blower JH, Jan Wind, Harry Amir, 1977, Proposed Lore Kalamanta National Park, Manajement Plan 1978-1980, FAO/UNDP, Bogor.
Budianti, Setia & Yurianto, 2000, Bioprospeksi, Antara Peningkatan Kualitas Hidup dan Potensi Pencurian Sumber Daya Genetika, RMI,Bioforum, Searice, Bogor.
Dietz, Ton, 1998, Hak Atas Sumber Daya Alam, Remdec, Insist Press, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Gray, Andrew,1991, Between The Spice of Live and the Melting Pot : Biodiversity Conservation and its Impact on Indigenous Peoples, IWGIA Document 70, Copenhagen.
Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 593/Kpts-II/93 Tentang Perubahan Fungsi Hutan Wisata/Hutan Lindung Danau Lindu, Suaka Margasatwa Lore Kalamanta, dan Suaka Margasatwa Sungai Sopu menjadi Taman Nasional Lore Lindu.
Lahigi, Silas, 2001, Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Inisiatif Pemerintahan Masyarakat Adat Ngata/Desa Toro, Makalah dipresentasikan pada 'Dialog Kebijakan Masyarakat Adat dan Pengelolaan Sumber Daya Alam', Palu, 20 Januari.
Laudjeng, Hedar, 1994, Kearifan Masyarakat Adat Lindu, dalam Arianto Sangadji (penyunting), Bendungan Rakyat dan Lingkungan, Catatan Kritis Rencana Pembangunan PLTA Lore Lindu, WALHI, Jakarta.
Li, Tania & Arianto Sangaji, 2000, Akses Rakyat terhadap Sumber Daya Alam di Dataran Tinggi Sulawesi Tengah, Bahan presentasi pada seminar hasil survey di Yayasan Tanah Merdeka, Palu.
LPA AWAM Green, 2000, Laporan Penelitian Pengembangan dan Pemanfaatan Potensi Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Lokal di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu, Palu.
Sangaji, Arianto, 2000a, PLTA Lore Lindu : Orang Lindu Menolak Pindah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
-----------------, 2000b, Orang Katu di Behoa Kakau, Naskah Buku yang akan diterbitkan.
Shiva, Vandana, dkk, 1993, Perspektif Sosial dan Ekologi Keragaman Hayati, Konphalindo, Jakarta.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Undang-undang No5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati.
Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Watling, Dick & Yaya Mulyana, 1981, Lore Lindu National Park, Management Plan, 1981-1986, WWF, Bogor.
Wirawan, Nengah, 1981, Ecological Survey of the Proposed Lore Lindu National Park, Central Sulawesi, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
________________, 1994, Dampak Pembangunan PLTA Danau Lindu terhadap Kawasan Konservasi Taman Nasional Lore Lindu, dalam Arianto Sangaji, penyunting, Bendungan, Rakyat, dan Lingkungan : Catatan Kritis Rencana Pembangunan PLTA Lore Lindu, WALHI & Yayasan Tanah Merdeka, Jakarta.
YTM & Pemerintah Ngata Toro, 2000, Laporan Prosiding Pertemuan Konsultasi Masyarakat di sekitar TNLL, Toro, 27 – 30 September.
Yayasan Jambata, 2000, Studi Potensi Tanaman Pangan Varietas Lokal di Beberapa Desa Buffer Zone Taman Nasional Lore Lindu, Yayasan Jambata, bekerja sama dengan Yayasan Tanah Merdeka dan NRM-EPIQ, Palu.

RWM.BOONG BETHONY